Ryuu berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Shirou yang menunggu di luar dengan sabar. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian sebelumnya, terutama saat dia menawarkan Shirou untuk mandi lebih dulu, tetapi Shirou dengan santai menolak sambil berkata, "Aku sama sekali tidak berkeringat setelah latihan tadi."
Begitu memasuki kamarnya, Ryuu menutup pintu di belakangnya dan menghela napas. Sambil membuka pakaian dan meletakkannya di tumpukan pakaian kotor, dia menggerutu pelan. "Dasar tukang pamer. Sejak kapan dia jadi seperti itu?" Meski begitu, ada sedikit senyum di wajahnya. Matanya lalu tertuju pada sapu tangan yang Shirou berikan saat dia menangis tadi. Dia mengambilnya perlahan, memandangi kain kecil itu dengan tatapan lembut. "Mungkin dia merasa segan untuk mandi di kamarku. Alasan tidak berkeringat itu mungkin hanya supaya aku tidak merasa sungkan," pikirnya, sebelum meletakkan sapu tangan itu dengan hati-hati di dekat pakaian kotornya.
Ryuu kemudian memasuki kamar mandi. Air hangat mengalir di kulitnya, membersihkan lelah dan emosi yang sempat menguasainya. Namun, pikirannya tetap kembali pada latihan yang baru saja mereka lalui. Dia memutar kembali bagaimana Shirou pada awalnya dengan sempurna berpura-pura menjadi petarung lemah, menampilkan gerakan canggung seperti petualang pemula.
"Dia menipuku mentah-mentah," Ryuu bergumam sambil membasuh wajahnya, tak bisa menahan senyum tipis sekaligus sedikit rasa kesal. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika pertanyaan muncul di benaknya. "Apa yang membuatnya berubah pikiran?"
Ryuu mencoba mencari jawabannya dalam hatinya. Apakah Shirou tersentuh oleh niat tulusnya yang ingin mendukung impian Shirou menjadi pembela keadilan? Ataukah itu karena Shirou ingin membantunya bertemu kembali dengan Dewi Astraea, meskipun itu berarti Shirou harus menunjukkan sebagian kekuatannya yang selama ini dia sembunyikan?
Selesai mandi, Ryuu mengeringkan tubuhnya dan mulai mengenakan seragam hijau khas pelayan Hostess of Fertility. Saat berdiri di depan cermin, dia melihat pantulan dirinya yang rapi dan bersih. Di balik keheningan kamar, keyakinan tumbuh dalam dirinya. "Apa pun alasan Shirou, aku tahu semua yang dia lakukan selalu berasal dari niat baiknya. Itu sudah menjadi sifat alaminya."
Dengan pikiran yang lebih tenang, Ryuu tersenyum kecil ke arah pantulan dirinya. "Aku akan terus mendukungnya, sama seperti dia yang selalu mendukungku," gumamnya, sebelum melangkah keluar untuk kembali menemui Shirou yang masih menunggunya di luar.
Shirou duduk bersandar di bawah pohon besar, matanya terpejam seolah sedang menikmati hembusan angin yang lembut. Wajahnya begitu tenang, tanpa sedikit pun tanda kelelahan meskipun mereka baru saja selesai berlatih.
Ryuu berdiri tak jauh darinya, mengamati sosok itu dengan senyuman tipis di wajahnya. "Tak seorang pun akan menyangka bahwa di balik wajah setenang ini tersembunyi kekuatan luar biasa," pikirnya dalam hati.
Pandangan Ryuu beralih ke rambut merah Shirou yang berkilau diterpa sinar matahari siang. Kenangan akan Alise tiba-tiba menyeruak di benaknya. Rambut Alise juga berwarna merah, meskipun lebih gelap dibandingkan Shirou.
Ryuu memejamkan matanya sebentar, membandingkan keduanya dalam pikirannya. Ada kesamaan, tetapi juga perbedaan yang jelas di antara mereka. Bagi Ryuu, Alise adalah seperti matahari yang bersinar terang. Dengan senyum dan kata-kata optimisnya, Alise selalu membawa semangat, menyalakan api keadilan, dan mampu membuat orang lain ikut tersenyum serta bangkit bersamanya.
Namun, Shirou adalah kebalikannya. Jika Alise adalah matahari yang membakar dengan gairahnya, maka Shirou adalah bulan purnama yang tenang dan damai. Shirou tidak mencari perhatian, tetapi kehadirannya membuat orang lain merasa nyaman. Dia adalah sosok yang diam-diam membantu tanpa diminta, rendah hati, dan selalu menghindari pujian atas jasanya.
Ryuu tersenyum sendiri, matanya kembali tertuju pada Shirou. "Dua sinar yang berbeda, tetapi keduanya mampu membuatku kagum. Alise adalah matahari yang memanduku di masa lalu, sementara Shirou... dia seperti bulan purnama yang menerangi jalanku di kegelapan."
Dengan pikiran yang penuh dengan rasa syukur dan kekaguman, Ryuu perlahan melangkah mendekat, menyadari betapa besar dampak yang Shirou miliki dalam hidupnya. Shirou, tanpa menyadarinya, telah menjadi bagian penting dari proses penyembuhan luka-luka lama Ryuu.
Ryuu melangkah mendekati Shirou yang masih bersandar di bawah pohon dengan mata terpejam. Dalam hatinya, ia membayangkan sesuatu yang hampir mustahil—bagaimana jadinya jika Alise dan Shirou bisa bertemu? "Dua kepribadian yang berbeda, tetapi mungkin mereka akan saling melengkapi," pikirnya sambil tersenyum kecil. Namun, bayangan itu tiba-tiba melenceng. Ia malah membayangkan keduanya bersekongkol menjahilinya.
Ingatan tentang Alise kembali muncul di benaknya. Alise yang penuh optimisme sering kali membuat anggota Familia-nya kewalahan. Kebiasaannya yang suka memuji diri sendiri dengan kalimat seperti, "Aku ini cantik, cute, dan mempesona, bukan?" sambil membusungkan dada, terkadang membuat mereka kesal tetapi juga tak bisa menahan senyum. "Shirou tak seperti itu, tetapi dia punya caranya sendiri untuk membuatku jengkel," pikir Ryuu sambil melipat tangan di depan dadanya.
Ryuu mengingat betapa Shirou menyembunyikan kekuatannya selama ini, membuatnya terlihat seperti petualang pemula yang membutuhkan pelatihan. "Aku benar-benar terlihat konyol tadi," gumamnya. Shirou bahkan sempat menggantung penjelasannya, meninggalkan rasa penasaran yang belum terjawab.
Sebuah ide jahil terlintas di benak Ryuu. Dengan senyum kecil, ia mengambil botol air yang masih memiliki sisa dan menuangkan sedikit ke telapak tangannya. Tanpa peringatan, ia memercikkan air itu ke wajah Shirou yang sedang tenang.
Shirou langsung membuka matanya dengan terkejut, tetapi seperti biasa, ia tak menunjukkan kemarahan. Sebaliknya, ia hanya mengerjap beberapa kali sebelum berkata, "Ryuu... apa-apaan ini?"
Ryuu menyeringai kecil dan berkata dengan nada puas, "Anggap saja ini balasan untuk semua hal yang membuatku kesal."
Melihat Ryuu sudah mengenakan seragam hijaunya yang rapi, Shirou menyadari sesuatu. "Apa kamu sudah siap untuk bekerja lagi?" tanyanya sambil menyingkirkan sisa air dari wajahnya.
Ryuu mengangguk pelan. "Ya, waktunya kembali ke Hostess of Fertility. Bagaimana denganmu? Mau ikut membantu atau masih ingin bersantai di sini?"
Shirou tersenyum tipis sambil bangkit berdiri. "Kalau kamu mengundangku, mana mungkin aku menolak?"
Ryuu sedikit tertawa mendengar jawabannya. "Baiklah, ayo kita pergi sebelum Mama Mia mencari kita dengan suara menggemanya."
Keduanya lalu berjalan berdampingan, meninggalkan lapangan kecil itu menuju Hostess of Fertility, dengan suasana hati yang lebih ringan daripada sebelumnya.
Di tengah perjalanan menuju Hostess of Fertility, Ryuu melirik Shirou dengan sudut matanya, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang menyusun strategi. Setelah beberapa langkah dalam keheningan, ia membuka suara, "Sekarang giliranku untuk bertanya rahasiamu, Shirou. Dan kali ini, jangan menggantung jawabannya seperti tadi."
Shirou yang berjalan santai di sampingnya, hanya menoleh sedikit sambil tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku juga ingin jawaban pasti. Kapan kita pergi menemui Dewi Astraea?" tanyanya, dengan nada setengah menggoda.
Ryuu terdiam sejenak, jelas terlihat bahwa ia belum punya jawaban pasti. Tetapi ide licik terlintas di pikirannya. Mengingat cara Syr sering mendapatkan apa yang diinginkannya dari Shirou dengan nada memelas, Ryuu memutuskan untuk mencoba trik itu.
Ia merapatkan kedua tangannya di depan dada, memasang ekspresi wajah yang terlihat sangat meminta pengertian, dan berkata dengan suara lembut, "Aku hanya membutuhkan sedikit waktu untuk mempersiapkan hati sebelum bertemu Dewi Astraea. Tolong, Shirou. Beri aku waktu."
Seperti yang ia duga, Shirou hanya bisa menghela napas sambil tersenyum kecil. "Baiklah," jawabnya dengan nada pasrah. "Kalau itu yang kamu inginkan, aku akan menunggu. Sekarang giliranmu bertanya."
Ryuu menyembunyikan senyumnya. Dalam hati, ia menyadari betapa mudahnya meminta sesuatu dari Shirou, dan kini ia paham mengapa Syr sering memanfaatkan kelembutan hati Shirou. Namun, ia tak ingin membuang kesempatan ini untuk mengetahui lebih dalam tentang pria berambut merah itu.
Ryuu berpikir sejenak, menimbang-nimbang pertanyaan yang tepat. Ia sadar, menanyakan tentang skill Shirou mungkin akan terlalu sensitif karena kebanyakan petualang menganggap informasi skill sebagai sesuatu yang pribadi. Akhirnya, ia memutuskan pertanyaan lain. "Baiklah, Shirou," katanya dengan nada serius. "Ceritakan padaku tentang Feat yang kamu lakukan untuk naik level hingga mencapai level 4. Aku penasaran."
Mendengar itu, Shirou melirik ke depan, melihat bahwa mereka sudah hampir sampai di Hostess of Fertility. "Ceritanya agak panjang," ujarnya sambil mengusap belakang lehernya. "Mungkin lain kali saja kita bahas."
Ryuu tidak terima alasan itu. "Tidak apa-apa jika singkat saja," desaknya. "Aku tidak akan keberatan."
Shirou tertawa pelan, menyadari bahwa Ryuu tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Dengan nada yang sedikit bercanda, ia berkata, "Sepertinya aku benar-benar terpojok di sini. Baiklah, kalau begitu, aku akan mencoba meringkasnya nanti setelah kita selesai bekerja di Hostess of Fertility. Bagaimana?"
Ryuu berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku tunggu ceritamu setelah ini," katanya sambil tersenyum kecil, puas karena berhasil membuat Shirou berjanji.
Ketika Ryuu dan Shirou memasuki Hostess of Fertility, suasana restoran masih cukup sepi. Siang itu pelanggan belum banyak yang datang. Syr yang sedang berdiri di dekat meja kasir menyambut mereka dengan senyum lembut. "Selamat datang," katanya dengan suara ramah, lalu matanya tertuju pada Shirou. "Shirou, kau mau langsung ke lantai atas untuk berganti seragam?"
Shirou mengangguk sopan. "Iya, permisi sebentar," jawabnya sebelum berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
Syr menatap Ryuu dengan tatapan penasaran setelah Shirou menghilang di atas. "Ryuu," panggilnya, suaranya sedikit menggoda. "Kau datang bersama Shirou? Ada apa?"
Ryuu sempat ragu menjawab, tetapi akhirnya memutuskan untuk jujur. "Aku melatih Shirou tadi pagi," katanya singkat, mencoba menghindari detail lebih lanjut.
Syr mengangguk pelan, ekspresinya berubah seolah-olah sedang menyusun kesimpulan di pikirannya. "Latihannya sudah selesai, ya? Bagaimana hasilnya? Shirou... apa dia belajar banyak darimu?" tanya Syr, berharap mendengar kabar baik.
Ryuu mendengus pelan, melipat tangannya di depan dada. "Belajar banyak? Sama sekali tidak. Dia tidak butuh diajari," katanya dengan nada yang bercampur kesal dan pasrah.
Syr mengerutkan kening, tidak memahami maksud Ryuu sepenuhnya. Namun, di dalam hatinya, ia mulai merasa kasihan pada Shirou. "Kasihan sekali," pikirnya. "Dia tidak berbakat sihir, tidak bisa mempelajari apapun dari Grimoire, dan sekarang fisiknya pun..." Syr menghela napas pelan, berusaha menyembunyikan rasa simpati itu dari wajahnya.
Saat Syr masih tenggelam dalam pikirannya, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Shirou muncul dari lantai atas dengan mengenakan seragam hijaunya, wajahnya berseri-seri seolah siap untuk bekerja. Namun, ia segera disambut dengan tatapan yang kontras dari kedua gadis itu.
Ryuu menatapnya dengan ekspresi setengah kesal, mengingat tingkah Shirou tadi yang membuatnya merasa terkecoh. Di sisi lain, Syr justru menatap Shirou dengan mata penuh kasihan, seolah merasa simpati atas kesulitan yang Shirou alami.
Shirou berhenti sejenak, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. "Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanyanya, bingung dengan reaksi mereka.
Ryuu hanya mendengus pelan dengan tangan terlipat di depan dada. "Tidak apa-apa. Ayo mulai bekerja," katanya, berjalan melewatinya menuju dapur untuk mulai bersih-bersih.
Syr, dengan senyum lembut yang sedikit dipaksakan, menepuk bahu Shirou. "Semangat, Shirou. Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk memanggilku."
Shirou menatap mereka berdua dengan curiga, tetapi akhirnya memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. "Baiklah," katanya sambil menghela napas kecil, lalu mengikuti Ryuu ke dapur untuk memulai pekerjaannya.
Shirou sibuk di dapur seperti biasa, memotong bahan makanan dengan cekatan di bawah pengawasan Mama Mia. Namun, hari ini terasa sedikit berbeda. Syr, yang kini semakin mahir dalam memasak berkat ajaran Shirou, ikut bergabung membantunya di dapur. Tapi ada sesuatu yang aneh—Syr terlihat lebih perhatian dari biasanya, bahkan seperti memanjakan Shirou.
"Shirou, kamu mau teh? Aku bisa buatkan," tanya Syr tiba-tiba, suaranya lembut.
Shirou mengerutkan kening, agak bingung dengan perlakuan Syr. "Oh, tidak perlu repot, Syr. Aku baik-baik saja," jawabnya sambil tersenyum kecil.
Syr mengabaikan penolakan itu dan tetap menyiapkan teh untuk Shirou. Ketika ia menyerahkan cangkirnya, Syr tersenyum manis. "Kalau butuh istirahat, jangan sungkan bilang padaku," katanya.
Sementara itu, di ruang makan, Ryuu tampak melamun. Tatapan matanya sesekali mengarah ke dapur, memerhatikan Shirou dari jauh. "Cerita apa lagi yang dia sembunyikan dariku?" pikir Ryuu sambil tanpa sadar mengabaikan pelanggan yang mencoba memesan.
"Hei, Nona Elf, pesanan kami kapan datangnya?" protes salah satu pelanggan, membuyarkan lamunan Ryuu.
Ryuu segera tersadar, wajahnya memerah sedikit karena malu. "Ah, maaf. Akan segera kami buatkan," katanya dengan nada dingin sambil kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya tetap mengambang, mencoba memahami Shirou dan rahasia yang ia simpan.
Hari terus berlalu, hingga akhirnya malam tiba. Restoran mulai sepi dari pelanggan. Mama Mia menghela napas puas sambil memandang ruang makan yang kini hampir kosong. Tapi ada satu pengecualian. Loki, dewi dari Familia-nya Shirou, duduk di pojok ruangan dengan wajah berseri-seri sambil menikmati arak buah spesial dari Hostess of Fertility.
"Aduh, arak ini memang terbaik! Tambah lagi, Mama Mia!" seru Loki sambil tertawa.
Mama Mia mulai marah dan memperingatkan Loki. "Sudah cukup, Loki. Kami mau tutup."
Loki melambai santai. "Yah, satu gelas lagi, bagaimana? Ini permintaan seorang dewi, lho!"
Mama Mia tak mau berdebat lebih lama. Ia berbalik ke arah dapur dan memanggil Shirou. "Hei, Shirou! Bawa pergi dewi gila itu dan bawa dia pulang ke markas kalian. Aku tidak mau dia tidur di sini!"
Shirou, yang sedang mencuci piring terakhir, menoleh dengan wajah agak lelah tetapi tetap patuh. "Baik, Mama Mia."
Syr dan Ryuu melihat Shirou dengan ekspresi berbeda. Syr tampak khawatir, sementara Ryuu hanya tersenyum kecil, merasa sedikit senang bisa melihat Shirou kerepotan dengan Loki.
Shirou keluar dari dapur, mendekati Loki yang tampak sudah sedikit mabuk tetapi masih bisa berdiri. "Loki, ayo pulang. Sudah malam, dan kita tidak bisa mengganggu mereka lebih lama."
Loki menatap Shirou sambil menyeringai. "Oh, Shirou! Kau memang pelayan terbaikku! Baiklah, antar aku pulang."
Dengan penuh kesabaran, Shirou membantu Loki berdiri dan memapahnya keluar dari restoran. Sementara itu, Syr dan Ryuu mengawasi mereka dari dalam.
"Dia benar-benar sabar, ya," komentar Syr sambil tersenyum kecil.
Ryuu hanya mengangguk pelan. "Itu salah satu hal yang membuatnya berbeda," gumamnya, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Tetapi dia merasa melupakan sesuatu.
Ryuu tiba-tiba teringat janji Shirou bahwa dia akan menceritakan bagaimana dia bisa level up, dan dengan kesal segera bergegas menyusul mereka.
Di saat Shirou dengan sabar memapah Loki yang mabuk keluar dari Hostess of Fertility, langkahnya tiba-tiba dihentikan oleh suara langkah cepat di belakangnya. Ryuu, dengan ekspresi kesal, berdiri di sebelah kirinya.
"Shirou!" Ryuu panggilnya. "Jangan kira kau bisa kabur dari janji ceritamu tadi."
Shirou menoleh sekilas, masih memapah Loki yang setengah terhuyung di sebelah kanannya. Wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kepasrahan. "Bukan kabur, Ryuu. Situasinya tidak memungkinkan."
Loki, dengan kondisi mabuk berat, melirik Ryuu dengan pandangan kabur dan bergumam, "Hei, Elf cantik. Aku lupa bayar, ya? Kenapa mengejar kami?"
Ryuu mendesah, mengabaikan pertanyaan tak relevan dari Loki. Ia malah mendekat ke Shirou dan berbisik, "Ceritakan saja dengan singkat. Setidaknya Feat yang kau lakukan untuk naik ke level 2."
Shirou menoleh sedikit, lalu menjawab pelan di antara gumaman Loki. "Itu lebih rumit daripada yang kau kira, Ryuu. Bisa jadi masalah."
Ryuu memicingkan matanya curiga. "Masalah apa maksudmu?" desaknya dengan nada rendah, tidak ingin terdengar oleh Loki.
Loki, yang merasa diabaikan oleh kedua orang di sebelahnya, mendadak melontarkan tuduhan yang tak terduga. "Shirou... dasar playboy! Kau menggoda semua perempuan di Familia-ku, ya? Aiz, Riveria, Lefiya... siapa lagi? Bahkan Finn mungkin terpesona padamu!"
Shirou mendesah panjang, matanya menatap lurus ke depan. "Abaikan omong kosong ini," katanya kepada Ryuu tanpa emosi.
Namun, Ryuu tidak begitu saja melepaskan topik itu. Meski awalnya sedikit curiga apakah ada benarnya kata-kata Loki, ia memutuskan untuk kembali ke pokok pembicaraan. "Sudahlah. Jangan alihkan pembicaraan. Cepat ceritakan Feat yang membuatmu naik level," desaknya lagi, kali ini lebih tegas.
Melihat tidak ada cara untuk menghindar, Shirou akhirnya menyerah. Dengan nada suara rendah, ia berkata, "Baiklah... Aku bukan hanya naik ke level 2 waktu itu, Ryuu. Tapi juga langsung ke level 3."
Mata Ryuu membelalak. "Apa? Tidak mungkin! Tidak ada petualang dalam sejarah yang naik dua level sekaligus! Itu mustahil!"
Namun, sebelum Shirou sempat menjelaskan lebih jauh, Loki tiba-tiba muntah. Shirou dengan sigap membungkuk untuk menahan tubuh Loki agar tidak jatuh, satu tangannya memegang bahu dewinya, sementara tangan lainnya meraih tisu untuk membersihkan noda muntahan.
"Maaf, Ryuu," kata Shirou dengan nada serius sambil membantu Loki untuk sedikit tenang. "Kita lanjutkan cerita ini lain kali."
Ryuu menatap Shirou dengan perasaan campur aduk. Ia tahu kondisi saat ini memang tidak tepat untuk mendesak jawaban, tetapi di dalam hati, rasa penasarannya semakin besar. "Baiklah," gumamnya akhirnya sambil mengalah. Namun, pikirannya terus bergulat dengan kata-kata Shirou. Naik dua level sekaligus? Bagaimana mungkin?
Saat melihat Shirou membawa Loki pergi, Ryuu menghela napas panjang. "Aku tahu ini akan membuatku sulit tidur malam ini," bisiknya dalam hati, sambil berbalik untuk kembali ke asrama.
Setelah berjalan cukup lama dengan memapah Loki yang mabuk berat, Shirou akhirnya tiba di Twilight Manor. Di ruang tamu yang besar dan nyaman, Riveria terlihat duduk dengan elegan, membaca sebuah buku sambil menikmati teh hangat. Mendengar pintu terbuka, Riveria mendongak dan tersenyum tipis.
"Terima kasih sudah membawa Loki pulang, Shirou," ucapnya dengan nada lembut.
Shirou tersenyum kecil, menyesuaikan posisi Loki di bahunya. "Tidak masalah. Rasanya ini bukan pertama kali saya melakukan ini."
Riveria mengangguk paham dan berdiri. "Ayo, kita bawa dia ke kamarnya. Dia pasti tidak akan ingat apa-apa besok pagi."
Mereka berdua kemudian memapah Loki ke lantai atas menuju kamar pribadinya. Loki, yang masih dalam kondisi setengah sadar, bergumam hal-hal yang tak jelas, membuat Shirou menghela napas. Saat mereka berhasil membaringkan dewi mereka di tempat tidurnya, Riveria berbalik dan melepaskan helaan napas panjang.
"Sungguh kebiasaan yang buruk," keluhnya sambil berkacak pinggang. "Setelah rapat dengan Hermes dan Dionysus di restoran tadi, Loki langsung pindah dari satu restoran ke restoran lain untuk menikmati arak. Aku heran bagaimana dia masih bisa berjalan sebelum akhirnya kau temukan."
Shirou menaikkan alisnya, tertarik dengan apa yang Riveria katakan. "Rapat? Membahas apa memangnya?"
Riveria melirik Shirou sebentar sebelum menjawab. "Hermes membawa kabar yang cukup penting. Dia mengatakan kemungkinan ada jalan masuk lain menuju Dungeon di Daedalus Street. Loki Familia diminta bersiap untuk menyelidiki hal ini besok pagi."
Shirou mengangguk, mencerna informasi tersebut. "Kalau begitu, sepertinya latihan Magecraft kita harus ditunda lagi," katanya dengan nada menyesal.
Riveria, yang sudah menduga ini akan terjadi, hanya menghela napas panjang. "Padahal aku benar-benar penasaran soal Bounded Field yang kau janjikan untuk diajarkan. Tapi, aku paham, tugas Familia lebih penting. Kita bisa melanjutkannya nanti setelah investigasi selesai."
Shirou tersenyum kecil, merasa bersalah telah menunda janji tersebut lagi. "Maaf soal itu. Tapi setelah investigasi selesai, aku janji kita akan melanjutkan latihan seperti biasa."
Riveria mengangguk, kali ini dengan senyum kecil menghiasi wajahnya. "Baiklah. Aku akan menagih janjimu nanti, Shirou."
Mereka meninggalkan kamar Loki yang kini tenang, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan dewinya. Shirou memutuskan untuk kembali ke kamarnya, sementara Riveria kembali ke ruang tamu untuk menyelesaikan bukunya. Dalam hati, keduanya sudah mempersiapkan diri untuk tantangan yang akan mereka hadapi besok.