Chereads / Fate x Danmachi: The Sword Prince / Chapter 71 - Chapter 71

Chapter 71 - Chapter 71

Ekspedisi Loki Familia di Daedalus Street dimulai dengan penuh perencanaan matang. Untuk memastikan mereka dapat menjelajahi daerah itu secara efisien, mereka dibagi menjadi beberapa kelompok. Shirou ditempatkan di kelompok yang dipimpin oleh Finn, dengan anggota lainnya termasuk Bete, Raul, dan beberapa petualang berpengalaman lainnya. Tugas mereka adalah menjelajahi jaringan gorong-gorong bawah tanah yang kabarnya memiliki jalur rahasia menuju Dungeon.

Di sisi lain, kelompok lain yang dipimpin langsung oleh Loki beranggotakan Aiz, Lefiya, Tiona, Tione, dan sejumlah petualang lain, bertugas untuk menyusuri permukaan Daedalus Street, mencari petunjuk yang mungkin mengungkap keberadaan jalur bawah tanah tersebut.

Ketika Shirou dan kelompoknya mendekati lokasi, pemandangan Daedalus Street benar-benar berbeda dari distrik-distrik lainnya di Orario. Jalan-jalan yang sempit, berliku, dan terlihat seperti labirin menciptakan suasana yang membingungkan. Bangunan-bangunan tua menjulang di kedua sisi jalan dengan arsitektur yang rumit namun tidak beraturan. Beberapa pintu masuk kecil dan tertutup rapat tersebar di sepanjang jalan, seperti menyimpan rahasia di baliknya.

Lantai jalanan terbuat dari batu kasar yang usang, dipenuhi lumut dan retakan, menunjukkan betapa tua dan terabaikannya tempat ini. Udara di sini terasa lembap, bercampur dengan aroma tidak sedap yang berasal dari gorong-gorong di bawahnya. Beberapa warga yang tinggal di sini melirik kelompok Loki Familia dengan tatapan penuh curiga, sementara yang lain cepat-cepat masuk ke dalam rumah mereka, menutup pintu dengan tergesa-gesa.

"Sejujurnya, tempat ini terlihat lebih buruk dari yang kubayangkan," ujar Bete dengan nada mencemooh, tangannya bersedekap sambil memandang jalanan yang berantakan.

"Daedalus Street memang seperti ini," jawab Finn sambil menatap ke depan dengan tatapan tajam. "Tempat ini dibangun oleh seorang arsitek jenius yang memiliki obsesi aneh dengan labirin. Jadi tidak heran kalau segala sesuatunya tampak kacau."

Raul yang berdiri di dekat Shirou, menggaruk kepalanya dengan gugup. "Aku sudah pernah mendengar cerita tentang tempat ini, tapi baru kali ini aku melihatnya langsung. Rasanya seperti bisa tersesat kapan saja kalau tidak hati-hati."

Shirou mengangguk pelan, matanya meneliti setiap sudut jalan. "Arsitek ini sepertinya ingin menciptakan tempat yang membuat semua orang merasa terjebak, baik di permukaan maupun di bawah tanah," gumamnya sambil mencoba memahami pola jalan yang rumit.

Finn memanggil perhatian mereka semua. "Baiklah, kita tidak punya waktu untuk terkesima. Fokus pada tugas masing-masing. Jangan sampai kehilangan arah, dan tetap berkomunikasi. Shirou, bersiaplah. Kita masuk ke gorong-gorong."

Shirou mengikuti Finn dan anggota kelompoknya menuju salah satu pintu besi kecil di sudut jalan yang tampak seperti pintu biasa. Saat pintu itu dibuka, aroma lembap dan menyengat dari bawah tanah langsung menyeruak, memaksa beberapa dari mereka menutup hidung.

"Wow, baunya seperti minotaur yang tidak pernah mandi," keluh Bete dengan nada sinis.

Shirou tersenyum kecil sambil berusaha menahan napas. "Setidaknya kita tahu ini bukan tempat yang sering dikunjungi orang."

Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menuruni tangga menuju jaringan bawah tanah, meninggalkan kebisingan jalanan Daedalus Street di belakang mereka.

Sementara itu, Loki memimpin kelompok penjelajahan di permukaan Daedalus Street dengan langkah santai namun penuh kewaspadaan. Anggota Loki Familia di belakangnya, termasuk Aiz, Tiona, dan Tione, memperhatikan setiap sudut jalan yang sempit dan rumit dengan seksama. Suasana menjadi semakin aneh saat tiba-tiba terdengar suara langkah kaki terseret, diikuti oleh aroma alkohol yang menyengat.

"Oh, ini dia!" Sebuah suara parau terdengar dari arah salah satu gang kecil, dan seorang nenek tua dengan jubah lusuh dan botol arak di tangan muncul dari kegelapan. Wajahnya penuh keriput, rambutnya acak-acakan, namun ada senyuman ceria di wajahnya yang membuatnya tampak sedikit menakutkan.

Tanpa ragu, nenek tua itu langsung mendekat ke arah Loki dan dengan cepat melompat ke arahnya. "Looookiii~! Kau dewi yang kaya dan cantik, pasti punya sesuatu untukku, bukan?"

"Eh?!" Loki terkejut dan berusaha menghindar, tapi si nenek sudah lebih dulu memeluknya erat-erat. "Penia! Lepaskan aku, bau arakmu membuatku pusing!"

Melihat adegan itu, anggota Loki Familia hanya bisa memandang dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan geli. "Siapa itu?" tanya Tiona sambil memiringkan kepala.

Loki menghela napas panjang sambil mencoba melepaskan diri dari pelukan nenek tua tersebut. "Dia adalah Penia, dewi kemiskinan. Dan ya, seperti namanya, dia benar-benar miskin, bahkan sering mengemis pada pengikutnya atau dewi lain."

"Eh? Ada dewi seperti itu?" tanya Aiz dengan nada bingung, sementara Tiona menutup mulutnya, berusaha menahan tawa.

Penia akhirnya melepaskan Loki setelah diberi sekeping koin emas olehnya. "Kau memang baik hati, Loki. Tak heran kau punya banyak pengikut setia," kata Penia dengan nada mabuk, sebelum meneguk araknya lagi.

Loki mendengus. "Jangan terlalu berharap. Itu hanya untuk menghentikanmu menempel padaku. Sekarang, aku butuh informasi darimu."

Penia mengangkat alisnya sambil menyandarkan dirinya ke dinding. "Informasi? Kau tahu aku bukan dewi yang suka ikut campur urusan orang lain."

Loki mengeluarkan perkamen dari sakunya dan memperlihatkan gambar karikatur seorang lelaki. "Lihat ini. Apa kau pernah bertemu pria ini di sekitar Daedalus Street?"

Penia memicingkan matanya, mencoba fokus pada gambar tersebut. Setelah beberapa detik, dia menggelengkan kepala. "Tidak pernah. Meski aku sudah tinggal di sini cukup lama, aku tidak mengenal pria ini. Tapi meski aku tahu pun, aku tidak akan ikut campur dalam masalah seperti ini. Urusanku sendiri sudah cukup rumit."

Loki mendesah panjang. "Tentu saja, kau selalu begitu. Baiklah, pergi sana sebelum kau mulai mengemis lagi."

Penia tertawa kecil, melambaikan tangan ke arah mereka sambil berjalan kembali ke gang. "Semoga pencarianmu berhasil, Loki! Dan ingatlah, kalau kau punya lebih banyak koin, aku akan selalu ada di sini!"

Setelah Penia pergi, Tiona menyeringai. "Jadi itu dewi kemiskinan? Benar-benar cocok dengan namanya."

Tione mengangguk. "Aku tidak percaya ada dewi seperti itu di Orario."

Loki memasukkan kembali perkamen ke sakunya. "Percayalah, di dunia para dewa, ada yang lebih aneh dari itu."

Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan Daedalus Street, meski kejadian barusan masih menyisakan rasa geli di hati para anggota Loki Familia.

Daedalus Street adalah labirin jalanan yang tak beraturan, dengan cabang-cabang sempit yang menyebar tanpa arah. Setiap lorong tampak seperti salinan dari yang lain, menciptakan ilusi yang dapat dengan mudah membuat siapapun tersesat. Dengan pemandangan seperti ini, Loki memutuskan untuk membagi para anggotanya menjadi beberapa kelompok agar eksplorasi lebih efektif.

"Baik, dengar semuanya!" Loki berdiri di tengah kerumunan anggota Familia yang siap menjalankan tugas mereka. "Kita akan berpencar menjadi tiga kelompok. Kalian tahu tempat ini adalah labirin di atas tanah, dan jika kita tidak cermat, kita akan kehilangan jejak satu sama lain. Jadi, tetap gunakan komunikasi lewat lonceng kalau ada sesuatu yang mencurigakan, ya!"

Loki mengarahkan pandangannya pada Riveria dan kelompok Fairy Force, skuad penyihir yang ia percayai sepenuhnya. "Riveria, kau dan anak-anak Fairy Force ikut denganku. Kita akan menjelajahi bagian utama di sebelah timur. Ingat, kalau menemukan sesuatu yang aneh, jangan gegabah!"

Riveria mengangguk anggun, diikuti oleh anggota Fairy Force lainnya, seperti Alicia, Sylvie, dan Melina. Meskipun mereka penyihir, mereka semua siap menghadapi ancaman yang mungkin muncul.

Setelah itu, Loki beralih ke kelompok kedua, yang terdiri dari Aiz, Tiona, Tione, Linne, dan Aki. "Kalian bertanggung jawab atas bagian selatan. Aiz, aku percayakan kepemimpinan kelompok ini padamu. Jangan sampai ada yang ceroboh."

"Dimengerti," jawab Aiz singkat, diikuti oleh anggukan dari yang lain. Tiona menambahkan dengan nada ceria, "Sepertinya ini akan seru! Aku ingin bertemu sesuatu yang besar untuk dipukul-pukul!"

Tione hanya mendesah sambil melirik saudarinya. "Jangan terlalu antusias. Fokus saja pada tugasnya."

Loki akhirnya melihat ke kelompok terakhir, para anggota second string yang seluruhnya berlevel 3. "Kalian akan bertugas di area utara. Jangan memaksakan diri kalau bertemu sesuatu yang mencurigakan. Segera beri tahu kelompok lain lewat lonceng, ya?"

Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Stark, tampak gugup tapi mengangguk tegas. "Baik, kami mengerti, Lady Loki."

"Bagus. Kalau begitu, kita semua berpencar sekarang," kata Loki sambil bertepuk tangan untuk memberi aba-aba.

Ketiga kelompok itu mulai bergerak menuju arah yang telah ditentukan, menyebar ke berbagai cabang jalanan yang membingungkan di Daedalus Street. Loki dan Riveria memimpin kelompok mereka dengan penuh percaya diri, sementara Aiz dan kelompoknya juga bergerak dengan kecepatan tinggi ke arah yang ditugaskan. Di sisi lain, kelompok second string tampak lebih berhati-hati, memastikan mereka tidak terjebak dalam perangkap atau menghadapi bahaya di luar kemampuan mereka.

Sementara itu, lokasinya semakin sunyi, seolah menyembunyikan sesuatu yang besar di kedalamannya.

Kelompok Aiz, yang terdiri dari Lefiya, Tiona, Tione, Linne, dan Aki, terus menjelajahi jalan-jalan sempit dan berliku di Daedalus Street. Semakin dalam mereka masuk, semakin mereka menyadari betapa rumitnya tempat ini.

"Ini benar-benar seperti Dungeon," ujar Tiona sambil melihat sekeliling dengan penuh rasa penasaran. "Bahkan mungkin lebih parah. Setidaknya di Dungeon, kita punya peta!"

"Benar," sahut Lefiya sambil menatap tanda Ariadne guide, sebuah sistem petunjuk jalan yang dibuat untuk memandu orang agar tidak tersesat. "Tapi di sini, peta tidak ada gunanya kalau kita tidak bisa memahami pola jalannya."

Di tengah perdebatan kecil mereka, Tione tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menyeringai.

"Aku punya ide," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.

"Ide apa, Tione?" tanya Lefiya dengan penasaran. Semua anggota kelompok kini memusatkan perhatian pada Tione.

Tione menjelaskan teorinya dengan nada yakin. "Kalau aku adalah anggota Evilus dan sedang bersembunyi di tempat seperti ini, aku pasti akan menjauhi tanda Ariadne guide. Mereka tahu tanda itu digunakan untuk memandu orang biasa. Jadi, kalau kita ingin menemukan markas mereka, kita harus mengambil jalur yang berlawanan dengan tanda itu."

Semua orang terdiam sejenak, merenungkan logika Tione. "Itu masuk akal," ujar Aki, mengangguk setuju.

Tiona melompat kecil dengan semangat. "Aku suka idemu, Tione! Mari kita coba!"

"Kalau semua setuju, kita ikuti saja rencana ini," ujar Aiz dengan suara tenang, meskipun dia sedikit ragu di dalam hati. "Tapi tetap waspada. Jangan lengah."

Kelompok itu kemudian mengambil jalur yang berlawanan dengan tanda Ariadne guide, berharap akan menemukan sesuatu yang mencurigakan. Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin kompleks jalannya. Cabang-cabang yang terlihat serupa muncul di setiap sudut, dan tak satu pun dari mereka menemukan petunjuk yang mengarah ke Evilus.

"Kita... tersesat," ujar Lefiya dengan suara kecil, sambil memandang sekeliling dengan cemas. "Kita sudah mencoba beberapa jalur, tapi tidak ada apa-apa di sini."

"Kurasa ini ide yang buruk," gumam Aki, melirik Tione.

Tione mendesah dan menggaruk belakang kepalanya. "Yah, aku tidak bilang idenya sempurna. Tapi setidaknya kita tahu bahwa mereka tidak di area ini."

"Kau hanya menghibur dirimu sendiri," canda Tiona dengan nada menggoda.

Aiz, yang diam selama beberapa saat, akhirnya berkata, "Kita kembali ke tanda Ariadne guide. Kita harus melaporkan ke kelompok lain tentang area ini. Tidak ada gunanya buang waktu lebih lama di sini."

Meskipun sedikit kecewa, mereka semua setuju. Mereka memutuskan untuk kembali ke jalur yang ditandai sambil berharap kelompok lain menemukan petunjuk yang lebih jelas tentang keberadaan Evilus.

Ketika kelompok Aiz tengah kembali ke jalur Ariadne guide, sebuah bayangan melompat dengan anggun dari atap di depan mereka. Seketika, semua orang siaga, tetapi Lefiya mengenali sosok itu.

"Filvis!" seru Lefiya dengan penuh semangat, wajahnya berseri-seri. Dia bergegas maju mendekati temannya yang baru saja mendarat dengan elegan. "Senang sekali melihatmu di sini! Aku ingin memperkenalkanmu pada teman-teman kelompokku."

Filvis, yang mengenakan seragam putihnya dengan emblem Dionysus Familia, berdiri dengan tenang, tatapan dinginnya menyapu kelompok itu. Namun, di balik sikap tegasnya, ada aura sopan yang tidak membuatnya terasa sombong. "Aku di sini untuk membantu. Dewa Dionysus telah memutuskan untuk beraliansi dengan Loki Familia dalam misi ini. Oleh karena itu, aku akan ikut bergabung."

Tione, selalu ramah, menyodorkan tangannya dengan senyum hangat. "Senang bertemu denganmu, Filvis. Aku Tione, anggota Loki Familia. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Namun, Filvis hanya menatap tangan itu sejenak sebelum mengabaikannya sepenuhnya. Dia kembali berdiri dengan tangan terlipat di depan dadanya, menjaga jarak. Tione, yang terbiasa dengan penolakan kasar, hanya tertawa kecil untuk mencairkan suasana. "Yah, mungkin lain kali," ujarnya.

Lefiya, melihat situasi itu, buru-buru menjelaskan dengan nada agak gugup. "Maafkan Filvis. Dia tidak suka disentuh orang lain. Itu... sesuatu yang umum di kalangan Elf, terutama bagi mereka yang menjaga jarak seperti dia."

Tiona, yang dari tadi memperhatikan, bersandar sedikit ke arah Lefiya sambil berbisik, "Dia selalu seperti itu? Aku kira hanya Aiz yang dingin."

"Tiona..," keluh Aiz pelan sambil menghela napas.

Filvis menatap Lefiya sejenak, lalu mengangguk ringan sebagai pengakuan terhadap pembelaan temannya itu. "Kita harus segera melanjutkan. Jika kelompok ini tidak menemukan apa-apa, mungkin mereka sudah bergerak lebih jauh."

Aiz setuju dan memberi isyarat untuk bergerak. "Ayo, kita lanjut. Kalau ada Filvis, mungkin dia bisa membantu mencari petunjuk lebih cepat."

Kelompok itu pun melanjutkan perjalanan, dengan Filvis yang kini berjalan di samping Lefiya, berbicara pelan dengannya. Meskipun suasana di awal terasa kaku.

Sejak Filvis bergabung dengan kelompok, suasana menjadi semakin kaku. Meskipun mereka semua bergerak menyusuri jalur di Daedalus Street, percakapan yang tadinya santai berubah menjadi sunyi. Keheningan itu cukup membuat Tiona gelisah. Dia menoleh ke arah Linne, yang berjalan di dekatnya, dan berbisik pelan.

"Hei, Linne, menurutmu apa sih topik yang cocok untuk membuat cewek-cewek akrab? Aku nggak tahan suasana kayak gini," tanya Tiona sambil menggaruk kepalanya, mencoba mencari ide.

Linne, yang tidak menyangka ditanya mendadak, tergagap menjawab. "A-aku... um... mungkin gosip? Atau... percintaan?"

"Ah, bagus sekali ide itu!" seru Tiona tanpa pikir panjang, membuat semua orang menoleh. Dengan semangat, dia langsung mengarahkan pertanyaan ke Filvis. "Jadi, Filvis, ada nggak orang yang kamu suka?"

Filvis, yang sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan pertanyaan frontal, langsung membeku. Wajahnya berubah merah padam, dan dia menoleh dengan tajam ke arah Tiona. "Dasar amazoness tak tahu etika! Itu bukan pertanyaan yang pantas untuk ditanyakan saat pertama kali bertemu!" ucapnya dengan nada penuh teguran.

Namun, Tione, yang berjalan di belakang Tiona, hanya tertawa kecil. "Justru itu cara terbaik untuk membuat suasana jadi lebih santai. Percaya deh, nggak ada yang lebih cepat mencairkan suasana daripada obrolan soal cinta," ujarnya sambil tersenyum lebar.

Lefiya, yang berjalan di samping Filvis, terkejut melihat wajah Filvis yang memerah. Dia mencoba menahan senyum, tetapi rasa penasarannya tak terbendung. "A-apa mungkin..." gumamnya pelan, sebelum akhirnya menebak. "Orang yang Filvis suka itu... dewa Dionysus?"

Kata-kata Lefiya seperti bom yang meledak di tengah kelompok. Filvis tampak semakin memerah, bahkan menutupi wajahnya dengan satu tangan. Suasana canggung langsung berubah menjadi penuh dengan reaksi beragam.

"Ohhh!" seru Tiona sambil tertawa kecil, melirik Tione yang terlihat semakin bersemangat. "Itu masuk akal banget, Lefiya! Filvis pasti mengagumi dewanya yang tampan dan elegan seperti Dionysus!"

Filvis, yang tidak tahan lagi dengan semua perhatian yang diarahkan padanya, akhirnya membalas dengan nada kesal. "Hentikan! Tidak ada yang seperti itu! Fokus pada misi kita, bukan pada gosip yang tidak penting!"

Namun, wajahnya yang memerah malah semakin memancing tawa kecil dari Tiona dan senyuman dari yang lain.

Filvis, yang masih merasa wajahnya panas setelah percakapan sebelumnya, memutuskan untuk membalik keadaan. Dengan nada tegas namun tetap menjaga sikapnya, dia melontarkan pertanyaan. "Kalau kalian sendiri, apa kalian punya seseorang yang kalian sukai?"

Pertanyaan itu membuat kelompok itu mendadak hening sesaat. Namun, Tione langsung menyahut dengan penuh semangat. "Tentu saja aku punya! Aku sangat mencintai Kapten Finn!" ucapnya tanpa malu sedikit pun, bahkan menambahkan dengan nada menggoda, "Dia pria yang sempurna—kuat, pintar, dan punya senyuman yang bisa meluluhkan hati!"

Tiona, yang berjalan di samping kembarannya, hanya menghela napas dan menimpali. "Aku nggak paham soal cinta kayak kamu, Tione. Tapi kalau mendukung seseorang dari jauh, aku rasa itu cukup."

Lefiya, yang mendengar jawaban santai Tiona, mengarahkan pandangannya ke Aki dan bertanya penasaran. "Kalau Aki, apa kamu menyukai Raul? Kalian terlihat akrab sekali selama ini."

Aki mengangkat alisnya dan langsung menggelengkan kepala dengan santai. "Raul? Tidak mungkin. Aku tidak melihatnya lebih dari seorang rekan." Dia menambahkan dengan nada bercanda, "Lagipula, dia terlalu sering panik untuk jadi orang yang menarik bagiku."

Di sisi lain, Tione terus ribut, menceritakan betapa ia mendambakan Finn dengan penuh antusias, seolah melupakan topik lain. "Kapten itu benar-benar luar biasa! Kalau saja dia lebih memperhatikan perasaanku, aku yakin kami akan menjadi pasangan yang hebat!"

Sementara itu, Aiz, yang tidak terbiasa dengan percakapan seperti ini, hanya diam. Matanya melirik kanan dan kiri, tampak bingung harus mengatakan apa. Akhirnya, dia memilih untuk tetap tenang tanpa memberikan komentar.

Namun perhatian kelompok itu beralih ke Linne, yang sejak tadi diam saja. Tione menyadarinya dan langsung menggoda. "Hei, Linne, kamu diam-diam saja. Jangan-jangan kamu juga punya orang yang kamu sukai?"

Semua mata tertuju pada Linne. Wajahnya memerah, dan dia mencoba menghindari pandangan mereka. Setelah beberapa saat, dengan suara pelan, dia menjawab, "A-aku... aku menyukai Bete."

Pernyataan itu langsung meledak seperti bom di antara mereka.

"APA?!" seru Tiona dan Tione bersamaan, mata mereka membelalak. Bahkan Aiz yang biasanya tenang tampak sedikit terkejut, sementara Filvis hanya memandang Linne dengan ekspresi bingung.

Lefiya, yang juga terkejut, buru-buru bertanya, "K-kamu serius? Bete?!"

Linne hanya mengangguk pelan, wajahnya semakin merah padam. "Dia memang kasar dan sering marah-marah... Tapi aku merasa dia punya sisi lembut yang orang lain tidak lihat."

Tione menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tawa, sementara Tiona malah tidak bisa menahannya dan tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak percaya! Linne, kamu benar-benar... berani sekali."

Filvis hanya menghela napas dan berkata dengan nada datar, "Cinta memang aneh."

Tione yang masih tertawa bersama yang lain tiba-tiba menyadari sesuatu. Dia menatap Lefiya yang terlihat agak gelisah. Dengan senyum penuh arti, dia langsung bertanya, "Eh, Lefiya? Kamu belum jawab. Apa kamu juga punya seseorang yang kamu sukai?"

Lefiya tertegun, wajahnya mulai memerah. Dia mencoba mengalihkan perhatian, tetapi mata semua orang kini tertuju padanya. Dengan gugup, dia menjawab, "A-aku tidak punya... Maksudku, aku hanya mengagumi keanggunan seseorang." Dia melirik ke arah Aiz, berharap jawaban itu cukup untuk menghentikan pertanyaan lebih lanjut.

Namun, Filvis, yang sejak tadi diam, tersenyum tipis, seolah mendapatkan kesempatan emas untuk balas dendam. Dengan tenang, dia menimpali, "Kalau begitu, aku juga bisa menebak seseorang yang Lefiya sukai. Bagaimana kalau Shirou?"

"APAAAA?!" Lefiya hampir berteriak, matanya membelalak ke arah Filvis. Wajahnya kini merah padam, dan dia tampak panik. "Aku? Menyukai Shirou? Tidak mungkin!"

Filvis tidak menyerah. Dia menatap Lefiya dengan tatapan tenang namun menusuk, lalu berkata, "Saat aku melatihmu, kamu terus saja membicarakan Shirou. Tentang bagaimana dia membantu di Loki Familia, juga bagaimana dia menghiburmu di saat suasana hatimu sedang kacau."

Semua orang—kecuali Aiz—mulai mengangguk, mengingat bagaimana Lefiya sering bersama Shirou.

Lefiya mulai mencari alasan dengan gugup. "T-tidak, itu bukan berarti aku menyukainya! Aku hanya merasa... nyaman di dekatnya!"

Tione mengangkat alis dengan ekspresi penasaran. "Lalu?"

Tanpa sadar, Lefiya terus berbicara, kata-katanya mengalir dengan jujur. "Aku hanya senang melihat wajah seriusnya saat dia mengajarkan sesuatu. Aku hanya suka bagaimana dia memperhatikan orang lain tanpa pamrih. Aku hanya... kadang-kadang merasa sedikit berdebar di dekatnya."

Semuanya langsung terdiam, lalu Tione meledak tertawa. "Oh, Lefiya. 'Hanya' ini, 'hanya' itu. Kamu jelas-jelas naksir dia!"

Filvis menepuk bahu Lefiya dengan lembut dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Lefiya. Aku akan mendukungmu." Dalam hatinya, Filvis merasa ada persamaan antara dirinya dan Shirou. Mereka berdua adalah orang-orang yang membawa luka masa lalu, tetapi tetap berusaha melangkah maju demi orang lain.

Namun, suasana hati Aiz sedikit berubah. Mendengarkan pembicaraan itu, dia merasakan sesuatu yang tidak nyaman di hatinya. Perasaan asing yang jarang dia rasakan—seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu.

Sementara yang lain terus menggoda Lefiya, Aiz tetap diam, memikirkan perasaan itu dalam hati.