Chereads / Penguasa Dewa Naga / Chapter 17 - Demi Adik Tercinta

Chapter 17 - Demi Adik Tercinta

Di ruang latihan, Akara dan Alice tengah duduk berdampingan. Mereka akan berlatih, namun tidak diajari oleh mama Lia maupun mama Rani, melainkan ayah Al.

"Ayah, ada gerangan apa sampai mau melatih kami?" Akara sudah curiga akan ayahnya yang datang sendiri ke ruang latihan.

"Iya, papa mencurigakan," sahut Alice.

"Kalian telah latihan berpedang bersama mama Rani dan mama Violet, lalu latihan pengendalian energi dan alkimia oleh mama Lia. Apa tidak mau melatih teknik yang dimiliki ayah?" Ayah Al langsung mengeluarkan dua buah cincin dari cincin penyimpanannya, lalu mengulurkannya kepada kedua anaknya tanpa menunggu jawaban dari mereka.

"Cincin?" Akara langsung mengambilnya, tapi adiknya nampak ragu-ragu.

"Itu cincin penyimpanan." Ayah Al meraih tangan Alice, lalu memasangkan cincinnya pada jari manisnya. Walau sedikit terkejut, tapi ia tidak menolak dan membiarkan ayahnya memasangkan cincin padanya.

Setelah kedua anaknya memakain cincin pemberiannya, ayah Al kemudian menunjuk ke arah sepasang pedang kayu di samping Akara.

"Kemarikan!"

"Buat apa?" Akara penasaran, namun tetap melakukan perintah ayahnya.

Saat menyentuh pedang kayu milik anaknya, ia cukup terkejut hingga mematung sesaat.

"Alirkan energi pada cincinnya, lalu arahkan kepada benda yang ingin dibawa sambil imajinasikannya." Ayah Al mempraktekkan dengan memasukkan pedang tadi ke dalam cincin penyimpanan, lalu mengeluarkannya lagi.

"Coba kalian ulangi yang ayah lakukan tadi," ujar ayah Al, kedua bocah itu langsung mencobanya dan berhasil dengan mudah.

"Keluarkan kembali, lalu lepaskan cincinnya dan praktekkan tanpa cincin." Ayah Al mengulurkan tangannya, untuk mengambil kembali cincin mereka.

Akara dan Alice mengeluarkan kembali pedang kayu tadi, namun Akara langsung menggenggam cincinnya dengan kedua tangan.

"Hah!? Tunggu dulu! Kalau bisa tanpa cincin penyimpanan, lalu apa gunanya cincin ini?"

"Benar!" Alice yang tadinya ingin memberikan kembali cincinnya, langsung mengurungkan niatnya setelah mendengar ucapan kakaknya.

"Ayah tadi sudah bilang 'kan? Teknik milik ayah, jadi tidak ada yang bisa selain ayah dan keturunan ayah." Ayah Al mengayunkan jarinya, meminta kembali cincin penyimpanan dari anaknya.

"Ohh?" Akara secara perlahan melepaskan cincinnya dan diberikan kepada ayahnya, lalu diikuti oleh Alice.

Ia kini mengulurkan tangannya di atas pedang kayunya, sedangkan Alice segera menirunya setelah melihat kakaknya itu. Akara mencobanya dengan serius, hingga dahinya mengerut dan mengeluarkan keringat. Pedang kayu masih di tempat semula walau ia sampai berekspresi seperti sedang mengejan.

"Ayah!" Akara kesal karena tidak kunjung bisa.

"Apa gunanya ini? Kan tinggal menggunakan cincin penyimpanan saja, kenapa harus repot-repot?" lanjutnya, namun segera dikejutkan oleh Alice yang telah berhasil melakukannya.

"Ehh bisa?" Alice malah ikutan terkejut dengan dirinya sendiri.

"Bagus cantik." Ayah Al langsung mengusap kepala anaknya, lalu menengok ke arah Akara.

"Akara, yakin tidak mau? Apa kamu tidak malu telah kalah dengan adikmu?" Ayah Al dengan santai memancing anaknya, dan benar saja, Akara tambah kesal dan mengulurkan tangannya lagi.

Melihat anaknya yang kesusahan, ayah Al mengulurkan tangan dan memegangi lengannya.

"Ayah bantu," ucapnya saat anaknya menatapnya dengan tatapan bingung.

Segera ada hentakan energi, juga aliran energi yang menyelimuti tangan Akara. Sesaat kemudian, pedang kayu di depannya menghilang.

"Ahh mudah!" seru Akara menyombongkan diri.

"Sekarang keluarkan lagi," ujar ayah Al, lalu dituruti oleh kedua anaknya dan berhasil.

"Sekarang lakukan lagi." Ayah Al kini melepaskan tangan anaknya.

"Berhasil." Alice langsung mencobanya lagi dan berhasil tanpa kendala, sedangkan pedang kayu di depan kakaknya masih tidak bergeming.

"Ingat perasaan tadi saat ayah bantu," ujar ayah Al ketika Akara terlalu fokus hingga mengeluarkan keringat lagi.

Wushh..

"Oh, cukup mudah ternyata," ujar Akara sombong saat berhasil setelah beberapa saat.

"Hari ini lakukan terus sampai terbiasa, ayah ada urusan." Ayah Al berjalan pergi meninggalkan kedua anaknya, sedangkan Akara langsung berdiri dengan kesal.

"Kalau ayah mau pergi lagi, setidaknya berikan latihan yang lebih bagus! Setelah sekian lama, malah hanya melatih teknik seperti ini!"

"Hanya, teknik seperti ini?" Ayah Al cukup geram dengan perkataan anaknya, ia lalu perlahan-lahan berbalik badan.

"Memangnya kamu bisa melatih teknik yang 'hanya' seperti ini!? Kalau tidak ada yang membantu, kamu bisa apa!?" bentak ayah Al membuat Akara terbelalak, mengingat kembali dirinya yang tidak bisa memadatkan aura. Kalau tidak ada Lisa yang membantu kala itu, ia tidak mungkin bisa memadatkan aura ranahnya.

"Papa!" teriak Alice dengan begitu kesal, lalu meraih tangan kakaknya yang tengah mengepal.

"Latihlah terus dan jangan banyak bicara!" Ayah Al kembali berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan kedua anaknya.

Di luar ruang latihan, ada mama Serin yang tengah berdiri. Saat suaminya keluar, ia langsung memeluk lengannya dan berjalan bersama.

"A ahh, ada ayah yang jahat di sini,"

"Aku tidak menyangka peningkatan mereka sepesat itu, tapi Alice lebih cepat memahami sesuatu dibandingkan Akara," ujar ayah Al.

"Memang seperti itu, tapi Akara berperan penting dalam kenaikan ranah Alice," ujar mama Serin tanpa menatap suaminya.

"Kenapa?" Ayah Al berhenti berjalan, lalu istrinya menatap ke arahnya.

"Akara setiap malam masuk ke kamar adiknya, selama satu tahun ini. Dia alirkan energinya pada Alice hingga kemajuannya terhambat." Mama Serin menceritakan semuanya yang ia ketahui saat mengawasi Akara. Saat pertama kali menyelinap, hingga saat anak itu berhasil membuka aura alkemis.

..

Kala itu Akara sedang mengalirkan energi pada Alice, namun energi yang mengalir begitu kecil, padahal Akara memiliki aura 5 bintang energi. Walau aliran energi terus mengecil, tapi ia tetap memaksakan diri. Ia terus memaksakan diri hingga bercucuran keringat dari wajahnya.

Beberapa saat kemudian, seluruh tubuhnya diselimuti oleh energi berwarna ungu. Energi yang kemudian mulai berkumpul dari bagian atas ke bawah, hingga memadat di bawah kakinya. Pemadatan pertama membentuk sebuah lingkaran kecil sebagai inti aura, lalu muncul lingkaran lain di sisinya. Lingkaran kedua ini memiliki pola alkimia dan berputar, serta bergerak mengitari inti aura.

Setelah berhasil memadatkan aura alkemisnya, Akara kembali mengalirkan energinya kepada Alice. Keluar aura ranah 5 bintang energi, lalu mengalir energi dari tangannya menuju tubuh adiknya. Energi yang mengalir cukup deras, namun kemudian Akara mengeluarkan aura alkemisnya.

Seperti bendungan air yang jebol, aliran energinya langsung berubah sangat deras, hingga berkali-kali lipat dari sebelumnya. Akara sendiri cukup terkejut kala itu, namun tetap melanjutkan mengalirkan energinya. Beberapa saat kemudian, cahaya keemasan yang membentuk bintang di belakang pundaknya berkurang. Aura 5 bintang energi, telah padam satu bintang menjadi 4 bintang energi.

Ibukota Kerajaan Glint

Kota yang diapit oleh sungai besar Oll dan pegunungan Vodor. Dam Beton, anak yang sempat memanfaatkan Akara telah berada di depan gerbang Serikat Pedang kabut. Tempat itu tepat di bawah pegunungan Vodor yang begitu tinggi, di sampingnya ada istana kerajaan Glint. Ia bersama Yon Beton, orang dari keluarga utama dan juga anggota serikat.

"Dengan bakatmu itu, di sinilah tempat yang tepat. Sudah pasti nanti kalau sudah besar, kamu bisa masuk ke akademi Amerta," ujar Yon Beton yang tangannya berada di pundak anak kecil itu.

..

Di tengah ibukota Kerajaan Glint

Sebuah bangunan besar yang paling mencolok, dengan tulisan 'Rumah Lelang Keluarga Meranti'. Kana, seorang gadis kecil yang beberapa kali menolong Akara saat dipukuli oleh tuan muda keluarga cabang Beton. Gadis itu telah berada di depan rumah lelang, di pipi dan lengannya ada luka lebam, ia kini memegang erat tangan seorang pria tua.

Beberapa hari yang lalu saat ia masih di keluarga Beton cabang kota Biru.

Plakk!!

Suara tamparan menggema di aula keluarga Beton. Seorang wanita sedikit melebarkan kaki dengan begitu congkaknya, di depannya ada gadis kecil bernama Kana. Gadis itu telah jatuh di lantai, menangis, sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan.

"Anak pembawa sial! Setelah tunangan dengan anakku, banyak sekali masalah yang kau timbulkan! Sudah menjadi sampah, sekarang membuat anak dan suamiku terbunuh!" teriak wanita itu yang ternyata ibu dari Cor Beton.