Chereads / Satu Teman [One Friend] / Chapter 3 - Misteri di ujung pertanyaan

Chapter 3 - Misteri di ujung pertanyaan

Dalam detik yang terus berjalan, nek Narui terus melanjutkan ceritanya.

"Suatu hari, seperti biasa Karano pergi dengan membawa kail pancing beserta umpannya menuju danau. Namun, ia tak kunjung kembali hingga malam hari. Nenek mulai khawatir dan segera menyusul Karano ke tepian danau tempat dimana ia biasa me... meman... memancing...". Tanpa kusadari, tetesan air yang kurasakan di tanganku ternyata adalah air mata tangisan nek Narui. Aku mungkin sedikit mengerti dengan perasaan nek Narui, karena aku juga pernah merasakan sakit yang sama saat kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku. Lalu, nek Narui pun mulai melanjutkan ceritanya.

"Setelah nenek sampai, terkejutnya nenek saat melihat Karano mengambang di tepian danau dengan musik dari radio yang masih berputar dengan tenangnya". Musik memang masih menyala, namun Karano sudah meredup dari kehidupan untuk selamanya.

"Nenek langsung meminta bantuan pada warga di desa dan membawa Karano ke rumah sakit. Tapi, itu semua sudah terlambat". Kemudian, nek Narui menghentikan ceritanya sejenak sambil meneguk secangkir teh hangat yang ia buat.

"Taa... tapi, kenapa kakek Karano bisa tenggelam di danau nek?". Aku penasaran pada hal ini, jadi kupikir mungkin sebaiknya aku tanyakan saja ke nek Narui.

"Nenek juga tidak tau nak Saki. Tapi, ada yang nenek bingungkan dari hasil otopsi Karano saat dia dibawa ke rumah sakit".

Seketika cerita nek Narui mulai membuatku merinding. Bulu diseluruh tubuhku tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Mungkin ini hanya ilusi semata dari pikiran terdalamku?. Aku pun ingin menolak kebenarannya. Lalu, nek Narui kembali melanjutkan ceritanya.

"Keesokan harinya setelah Karano dibawa ke rumah sakit, nenek mendapat kabar hasil otopsi Karano dari dokter disana. Rasa takut dan bingung bercampur aduk setelah nenek membaca hasilnya. Saat nenek melihatnya, entah kenapa ada hasil yang menyatakan bahwa Karano mengalami kebutaan pada kedua matanya". Ujar nek Narui tanpa adanya kebohongan yang tersirat dalam perkataannya. Entah mengapa aku lebih mengharapkan tipuan dari nek Narui dalam kasus ini.

"Apaaa...? kebutaan...?. Sebelumnya kakek Karano tidak mengalami hal seperti itu kan nek?. Maksudku, tidak kah aneh jika tiba-tiba ada riwayat kebutaan setelah kematiaannya?". Segudang pertanyaan yang spontan ku keluarkan karena rasa penasaran yang mengancam.

"Nenek rasa mata Karano baik-baik saja sampai ia meninggal, tidak ada kejanggalan sejauh mata nenek memandang". Kata nek Narui dengan penuh keyakinan.

"Sampai saat ini nenek masih beranggapan, jika kebutaan ini memang benar, maka kebutaan yang dialami Karano pastinya baru muncul setelah ia pergi memancing".

Kesimpulan yang diberikan nek Narui sama seperti yang ku pikirkan. Tapi, itu semua tidak menjelaskan penyebab kebutaan kakek Karano. Entah mengapa aku merasa harus menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan abstrak ini.

"Apakah dokter yang menanganinya tau sesuatu nek?". Tidak ada yang lebih memahami kondisi kakek Karano selain dokter yang mengotopsinya menurutku.

"Mereka juga tidak tau penyebabnya, nenek pun tidak membahas hal tersebut lebih jauh lagi. Namun, satu hal yang pasti itu bukan berasal dari perbuatan orang lain. Mereka berkata seperti itu, jadi nenek bisa bernafas lega karena ini bukan semacam tindak kejahatan".

Teh yang semakin dingin dan panas matahari yang mulai menjalar, tak terasa mendengar cerita nek Narui akan selama ini.

"Aa... akan kupecahkan misteri ini suatu hari nanti untuk nek Narui!!!". Tak sadar diriku mengatakan hal memalukan seperti itu di depan nek Narui. Tanpa dasar yang nyata, topeng yang biasa kukenakkan saat didepan orang lain ternyata terlepas di depan nek Narui.

"Hahahaa, terima kasih nak Saki. Tapi jangan terlalu memikirkannya yaa". Balas nek Narui dibarengi dengan tawa kecilnya.

Lalu, aku pun segera melanjutkan latihanku ke sekolah dengan membawa sebongkah misteri di pundakku. Jalan menuju sekolah begitu rumit jika ku ingat kembali, walaupun sudah kuberi tanda pada setiap benda yang kulewati seperti pohon, tiang lampu, pembatas jalan dan benda lainnya yang bisa kujadikan patokan. Beruntungnya aku karena di daerah penyebrangan selalu ada petugas yang berjaga. Jadi, petugas tersebut selalu membantuku menyebrang dengan selamat hingga sampai pada ujung penyebrangan. Terlintas dalam pikiranku, andai kata jika petugas tersebut suatu hari sedang tidak bekerja, bagaimana diriku menyebrang?. Aku selalu mengkhawatirkan hal tersebut ketika sedang berlatih sendiri bagaikan wisata tanpa pemandu jalan.

Terbesit dalam benakku, mungkin aku membutuhkan seorang teman yang mau menunjukkan jalanku. Tapi, kurasa itu hanya angan-angan belaka, karena aku belum mengenal siapapun di sekolah SMA ku. Setelah sampai di sekolah yang tak bisa kulihat bentuk dan suasananya, tempat duduk di halaman sekolah selalu menjadi tujuanku untuk mengistirahatkan diri. Tak jarang aku bertemu dengan guru-guru disana yang hanya bisa kudengar sapaan suaranya. Belum pernah aku mendengar suara siswa lain di sekolah, tentu saja karena sekolah masih libur, sudah sewajarnya jika tidak ada murid yang datang. Tinggal menghitung jari sebelum masuknya hari pertama SMA ku dengan membuka lembaran baru yang berwarna hitam. Tak lama setelah itu, suara alarm jam tanganku berdering.

"Hmm, alarmnya sudah berbunyi, waktunya untuk pulang".

Aku selalu menggunakan jam tangan sebagai pengingat waktu setidaknya 1 jam sekali berbunyi. Seperti biasa aku pulang dengan cara yang sama seperti berangkat latihan.

Pastinya akan berbeda dengan khayalan yang kurangkai, itulah sifat manusia. Diluar hal tersebut, tiba-tiba aku mendengar sebuah sapaan....

"Halo Saki...".

Suara lembut dari seorang perempuan yang terdengar sangat jauh namun terasa dekat, entah kenapa ini sedikit membuatku merinding. Tidak pernah sekalipun dari ingatan terdalamku aku berteman dengan perempuan. Tapi, suara ini seperti ia mengenalku.

"Ha... halo, si... siapa disana?".

Di pinggiran jalan yang lumayan sunyi karena petang sudah kembali, aku membalas panggilan tersebut dengan suara yang rendah. Karena aku benar-benar tak tau suara ini berasal dari mana, akan memalukan jika terdengar oleh orang lain.

"...".

Suara panggilan tadi tiba-tiba hilang begitu saja tertiup angin.

"A... apa ini hanya imajinasiku?". Gumaman diriku sendiri.

"Hmm... memang tidak mungkin ada perempuan yang menyapaku, kecuali kakakku". Aku berusaha meyakinkan diri, namun entah kenapa kata-kata tersebut seperti menusukku dari belakang. Tidak ada balasan setelah itu, jadi mungkin memang benar itu hanya halusinasiku semata. Beberapa saat setelah berjalan akhirnya aku sampai di penyeberangan jalan. Mungkin keberuntungan sedang tidak di pihakku, petugas yang berjaga ternyata sudah pulang.

Karena suara tadi dan rasa penasaran ini mungkin memakan banyak waktu di perjalanan. Hanya terdengar suara kendaraan dan langkah kaki dimana-mana.

"Apa mungkin aku harus mengikuti suara hentakan kaki ini untuk menyeberang?". Ide itu terbesit di kepalaku, tapi terlalu berbahaya karena tidak menentu. Aku bingung harus bagaimana, rasa takut ini lebih menakutkan dari suara sapaan tadi.

"Mungkin akan kucoba...".

Tiba-tiba, dalam pandangan yang begitu gelap, tak kusangka ada kehangatan yang kurasakan dari tanganku. Kehangatan ini seperti menarikku pergi menyeberangi jalan. Tapi, memang itu kenyataannya. Apa yang kurasakan adalah tangan seseorang.

"Tapi, ini tangan siapa?". Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri.

"Anu..., permisi siapa anda?".

Mungkin menggunakan kata anda adalah pilihan yang paling tepat untuk menanyakannya. Selama menyeberang jalan ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan ia tidak menjawab pertanyaanku. Namun, itu semua bukan menjadi masalah menurutku, karena hanya ia satu-satunya orang yang menolongku. Prasangka buruk tak ada dalam benakku saat tangan ini ditariknya. Hanya saja aku penasaran siapa orang ini.

"Maaf, terima kasih sudah membantuku menye...".

Kehangatan tersebut hilang begitu saja saat sudah diseberang jalan, bahkan sebelum aku berterima kasih. Semakin banyak keanehan yang kutemukan di satu hari ini. Bicara soal orang yang membantuku tadi, rasanya ia perempuan karena aku bisa merasakan tangannya seperti ketika menggenggam kak Sagi.

Setelah semua kejadian itu, aku melanjutkan perjalananku sampai ke rumah dengan membawa banyak pertanyaan dalam diriku yang mungkin akan kucari jawabannya. Perlahan diriku melangkah melewati jalan yang tak kasat mata, bersama dengan dengungan lonceng dan hentakan kayu yang bergesekan. Tak pernah kubayangkan akan mengalami hal ini dalam seumur hidupku. Bagiku ini adalah sebuah pengalaman yang tidak akan pernah kudapatkan dalam khayalan kecilku. Saat memikirkan banyak hal tersebut, tanpa kusadari pintu rumah sudah menyambut kedatanganku.