Shirou duduk di bawah naungan pohon, botol air di tangan, tetapi pikirannya melayang jauh dari suasana latihan ini. Kenapa aku harus menyembunyikan kekuatanku? pikirnya sambil menatap Ryuu yang duduk tak jauh darinya.
Jawabannya sederhana. Dewa-dewi di dunia ini mungkin terlihat seperti makhluk yang penuh canda, tetapi mereka bukan entitas yang bisa diremehkan. Mereka mengunci kekuatan ilahi mereka, Arcanum, untuk bermain di dunia ini, tetapi siapa yang bisa menjamin mereka tak akan menyalahgunakannya? Apa yang akan terjadi jika ada dewa-dewi yang diam-diam menggunakan kekuatan ilahi mereka untuk tujuan tersembunyi?
Shirou mengingat nama-nama seperti Hephaestus atau Goibniu, dewa penempa besi. Jika mereka mengetahui aku dapat memproyeksikan Noble Phantasm atau bahkan meniru senjata hasil tempaan Familia mereka, apa yang akan terjadi? Pasti akan timbul masalah besar. Mungkin mereka akan menganggapku ancaman atau, lebih buruk lagi, mereka akan memaksaku untuk membuat senjata bagi mereka.
Bahkan lebih dari itu, pikirannya bergulir ke Unlimited Blade Works, Reality Marble yang menjadi inti keberadaannya. Jika rahasia ini bocor, apa yang akan kulakukan jika dewa-dewi memiliki obsesi yang sama dengan para magus di dunia asalku? Aku mungkin akan menjadi bahan eksperimen atau mainan mereka. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
Shirou menatap Ryuu yang sedang meneguk air dari botolnya. Aku yakin Ryuu bukan orang yang suka menyebarkan rahasia. Dia tak seperti itu. Tetapi, jika aku membuat pengecualian untuk satu orang, pengecualian itu bisa menjadi awal dari rahasia yang terungkap. Dan jika itu terjadi, segalanya akan hancur.
Namun, kata-kata Ryuu tadi masih terngiang di telinganya. Ryuu, dengan tulus, ingin mendukungnya menjadi Seigi no Mikata. Shirou menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahannya. Mungkin aku bisa memberinya sedikit kepercayaan. Hanya setelah aku tahu alasannya.
Shirou memanggil Ryuu. "Ryuu" katanya dengan suara tenang namun serius, menarik perhatian Elf itu.
Ryuu menoleh, matanya yang biru jernih memandang Shirou dengan rasa ingin tahu. "Ada apa, Shirou?" tanyanya.
Shirou memegang botol airnya erat-erat, seolah mencari keberanian dari kesederhanaan benda itu. "Aku ingin tahu, kenapa kau berpikir kau sudah tak bisa menjadi pembela keadilan? Kau masih muda, kuat, dan berpengalaman. Apa yang membuatmu menyerah?"
Ryuu tertegun mendengar pertanyaan itu. Dia terdiam, matanya mulai kehilangan fokus, seolah menatap ke dalam dirinya sendiri. Shirou memandangnya dalam keheningan, memberikan waktu bagi Ryuu untuk merenung.
Kiritsugu juga menyerah, Shirou berpikir, mengenang ayah yang mengadopsinya yang telah lama wafat. Dia menyerah saat tubuhnya mulai melemah, saat penyakit perlahan menggerogotinya. Tapi Ryuu tidak seperti itu. Dia masih punya waktu, tenaga, dan kesempatan. Jadi kenapa?
Ryuu akhirnya menurunkan botolnya ke pangkuan, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Itu karena..." suara Ryuu melemah, lalu terhenti. Matanya menatap ke bawah, penuh dengan keraguan dan luka lama.
Shirou menghentikan kata-kata Ryuu yang penuh beban itu dengan nada ringan. "Ryuu," katanya sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kau masih ingat permainan kita waktu itu? Saat kita ngobrol di depan air mancur?"
Ryuu menatap Shirou, alisnya terangkat sedikit. "Tentu," jawabnya, mengenang percakapan mereka. "Permainan saling bertanya dan bertukar rahasia, bukan?"
Shirou mengangguk, senyum simpul menghiasi wajahnya. "Benar. Saat itu, kau yang terakhir bertanya padaku. Sekarang, anggap saja ini giliranku untuk bertanya padamu."
Ryuu mendesah kecil, tapi sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. "Shirou, kau curang. Menggunakan alasan itu untuk memaksaku menjawab pertanyaanmu."
Shirou mengangkat bahu dengan gaya santai, nada sarkastik menghiasi ucapannya. "Curang? Tidak juga. Ini kan giliran pertanyaanku."
Ryuu menggeleng perlahan, senyumnya berkembang sedikit lebih hangat. "Baiklah," katanya akhirnya, menyerah pada permainan kecil itu. "Apa yang ingin kau ketahui?"
Shirou mengambil napas dalam, memandang Ryuu dengan serius. "Kau bilang tadi kau merasa tak bisa lagi menjadi pembela keadilan. Kenapa? Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
Ryuu terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke botol air di tangannya. Suaranya pelan saat ia mulai berbicara. "Karena aku sudah membuang keadilanku. Aku ternoda. Aku... tak pantas membela sesuatu yang suci seperti itu lagi."
Shirou terkejut, tetapi ia tetap diam, memberikan ruang bagi Ryuu untuk melanjutkan.
"Ke...keadilan bagi diriku adalah perbuatan baik yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan," Ryuu melanjutkan dengan nada lirih. "Keadilan adalah menjunjung tinggi nilai tersebut setiap saat... dan menumpas kejahatan di mana pun kejahatan itu muncul."
Shirou mengangguk pelan, setuju dengan pengertian Ryuu tentang keadilan. "Bukankah itu yang kau lakukan selama ini? Membela nilai-nilai tersebut?"
Ryuu menggelengkan kepala dengan tegas, lututnya ditarik ke dada dan dipeluknya erat. "Aku sudah menodai rasa keadilanku. Aku membiarkan balas dendam menguasai hatiku... dan aku membantai seluruh anggota Rudra Familia demi membalas dendam atas kematian teman-temanku."
Ryuu menunduk lebih dalam, rasa penyesalan terpancar dari seluruh tubuhnya.
Shirou menatap Ryuu dengan penuh empati. "Ryuu," katanya, nadanya lembut tetapi tegas, "pembela keadilan itu bukanlah mesin. Kau adalah seorang manusia—atau lebih tepatnya seorang Elf—yang memiliki perasaan. Dendam itu wajar. Kau kehilangan teman-temanmu dengan cara yang keji. Balas dendam itu... adalah sesuatu yang pantas."
Ryuu menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi... bahkan Dewiku sendiri, Astraea, menyuruhku membuang keadilan itu. Dia tahu apa yang akan aku lakukan, dan dia memintaku untuk tidak melakukannya. Tapi aku tetap melakukannya. Aku tak pantas lagi memanggul beban itu."
Shirou terdiam. Kata-kata Ryuu terasa berat, penuh dengan luka yang dalam. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk memaksakan solusi. Ryuu butuh didengar.
Dalam keheningan yang terjadi, Shirou memutuskan untuk menunggu, memberikan ruang bagi Ryuu untuk berbagi lebih banyak.
Setelah beberapa saat keheningan, Ryuu mengambil napas dalam dan melanjutkan ceritanya dengan suara pelan namun penuh dengan beban emosi. "Rudra Familia... mereka licik. Mereka membuat perangkap untuk kami di Dungeon. Astraea Familia bukan kelompok yang mudah ditipu, dan kami berhasil membaca jebakan mereka lebih awal."
Wajah Ryuu menegang, dan senyum pahit melintas di bibirnya. "Kami berhasil menghindari jebakan itu, tapi... mereka merusak Dungeon dengan cara yang tidak pernah kami bayangkan. Akibatnya, monster legendaris itu muncul—Juggernaut."
Shirou yang duduk di seberang Ryuu tetap diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Juggernaut..." lanjut Ryuu, suaranya gemetar saat mengingat makhluk itu. "Dia bukan monster biasa. Bentuknya seperti kerangka besar dengan duri tajam mencuat di tubuhnya, matanya menyala merah seperti obor di tengah kegelapan. Dia adalah mesin pembunuh Dungeon, diciptakan untuk menghancurkan siapa pun yang merusak keseimbangan Dungeon. Cepat, mematikan, dan tak kenal ampun."
Shirou mengangguk kecil, membayangkan kengerian yang Ryuu deskripsikan. Ia tidak menyela, hanya memberi ruang bagi Ryuu untuk melanjutkan.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Ryuu berkata dengan suara yang hampir berbisik, "Kami mencoba melawan... Alise, Kaguya, Lyra, dan yang lainnya... mereka semua tahu bahwa tidak ada jalan keluar. Jadi mereka bertahan, mengorbankan diri mereka... demi aku."
Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar oleh kemarahan yang terpendam. "Aku... aku satu-satunya yang selamat. Mereka semua berteriak padaku untuk lari. Aku tak punya pilihan lain, tapi rasa bersalah itu... setiap langkahku terasa seperti pengkhianatan terhadap pengorbanan mereka."
Shirou tetap diam, memberi ruang bagi Ryuu untuk melampiaskan emosinya.
Dengan mata yang penuh dengan kebencian dan rasa sakit, Ryuu melanjutkan, "Anggota Rudra Familia yang membuat perangkap itu? Mereka kabur saat Juggernaut muncul! Mereka meninggalkan kami untuk mati sementara mereka melarikan diri dengan aman. Aku tak bisa menerima itu... Aku bersumpah akan membalas mereka. Akan kubayar darah teman-temanku dengan darah mereka."
Ryuu menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Setelah itu, aku kembali ke markas Astraea Familia... sendirian. Semua sudah hancur. Aku memohon pada Dewi Astraea untuk meninggalkan Orario. Aku tahu aku akan membalas dendam, dan aku tak ingin dia terjebak dalam keputusanku. Aku... aku tak ingin mengotori keadilannya dengan kegelapanku."
Air matanya kini tak lagi bisa dibendung, mengalir deras saat ia mengingat saat-saat terakhir dengan Dewi Astraea. "Dan saat itulah, dia... dia menyuruhku untuk membuang keadilanku. Sebelum dia pergi, itulah kata-kata terakhirnya untukku. Dia tahu aku tak akan berhenti, dan dia ingin aku melakukannya tanpa menyeret nama keadilan."
Shirou menghela napas panjang, merasakan beban emosi Ryuu. Ia tidak mengatakan apa pun, membiarkan Ryuu meluapkan semuanya. Shirou tahu, di balik luka mendalam itu, Ryuu masih memiliki cahaya yang ia sembunyikan, dan tugasnya adalah membantu cahaya itu bersinar kembali.
Shirou yang sejak tadi mendengarkan cerita Ryuu dengan seksama, diam-diam memprojeksikan sapu tangan di saku celananya. Dengan gerakan lembut, ia menyerahkan sapu tangan itu pada Ryuu. "Gunakan ini," katanya dengan nada penuh perhatian.
Ryuu menerima sapu tangan itu tanpa banyak bicara, lalu mulai menghapus air mata dan ingusnya yang mengalir di wajahnya. Sapuan halus di pipinya mencerminkan upayanya untuk mengembalikan ketenangan dirinya.
Setelah beberapa saat, Shirou memecah keheningan. "Ryuu, apa Dewi Astraea pernah kembali ke Orario? Apa kau pernah mendengar kabar tentangnya?"
Ryuu menggeleng perlahan, matanya masih terlihat sedikit memerah. "Tidak, aku tak pernah mendengar kabar darinya. Mungkin... mungkin dia tak ingin lagi berhubungan denganku. Mungkin dia sudah menyerah padaku setelah aku membuang keadilan seperti yang dia minta."
Shirou mengerutkan kening. "Itu tidak mungkin," ujarnya, nada suaranya tegas namun tetap lembut. Ia memandang Ryuu dengan serius. "Apa kau pernah berpikir kalau mungkin dia menyuruhmu membuang keadilan bukan karena menyerah padamu, tapi untuk melindungimu?"
Ryuu menatap Shirou dengan kebingungan, alisnya berkerut. "Melindungiku? Apa maksudmu, Shirou?"
Shirou menarik napas panjang sebelum menjelaskan. "Kalau Dewi Astraea memintamu untuk melepaskan idealisme itu, mungkin itu karena dia tahu kau tak akan bertahan jika terus terikat dengan rasa keadilan yang terlalu berat. Dia mungkin ingin kau membalas dendam tanpa beban itu, agar kau bisa bertahan hidup. Itu mungkin caranya memastikan kau tetap hidup."
Ryuu terdiam, matanya melebar sedikit. Kata-kata Shirou menghidupkan percikan harapan kecil di hatinya, tetapi rasa ragu masih menguasai dirinya. "Tapi... kalau begitu, kenapa dia tak pernah kembali ke Orario? Kenapa dia tak pernah mencariku?"
Shirou tersenyum tipis, matanya penuh pengertian. "Mungkin dia punya alasan lain. Mungkin ada urusan yang harus dia selesaikan di luar sana. Atau... mungkin dia memberikan waktu untukmu, agar hatimu yang terluka punya kesempatan untuk sembuh."
Ryuu hanya bisa terdiam. Kata-kata Shirou berputar di kepalanya, membawa harapan dan kebingungan yang bercampur aduk.
Shirou lalu mengangkat kepalanya, matanya menyala dengan ide baru. "Ryuu, bagaimana kalau kita bertaruh?"
Ryuu memiringkan kepala, sedikit bingung. "Taruhan apa?"
Shirou tersenyum, memperlihatkan rencana kecilnya. "Tadi aku jatuh saat latihan, bukan? Kalau aku bisa membuatmu terjatuh dalam latihan berikutnya, maka kita akan keluar dari Orario bersama-sama... untuk mencari Dewi Astraea."
Ryuu terkejut sejenak, lalu senyumnya muncul perlahan. Ia bisa membaca niat tulus Shirou untuk membantunya. "Itu taruhan yang menarik, Shirou. Tapi, kau tahu itu akan sulit, bukan? Aku tidak akan mudah dijatuhkan," katanya sambil mengingat betapa tangguhnya dirinya di medan pertempuran.
Dalam hatinya, Ryuu berpikir, Setelah apa yang dia tunjukkan tadi, mungkin aku perlu waktu lama sebelum Shirou bisa membuatku terjatuh. Atau... mungkin dia punya trik rahasia yang belum dia tunjukkan.
Dengan mata penuh determinasi, Ryuu akhirnya mengangguk. "Baiklah, Shirou. Aku terima taruhanmu."
Shirou berdiri tegap, tangannya menggenggam pedang tumpul yang sebelumnya ia projeksikan. Dengan senyuman percaya diri, ia memandang Ryuu yang masih duduk. "Ryuu," panggilnya, suaranya terdengar mantap. "Bagaimana kalau kita mulai sekarang? Aku sudah siap."
Ryuu mengerutkan kening, terkejut melihat perubahan drastis dalam sikap Shirou. Baru saja ia tampak kelelahan dan seperti ingin menyerah, namun kini auranya benar-benar berbeda. Dengan perlahan, Ryuu bangkit dan mengangkat pedang kayunya. "Menarik," katanya sambil menatap Shirou dengan penuh perhatian. "Kalau begitu, tunjukkan semua trikmu, Shirou."
Sambil mengangkat pedangnya, Shirou memfokuskan pikirannya. Ini saatnya aku menunjukkan sebagian dari kekuatan asliku pada Ryuu. Jika ini bisa menyelamatkan hatinya, maka aku harus melakukannya, pikirnya dengan tekad yang bulat.
Namun, dengan nada bercanda, Shirou berkata, "Kekuatan asliku hanya akan aktif kalau kau berjanji tak banyak bertanya selama kita bertarung."
Ryuu menyeringai mendengar tantangan itu, matanya berbinar penuh semangat. "Baiklah, kalau itu maumu. Aku akan mulai tanpa banyak bicara." Ia melangkah maju dengan posisi menyerang, awalnya menggunakan kekuatan yang setara dengan petualang level 1 untuk mengetes Shirou.
Serangan pertama Ryuu datang dengan cepat, namun Shirou dengan mudah menepisnya. Pedang tumpulnya bergerak seperti sudah mengetahui arah serangan Ryuu sebelumnya.
Ryuu terdiam sesaat, matanya memperhatikan perubahan pada Shirou. Dia berbeda... gerakannya, posturnya. Dia tidak seperti tadi. Ryuu mulai meningkatkan kekuatannya secara bertahap, dari level 1 ke level 2, dan bahkan mendekati level 3. Tetapi setiap kali, Shirou tetap mampu menangkis serangan Ryuu dengan ketenangan yang mencengangkan. Bahkan dalam tekanan serangan bertubi-tubi, Shirou bergerak dengan efisien, seperti tidak ada beban sama sekali.
"Sungguh tak masuk akal..." Ryuu bergumam pelan, setengah tidak percaya. "Shirou, kau baru beberapa bulan di Orario. Bagaimana bisa kau menjadi sekuat ini?"
Shirou tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Ekspresi tenang itu membuat darah Ryuu mendidih. Ia ingin sekali bertanya, ingin tahu kenapa Shirou menyembunyikan kemampuannya selama ini. Tapi, dia teringat dengan perkataan Shirou sebelumnya bahwa kekuatannya hanya akan aktif jika tidak ada pertanyaan. Hal itu justru membuat Ryuu semakin kesal, terlebih melihat cengiran santai di wajah Shirou.
"Shirou..." Ryuu berkata dengan nada dingin, seraya memperkuat cengkeramannya pada pedang kayunya. "Jangan pikir aku akan membiarkanmu bermain-main denganku selamanya."
Ryuu terbakar amarah, pedang kayunya mulai bergerak dengan cepat, menebas dari sisi kiri, kanan, atas, dan bawah. Gerakannya seperti angin yang sulit diprediksi, membentuk pola serangan yang bertubi-tubi. Tetapi Shirou tetap berdiri tenang di tempat, pedang tumpulnya bergerak dengan presisi luar biasa, memblokir setiap serangan Ryuu tanpa terlihat gentar.
Ryuu menggeram kesal. Bagaimana mungkin? Aku mengerahkan seluruh keahlianku, tapi dia bahkan tidak bergerak dari tempatnya. Saat melihat peluang, Ryuu melompat ke belakang Shirou dengan gerakan kilat dan mengarahkan tusukan dari belakang. Namun, tanpa berbalik, Shirou mengayunkan pedangnya ke belakang, memblokir serangan itu dengan sempurna.
Mata Ryuu melebar. Dia membaca gerakanku? Apakah dia bisa melihat masa depan? Tidak... ini lebih dari itu.
Amarah bercampur frustrasi membuat Ryuu menggertakkan giginya. Kalau teknikku tak cukup untuk mengalahkannya, maka aku akan mengandalkan kekuatan mentah. Ryuu memutuskan untuk bertaruh dengan serangan terakhir. Ia membuang semua teknik yang ia miliki, memilih serangan frontal penuh kekuatan yang sepenuhnya mengandalkan status level 4 miliknya.
Ryuu mengambil ancang-ancang, kakinya seperti mengakar di tanah, matanya tajam mengamati Shirou yang tetap berdiri tenang di tempat. "Kali ini, Shirou... kau akan jatuh!" Dengan kecepatan yang sepadan dengan aliasnya, Gale, Ryuu melesat seperti angin, pedang kayunya menusuk lurus ke arah Shirou.
Shirou, yang semua statusnya berada di level SSS sejak level 1, membaca pergerakan Ryuu dengan sempurna. Dengan gerakan ringan namun efektif, Shirou menangkis serangan frontal Ryuu, menciptakan suara benturan keras yang bergema di lapangan. Kekuatan tangkisannya membuat Ryuu kehilangan keseimbangan dan terjungkal ke depan.
Namun, sebelum wajah Ryuu menyentuh tanah, Shirou dengan cepat meraih tubuhnya. Dengan posisi setengah memeluk, Shirou menahan Ryuu agar tidak jatuh lebih jauh.
"Ryuu, hati-hati," Shirou berkata dengan nada lembut namun penuh perhatian. "Kau terlalu memaksakan diri."
Ryuu merasa tubuhnya kaku, ini adalah kali pertama seorang pria berada begitu dekat dengannya. Biasanya, Ryuu menjaga jarak dengan semua orang, kecuali mereka yang sangat dipercayainya seperti Syr dan mendiang Alise. Tapi anehnya, pelukan Shirou tidak terasa mengancam, malah memberi rasa aman. Jantungnya berdebar, dan dia segera memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang mulai naik ke pipinya.
Dengan cepat, Ryuu bangkit berdiri, melepaskan diri dari genggaman Shirou. Ia membersihkan debu dari bajunya dengan gerakan canggung dan berkata, "Aku mengaku kalah."
Shirou hanya tersenyum kecil, memiringkan kepalanya. "Kau sudah melakukannya dengan baik, Ryuu. Kau hanya butuh sedikit lebih banyak latihan."
Ryuu, yang masih menyembunyikan rasa malunya, menggerutu pelan, "Kau membuatku merasa seperti pemula. Kau benar-benar menyebalkan, Shirou." Ryuu hanya mendengus kecil, lalu mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan senyum tipis yang muncul di wajahnya. Dia lebih kuat dari yang kuduga... dan lebih lembut dari yang kukira.
Ryuu menatap Shirou dengan intensitas yang sulit diabaikan. Matanya yang biru langit berkilat penuh rasa ingin tahu dan sedikit tuduhan. "Jadi, Shirou," katanya dengan nada datar tetapi menusuk, "apa kau sudah sekuat ini sejak awal? Bahkan saat aku melihatmu pura-pura lemah waktu kau jatuh didorong oleh petualang mabuk saat baru tiba di Orario?"
Shirou menggaruk belakang kepalanya, menyeringai kecil. "Hehe, bukannya aku pura-pura lemah. Kau tahu kan, Ryuu, kekuatanku hanya muncul kalau kau tak terlalu banyak bertanya."
Ryuu menyipitkan matanya, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia tak akan menerima jawaban mengelak seperti itu lagi. "Shirou," katanya tegas, "kau sudah menggunakan giliranmu tadi untuk menanyakan rahasiaku. Sekarang giliranku. Jadi, katakan yang sebenarnya."
Shirou terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, tetapi ia tahu ia tak bisa terus berbohong pada Ryuu. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah," katanya. "Aku akan jujur. Saat aku pertama kali datang ke Orario, aku memang masih lemah. Aku tidak punya Falna, dan... ya, aku sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan petualang sepertimu."
Ryuu mendengarkan dengan serius, ekspresinya sedikit melunak, tetapi masih ada kecurigaan di matanya. Shirou melanjutkan, "Tapi setelah aku bergabung dengan Loki Familia, semuanya berubah. Aku berkembang pesat... mungkin terlalu cepat. Dan sekarang aku sudah level 4."
Ryuu terbelalak mendengar pengakuan Shirou. "Level 4?!" serunya. "Dalam hitungan bulan? Kau bercanda, kan?"
Shirou mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan Ryuu. "Aku serius. Tapi ini bukan sesuatu yang luar biasa, kan? Maksudku, Bell juga baru saja mencapai level 3 hanya dalam beberapa bulan."
Ryuu mendengus kesal, melipat tangannya di dada. "Bell Cranel naik level 2 setelah melawan Minotaur, dan level 3 setelah War Game melawan Apollo Familia. Semua orang tahu itu karena mereka menyaksikannya. Tapi kau? Kau diam-diam, tanpa suara, dan tiba-tiba sudah level 4. Itu... itu membuatku kesal!"
Shirou tersenyum tipis, merasa sedikit bersalah. "Aku tidak bermaksud menyembunyikannya, Ryuu. Aku hanya... tidak ingin membuat keributan."
Ryuu menggelengkan kepala, lalu menatap Shirou dengan tatapan yang lebih lembut meskipun ada sisa-sisa kekesalan. "Kau memang penuh rahasia, Shirou. Tapi aku mulai mengerti kenapa kau memilih untuk tidak mengungkapkannya. Kau memang... orang yang unik."
Shirou hanya tersenyum simpul. "Unik dalam artian baik, kan?"
Ryuu memutar matanya tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di bibirnya. "Kita lihat saja nanti."
Ryuu lalu menatap Shirou dengan penuh kecurigaan, dahinya berkerut karena masih penasaran. "Shirou, kau bisa membaca masa depan, ya? Bagaimana mungkin semua seranganku tadi bisa kau tepis dengan mudah?"
Shirou terkekeh kecil, berusaha menenangkan kekhawatiran Ryuu. "Aku tidak bisa membaca masa depan," katanya sambil mengangkat bahu, "tetapi..."
Ryuu langsung memotong, mendesak Shirou untuk menjelaskan lebih lanjut. "Tetapi apa? Jangan menggantung jawabanmu seperti itu!"
Shirou menahan senyumnya, menikmati momen kecil ini. "Tetapi," lanjutnya dengan nada tenang, "kau sudah bertanya rahasia besarku tadi, dan sekarang giliran aku untuk bertanya padamu."
Ekspresi Ryuu langsung berubah, matanya sedikit menyipit. "Kau ini sengaja, ya?" katanya, nada kesalnya mulai terdengar jelas. "Baiklah, tanyakan apa saja. Aku akan menjawabnya tanpa mengelak."
Shirou berpura-pura berpikir, meletakkan jari di dagunya seolah mencari pertanyaan yang tepat. "Hmmm..." gumamnya, sengaja memperpanjang ketegangan. Akhirnya dia menatap Ryuu dengan senyum nakal. "Kapan kita mencari Dewi Astraea? Aku kan sudah berhasil menjatuhkanmu tadi."
Wajah Ryuu seketika memerah, dan dia terpana seperti baru saja disiram air dingin. "Eh... itu... tunggu dulu!" katanya tergagap. "Kau curang! Kau menyembunyikan kekuatanmu dariku selama ini!"
Shirou tertawa kecil, menikmati reaksi Ryuu. "Tapi tetap saja, aku menang, kan?" katanya, suaranya penuh dengan nada menggoda.
Ryuu mendesah panjang, jelas merasa terpojok, tetapi tidak bisa menyangkal kebenaran yang diungkapkan Shirou. "Aku... aku ingin mempersiapkan hatiku dulu sebelum bertemu Dewi Astraea," katanya dengan nada lebih lembut, mencoba mengalihkan fokus.
Shirou tersenyum lebih ramah kali ini, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. "Tidak apa-apa, Ryuu. Aku akan sabar menunggumu sampai kau siap. Ini perjalananmu, dan aku hanya akan mendukungmu."
Ryuu menatap Shirou dengan campuran rasa syukur dan rasa malu. "Terima kasih, Shirou," katanya pelan. "Kau selalu membuatku bingung... tetapi entah kenapa, aku merasa bisa percaya padamu."