Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Mahakarya Sang Pemenang

Lin Hai Ting Tao
1030
Completed
--
NOT RATINGS
721.4k
Views
Synopsis
Ini adalah kisah tentang mengejar kemenangan. Dalam sepakbola profesional, kemenangan adalah yang utama. Tanpa kemenangan, kau hanyalah pecundang. Tang En adalah pemuda Cina dengan temperamen buruk yang tak pernah bermimpi akan menjadi Tony Twain, seorang manajer tim sepakbola profesional, Nottingham Forest. Dengan hanya berbekal pengalaman bermain game sepakbola, dia mulai memimpin timnya menuju kemenangan. Perjalanan menuju kemenangan itu sama sekali tidak mudah. Pertandingan keras antar klub, pemain yang cedera, penggunaan taktik yang sesuai, hingga keputusan-keputusan yang diambil saat situasi genting turut mewarnai perjuangan menjadi juara liga. Tidak hanya itu, Tang En pun diuji untuk mengatasi semua insiden yang terjadi dalam kehidupan pribadinya. Dimulai dari teguran FA, penghargaan manajer terbaik, hingga beragam pekerjaan sampingan dan skandal pribadinya. Dengan semua peristiwa itu, bisakah Tang En mewujudkan mimpinya untuk mencapai kemenangan bersama timnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Tony Twain?

Suara teriakan keras yang menstimulasi saraf-saraf otak terdengar. Tingkat desibel suara itu sangat tinggi hingga rasanya bisa membuat seseorang menjadi tuli. Sebuah sinar putih menyorot matanya, dan rasa sakit yang kuat terasa di keningnya.

Twain tak bisa melakukan hal lain kecuali menyipitkan matanya. Tapi sinar putih itu bukannya menghilang, melainkan malah semakin meluas ke seluruh bidang pandangnya.

Apa yang terjadi? Apa aku berada di sebuah konser musik rock?

Twain mengutuk pelan dalam hati. Saat dia membuka matanya, ia disambut oleh wajah yang teramat besar. Wajah hitam itu penuh dengan keringat, dan udara panas yang keluar dari hidungnya membuat wajahnya makin jelek. Mulutnya terbuka lebar dan menunjukkan sebarisan gigi putih yang menakutkan seperti gigi hewan buas dan napas yang bau keluar darinya.

Apa yang kemudian terjadi adalah sebuah benturan yang telak dan intens. Twain merasakan seolah rahang bawahnya dipukul keras, kemudian tubuhnya terjatuh ke belakang.

Crash! Mereka jatuh ke atas kotak berisi botol-botol air mineral yang ada di belakang mereka. Botol minum plastik itu tak kuat menahan kombinasi bobot dua orang pria dan remuk dibawah keduanya. Air minum terpercik kemana-mana dan bahkan ada salah satu botol yang mengeluarkan semburan air, yang langsung membasahi wajah seseorang tak bersalah yang ada di dekat sana. Melihat ini, sisa kerumunan yang lain melarikan diri seperti burung gereja yang ketakutan.

"Sial!"

"Gila!"

"Apa yang terjadi?"

"Dokter tim, dokter tim!"

"Bagaimana kau bisa bermain selama ini kalau kau seperti ini?"

"Aku didorong si sial nomer empat belas itu... Aku tidak melakukannya dengan sengaja!"

Twain terbaring di tanah dan memandang terkejut pada wajah-wajah tak dikenal yang mengelilingi dirinya. Diantara mereka semua, beberapa diantaranya tampak cemas, sementara yang lain kelihatan senang dengan kemalangan yang dialaminya, dan beberapa yang lain menutupi wajah untuk menyembunyikan ekspresi mereka. Meski suasana di sekelilingnya tetap terdengar sangat riuh, tapi nadanya seolah berubah dan kini dipenuhi suara cemoohan dan tawa mengejek.

Dimana tempat ini? Siapa mereka? Apa yang terjadi?

"Uh oh! Tunggu, lihat apa yang terjadi di tepi lapangan." Komentator yang sedang melakukan siaran langsung tiba-tiba kelihatan senang, kemudian dia berdiri dan memandang kebawah dari lantai yang paling tinggi. "Striker tim Nottingham Forest, David Johnson, berebutan bola dengan seseorang dari tim lawan ketika dia terdorong ke area teknis di tepi lapangan. Manajer yang tidak beruntung, Tony Twain, kebetulan sedang berdiri disana untuk memberikan instruksinya di sepanjang pertandingan ini. Oh! Lihatlah situasi tak karuan itu di sana. Itu seperti benturan antara Mars dan Bumi! Ini jauh lebih menarik daripada pertandingan yang membosankan!"

Twain terbaring di tanah; setelan abu-abu mudanya sudah basah kuyup terkena air. Selain itu, setelannya juga dinodai rumput dan lumpur. Sekilas pandang, setelan itu tampak seperti sebuah kain lap yang baru saja dipakai mengelap sesuatu yang kotor.

Seorang pria berhidung besar dan berjanggut hitam yang terlihat seperti Super Mario muncul dalam bidang pandang Twain. Dalam satu gerakan tanpa jeda, pria itu dengan terampil mengeluarkan dan memakai sepasang sarung tangan putih dari dalam tas yang dibawanya dan mulai memeriksa tubuh Twain.

"Apa ada rasa sakit yang terasa jelas di area tulang rusukmu?" dia memberikan tekanan dan menekan area dada Twain. "Rahang bawah... hmmm, ada sedikit memar. Apa gigimu ada yang lepas?" Dia membuka mulut Twain dan melihat dengan kepala sedikit dimiringkan. Meski dia terus bertanya, dia jelas tidak mengharapkan jawaban. Ini hanyalah kebiasaannya untuk bergumam pada dirinya sendiri. "Setelah itu.. mata." Dia mengalihkan pandangannya ke area mata Twain dan menemukan masalah: pupil Twain tampaknya tidak bergerak sama sekali, dan kelopak matanya tak sekalipun mengedip. Selain itu, ekspresi wajahnya tampak seperti orang bodoh dan terbelakang. Dia tidak mengernyit, juga tidak melolong kesakitan. Kediamannya seperti seseorang yang sudah mati...

Orang mati!

Kelihatannya tadi dia mendarat dengan belakang kepalanya!

"Hey, Tony, Tony? Apa kau bisa mendengarku?" Dia mengulurkan tangannya di depan mata Twain dan melambaikannya. Nada suaranya jelas terdengar lebih bingung dari sebelumnya.

Bola mata Twain akhirnya bergerak, lalu dia mulai memfokuskan diri pada wajah orang ini. Dia adalah wajah yang tidak familiar, tapi sepertinya juga familiar pada waktu yang bersamaan...

"Wasit telah meniup peluitnya, menghentikan pertandingan untuk sementara, dan berlari ke tepi lapangan... Aku sudah menjadi komentator pertandingan sepak bola selama 31 tahun, tapi ini adalah pengalaman pertamaku melihat ada manajer yang terluka karena salah satu pemainnya sendiri! Aku berani bertaruh bahwa manajer Tony Twain jelas akan masuk berita, meski dia mungkin tak ingin menjadi terkenal dengan cara ini..." komentator BBC John Motson terus saja berkomentar. "Tim Nottingham Forest benar-benar sangat tidak beruntung. Pertama, tim mereka ketinggalan dua gol, dan kini manajer pengganti mereka, Tony Twain, mengalami cedera karena pemainnya sendiri. Patut dicatat bahwa ini adalah sebuah pertandingan kandang! Dia terluka selama pertandingan kandang mereka sendiri!"

Pada waktu yang bersamaan, layar televisi mulai memutar ulang adegan yang terjadi sebelumnya. David Johnson, saat berusaha mendapatkan bola, didorong oleh pemain tim lawan. Sebagai akibatnya, pria besar dan tegap berkulit hitam itu terbang keluar lapangan ke arah Tony Twain, yang kebetulan sedang berdiri di tepi lapangan. Hal yang aneh adalah Twain seharusnya berhasil menghindarinya. Dia memiliki cukup waktu untuk menghindarinya, tapi dia malah berdiri diam disana seperti boneka kayu dan hanya bisa melihat saja saat pemain timnya menuju ke arahnya. Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah adegan yang membuat para komentator menutupi wajah mereka dan memalingkan pandangan sambil berkata, "Oh ya Tuhan!"

Para pemain tim Nottingham Forest dengan segera mengelilingi manajer mereka, dan di tengah semuanya adalah, tentu saja, Twain yang terbaring di tanah. Striker kulit hitam, David Johnson, berlutut di tanah dan tak bisa berhenti berdoa. Kalau sesuatu yang buruk terjadi pada manajernya, itu akan menjadikannya sebagai pemain pertama yang berhasil membunuh manajernya sendiri di lapangan bola.

Berbeda dari keprihatinan yang dirasakan oleh para pemain tim Nottingham Forest, lawan mereka sebagian besar hanya berdiri di lapangan, melihat keributan yang terjadi dengan lengan terlipat di dada. Juga terdapat beberapa orang yang sangat penasaran dan mengambil peranan sebagai mata-mata bagi tim, dan seringkali berjalan bolak balik ke tempat keramaian itu untuk kemudian membagikan informasi tentang situasi terkini dengan rekan setim mereka.

Fans tim Nottingham Forest tampaknya tak merasa khawatir tentang nyawa manajer mereka, dan justru mengambil kesempatan ini untuk melontarkan makian dan kutukan atas penampilan tim mereka yang sangat buruk. Beragam kata-kata vulgar terlontar dari mulut mereka dan disertai dengan beragam jenis gestur jari tengah yang teracung. Kombinasi tindakan ini membuat skor 0-2 di layar besar tampak semakin mencolok.

Dokter tim untuk Nottingham Forest, Gary Fleming, masih berusaha melakukan yang terbaik. Dia telah melihat bola mata Tony sedikit bergerak, tapi masih bertanya-tanya kenapa tidak ada reaksi lain darinya.

Dia menepuk-nepuk wajah Tony Twain, tapi masih tak ada respon. Manajer pengganti tim hanya berbaring di tanah seperti sebuah patung lilin dengan mulut sedikit terbuka dan mata membelalak lebar, seolah dia tengah melihat sesuatu yang menakutkan.

Langit yang biru, awan yang berbentuk seperti permen kapas, beragam warna kulit dan ekspresi wajah, dan suasana sekeliling yang riuh semuanya sangat familiar, tapi juga terasa tidak familiar pada waktu yang bersamaan. Semua ini seolah berada ribuan mil jauhnya dari dirinya.

Ini... Apa yang terjadi?!

Wasit kepala mengumumkan keputusannya bagi dokter tim untuk mengatasi masalah ini sendiri. Dia tidak bisa membiarkan sebuah cedera yang terjadi diluar lapangan pertandingan menyebabkan pertandingan dihentikan lebih lama lagi. Dia meniup peluitnya untuk memberitahu agar semua pemain kembali ke lapangan. Pertandingan harus dilanjutkan, meski para pemain dari tim Nottingham Forest merasa enggan untuk terus bermain.

"Tapi bisa jadi dia mengalami cedera yang berbahaya!"

Merasa sangat marah pada sikap dingin si wasit kepala, Fleming berteriak pada si wasit sambil menunjuk ke arah Twain, yang masih terbaring di tanah.

"Maka kau seharusnya memanggil ambulans; aku hanya seorang wasit!" si wasit kepala membalasnya dengan sedikit marah. "Dia tidak kelihatan seperti berada dalam kondisi kritis," katanya sambil menunjuk ke arah belakang Fleming sebelum kemudian kembali ke lapangan pertandingan.

Fleming membalikkan badan, dan melihat Twain perlahan mulai bangkit, sambil mengelus bagian belakang kepalanya. Fleming bergegas maju untuk membantunya berdiri. "Bagaimana perasaanmu, Tony?"

Twain bertanya balik dengan suara datar, "Dimana tempat ini?"

Fleming membalikkan badan dan memaki. Dia benar-benar sangat tidak beruntung belakangan ini. "Des, Des, kemari!" Dia melambai kepada seorang pria berambut pirang di area teknis, menyuruhnya datang mendekat.

Des berlari menghampiri. "Bagaimana kondisi Tony?" tanyanya dengan sabar.

"Bencana. Dia bahkan bertanya padaku dimana dia berada."

Reaksi Des sama seperti reaksi Fleming sebelumnya, dimana dia membalikkan badan dan memaki. 

"Aku menduga ini karena dampak benturan."

"Gary, apa situasi ini akan jadi lebih buruk?" Des menggigit bibirnya dan memasang ekspresi serius di wajahnya.

"Aku tidak tahu. Bisa jadi kondisinya akan membaik, atau memburuk." Fleming menggelengkan kepalanya.

"Apa maksudnya itu?"

"Kalau kita beruntung, ini hanya kehilangan ingatan sementara, dan dia akan kembali pulih setelah sedikit istirahat. Dalam skenario terburuk... apa kau masih perlu mendengarnya dariku?"

Des mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa dia memahami kata-kata Fleming. "Lalu, apa yang menurutmu harus kita lakukan sekarang? Mengirimnya ke rumah sakit? Pertandingan masih berjalan dan kita ketinggalan; kita membutuhkannya untuk mengarahkan pertandingan." Saat dia mengatakan ini, dia berbalik dan bermaksud memandang sekilas ke arah Tony Twain, hanya untuk menemukan bahwa kini Tony sedang berjalan pelan menuju koridor pemain.

"Hey!" Des dengan cepat meninggalkan Fleming dan berlari maju untuk menghentikan koleganya.

"Tony, kau mau kemana?" Di tengah-tengah lingkungan yang ramai, Des mencoba berteriak keras sekuatnya, tapi dia hanya bisa mendapatkan efek seperti sedang berbisik.

Twain berbalik dan melihat ke arah Des dengan tatapan kosong. Tatapan mata Tony membuat hati Des terasa dingin. Saat itu, cahaya keemasan dari matahari yang terbenam bersinar terang, tapi Des tak bisa melihat refleksi cahaya itu di mata Tony.

"Tony, kau mau kemana?" Des kembali bertanya.

"Aku... aku tidak tahu... mungkin... pulang ke rumah..." gumam Twain sambil berusaha untuk melepaskan diri dari tangan Des.

Fleming juga berlari menghampiri dari tepi lapangan dan berkata, "Tony, kau tidak bisa pulang ke rumah. Kita sedang berada di tengah pertandingan, dan kau adalah manajer mereka. Kau harus mengarahkan tim!"

Keributan tiga orang di dekat koridor pemain itu menarik perhatian para pemain cadangan dari kedua tim, serta menarik perhatian para penonton. Beberapa pemain di lapangan bahkan mencuri pandang sekilas ke arah ketiganya. 

Twain tiba-tiba saja tersenyum. "Aku adalah manajer?" Ini terlalu tidak masuk akal, bagaimana mungkin aku menjadi manajer... Meski aku adalah seorang fans sepakbola, dan aku juga secara berkala memainkan game menjadi manajer sepakbola, bagaimana mungkin aku adalah manajer? Ini pasti mimpi, dan sebuah mimpi buruk! "Baiklah, baiklah, dan kau adalah...?" dia menatap ke arah Des dan bertanya.

Seolah itu adalah pertama kalinya mereka bertemu, Fleming memperkenalkan keduanya, "Dia adalah Des, Des Walker. Mantan pemain bek tengah untuk tim nasional Inggris. Dia baru saja pensiun dari tim musim lalu, dan kini dia adalah kolegamu, asistenmu."

Twain menganggukkan kepalanya dan berkata pada Des, "Baiklah, jadi sekarang kaulah yang akan mengarahkan pertandingan untukku. Aku masih perlu istirahat." Dimana setelahnya dia melepaskan diri dari tangan Des, tak mempedulikan suara cemoohan yang terdengar keras dan dua orang yang tampak tertegun, lalu berjalan kembali menuju koridor pemain.

Fleming memandang ke arah sosok Twain, dan kemudian memandang ke arah Des Walker.

Walker menghela napas dalam dan berbalik. "Kita tak mungkin bisa menang di pertandingan ini!"

Twain duduk di koridor pemain dengan punggung bersandar pada dinding sembari menatap kosong ke sekelilingnya. Dinding putih di hadapannya memiliki sebuah logo yang besar. Dibawah "jamur" raksasa berwarna merah terdapat tiga gelombang dan dibawahnya terdapat satu kata: Forest.

Dimana aku? Apa yang terjadi? Aku baru saja minum alkohol terlalu banyak dan berkelahi dengan dua orang idiot yang berani menyerangku diam-diam. Dan kemudian... Bagaimana aku bisa tiba disini? Dan siapa orang-orang dengan mata biru dan hidung mancung yang semuanya mengucapkan bahasa yang tak bisa dipahami itu? Apa aku sedang bermimpi? Atau sedang menonton sebuah film?

Twain menggosok bagian belakang kepalanya. Masih terasa sedikit sakit disana.

Orang idiot itu menyerangku dari belakang!

Twain terus memaki sambil meringis kesakitan.

Dia adalah seorang fans sepakbola yang terkadang suka minum alkohol dan menonton pertandingan sepakbola di tempat-tempat ramai, seperti misalnya, di bar.... Baru-baru ini, tim yang didukungnya tidak pernah menang, dan biasanya mendapatkan hasil imbang atau kalah dalam pertandingan. Saat dia sudah berada dalam mood yang buruk, menghadapi provokasi dari dua fans tim lawan, temperamennya yang mudah naik pitam dan pengaruh alkohol membuat mereka bertiga akhirnya berkelahi. Dia sama sekali tidak takut, meski harus berkelahi melawan dua orang. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya tentang cara curang yang mereka lakukan. Saat satu orang menarik perhatiannya, yang lain dengan sengaja menyerangnya dari belakang dan memukul belakang kepalanya dengan sebuah tongkat.

Setelah itu, dia membuka matanya dan menemukan dirinya berada di sebuah lingkungan yang riuh ramai dan dijatuhkan oleh seseorang berkulit hitam. Orang-orang di sekitarnya mengatakan hal yang tidak dipahaminya – dia bisa memahami setiap kata yang mereka ucapkan, tapi tidak bisa memahami maknanya. Dia merasa seolah-olah otaknya telah dibelah dua. Separuhnya merasa familiar dengan lingkungan ini, sementara separuhnya lagi merasa gelisah dan tak tahu apa yang harus dilakukan. 

"Siapa namaku?" Dia bergumam pada dirinya sendiri, sebelum kemudian menutup mulutnya. Baru kali ini dia menyadari bahwa dia sebenarnya berbicara dengan bahasa yang menurutnya tak dapat dipahami itu – bahasa Inggris.

"Sialan, apa yang terjadi?" Kali ini, kata-kata itu terucap dalam bahasa ibunya.

Twain merasa seolah dia hampir gila. Dia telah menemukan bahwa di dalam otaknya yang telah terbelah dua, tampaknya terdapat dua jalur pikiran yang sepenuhnya berbeda. Pada satu waktu, hal ini membuatnya percaya bahwa dia adalah seorang pria kebangsaan Inggris, "Tony Twain"; sementara di waktu berikutnya, dia akan memikirkan dirinya sebagai seorang pria Cina dari provinsi Sichuan bernama "Tang En."

Dia menempelkan kepalanya yang panas ke dinding, untuk sedikit mendinginkannya. Dia kemudian mulai menutup mata dan mencari dengan seksama. Setelah ini, dia mulai menyadari bahwa dia berada di sebuah lapangan sepakbola di City Ground. Pertandingan yang berlangsung diluar adalah sebuah pertandingan normal Liga Satu Inggris antara Walsall dan Nottingham Forest. Tim yang berada dibawah tanggungjawabnya.

Twain, yang akhirnya mengerti dimana dia berada, sekali lagi merasa bingung. Ini juga sama sekali tak bisa dipercaya, hal ini demikian menakjubkan hingga otaknya seolah berhenti merespon. Dia sedang berjongkok di koridor pemain dan di dinding seberang adalah logo tim Nottingham. Area luar dipenuhi cemoohan ramai. Tapi, semua ini tampaknya tak ada kaitannya dengan dirinya.

Insiden ini diputar ulang di berita.

"... Ini adalah adegan yang terekam di City Ground sore ini. Manajer pengganti tim Nottingham Forest, Tony Twain, sedang berdiri di tepi lapangan ketika dia dijatuhkan oleh salah satu pemainnya sendiri, dimana kemudian dia kehilangan kesadaran dalam durasi waktu yang singkat. Ketika dia kembali sadar, dia berjalan langsung menuju ke koridor pemain. Menggantikan dirinya, Des Walker melanjutkan mengarahkan timnya sepanjang sisa pertandingan, dan menghadiri konferensi press paska-pertandingan. Namun, Walker menolak memberikan informasi terkait manajer Tony Twain."

Dimana Tang En saat ini?

Dia berada di rumah, melihat dirinya sendiri di depan cermin.

Jika dibandingkan dengan rumah-rumah tetangga yang bersinar terang dan dipenuhi tawa, rumah Twain sesuram sebuah kastil tua yang berhantu. Saat itu pukul delapan malam, namun rumahnya tampak gelap gulita, tanpa ada lampu yang dinyalakan. Meminjam cahaya suram dari lampu jalan, Twain berdiri di pancuran dan melihat dirinya sendiri di cermin. Apa yang menyambut matanya adalah seorang pria Barat yang memiliki hidung mancung, sepasang mata biru dan rambut berwarna cokelat.

Sebenarnya, Tang En, yang berasal dari provinsi Sichuan di Cina, baru berusia 26 tahun tapi pria yang dilihatnya di dalam cermin memiliki kerutan di dahinya! Tiga puluh empat tahun! Itulah usia Tony Twain. Sebelum ini, Tang En telah dipaksa untuk menerima fakta yang lain: tahun ini bukanlah tahun 2007, tahun dimana dia berkelahi dengan orang lain. Melainkan, saat ini adalah 1 Januari 2003. Harga yang harus dibayar untuk menerima fakta ini adalah kalender dinding yang sobek-sobek. Kalender yang memiliki banyak gambar tim Nottingham dari musim 02-03 di dalamnya.

Tidak hanya dia memiliki tubuh seorang pria Inggris tanpa alasan yang jelas, tapi dia juga telah melompat mundur empat tahun tiga bulan!

Meski dia tidak pernah menganggap dirinya orang yang lembut dan ramah, atau seseorang yang bisa menerima kekaguman dari beragam wanita, setidaknya dia telah melihat wajah yang sama selama 26 tahun. Dan dia masih belum lelah melihatnya. Sekarang, dia harus menerima dirinya yang berbeda, bersama dengan wajah yang berbeda. Ini sangat mengesalkan.

"Siapa sih sebenarnya orang ini?!" dia berteriak ke arah cermin. Dia memecahkannya dengan sebuah pukulan. Cerminan dirinya pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak terhitung jumlahnya dan jatuh ke lantai. Wajah-wajah tak terhitung memandangi Tang En seolah mereka tengah mengejeknya.

Tang En merasa sedikit pusing saat dia melangkah mundur. Dia terengah-tengah sambil bersandar ke dinding.

Kenapa ini terjadi padaku?

Di tengah kegelapan, Tang En tetap diam bergeming selama beberapa menit sebelum kemudian mulai kembali tenang. Dia telah memutuskan untuk tidak berpikir terlalu dalam tentang pertanyaan yang sangat rumit ini. Sebelum ini di Cina, dia memiliki kebiasaan untuk mencari tempat dimana dia bisa minum alkohol kapanpun dia tengah menghadapi permasalahan yang pelik. Di kota Chengdu, bar-bar bisa ditemukan dengan mudah, dan kadang-kadang dia bahkan berhasil mendapatkan wanita untuk menemaninya selama semalam. Karena kebiasaan, dia menganggap Nottingham sama seperti kota Chengdu dan memutuskan untuk menemukan sebuah bar yang bisa mengurangi kegelisahannya. Dia tidak boleh merasa terganggu dengan statusnya saat ini.

Melihat ke arah langit yang gelap, dia memakai sebuah jaket tebal sebelum berjalan keluar rumah.

"Kalah dalam pertandingan kandang terhadap Walsall dengan skor 0-3, tahun ini memang bukan tahun yang mulus bagi tim Nottingham Forest. Meski memikul harapan tinggi yang dibebankan padanya, Paul Hart tak bisa memberikan hasil yang baik bagi tim. Oleh karena itu, dia memberikan pengunduran dirinya kepada ketua klub sepakbola, Nigel Doughty, setelah serangkaian pertandingan sebelumnya. Surat pengunduran diri itu diterima tidak lama setelahnya. Hari ini adalah hari pertama dimana manajer pengganti, Tony Twain, ditunjuk untuk mengarahkan tim. Siapa yang akan mengira bahwa dia akan dicederai pemainnya sendiri di tepi lapangan? Mari kita lihat cuplikannya. Dia tampak membeku sejenak dan lupa menghindar..."

Televisi, yang ditempatkan di sebuah rak yang tinggi, menyiarkan berita olahraga hari ini. Tentu saja, titik fokusnya diarahkan pada peristiwa yang terjadi selama pertandingan tim Nottingham.

Serangkaian cemooh dan ejekan terdengar di seluruh bar yang ramai.

"Aku tak pernah melihat manajer yang sangat memalukan seperti itu!" seorang pria besar yang tampak mabuk berkata sambil menunjukkan jari tengahnya ke arah televisi. "Tony Twain itu, aku tahu siapa dia! Dia orang yang dulu menjadi asisten Paul Hart saat menangani tim pemuda. Jujur saja, aku tak mendapat kesan baik darinya. Pria itu pendiam dan kelihatannya penakut. Jelasnya tak mungkin kita mengandalkan pengecut sepertinya untuk mengeluarkan tim Nottingham dari kondisi sulit yang mereka hadapi? Nigel, orang kolot itu, juga tak seambisius sebelumnya. Nottingham sudah habis! Habis sudah, habis..." dia mengulang-ulangnya sambil ambruk ke atas meja. Disampingnya, area itu penuh dengan botol-botol kosong yang tergeletak begitu saja.

Setelah si pria mabuk itu menyelesaikan ucapannya, Tang En kebetulan mendorong pintu dan memasuki ruangan. Suara pintu yang bergerak menarik sejumlah besar perhatian orang-orang yang berada di dalam bar. Mengalihkan tatapan mereka ke arah pintu, saat mereka melihat identitas orang yang baru saja masuk, mereka mulanya cukup terkejut, tapi kemudian rasa terkejut itu dengan segera digantikan oleh senyum mengejek.

"Hehe, lihat siapa yang datang!" seorang pria Inggris paruh baya mengangkat gelasnya dan berdiri, mengumumkan dengan suara keras, "Manajer kita Tony Twain telah tiba!"

"Woo woo!" Orang-orang di bar membuat cemoohan selamat datang yang sarkastik.

"Mari kita bersulang untuk blocking Johnson yang indah keluar lapangan!" si pria paruh baya itu mengangkat gelasnya ke udara, sementara orang-orang lain di sekelilingnya mengikuti contohnya. "Bersulang!"

Seorang pria lain yang jelas sudah terlalu banyak minum berdiri dengan sempoyongan dan berjalan menghampiri Tang En. Mengulurkan botol bir di tangannya ke bibir Twain, dia bersendawa dan bertanya, "Manajer Twain, itu adalah pertahanan yang indah. Namun, wasit kepala dan penonton kelihatannya tidak... tidak berpikir seperti itu.... urg! Kau, bagaimana menurutmu tentang itu?"

Setelah dia selesai bertanya, dia membalikkan badan dan mulai tertawa, bersama-sama dengan banyak orang lain di bar itu.

Tang En tak ingin memulai keributan, karena dia hanya disini untuk menghilangkan kekesalannya. Karenanya, dia menjauhkan botol bir di depan bibirnya, berjalan tegak ke meja konter bar, dan berkata ke bartender dibaliknya, "Bisakah kau memberiku..." Karena kebiasaan, dia baru saja ingin meminta sebotol "Small Er"– sebotol kecil Erguotou. Meski dia berasal dari provinsi Sichuan, dia pernah kuliah di Cina Utara. Saat itulah dia mulai menyukai jenis minuman keras ini. Tapi, dia baru sadar kalau dia tidak tahu bahasa Inggris yang tepat untuk "Small Er." Selain itu, dia kembali teringat kalau saat ini dia sedang berada di Inggris dan bukan di Cina. Menurunkan kepalanya, dia mengutuk dan memaki beberapa kali, sebelum kemudian mengganti kata-katanya, "Berikan padaku minuman paling keras yang kau punya."

Mendengar pesanannya itu, orang-orang yang mengamatinya langsung tertawa keras.

"Yo! Tony si penakut ternyata berani minum minuman keras?!"

"Kami punya susu segar yang baru diperah. Apa kau juga mau mencobanya? Aku rasa kau lebih cocok minum susu saja, Tony!" seorang pria gemuk berkata, sambil meremas dadanya yang menggantung dengan kedua tangannya. Mendengar itu, orang-orang di sekeliling mereka tertawa lagi, memukul-mukul meja mereka.

Berhadapan dengan para pelanggan bar yang kasar ini, bartender yang masih muda merasa bingung harus melakukan apa. Saat dia akan mengambilkan minuman keras, dia dihentikan oleh seru-seruan orang-orang mabuk. "Ambilkan dia jus buah! Jus buah!"

"Tidak, tidak, seharusnya susu saja; kita punya susu yang paling segar!"

"Ah ha ha!"

Pemilik bar menyadari suara keras yang ditimbulkan dan turun dari lantai atas. Berdiri di pangkal tangga, dia melihat bahwa, selain mereka yang tertidur di meja, hampir semua pelanggan lainnya telah mengelilingi meja konter. Duduk di tengah adalah seorang pria yang tertutup jaket hitam tebal dari ujung kepala hingga kaki. Dia dijadikan bahan lelucon oleh para pria mabuk.

"Guys, apa yang terjadi?" Suara kerasnya untuk sesaat membuat bar sedikit tenang. Para pria mabuk, yang masih sangat arogan hingga sesaat yang lalu, langsung terdiam setelah melihat orang yang berdiri di belakang mereka.

Tang En merasa bahwa ini aneh; jenis orang seperti apa yang memiliki kemampuan untuk membuat sekumpulan orang kasar ini terdiam? Dia menolehkan kepalanya sedikit dan melihat siluet seseorang yang berjalan dari arah tangga.

Bartender muda dengan segera menunjuk ke arah Tang En, dan berkata, "Boss, dia ingin minuman yang paling keras."

Setelah menyadari bahwa Tony Twain berada di dalam barnya, si pemilik tampak sedikit terkejut. Tapi dia masih berkata, "Kalau begitu berikan padanya."

"Tapi... tapi mereka tidak membiarkanku melakukannya." Si bartender, dengan sedikit malu, melihat ke arah orang-orang mabuk itu, yang telah kembali ke kursi mereka masing-masing.

Si pemilik melihat ke sekeliling bar, tapi orang-orang yang bertatapan dengannya akan mengalihkan pandangan dan berpura-pura tidur, atau menurunkan kepala mereka dan terus menghabiskan minuman mereka. Tang En semakin penasaran dengan pria paruh baya yang kelihatannya cakap dan berpengalaman itu. 

"Aku tidak melihat siapapun disini ada yang keberatan. Tuangkan untuknya scotch whisky, aku yang membayar." Si pemilik bar mengalihkan pandangannya ke Twain dan bertanya, "Single atau dobel? Kau mau dengan es atau air?"

Tang En bertanya dengan masih sedikit terkejut, "Dengan es batu?"

Para pemabuk yang masih mengawasi keduanya mulai kembali tertawa.

Bahkan si pemilik bar juga tertawa. "Aku lupa kau orang yang seperti apa." Dia mengisi separuh gelas dengan whisky berwarna kuning keemasan, dan menambahkan separuh gelas air, yang kemudian, diberikannya kepada Tang En. "Ini racikan khusus dari kota asalku."

Twain meminumnya satu teguk dan mulai langsung batuk-batuk. Dia jarang meminum minuman alkohol dari barat. Selain itu, scotch whisky yang murni ini memiliki rasa khas yang mantap.

Suara-suara tawa seketika terdengar di bar itu.

"Tony Twain yang kukenal tidak pernah minum alkohol. Dia hidup seolah dia adalah seorang puritan tradisional. Selain itu, dia juga takkan pernah memandangku dengan tatapan seperti yang kau lakukan. Tidakkah kau tahu siapa aku?" Si pria memandangnya, dan Tang En menyadari bahwa dia telah sepenuhnya terbaca oleh pria ini. Dia tak punya pilihan selain mencari alasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

"Erm... aku..." Tang En menurunkan kepalanya dan menyesap minumannya. Kali ini dia tidak berusaha menghentikan cairan itu di tenggorokannya dan langsung menelannya. Perasaan gelisah yang tak tertahankan tadi jelas telah hilang. "Aku jatuh di tepi lapangan sore ini."

Gemuruh tawa kembali memenuhi ruangan itu.

Pria itu menyentuh bagian belakang kepalanya, menunjukkan bahwa dia mengerti.

Seseorang yang berada di samping mereka membantu menyadarkan Tang En dari renungannya dan berkata dengan suara keras, "Kelihatannya manajer Twain benar-benar mencederai kepalanya! Orang yang duduk disampingmu adalah kebanggaan tim Nottingham Forest, dua kali MVP di Kejuaraan Piala Eropa, penerima penghargaan Association Footballer of the Year dari Football Writers tahun 1978, Tn. Kenny Burns. Dia seratus kali lipat lebih kuat daripada seorang idiot sepertimu! Idiot! Kau seorang idiot!" 

Meski Tang En berterima kasih atas perkenalan mendetil tentang orang yang ada disampingnya, hal ini tak berarti bahwa dia akan diam saja saat dipermalukan seperti itu. Ketika seseorang memasuki sebuah lingkungan yang tidak familiar, sudah umum baginya untuk merasa mudah cemas dan mudah kesal. Rasa kesal di dalam hatinya sudah terakumulasi sejak peristiwa memalukan yang terjadi hari ini. Meski dia telah berusaha menahan diri dari semua perlakuan yang menghina dirinya saat dia melangkah masuk ke bar, hal ini bukan berarti dia akan terus diam saja diperlakukan seperti itu. Selain itu, dia bukan orang yang penurut. Saat masih berada di Cina, dia memiliki temperamen yang buruk dan merupakan remaja yang dikenal gegabah. Kalau bukan karena itu, dia mungkin takkan mengalami perjalanan lintas waktu setelah memulai perkelahian...

Orang yang ada di belakangnya tertawa keras sambil terus mengatakan, "Idiot! Idiot!" sepenuhnya tak mempedulikan target olok-oloknya. Tang En menggerakkan tangannya dengan cepat dan menyiramkan sisa separuh minuman ke arahnya. Scotch whisky yang keemasan, dibawah cahaya terang lampu bar, berkilau mempesona ketika membentuk lengkung indah di udara kosong, sebelum kemudian secara akurat mengenai wajah pria yang tak beruntung itu – seakurat tendangan bebas kaki kanan David Beckham.

Setelah wajahnya disiram dengan minuman keras, pria itu berdiri, menyeka whisky itu dari wajahnya dan mengomel, "Kau b*ngsat..."

Bang! Makiannya ditangkal dengan sebuah gelas anggur, saat Tang En meluncur ke arahnya dengan kecepatan luar biasa, bersama dengan gelas anggur itu. Dia tak lagi bisa menahan amarahnya. Tiba-tiba saja berada di tempat ini, melakukan perjalanan waktu sejauh empat setengah tahun ke masa lalu, diolok-olok dan dihina, semua ini tanpa pola ataupun alasan yang jelas... Dia ingin segera melampiaskan kemarahannya pada seseorang, tanpa peduli apakah dia yang memukul atau dia yang dipukul.

Keduanya terlempar ke meja dibelakang mereka, menyebabkan botol-botol bir yang kosong berjatuhan ke lantai.

Suara tawa tiba-tiba terhenti, dan semua orang terpana selama sesaat. Mereka sama sekali tak menduga bahwa Tony Twain, yang telah dianggap sebagai pengecut beberapa saat yang lalu, tiba-tiba saja meledak marah.

Orang pertama yang bereaksi adalah si pemilik bar, Kenny Burns. Sambil mendorong si pria gemuk yang berdiri disamping konter bar, dia berseru, "Kenapa kalian hanya berdiri saja disana? Pisahkan mereka!" 

Suara itu menyadarkan kembali semua orang dari keterkejutan mereka, dan mereka bergerak maju untuk memisahkan kedua orang yang sudah saling bergulat satu sama lain. Selain kondisi lantai bar yang menyedihkan, si pria dengan whisky di wajahnya kini banyak mengeluarkan darah dari keningnya. Sebuah lingkaran berwarna merah tampak jelas disana, yang memang merupakan tanda gelas anggur itu mengenai keningnya. Selain itu, pipi kirinya juga sepertinya kena pukul, dan terlihat seolah memerah karena mabuk.

Tang En, disisi lain, selain rambut dan pakaian yang berantakan, kelihatannya baik-baik saja. Setelah ditarik mundur, dia tampaknya telah selesai melampiaskan semua kemarahannya, karena dia tak melawan saat hendak dilerai. Setelah merapikan pakaian dan rambutnya, dia berbalik menghadap pria yang tak beruntung itu dan meludah. "Aku tak peduli siapa kau – jangan macam-macam denganku."

Dia kemudian membalikkan badan dan berkata pada Burns, "Aku benar-benar minta maaf karena menyebabkan keributan di tempatmu. Hari ini hanya sangat ..." Teringat bahwa dia telah melakukan perjalanan waktu ke masa lalu membuatnya marah. "Aku akan datang secara pribadi dan meminta maaf di hari yang lain. Sementara untuk kompensasinya, kau juga tidak perlu khawatir tentang itu."

Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu respon dari si pemilik bar, Tang En membalikkan badan dan berjalan menuju ke pintu masuk. Saat dia melewati si pria gemuk, dia berkata dengan sarkastik, "Kau sebaiknya menyimpan susu itu untuk dirimu sendiri, gendut."

Semua orang melihat dia mendorong pintu dan melangkah keluar, dan tak ada seorangpun yang terpikir untuk menahannya disana. Mereka baru saja menyaksikannya meninggalkan kekacauan di dalam bar tanpa bisa berbuat apa-apa.

Bar benar-benar hening. Pada saat itu, seorang pria yang sudah sangat mabuk tiba-tiba terduduk di kursinya dan melihat ke arah sekumpulan orang yang terdiam setelah kekacauan yang terjadi. Merasa bingung, dia bertanya, "Apa aku melewatkan sesuatu?"

Merasa kesal, Tang En berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalanan satu demi satu. Bahkan dia tidak tahu dimana dia berada. Merasa lelah, dia duduk di sebuah bangku panjang. Meski dia baru saja berkelahi, mood-nya masih belum jadi lebih baik. Malah, hal itu membuatnya merasa lebih jengkel daripada sebelumnya. Mungkin ini karena dia menyadari bahwa dia hanya bisa pasrah sepenuhnya pada realitas bahwa dia telah menjadi seorang pria Inggris, tanpa ada harapan untuk kembali ke tubuh aslinya.

Langit terkutuk itu. Dia mengangkat kepala dan memandang ke langit. Selain awan gelap yang tebal, dia tak bisa melihat apapun. Dia masih tidak bisa memahami kenapa harus dia yang mengalami ini semua. Kalau ini adalah takdir untuknya, maka pasti ada alasan khusus kenapa takdir itu memilihnya? Ataukah takdir ini memilih orang secara acak, seperti halnya lotere di Cina yang secara acak memilih bola ping pong dari timbunan bola ping pong yang ada. Siapapun yang terpilih harus pasrah terhadap ketidakberuntungannya.

Aku tak ingin jadi seorang manajer, sialan! Aku tak ingin jadi orang Barat! Biarkan aku kembali, biarkan aku kembali! Bisakah Tang En berteriak seperti itu? Tidak. Sepanjang 26 tahun hidupnya, dia tak pernah menundukkan kepalanya pada siapapun atau apapun. Dia sama keras kepala dan menyebalkannya seperti toilet yang tersumbat. Karenanya, dia tak punya prestasi apapun dan selalu saja dianggap sebagai murid yang paling sulit diajari oleh guru sekolahnya dulu. Di universitas, karena dia tak terlalu disukai, dia tak pernah menjadi bagian dari aktivitas klub manapun ataupun ekstrakurikuler lain. Bahkan setelah lulus, dia diasingkan oleh koleganya, dan dia belum pernah punya seorang pacar... Ringkasnya, 26 tahun masa hidupnya adalah sebuah kegagalan total.

Tang En mengangkat kepalanya sekali lagi dan melihat ke arah langit malam yang gelap gulita. Dia tiba-tiba menyadari situasinya saat ini. Karena "kehidupannya sebelum ini" penuh kegagalan, kenapa tak mengambil peluang ini untuk menjalani hidup yang berbeda? Meski dia belum pernah menjalani posisi sebagai sebuah manajer sepakbola, dia telah menonton satu dekade pertandingan sepakbola, dan memainkan setiap seri game Football Manager. Karenanya, dia memiliki sedikit pemahaman tentang apa yang menjadi tanggungjawab dalam pekerjaan seorang manajer. Bukankah ini peluang yang bagus baginya untuk mengambil tantangan ini?

Dia tak lagi memikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan basi seperti kenapa surga diatas sana memilihnya untuk ini. Saat ini, dia hanya harus memikirkan tentang bagaimana dia bisa menjadi manajer sepakbola yang lebih profesional. Meskipun hal itu jelas akan sangat sulit untuk dilakukan, tapi itu patut dicoba.

"Hey, bung. Kau berani masuk ke rumahku tanpa ijin. Kalau aku hitung sampai sepuluh dan kau masih belum pergi juga, aku akan memanggil polisi!" sebuah suara orang tua tiba-tiba terdengar dari sampingnya. "Satu, dua, tiga..."

Twain menatap kosong pada seorang pria tua yang kini berdiri di hadapannya. Sambil memeluk banyak sekali koran, dia juga memegang burger yang baru dimakan separuh.

"Ini... rumahmu?" Dia menunjuk ke arah bangku panjang tempatnya duduk.

"Tentu saja."

"Ah, maafkan aku kalau aku sudah mengganggu..." Setelah Twain berdiri dari bangku, pria tua itu segera duduk diatasnya, dan tak lama setelah itu, dia berbaring. Lalu, dia menempatkan selapis koran di bangku itu sebelum menutupi tubuhnya dengan lebih banyak koran.

Melihat si pengemis yang memakan burgernya dengan perasaan puas sambil beristirahat di dalam sebuah "sarang koran", Tang En harus berterima kasih pada surga diatas karena tidak memberinya tubuh seorang pengemis. Tampaknya takdir masih berbelas kasihan padanya.

Melihat sebuah taksi berhenti di hadapannya untuk menurunkan penumpang, Tang En segera bergegas dan menaiki taksi. Melihat sekali lagi ke arah si pengemis yang masih menikmati makan malamnya di tengah angin malam yang dingin, dia meminta sopir taksi untuk membawanya kembali ke rumah yang asing baginya.

Mulai saat ini, sebuah dunia yang sepenuhnya baru akan terkuak di depan mata Tang En.