Biasanya aku melihat cahaya mentari dari balik jendela kamarku. Mungkin sekarang itu hanya mimpi bagiku. Beranjak dari tempat tidur sembari berjalan di tengah kegelapan menuju ruang makan dengan tangan yang terus bersandar pada dinding rumah. Setelah sarapan, Kakakku tiba-tiba memberikan sesuatu yang langsung dibawakan ke kedua telapak tanganku. Benda yang cukup panjang namun cukup kuat dengan tekstur yang tidak asing. Mungkin ini sebuah kayu pikirku. Saat kugerakkan benda tersebut, terdengar bunyi seperti lonceng yang ternyata tergantung di bagian lengkungannya. Ini seperti tongkat kayu dengan hiasan lonceng kecil diatasnya.
"Ini Saki, hanya ini yang bisa Kakak lakukan untukmu...".
"Ti... tidak apa Kak. Saat Kakak selalu disampingku... itu sudah lebih dari cukup... terima... kasih... banyak...". Terasa air mengalir di pipiku bersamaan dengan rasa sesak di dada yang kurasakan.
Kata terima kasih tidak akan cukup untuk membalasnya ujarku, tapi bagi Kak Sagi itu hal yang membuatnya sangat bahagia sampai ia memelukku. Hari demi hari telah berlalu, saat Kak Sagi sedang tidak bekerja, ia terus melatihku dengan semangat dari rumah sampai sekolah dan kembali lagi ke rumah. Kakakku sudah seperti cahaya yang menuntunku dalam jalur kegelapan ini. Entah sudah berapa hari aku berlatih, mungkin sudah setengah bulan setelah latihan pertamaku. Kalender memang tak bisa kulihat, namun setiap pagi, siaran televisi selalu membawakan ku hari dan tanggal yang bisa ku dengar.
Pada suatu hari, aku berlatih seorang diri, memang terkadang aku harus berlatih sendiri karena pekerjaan Kak Sagi. Aku sendiri juga tidak ingin selalu merepotkannya. Tentu hal ini kurahasiakan dari Kakakku.
Matahari yang selalu terbangun dari Timur, aroma khas pedesaan di pagi hari, serta kicauan burung pipit menemaniku di perjalanan. Kemudian, aku mendengar sapaan dari tepi danau.
"Selamat Pagi nak Saki".
Sapaan lemah lembut yang selalu kudengar setiap latihan bersama Kak Sagi. Tapi aku terkejut, baru kali ini aku mendapatkan kata selamat pagi darinya. Yaa tentu saja..., karena ia hanya selalu menyapa Kakakku ibarat diriku hanyalah tokoh sampingan dalam ceritanya.
"Selamat Pagi juga nek Narui", balasku untuk nek Narui.
Kakakku selalu menyapa balik dengan nama tersebut, jadi aku bisa menebak bahwa nama nenek tersebut ialah Nenek Narui. Dia adalah penjaga toko camilan dan kue di dekat danau.
"Sedang berlatih ke sekolah?, Hmm nak Saki". Tanya nek Narui.
"Hihi, iya nek Narui. Aku harus bisa bepergian sendiri supaya tidak merepotkan Kakak. Ohh iya maaf nek, tolong rahasiakan hal ini dari Kak Sagi, kumohon!!!". Hampir diriku ini bertekuk lutut pada nek Narui untuk sekedar memintanya menjaga rahasia.
"Tenang saja nak Saki, rahasia mu aman ditangan nenek. Nenek tau kamu sebenarnya ingin sekali meringankan pundak Kakakmu agar ia fokus kepada karirnya. Akan nenek dukung sepenuh hati perjuanganmu!". Balasan dari nek Narui yang tak pernah ku prediksi sebelumnya. Nafas lega terus berhembus dari diriku.
"Terima Kasih banyak nek Narui!". Tak pernah lupa kuucapkan sebuah kata terima kasih untuknya.
Ditengah percakapan tersebut, nenek Narui tiba-tiba kedalam sejenak dan keluar membawa kue dan teh yang dibuatnya.
"Nak Saki mau kue?".
"Waaah!, terima kasih nek Narui, maaf jadi merepotkan". Dalam lubuk hatiku, mungkin seperti ini rasanya mempunyai nenek yang menemanimu dalam kesunyian.
Walaupun hanya dari aromanya, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku berpendapat bahwa kue buatan nek Narui sangat enak.
"Selamat Makan!!!".
Tak lama setelah satu gigitan kue yang ku makan, nek Narui tiba-tiba memulai obrolan.
"Bagaimana keadaanmu nak Saki?". Tanya nek Narui penasaran.
"Kurasa aku baik-baik saja nek, terkecuali mataku ini". Aku menutupi kesedihanku dengan tersenyum membalasnya.
Tapi, aku selalu penasaran ketika melewati toko nek Narui, entah mengapa tidak pernah terdengar seseorang pun selain nek Narui yang menjaga toko. Belum pernah sekalipun telingaku ini mendengarnya saat melewati tokonya. Karena itu, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.
"Nek Narui... boleh aku tanyakan sesuatu?". Tanyaku dengan sedikit rasa khawatir bercampur keingintahuan.
"Tentu, apa yang ingin nak Saki tanyakan?". Balas nek Narui.
"Anu... aa... apakah nek Narui tinggal sendiri?". Mungkin pertanyaanku ini memang kurang sopan untuk kutanyakan kepada nek Narui. Ibarat timbangan neraca dengan rasa penasaranku yang jauh lebih berat.
"Sebenarnya, nenek dulu menjaga toko bersama suami nenek...". Karena aku juga tak mendengar suara anak kecil maupun remaja di dalam toko, maka sebutan suami dalam benakku tak pernah terbesit sama sekali. Jadi, aku cukup terkejut setelah mendengar jawaban dari nek Narui.
"Lalu, kemana suami nek Narui?. Aku tak pernah mendengar suaranya di toko". Ujarku penasaran.
"Hmm... nenek harus mulai darimana yaa... mungkin nenek akan sedikit menceritakan tentang siapa suami nenek".
Kemudian nek Narui mulai bercerita...
"Karano, adalah penggilan suami nenek saat ia masih hidup".
"Haa?... yang benar saja, ternyata suami nenek sudah meninggal?". Teriak dalam hatiku karena terkejut mendengarnya. Aku mencoba tenang dan terus mendengarkan cerita dari nek Narui.
"Dulu ia sangat suka memancing di tepian danau, dari langit yang diberi warna biru hingga berubah menjadi merah kekuningan. Tapi, nenek tidak pernah melihat ia memancing bersama siapapun. Dengan umpan yang tenggelam dan alunan musik radio bersama camilan yang dibawanya dari rumah, ia selalu terlihat senang saat memancing sendirian".
Hmm, yaa kurasa sebagian orang memang berpikir kesendirian itu membawa ketenangan. Tapi, dalam kondisi yang berbeda, mungkin bersama dengan seseorang yang selalu berada disisimu akan terasa jauh lebih baik. Itu yang kupikirkan setelah mendengar cerita nek Narui.