Chereads / Transmigrasi ll 2 Jiwa dalam 1 Raga / Chapter 35 - Chapter 35. Hanya Mimpi

Chapter 35 - Chapter 35. Hanya Mimpi

Mata gadis itu terbuka secara perlahan. Ia menatap langit-langit di atasnya. Seperti tidak asing. Mata cantik itu melihat ke sekeliling-nya. Ternyata ia sedang berada di kamar miliknya. Dengan setengah linglung, ia mendudukkan dirinya di atas kasur.

Pintu kamarnya terbuka. Di sana, laki-laki yang seharusnya sedang menjalankan operasi, kini berada di depannya. Gadis itu menatap senang sekaligus tidak percaya pada laki-laki yang sedang membawa nampan itu.

"Liam!"

Laki-laki yang ia panggil Liam itu tersenyum dan mendekat. "Gimana tubuh lo? Udah mendingan, Bel?"

Abel berkedip dua kali. "Gue kenapa?"

"Lo lupa? Lo lagi demam tau." Kata laki-laki itu sembari menaruh nampan di atas nakas.

Liam menyingkirkan beberapa helai rambut Abel, kemudian menempelkan punggung tangannya di kening Abel. Ia mengangguk, "Udah turun. Sekarang, ayo makan."

Abel mengangguk semangat. Gadis itu tersenyum lebar. "Mungkin Liam yang sedang operasi itu hanya mimpi. Habisnya, dia sekarang ada di depan gue."

Liam balas senyum, tidak lama, hanya beberapa detik. Laki-laki itu tiba-tiba saja menunjuk ke arah luar jendela yang berada di sebelah kanan Abel.

"Abel, liat. Ada kupu-kupu."

Abel refleks menoleh ke arah jendela. Tidak ada apa-apa. Gadis itu kembali menghadap ke Liam.

"Mana kupu-kupunya, Ya-yam? Liam? Liam? Lo di mana?"

Kemana Liam? Kenapa ia tiba-tiba menghilang? Seharusnya, laki-laki itu berada di sebelahnya. Namun, kenapa sekarang tidak ada?

"Liam! Nggak lucu tau. Lo kemana?"

Mata gadis itu tiba-tiba saja memburam, menahan genangan air yang tiba-tiba ingin menerobos keluar.

"Liam?"

"LIAM!"

"Woi! Lo kenapa? Kesurupan?"

Gadis yang sedang berbaring itu menatap bingung pada tangannya yang seperti ingin menggapai sesuatu. Apa itu tadi? Mimpi? Namun itu terasa sangat nyata. Pipinya terasa basah. Ia...menangis? Gadis itu mengusap pipinya yang terasa basah.

"Bel? Lo nggak kesurupan setan rumah sakit, kan?"

Laki-laki itu menatap Abel bingung. "Lo, nangis?"

Abel menatap laki-laki yang sebelumnya refleks berdiri di sebelahnya. Matanya menelisik penjuru ruangan. Nampak seperti ruang pemeriksaan.

"Gue dimana? Kenapa lo yang nemenin gue?" tanpa menjawab, Abel malah kembali bertanya.

Laki-laki itu menatap malas pada Abel yang menghiraukan pertanyaannya. "Nggak berterimakasih banget lo. Lo lagi di ruangan pribadi dokter John, kakak sepupunya Chilo. Kalo bukan karena di suruh, gue mah ogah nemenin lo."

Gadis itu tidak merespon. Tidak seperti biasanya. Ia malah menatap jam di ruangan dengan tatapan kosong. Pukul setengah 10 malam.

"Jadi, tadi cuman mimpi?"

Atlas, laki-laki yang di suruh untuk menjaga Abel itu menatap bingung pada gadis yang sedang bergumam sendiri itu dengan wajah yang terlihat khawatir, meskipun samar.

"Lo gak papa, kan?"

Abel menoleh. "Liam mana?"

"Liam? Dia di ruang operasi, dari 2 jam yang lalu." Kata Atlas, pelan. Ia tau, Abel saat ini sedang sedih. Bahkan, sepertinya hal itu sampai masuk ke dalam mimpinya.

Tatapan Abel menjadi sendu. Ia berbaring membelakangi Atlas. Selimut yang sebelumnya hanya sebatas dada, ia naikkan sampai sebatas leher.

"Gue mau sendiri."

Atlas terdiam beberapa saat. Tidak lama, laki-laki itu mengangguk paham. "Kalo lo butuh apa-apa, Athena ada di kasur samping lo, di belakang gorden. Gue juga bakal nunggu di luar."

Tidak ada jawaban. Abel hanya menatap kosong pada jendela di depannya. Atlas menghela nafas pelan. "Gue keluar dulu."

Abel mengangguk samar sebagai respon. Gadis itu menatap gelapnya langit malam dari balik jendela. Di tengah lamunannya, seekor kupu-kupu melintas. Atensinya teralihkan.

Abel tersenyum miris. Ia bergumam samar. "Liam, liat. Ada kupu-kupu."

Srett

Gorden pembatas berwarna hijau itu terbuka secara perlahan. Di sana, gadis yang sudah mengenakan baju santai menatap Abel sendu. Ia mendekat dan berjongkok di depan Abel.

Abel menatap gadis itu kosong. "Kenapa, Na?"

"Lo mau ganti baju? Gue tadi minta bawain Theo baju ganti. Ada dua."

Abel menggeleng pelan. Athena tersenyum tipis. Gadis itu mengelus rambut halus Abel dengan lembut.

"Mau keliling?"

Abel menatap Athena sendu. Ia mengangguk kecil, menyetujui hal itu.

•°•°•°•°

Athena dan Abel duduk di depan ruang operasi. Mereka hanya berkeliling sebentar. Lagi pula, apa yang bisa di lihat di rumah sakit di malam hari begini?

Tidak lama, pintu itu terbuka. Kedua gadis itu refleks berdiri.

"Gimana Liam, dok? Dia baik-baik aja kan?" tanya Abel dengan raut khawatir yang kentara.

Dokter itu menggeleng pelan. "Mohon maaf. Pasien atas nama Liam Agaskara dinyatakan meninggal dunia pada pukul 22.20, dan operasi transplantasi jantung berhasil."

Abel mencengkeram kerah dokter pria itu dengan air mata yang kembali keluar. "JANGAN BERCANDA! GAK LUCU TAU!"

Athena menahan bahu Abel, "Bel. Lo nggak boleh gitu."

"LEPASIN GUE, NA!" Bentak Abel sembari mendorong Athena hingga terjatuh.

Athena meringis pelan. Ares yang baru datang bersama Bara dkk langsung menghampiri mereka. Bara membantu Athena berdiri. Sedangkan Ares berusaha menenangkan Abel. Entah kenapa, kekuatan Abel terasa dua kali lipat dari biasanya.

"Bel. Tenang dulu."

"Lo jadi dokter gak becus!"

Athena yang baru saja berdiri dengan bantuan Bara itu langsung menghampiri Abel dan membalikkan tubuh gadis itu secara kasar.

PLAKK

Hening.

Cengkraman Abel pada dokter tadi terlepas. Athena menatap Abel dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Seharusnya lo tau kalo operasi ini punya konsekuensi besar! Lo nggak bisa nyalahin dokter yang udah berusaha buat nolong dua nyawa! Lagi pula, tentang hidup dan mati itu di atur tuhan! Liam juga paham sama konsekuensinya, tapi dia tetap ngelakuin ini semua. Kita udah telat. Sejak awal kita udah telat." Suara Athena memelan. Abel menunduk, terisak pelan.

"Mau seberapa lama lo marah-marah sama dokter dan suster di sini, Liam nggak bakal kembali."

Abel semakin menunduk, isakannya semakin terdengar. Athena memeluk Abel, "Maaf, gue udah bentak dan mukul lo."

Abel menggeleng pelan, membalas pelukan Athena.

Ares yang sedari tadi menyaksikan perdebatan kedua gadis itu ikut menunduk. Ia merasa sudah menjadi sahabat yang buruk. Theo menepuk pundak laki-laki itu pelan.

"Maaf atas perbuatan dan keributan yang dilakukan oleh teman saya." Kata Chilo kepada dokter tadi.

Dokter itu tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, tuan Chilo. Kami bisa memahaminya. Pasien atas nama Liam akan di bawa ke ruang mayat. Sedangkan pasien atas nama Silla akan kami bawa ke ruang ****. Kami ikut berdukacita atas musibah yang terjadi."

Chilo mengangguk singkat. "Terima kasih."

"Baiklah, kami pamit undur diri. Selamat malam."

"Malam."

===============♧==============