Chereads / Penguasa Dewa Naga / Chapter 3 - Sampah!?

Chapter 3 - Sampah!?

Wanita bertopeng tadi sekarang duduk, mengamati air bergelombang yang mulai tenang kembali. Tidak lama kemudian anak itu muncul ke permukaan, menghirup udara segar sambil berenang ke pinggiran.

"Dapat?" ujar wanita bertopeng, padahal jelas-jelas anak itu kembali dengan tangan kosong.

"Dapat dilihat bukan!?" jawabnya dengan berteriak sambil menatapnya dengan kesal.

"Ohh… Siapa namamu?"

"Akara," jawabnya dengan suara lebih tenang, namun raut mukanya masih kesal.

"Akara? Kalau aku panggil saja Si Cantik," ujar wanita bertopeng sambil menunjuk kedua pipinya dengan begitu imut.

"Tidak ada yang nanya! Cantik dari mana? Topeng jelek begitu," ujar Akara sambil menunjuk ke arah muka wanita bertopeng.

"Aku cantik!"

"Jelek!"

"Cantik!" Wanita bertopeng yang tadinya cuek, ternyata berperilaku sangat menyebalkan hingga beradu mulut dengan anak kecil.

Karena terlampau kesal, Akara dengan cepat menarik topengnya: "Jele..?" Ia terdiam sesaat begitu melihat wajahnya.

Wajah seorang gadis berusia 17 tahunan dengan wajah tirus, sorot mata yang terang dengan pupil berwarna hitam dengan garis-garis merah muda, lalu senyuman manis di bibir merah mudanya. Rambut hitam panjangnya yang lurus, terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih bersih seperti mutiara. Dengan cepat gadis itu mengenakan kembali topengnya, sedangkan Akara malah berteriak.

"Jelek! Week!" teriaknya sambil menjulurkan lidah.

"Hahaha, lihat sepuluh tahun lagi!" ujar gadis tadi dengan suara begitu lembut. Ia berusaha berdiri, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Akara, dan tiba-tiba saja muncul dua bilah pedang kayu.

"Ambil pedangku," lanjutnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya, yang tak lama kemudian membuat dirinya menghilang.

"Wahh keren!" seru Akara kagum melihat kepergiannya, lalu meraih kedua bilah pedang kayu yang terjatuh di depannya.

"Ini, ini pedangku!" teriaknya, namun kemudian menyadari sesuatu yang aneh dan mengayunkannya.

"Bukan pedangku, tapi." Anak itu mengamati bilahnya, lalu mengayunkannya kembali dengan begitu luwes.

"Perasaan yang sama." Ia masih merasa heran dengan pedang yang diberikan gadis bertopeng, karena perasaan yang sama dengan pedang lamanya.

..

Hari mulai sore, langit sudah berubah menjadi merah saat ia pulang ke rumahnya. Rumah kecil di pinggiran kota, tepat di samping ladang perkebunan menjadi tempat anak itu dan mamanya tinggal.

Sebelum membuka pintu, ia mengusap wajahnya yang masam dan memaksakan diri untuk tersenyum beberapa kali. Setelah dirinya bisa tersenyum dengan luwes kembali, ia segera mendekati pintu.

"Mama, aku pulang!" teriaknya saat membuka pintu.

"Akara, cepatlah mandi, lalu makan!" seru mamanya yang terdengar dari arah dapur.

Setelah mandi, ia kemudian makan bersama mamanya.

"Akara, bagaimana akademinya?" ujar mamanya saat mengambilkan nasi untuk anaknya. Namanya Rina, ia memiliki wajah tirus dengan kulit seputih mutiara, dihiasi dengan bibir berwarna merah alami, lalu matanya yang lebar dengan tatapan tajam. Rambutnya hitam, dipotong pendek di atas bahu yang terlihat begitu kontras dengan warna kulitnya. Kaos pendek yang sederhana, tidak bisa menutupi tubuh indahnya dengan bentuk pinggang yang ramping dan dadanya yang cukup besar. Ada juga kaki jenjangnya yang diselimuti oleh celana ketat panjang.

"Hebat mama!" seru Akara dengan riang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Tadi altar batunya rusak, jadi besok diuji lagi," lanjutnya.

"Ohh, kalau begitu cepat habiskan dan istirahat," ujar mamanya sambil menaruh piring berisi nasi di depan anaknya.

..

Saat Akara tertidur, mamanya melihat ke arah dua bilah pedang kayu yang anaknya taruh di ujung ruangan. dalam pandangannya, dua bilah pedang kayu tadi diselimuti oleh kilatan listrik berwarna merah muda. Saat ingin menyentuhnya, tiba-tiba saja kilatan listrik cukup besar menyambar tangannya.

"Posesif sekali hihihi," ujarnya sambil tertawa kecil, lalu meninggalkannya begitu saja.

...

Hari selanjutnya

Akara datang ke akademi, walau dirinya telah gagal memadatkan aura ranahnya, dan gagal diterima sebagai murid akademi. Akan tetapi, dengan penuh percaya diri, ia menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya. Anak kecil itu berbaur dengan anak-anak lainnya, namun ternyata ada yang mengenalinya saat sampai di lapangan utama.

"Lihat! Itu dia sampah yang bahkan tidak dapat memadatkan auranya." Seorang anak laki-laki seumurannya menunjuk ke arahnya, memberitahukan kepada anak-anak yang umurnya lebih tua dari mereka.

Semua pandangan seketika mengarah kepada Akara, waktu terasa terhenti dari sudut pandang anak kecil itu. Semua tatapan mata yang mengasihani, juga merendahkannya terasa amat mencekam.

Saat waktu terasa berjalan kembali, kini terdengar suara tawa, dan bisik-bisik yang sedang membicarakannya.

"Hahaha malang sekali, hidup apa yang akan ia jalani tanpa aura energi,"

"Tentu saja hidupnya tidak akan lama,"

"Memang sudah ditakdirkan sebagai sampah seumur hidupnya,"

Dengan tatapan tajam, Akara menengok ke arah mereka hingga cukup membuat terkejut. Setelah itu, ia melanjutkan berjalan kembali, namun ada sekelompok siswa yang menghalangi jalannya. Mereka berlima, empat orang laki-laki dan satu perempuan yang membawakan tas mereka. Gadis kecil itu bernama Kana, yang juga dari keluarga Beton.

"Ehh mau ke mana?" Salah satu laki-laki yang bernama Cor Beton, tuan muda keluarga Beton cabang kota Biru.

"Master Aura terkuat," lanjutnya, diikuti gelak tawa ketiga temannya, sedangkan Kana yang menjadi pesuruh mereka hanya bisa menunduk.

"Hahaha, master Aura terkuat katanya!"

"Seekor semut ingin menjadi naga,"

Tanpa basa-basi, Akara melempar kedua pedang kayunya di udara, lalu mendaratkan pukulan tepat di hidung Cor Beton.

Buggh!!

"Akgg!"

Pukulan yang cukup kuat hingga membuat Cor Beton terdorong ke belakang, lalu darah mengalir dari hidungnya.