Gelap..., gelap..., dan gelap. Hanya sebuah pandangan kosong dalam ruangan yang luas, seperti halnya malam hari tanpa cahaya bulan. Berulang kali kucoba membukanya. Namun, semua itu sia-sia, hanya kegelapan sejauh mata memandang, tak ada apapun selain warna hitam.
"Maafkan Kakak..., Saki...".
Dalam tempat yang hampa ini, tak kusangka suara lembut dan tulus mengunjungiku. Dari cara bicaranya, aku bisa menebak kalau itu Kakakku, Sagi Kurami, umurnya 7 tahun diatasku. Mungkin ia selalu berada disampingku hingga aku bangkit dari hibernasi yang singkat.
Singkat cerita masa lalu, aku kehilangan kedua orang tuaku sejak duduk dibangku SMP dan akhirnya kami sekarang tinggal berdua bersama Kakakku yang berada di desa Miyama, tepatnya daerah Kyoto. Cerita mengenai kedua orang tuaku bisa kukesampingkan, karena itu adalah salah satu dari sekian banyak hal yang tak ingin kuingat kembali, mungkin untuk saat ini.
"Kak Sagi tak perlu meminta maaf, lagi pula ini bukan salah siapapun". Sambil diriku tersenyum membalasnya.
Namun, aku tidak dapat melihat wajahnya sekarang yang entah sedang termenung atau tersenyum membalas senyum kecilku.
"Saki sudah baikan?", tanya Kak Sagi.
"Sudah Kak, walau masih terasa sedikit sakit, tapi sebagai laki-laki ini bukan masalah besar, hihii". Sebuah kalimat pembelaan yang sering kubaca dalam banyak serial komik yang kumiliki, ternyata seperti ini rasanya saat kukatakan secara langsung didepan seorang perempuan. Walaupun pada kenyataannya adalah seorang gadis yang lebih tua 7 tahun dariku.
"Kak Sagi..., sebenarnya aku ingin memakan kembali onigiri buatanmu..., sudah lama rasanya aku tidak mencobanya". Ucap pergerakan bibirku dengan niat untuk menghibur Kak Sagi.
"Hahahaa..., serahkan semuanya pada Kakak, Kakak akan membuatkanmu onigiri terenak didunia. Tapi Kakak buatkan setelah Saki keluar dari rumah sakit ya... hihii". Balas Kak Sagi dengan penuh semangat dan nada bahagia. Begitulah Kakakku selalu jujur apa adanya didepanku, bahkan saat didalam kegelapan sekalipun.
Saat sedang asik berbincang dengan Kak Sagi, tiba-tiba terlintas sebuah ingatan tentang mengapa diriku bisa terbaring di Rumah Sakit dengan sebuah untaian kain putih yang cukup tebal ada di depan penglihatanku. Meskipun ingatanku agak samar, namun tergambar cukup jelas dalam pikiranku, seakan mataku lah yang mengingatkannya dengan paksa.
Waktu itu pulang dari sekolah atau lebih tepatnya setelah hari kelulusan SMP berakhir, aku berjalan sendiri sembari melihat matahari yang mulai menyembunyikan dirinya dibalik kegelapan.
"Berjalan sendiri itu memang membuatku merasa lebih tenang, karena aku tidak perlu memikirkan topik pembicaraan dan perasaan temanku yang terkadang bersamaku saat pulang sekolah". Gumaman hati yang hanya terdengar olehku. Itulah diriku, dibalik sebuah topeng yang menyimpan banyak sekali ekspresi di depan orang lain. Ku tanggalkan topeng hanya untuk keluarga.
"Jika isi hatiku ini benar-benar kuungkapkan dengan ucapan, apa reaksi yang akan mereka berikan?. Apa suatu benda akan menghantam kepalaku?. apa hal tersebut akan berlangsung disetiap harinya?. Hahaa... mana mungkin aku berani mengucapkannya. Tapi, jika itu memang imajinasi yang nyata, apakah harapan masih akan berlabuh dihadapanku?. Yah..., mungkin yang menunggu didepan sana hanyalah kema...".
"Arhhhhh!!!".
Entah mengapa saat ingin mengingat kejadian selanjutnya, mataku seperti menutupinya dengan tirai panggung seolah drama yang akan diperlihatkan setelahnya akan dilanjutkan pada musim yang akan datang.
"Ada apa Saki!!!", teriak Kak Sagi.
"Bu...bukan hal yang serius kok Kak, aku hanya terkejut karena mimpi aneh". Sedikit kebohongan untuk menutupi kecemasan Kak Sagi, kurasa itu hal yang masuk akal menurutku dibanding jujur untuk sebuah tangisan. Jujur saja mataku benar-benar sakit, ingin sekali ku lontarkan teriakann walau hanya hitungan detik.
Dari yang kudengar dari perbincangan antara dokter yang merawatku dengan Kak Sagi, mataku tidak bisa disembuhkan karena dokter pun tak menemukan penyebabnya. Bahkan diriku sendiri tak pernah tau kebenarannya, Kakakku juga selalu mengelakan pembicaraan saat kutanyakan hal tersebut. Jadi, Aku membiarkan kondisi mataku tetap seperti sekarang agar tidak merepotkan Kak Sagi lebih dari ini.
Beberapa hari kemudian, akhirnya Aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit, meski kondisiku belum pulih sepenuhnya. Kami berdua tinggal di sebuah rumah sederhana peninggalan orang tua atau bisa dibilang kenangan terakhir yang kami miliki. Dan juga bagiku, Kak Sagi adalah tempat terakhir untukku mengetuk pintu.
Sesuai dengan apa yang dijanjikan Kak Sagi tempo hari, akhirnya Kak Sagi membuatkanku onigiri. Rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak merasakan onigiri buatan Kak Sagi semenjak diriku terbaring dengan infusan dan obat-obatan yang selalu menghantui tidurku. Memang rasa onigiri tersebut bagiku adalah yang terenak se-dunia. Selagi menyantap onigiri, Kak Sagi terus menghiburku dengan cerita dan pengalamannya dengan penuh tawa dan bahagia, tak sedikit pun ia membicarakan kegelapan yang sedang kualami saat ini. Mungkin, dibalik tawanya tersebut ia selalu menyembunyikan kekhawatiran terhadap kondisiku setiap harinya tanpa diriku ini menyadarinya. Setiap individu memang memiliki topeng nya masing-masing, entah itu dia yang sebenarnya atau bahkan justru sebaliknya.
Di saat kehangatan sedang menyelimuti suasana, terlintas dalam benakku "Apa Aku benar-benar hidup sekarang?. Dengan hanya suara yang bisa kudengar dan peraba yang bisa kurasakan". Sebuah prasangka yang begitu nyata pikirku.
"Saki, bulan depan kamu mulai masuk sekolah SMA barumu kan?", tanya Kak Sagi di tengah pembicaraan.
"Iya Kak. Tapi... bagaimana cara Saki berangkat sekolah?. Dengan kondisiku yang sekarang ini?".
"Hahahaa tenang saja, Kakak akan memberikanmu latihan neraka mulai besok, bersiaplah Saki". Tawa kecil keluar dari mulut Kak Sagi yang terdengar jelas ditelingaku.
"Hemm, aku selalu siap kapanpun, jangan meremehkanku Kak Sagi!". Balasku dengan senyuman. Walaupun hanya sebuah senyuman sampul buku yang berbeda dengan isinya.
[Selanjutnya: "Pertemuan yang membuka sebuah rahasia"]