Pembelajaran mandiri telah berakhir.
Aku dan Fisa tidak saling bicara lagi setelah aku meninggalkannya kemarin.
Kuharap dia tidak membenci diriku, itulah yang kupikirkan hingga sekarang.
Hari ini, pembelajaran dimulai seperti biasa, pelajaran yang diajarkan oleh Pak Smith kali ini adalah matematika.
Bahkan saat sedang belajar pun, aku dapat merasakan tatapan kebencian yang benar-benar mengarah kepadaku.
Aku tahu siapa orang yang menatapku seperti itu, dan aku akan mengurusnya nanti.
Pak Smith sudah menjelaskan panjang lebar tentang materi peluang, tapi sepertinya banyak teman sekelas ku yang masih tidak mengerti.
Kemudian Pak Smith mulai menggambar beberapa kartu di papan tulis sambil menuliskan pertanyaan yang mungkin akan menjadi soal yang harus dijawab.
"Silahkan satu orang maju dan kerjakan soal di depan!"
Sesuai dugaan, Pak Smith menyuruh salah satu dari kami untuk maju ke depan dan mengerjakan soal yang diberikannya.
Semuanya terdiam, kebanyakan teman sekelas ku mengalihkan pandangannya dari Pak Smith, dan juga beberapa dari mereka berpura-pura sibuk agar tidak dipilih olehnya.
"Satomi, kau bisa menjawabnya?"
Danna tiba-tiba berbisik dan bertanya padaku.
"Kurasa jawabannya 1⁄26."
Tanpa sadar, aku malah mengatakan jawabannya.
"Apa itu benar?"
Jawaban yang kuberikan pada Danna memang benar, tapi bagaimanapun aku tidak ingin maju ke depan.
"Entahlah, aku hanya asal jawab saja."
Aku pun mengelaknya dengan alasan hanya asal menjawab.
Sepertinya perbincangan singkat antara aku dan Danna cukup menarik perhatian Pak Smith dan tak lama kemudian beliau langsung menatap ku.
"Satomi Adney, kerjakan sekarang!"
Kemudian dia menyuruhku.
"Hmm ... aku tidak bisa menjawabnya."
"Kerjakan saja!"
"Baik."
Aku sudah menduga hal ini, jadi aku akan menjawabnya secara salah dengan sengaja.
Kemungkinan aku memang akan membuat Pak Smith marah, tapi kurasa itu tidak akan menjadi masalah.
Jika saja aku mendapatkan seseorang yang bisa menjadi sainganku, maka sudah pasti aku akan menjawabnya dengan benar.
Namun sayangnya aku tidak bisa menemukan satu orang pun yang berpotensi untuk menjadi sainganku.
Kemudian aku berjalan ke depan kelas lalu mengambil spidol dan bermain-main sebentar dengannya.
Tatapan teman sekelas ku dapat kurasakan dengan jelas, termasuk salah satu tatapan kebencian tadi.
Aku tidak peduli dengan mereka dan terus berpura-pura berpikir walaupun aku sudah tahu jawabannya.
"Kenapa kau bingung? Ini masih soal yang mudah, dan jenis peluang itu sendiri masih ada banyak."
Melihat ku yang cukup lama berdiri tapi tidak menuliskan apapun, Pak Smith mulai mendesak ku agar segera menjawab.
"Maaf, tolong berikan aku waktu untuk berpikir."
"Tiga menit!"
"Baik!"
Tiga menit untuk menjawab soal peluang tingkat awalan seperti ini, kurasa masih terlalu banyak.
Pada dasarnya peluang adalah besarnya probabilitas atau kemungkinan berlangsungnya suatu kejadian.
Masih ada banyak tingkatan untuk kemungkinan itu dan yang diajarkan oleh Pak Smith sekarang masih sangat mudah untuk dipahami.
Aku melihat ke arah papan tulis sekali lagi dan berpikir kalau gambaran yang digambar oleh Pak Smith sangat buruk, jadi aku hanya fokus ke tulisannya karena inti untuk menemukan jawabannya ada disana.
Dari seperangkat kartu bridge, akan diambil kartu merah bernomor 10, tentukan peluang terambilnya kartu merah bernomor 10!
Jika tentang kartu bridge, maka aku perlu memecahkan beberapa hal terlebih dahulu.
Seperangkat kartu bridge terdiri dari 52 kartu.
Artinya, banyaknya ruang sampel percobaan tersebut adalah 52, jadi rumusnya adalah n(S) = 52.
Terambilnya kartu merah bernomor 10 menunjukkan 2, jadi rumusnya adalah n(A) = 2.
Yang ditanyakan adalah peluang terambilnya kartu merah, jadi dituliskan dengan P(A).
Berarti rumus yang tepat adalah ...
P(A) = n(A)/n(S).
Berdasarkan teori peluang klasik maka diperoleh:
P(A) = n(A)/n(S)
= 2/52 (:2)
= 1⁄26
Jadi, peluang terambilnya kartu warna merah nomor 10 adalah 1⁄26.
Itu adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaannya, tapi aku akan sengaja menjawabnya secara salah.
Aku mulai menarik spidol dan menuliskan angka di papan tulis.
Angka itu adalah 100.
Singkat saja, ada dua angka 10 disana, jadi mereka akan menganggapku mengalikan kedua angka itu untuk menemukan jawabannya.
"Bagaimana Pak Smith, apakah benar?"
"Astaga, jangan membuatku kesal!"
Yah, sudah kuduga.
Pak Smith terlihat marah saat melihat jawabanku yang salah itu.
"Maaf, Pak Smith. Aku masih tidak mengerti."
"Tetap berdiri disitu hingga ada yang bisa menjawabnya dengan benar!"
Tanpa pikir panjang, Pak Smith langsung menyuruh dan menghukum ku untuk berdiri di depan kelas.
Aku tidak akan bisa kembali duduk sampai ada seseorang yang bisa menjawabnya dengan benar.
"Bagaimana, yang lain?"
Mereka masih terdiam, bahkan kebanyakan dari mereka hanya menatap ku saja.
"Pak Smith, bolehkah aku menjawabnya?"
Lina mengangkat tangannya dan menawarkan diri untuk menjawabnya.
Melihat tatapannya yang penuh keyakinan itu, aku yakin kalau dia akan menjawabnya dengan benar.
"Ya, Lina. Silahkan!"
"Jawabannya adalah 1⁄26."
"Benar sekali, berikan tepuk tangan untuk Lina!"
Seisi kelas langsung bertepuk tangan setelah diperintahkan oleh Pak Smith, lalu suara tepukan tangan terdengar dengan keras mengisi seisi kelas.
Wajah pak Smith yang tadinya kesal kini berubah menjadi senyuman tipis setelah Lina berhasil menjawab pertanyaan yang diberikan olehnya.
"Karena jawabanku benar, tolong lepaskan Satomi!"
"Baiklah, kau boleh duduk sekarang. Lain kali perhatikan penjelaskan ku dengan baik!"
"Aku mengerti, maafkan aku."
Sambil berjalan santai menuju tempat duduk ku sendiri, tanpa sengaja aku melihat wajah Fisa yang tidak bisa kutebak ekspresinya.
Aku sedikit bingung apakah dia merasa takut, sedih, atau kesal.
Namun setelah melihat kerutan di dahi Fisa, sepertinya dia merasa kesal.
"Pelajaran hari ini aku cukupkan sampai disini dan kalian bisa pulang setelahnya. Terima kasih!"
"Baik!"
Pak Smith kemudian mengakhiri pelajaran dengan tatapan tajamnya lalu pergi keluar kelas.
Aku sedikit merasa lega karena setidaknya aku berhasil menipu Pak Smith dan beberapa teman sekelas ku.
Tidak, kurasa aku melewatkan satu orang.
"Wah Lina, kau hebat sekali!"
"Aku bahkan tidak mengerti dengan apa yang dijelaskan, seorang dokter genius memang hebat!"
"Berbanding terbalik dengannya, 100. Apa-apaan itu?"
"Dia hanya melihat angka 10 lalu mengalihkan keduanya."
"Kau sangat baik karena hanya membuatnya berdiri sebentar saja."
Lina dibanjiri oleh pujian dan kekaguman teman sekelas ku atas jawabannya yang benar, dia sekaligus menjadi penyelamat bagi mereka.
"Satomi, kenapa kau berpura-pura bodoh?"
Danna bertanya padaku.
Yah, akan lebih baik jika aku mengabaikannya saja.
Lalu tanpa memperdulikannya, aku pergi keluar kelas dan berniat untuk bersantai terlebih dulu di rerumputan taman yang ada di area kelas dua.
Kupikir tempat itu sudah menjadi tempat favorit ku di sekolah ini, alasannya karena suasananya memang terasa sangat nyaman.
Saat aku membutuhkan ketenangan, aku tidak akan merasa malas lagi dan malahan aku ingin segera datang kesana dan bersantai.
Setelah cukup lama berjalan, akhirnya aku sampai di taman ini.
Diperjalanan aku sadar akan satu hal, yaitu sepertinya Fisa juga akan mengikutiku.
"Kau tidak langsung pulang?"
"Ya, aku ingin berbicara denganmu."
Dan benar saja, saat aku berbaring dan ingin tidur sebentar, dia mendekat.
"Begitu ya?"
"Woh, ternyata rumput ini nyaman juga!"
Fisa ikut berbaring di rerumputan taman ini, itu berbeda dengan sebelumnya karena dia hanya akan duduk di sebelahku.
"Begitulah, seperti di lapangan golf."
"Satomi, sebenarnya. Ada yang ingin kubicarakan."
"Apa itu?"
"Kenapa kau menahan diri?"
"Apa maksudmu?"
"Aku mendengar pembicaraan mu dengan Danna. Padahal jelas-jelas kau tahu jawabannya, tapi kenapa kau salah menjawab saat maju tadi?"
Jadi dia juga mendengarnya.
Yah, aku terlalu malas untuk melakukan apapun termasuk berbicara sekarang.
"..."
"Satomi, kenapa diam saja? Wajahmu juga terlihat lelah, apa kau baik-baik saja?"
"Jika boleh jujur, aku merasa lelah dan mengantuk, singkatnya aku ingin segera tidur saat selesai bersantai disini."
Jika dihitung-hitung, total aku tidur selama tiga hari ini hanya 11 jam.
Yang mana waktu itu sangat kurang bagi remaja dan bisa berdampak buruk pada kesehatan.
"Kau tidak bisa tidur?"
"Mungkin, waktu tidur ku juga kurang beberapa hari ini."
"Kalau begitu bagaimana kalau kau tidur sekarang?"
"Maksudmu disini? Ya, tempat ini memang membuat ku merasa tenang. Tapi rasanya agak sulit untuk tertidur jika berada di tempat terbuka."
"Kau salah, aku ingin menawarkan pahaku sebagai bantal."
Dia menawarkan pahanya sebagai bantal?
Aku tidak mengerti maksud perkataannya.
Tapi kupikir aku harus menolaknya.
"Maaf Fisa, aku tidak ingin merepotkan mu. Bukankah kau akan merasa tidak nyaman? Aku akan pulang dan langsung tidur."
"Aku tidak keberatan jika itu adalah kau, bagaimana jika beberapa saat saja? Aku akan membangunkan mu ketika hari sudah hampir malam."
Fisa sudah terbawa suasana.
Aku yakin kalau aku menolaknya maka dia akan bersedih, mungkin dia juga terlihat marah karena tidak bisa membantuku saat di kelas tadi dan menawarkan pahanya sendiri sebagai gantinya.
Entahlah, aku merasa kesulitan saat berusaha untuk memahaminya.
Tindakannya, perkataannya, dan berbagai hal lainnya, sampai saat ini aku masih tidak mengerti.
Kurasa tidak ada salahnya jika aku mengikuti keinginannya, lagipula kondisi taman sudah terlihat sepi karena banyak siswa memutuskan untuk beristirahat di kamar mereka sendiri yang terasa lebih nyaman.
"Baiklah, aku akan menggunakan pahamu sebagai bantal. Jika terasa berat dan pegal, kau bisa membangunkan ku."
"Silahkan, maaf jika pahaku terlalu kecil."
"Ya, kalau begitu permisi."
Aku langsung menaikkan kepalaku dan meletakkannya di paha Fisa.
Rasanya sangat lembut dan kenyal, bahkan melebihi kenyamanan rumput taman ini.
Sebenarnya sejak awal dia ikut berbaring di sebelahku tadi, ada satu perasaan aneh yang mengganjal dalam diriku, tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya.
Aku sudah memastikan perasaanku, dan aku yakin kalau aku memang mencintai seorang gadis yang bernama Fisa Campbell ini.
Aku harus bisa menahan diri agar tidak melakukan hal yang berlebihan, aku tidak ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang Harry lakukan saat sedang jatuh cinta.
Kemudian aku memejamkan mata sejenak dan tak lama, aku tidak merasakan apa-apa lagi.