Chereads / Penguasa Dewa Naga / Chapter 8 - Dua Esensi Surgawi

Chapter 8 - Dua Esensi Surgawi

Wanita itu kini melayang turun perlahan, dibarengi jatuhnya kristal es dari tubuhnya dan memadamkan api yang membakar hutan. Beberapa saat kemudian, kubah penghalang mulai terbentuk kembali secara perlahan-lahan hingga akhirnya utuh seperti sedia kala.

"Memang bisa menahan monster sekuat apapun, tapi tidak akan menahan sesuatu yang bahkan membuat monster ketakutan," ujar gadis bertopeng seraya melihat ke arah mamanya Akara.

"Lisa, ada apa dengan kekuatanmu?" ujarnya dengan santai, seperti tidak melihat keadaan anaknya yang sedang pingsan.

"Perjalanan ruang waktu cukup melelahkan, hanya tersisa sebagian kecil kekuatanku saja,"

Mamanya Akara hanya tertawa kecil setelah mendengar jawabannya, lalu mendekati anaknya yang tengah melayang di udara. Ia ulurkan tangan kanan ke arah esensi berwarna biru, lalu tangan kiri ke esensi berwarna merah. Walau kedua esensi memiliki energi panas dan dingin yang sangat luar biasa, namun tidak berefek apapun padanya.

"Akara belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik, jangan sampai seperti kakaknya," ujarnya sambil perlahan-lahan mulai merapatkan kedua tangannya, menggerakkan kedua esensi agar saling mendekat.

Bwushhhh!!

Terjadi ledakan energi yang sangat besar saat kedua energi bergabung, disusul semburan api biru ke arah atas hingga mengenai kubah pelindung.

"Akhh!" Mama Akara cukup kwalahan mengendalikan kedua esensi, sedangkan semburan api biru terus saja terjadi tanpa henti.

"Aku bantu." Lisa sang gadis bertopeng mengangkat tangan kirinya, kini lingkaran sihir di udara mulai menyala kembali. Kilatan-kilatan petir yang tidak beraturan, perlahan menyatu dan mengalir dengan tenang ke dalam kedua esensi.

Semburan api masih saja besar, lalu keduanya menghentakkan energi dari dalam tubuh mereka. Kini tubuh mereka diselimuti oleh energi, energi petir merah muda pada Lisa, juga energi api merah menyala pada mamanya Akara. Ada juga perubahan warna dan bentuk pupil mereka, bentuk seperti mata ular dan warnanya sesuai warna energi mereka yang menyala-nyala begitu indah.

Perlahan-lahan api biru mulai mengecil, dibarengi dengan aliran energi seperti air di udara, mengalir ke dalam esensi. Baru beberapa saat, tiba-tiba Lisa terbatuk.

"Uhuk!" Lisa batuk disertai dengan darah yang keluar dari mulutnya.

"Lisa!? Hentikan, jangan memaksakan dirimu!" Mamanya Akara sontak panik, namun Lisa masih tetap mengalirkan energinya.

"Tidak, harus bisa!" teriak Lisa dengan suara sedikit bergetar.

Mama Akara menengok ke arahnya dengan kesal, namun segera menghela napas begitu melihat air mata yang mengalir di pipi Lisa.

"Huhh, baiklah,"

Woshhh!

Kini kobaran api merah pada tubuh mamanya Akara semakin membesar, bahkan menyamai kobaran api biru sebelumnya. Penyatuan tinggal sedikit lagi, namun lagi-lagi Lisa batuk hingga mengeluarkan darah. Mama Akara hanya bisa mengkerutkan dahinya, mengkhawatirkan gadis cantik itu.

Blup…

Saat kedua esensi menyatu, semuanya langsung seketika sunyi. Asap serta api yang memenuhi kubah penghalang hilang begitu saja. Tubuh Lisa dan juga mamanya Akara langsung tersungkur di tanah, sedangkan anak kecil itu turun secara perlahan dari udara.

"Hahaha, akhirnya." Keduanya tertawa begitu lepas karena lega telah menyelesaikannya.

"Aku masih memiliki esensi petir." Lisa mengeluarkan esensi yang sama, namun memiliki energi petir yang menyambar-nyambar.

"Mau digabungkan sekalian?" lanjutnya sambil tersenyum lebar, melihat ke arah mama Akara.

"Ohh ayo!" seru mamanya Akara membuat Lisa terbelalak kaget.

"Akan aku akhiri hidupmu agar tidak bisa menikmati hasil kerja kerasmu ini," lanjutnya mengancam Lisa.

"Ehh, tidak perlu, ribuan tahun aku baru bisa mendapatkannya," ujar Lisa sambil memeluk esensi tadi dengan sayang.

"Jadi, lebih sayang kepada esensi itu daripada Akara?" Mama Akara menggodanya, hingga membuatnya panik dan kesusahan menjawab.

"Itu, tentu saja dia!"

Mereka kemudian tertawa lepas, mengabaikan Akara yang masih tergeletak tidak sadarkan diri di tanah.

..

Hari berikutnya, Akara berangkat ke sekolah seakan tidak terjadi apa-apa pada hari sebelumnya. Ia berlari menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya menuju ke dalam Akademi. Anak-anak yang melihatnya datang ke akademi langsung kaget dan juga bingung.

"Bukankah kemarin anak itu babak belur? Kenapa sekarang begitu riang?"

"Entahlah, mungkin karena terlalu bodoh,"

"Kebodohan apa yang bisa menyembuhkan luka seperti kemarin dalam semalam!?" seru seseorang membuat mereka terdiam karena bingung, sedangkan Akara terus berlari hingga tidak mendengar perkataan mereka.

Begitu melihat Dam Beton, ia langsung berlari menghampirinya.

"Heii!" seru Akara sambil melompat di depan temannya yang dianggap jenius, melebihi tuan muda keluarganya.

"Akara!?" Dam Beton sangat terkejut, bukan karena teriakan tiba-tibanya, namun karena kedatangannya.

"Kau sudah gila!?" Ia menarik Akara dan berbicara berdekatan.

"Kenapa? Hanya belum memadatkan aura ranah, tidak perlu seheboh itu 'kan?" ujar Akara, seolah-olah melupakan kejadian pada hari sebelumnya.

"Seberapa keras kepalamu terpukul? Sampai melupakan semua kejadian kemarin." Dam Beton menarik kepalanya dan melihatnya dari berbagai sisi.

"Ada apa?" Akara kali ini benar-benar bingung, sedangkan Dam Beton hanya menepuk kepalanya.

"Dengar!" Dam Beton merangkul pundaknya, mendekatkan kepalanya, lalu menunduk.

"Kemarin kau berangkat ke akademi, lalu ada tuan muda Cor Beton yang mengejekmu. Tiba-tiba saja kau pukul hidungnya dengan sangat keras, lalu.." ucapan Dam Beton tidak lagi terdengar, kini Akara mengingat kembali kejadian pada beberapa hari sebelumnya.

"Hei, kau dengar?" Dam Beton bingung saat Akara bengong dan diam saja.

"Di mana dia!? Di mana Cor Beton!?" ujar Akara dengan geram.

"Mungkin masih di kediaman keluarga Beton, mau apa?"

"Terima kasih!" Akara langsung bergegas lari meninggalkan akademi.

"Tunggu!" seru Dam Beton, lalu tersenyum puas dan berjalan mengikuti Akara.