Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu.
..
Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar.
"Ada apa!?"
"Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya.
"Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah.
"Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuman di wajah Akara menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini.
"Berarti cantik bisa berlatih bersama kak Akara," ujar mama Lia sambil menata hidangan di atas meja.
"Boleh?" ujar Alice sambil mendongak, seakan memohon kepada mama Serin.
"Tentu saja!" Mama Serin menyetujuinya, lalu menuju meja makan bersama anaknya.
…
Saat langit berwarna kemerahan karena mentari sore, Akara dan Alice tergeletak, terlentang di ruang latihan. Keduanya kelelahan dengan pakaian yang sudah dibasahi oleh keringat. Di samping mereka juga ada sepasang pedang kayu yang menemani mereka latihan.
"Hehehe, Alice ternyata bisa mengikuti latihan sampai akhir." Akara memuji adiknya sambil mengusap kepalanya, hingga membuat poninya yang basah karena keringat jadi semakin berantakan.
"Alice akan menemani kak Akara terus!" Alice kini terlihat begitu riang, berbeda dengan sebelumnya yang masih pendiam.
Pintu ruang latihan tiba-tiba terbuka, lalu muncul wanita cantik yang sedang membawa dua gelas minuman.
"Masih di sini saja kalian," ujar mama Lia yang sedang berjalan perlahan mendekati kedua anak kecil itu.
Melihat kedatangan mamanya, mereka segera bangun dan meraih gelas minuman yang dibawa mama Lia.
"Terima kasih mama!" ucap keduanya secara bersamaan, lalu duduk di altar yang posisinya sedikit lebih tinggi dari lantai.
"Mama sebenarnya sudah tidak sabar mengajari kalian alkimia, tapi harus menunggu kalian memadatkan aura bulan energi ranah Maskumambang. Huhh, paling cepat 3 tahun lagi." Mama Lia dengan lesu memandangi tungku pemurnian yang berada di atas altar.
"Mama, hehehe." Alice malah tertawa kecil setelah memanggil mama Lia.
"Kenapa cantik?"
"Lihat!" Alice berdiri, lalu berlari beberapa langkah.
Hentakan energi seperti hembusan angin terjadi dari arahnya, lalu muncul aura ranah, bersama kilatan listrik berwarna ungu di bawahnya. Tidak lama kemudian muncul lingkaran yang tepat di bawah kakinya dan satu lingkaran lagi dengan pola unik, yang mengitari lingkaran pertama. Aura berwarna ungu cerah itu merupakan aura alkemis level 1.
Akara terbelalak, bukan karena melihat aura alkemis milik adiknya, melainkan karena sepasang pedang kayu miliknya. Keduanya bergetar, serta diselimuti listrik merah muda/pink yang cukup tipis, seolah-olah beresonansi dengan energi milik Alice.
"Wah!?" Mama Lia cukup terkejut, namun segera memegangi kepalanya sendiri dan menunduk sambil menggelengkan kepalanya.
"Anak cantikku selalu mengejutkan, sejak kapan?" lanjutnya.
"Dua hari yang lalu, saat Alice mempelajari teknik elemen listrik abadi dari gulungan di lantai 2." Alice menonaktifkan auranya, lalu mendekati mama Lia.
"Ohh, jadi karena energimu yang sedikit, lalu kamu paksakan latihan terus malah jadi pengendalian energimu lebih baik. Aura alkemis jadi muncul setelah kamu bisa mengendalikan energi dengan jumlah yang terbatas keterbatasan." Mama Lia menjelaskannya, lalu menatap ke arah Akara.
"Akara, kamu bisa-bisa tertinggal jauh oleh adikmu lho," goda mama Lia sambil tertawa kecil.
"Hehehe, tidak apa-apa kalau Alice lebih kuat!" serunya sambil tersenyum lebar.
"Ohh, mama kira kamu akan kesal, ternyata malah ikut bahagia." Mama Lia mengusap kepala anak laki-lakinya, lalu berjalan menaiki altar.
"Tentu saja! Walau sebenarnya Akara juga kepengen," ujar Akara sambil menunduk, hingga membuat Alice merasa bersalah.
"Maaf kak, tapi Alice tidak mau berlatih alkemis kok!" seru Alice sambil meraih tangan kakaknya.
"Bukan begitu, kakak tetep bahagia kok, bukan berarti tidak suka dengan Alice." Akara kini malah yang merasa bersalah, namun berusaha tersenyum untuk menenangkan adiknya.
"Iya Alice, lihat saja senyuman kakakmu itu," ujar mama Lia yang tengah fokus mengamati bagian bawah tungku pemurnian.
"Sepertinya mama Lia harus membersihkan tungku ini seharian besok, sudah lama tidak digunakan," lanjutnya membuat Alice panik.
"Bukan begitu kak, mama Lia,"
"Ada apa?" Akara dan Mama Lia serempak menengok ke arah Alice.
"Alice memang tidak mau berlatih alkimia. Bukan karena kak Akara, tapi mau fokus meningkatkan kekuatan," jelas Alice.
"Tapi Alice." Akara ingin membujuknya, namun dihentikan oleh mamanya.
"Tidak apa-apa Akara, kalau itu yang adikmu mau, tapi Alice… Tetap naikkan level aura alkemismu, kegunaannya masih banyak, tidak hanya untuk memurnikan pil saja,"
"Tentu saja mama! Hehehe,"
…
Satu tahun kemudian, Akara dan Alice bersamaan berlari naik ke lantai dua. Wajah bahagia terus terpancar dari senyuman di bibir keduanya.
"Papa!" seru Alice sesaat setelah sampai di lantai 2, di sana ada ayah Al dan keempat istrinya yang tengah duduk santai.
"Ada apa, kok kelihatannya bahagia sekali?" ujar ayahnya sambil menengok ke arah kedua anaknya, mereka kemudian berdiri berjejer di depan ayah dan mamanya.
"Lihat!" seru Alice dan Akara bersamaan, mereka mengeluarkan aura ranahnya yang sudah mencapai ranah Maskumambang 1 bulan energi.
"Anak ayah memang luar biasa, ayah benar-benar tidak menyangka kalian akan secepat ini memadatkan aura bulan energi." Ayah Al segera berdiri dan mendekati kedua anaknya, lalu menepuk pundak keduanya. Ekspresi bangga dan juga bahagia terlihat dari wajahnya, begitu juga pada keempat istrinya yang masih duduk di sofa.
"Tentu saja kami luar biasa, tidak seperti orang tua yang selalu pergi hingga tidak tau perkembangan anaknya," ujar Akara sambil memalingkan wajahnya, menyindir ayahnya secara langsung.
Ayah Al hanya bisa tersenyum getir setelah mendengar sindiran dari Akara, sedangkan Alice dan keempat istrinya tidak bisa menahan tawa.
"Ayahmu mungkin punya wanita lagi, jadi jangan kaget kalau adik baru yang muncul." Mama Serin menambahkan candaan yang membuat suaminya semakin terpojok.
"Hahh!?" Akara sontak kesal, tidak menyadari bahwa itu hanya candaan dan menganggapnya serius.
"Benarkah ayah!?" Ia kini menatap tajam ke arah ayahnya.
"Ah, mungkin," jawab ayahnya sambil memalingkan wajahnya.
"Tidak boleh!" Alice kini berteriak, lalu malah memeluk lengan kakaknya.
"Alice, seharusnya kamu memegangi ayahmu, bukan kak Akara," ujar mama Lia.
"Kak Akara milikku, tidak boleh ada adik lagi!" teriak Alice, sambil mempererat pelukannya.
"Hahaha, si cantik yang dulu pendiam jadi lebih mirip kakaknya sekarang," ujar mama Rani, membuat ayah Al dan ketiga istrinya langsung menatap ke arahnya. Tatapan kosong tanpa ekspresi antara kesal dan tidak percaya, karena kelakuan keduanya anaknya itu karena mama Rani sendiri.
"Ahh maaf, mungkin sebagian besar karena aku, hahaha," lanjutnya setelah mengetahui dirinya menjadi pusat perhatian.