"Kamu bilang wajah itu aset yang berharga? Berhati-hatilah, jangan sampai melukai wajahmu," ucap Akara dengan tenang, membalikkan kata-kata yang sebelumnya Lisa katakan kepadanya.
"Hahaha, pintar bicara." Lisa terbang semakin tinggi, hingga mencapai ranting yang sebelumnya hampir ia tabrak dan duduk di sana.
"Sudah tidak ingin mengambil ini kah?" Lisa menunjukkan kedua pedang kayu milik Akara, lalu digoyang-goyangkan lagi.
Akara tidak menjawabnya, kemudian berdiri dan berusaha memanjat pohon. Pada kesempatan pertamanya, ia langsung terjatuh dan membuat Lisa menertawakannya. Akara terus mencoba memanjat hingga beberapa kali terjatuh, namun akhirnya berhasil. Walaupun begitu, ia langsung kaget ketika Lisa sudah tidak ada di sana.
"Lambat." Lisa menjulurkan lidahnya, ia sudah terbang menjauh meninggalkan Akara.
"Licik!" Akara bergegas turun, hingga membuatnya merosot dan lengannya terparut oleh kulit pohon.
Anak kecil itu terus mengejarnya, bahkan sampai terperosok ke dalam lubang dan dilempari sarang lebah oleh Lisa. Gadis cantik itu terus mengusilinya dan tertawa jika berhasil mengenai Akara.
Saat matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun, Akara keluar dari hutan dan muncul di pinggir sungai. Di sana sudah ada Lisa yang tadi meninggalkannya. Kondisi Akara saat ini sudah sangat berantakan, tubuh serta pakaiannya kotor, lalu luka di lengannya dan benjolan di muka akibat sengatan lebah. Wajah Akara terlihat lucu, karena pipi dan bibirnya yang membengkak, membuat Lisa tak kuasa menahan tawanya.
…
Hari berikutnya saat matahari telah berada tepat di atas ubun-ubun, menyinari kota kecil bernama kota Biru. Di siang hari yang panas itu, Akara berjalan dengan muka yang murung dan sorot matanya begitu sayu. Orang-orang yang sedang berlalu-lalang sontak terkejut melihatnya, mereka kemudian saling berbisik.
"Bukankah anak itu yang kemarin tidak mampu memadatkan aura ranahnya?"
"Benar, tadi juga menantang tuan muda keluarga Beton,"
"Keluarga beton!?" serunya, tidak mampu menutupi keterkejutannya. Suaranya cukup keras, hingga terdengar di telinga Akara.
Sorot mata yang tadinya sayu, seketika berubah menjadi tajam saat melihat orang-orang yang membicarakannya.
"Hei, dia dengar!" bisik orang di sampingnya dengan sedikit berteriak.
Para warga yang membicarakan Akara langsung berpura-pura tidak tau dan memalingkan wajahnya, mereka kembali beraktivitas seperti biasanya.
Setelah itu Akara kembali berjalan, namun tidak lama kemudian ada yang membicarakannya lagi.
"Dia sudah dipukuli oleh tuan muda Cor Beton, padahal dia sendiri yang menantangnya,"
"Kasihan sekali, dosa apa yang ia perbuat di masa lalu, sampai tidak bisa memadatkan aura energi,"
Akara yang mendengarnya dari kejauhan, mulai meraih pegangan pedang di pundaknya. Akan tetapi, ia teringat kembali persyaratan yang diajukan oleh gadis bertopeng kepadanya. Setelah menghela napas, ia melepaskan genggaman pada pedangnya dan melanjutkan perjalanan pulang.
"Dia tidak memiliki ayah bukan?"
"Benar, benar, mungkin saja itu karma karena kelakuan orang tuanya!"
"Sayang sekali, padahal wanita itu sangat cantik, tidak aku sangka kelakuannya seperti pelacur,"
Akara yang tadinya sudah bisa mengendalikan emosi sontak saja meledak. Kedua pedang kayunya dengan cepat ditariknya dari belakang punggungnya.
"Hei! Apa yang kalian bicarakan!?" teriak seorang wanita dari kejauhan, wanita yang ternyata adalah mamanya Akara.
"Mama?" Akara sontak terbelalak, hingga pedang yang ada di genggamannya gemetar hebat.
"Ayo pergi, ayo pergi!" Orang-orang tak tau malu itu sontak pergi, setelah orang yang mereka bicarakan menangkap basah mereka.
Rasa kesal dan emosi Akara yang tadinya meledak mulai berubah, kini ia gemetaran dan matanya mulai sembab. Air matanya menetes ketika wanita yang merupakan mamanya itu menoleh ke arahnya.
"Akara!" teriak wanita itu dengan begitu riang saat berlari ke arah anaknya.
Akara langsung mengusap air matanya, tak ingin mamanya mengetahuinya.
"Kenapa kamu di sini? Tidak pergi ke akademi?" Wanita itu kemudian berjongkok di depan anaknya, lalu melihat sisa-sisa air matanya dan mengusapnya. Jari lentiknya begitu lembut mengusap saat mata anaknya, lalu mengusap rambutnya.
"Kenapa menangis?" ujarnya lagi.
"Apa dia benar-benar tidak tau?"
"Mungkin anak itu tidak berani memberitahukan kepadanya,"
Orang-orang yang masih di sana langsung saling berbisik lagi, lalu mamanya Akara berdiri dan menoleh ke arah mereka.
"Ada apa?" ujarnya dengan begitu polos.
"Apa kau benar-benar tidak tau kalau anak itu tidak bisa memadatkan auranya?"
Mama Akara dengan polosnya menggelengkan kepala.
"Tadi pagi juga anakmu membuat masalah dengan keluarga Beton,"
"Sebaiknya kalian segera meminta maaf,"
"Bukankah mereka bilang anak itu babak belur? Kenapa saat ini ia baik-baik saja begitu?" ujar salah seorang sambil menunjuk ke arah Akara yang hanya terdiam dan menunduk.
"Apa mungkin malah anak ini yang memukuli tuan muda Cor Beton!?" seru warga lainnya membuat semua orang terkejut.
"Iya!" Akara langsung berteriak dan mengangkat kepalanya. "Aku yang akan memukulinya!" lanjutnya dengan tatapan yang tajam.
"Hahh!?" Para warga sontak tercengang, memandangi anak kecil yang kini jadi pusat perhatian.
"Memangnya kenapa kalau tuan muda? Hahaha bagus anakku pukul saja mereka!" Mamanya Akara berjongkok lagi, mengusap kepala anaknya sambil tersenyum lebar.
"Ayo pulang saja, mereka berisik." Ia kemudian meraih tangan anaknya dan menuntunnya pergi menuju rumah mereka.
"Tidak aku sangka akan reaksi mereka,"
"Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya,"
Saat sampai di rumah, Akara langsung menangis begitu pintu tertutup. Sedangkan mamanya segera berjongkok dan memeluknya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Maaf, maaf mama!" seru Akara sambil menangis hingga sesenggukan, lalu mamanya berbisik pelan kepadanya.
"Kamu anak mama yang paling hebat, mama bangga dengan anak mama ini. Jangan pedulikan ucapan mereka, ingat saja terus mimpimu untuk melampaui Kaisar Amerta. Kamu pasti bisa!"
…
Hari selanjutnya, Akara kembali menemui Lisa di tempat yang sama, gadis itu masih ada di sana dan sedang duduk di atas tebing. Melihat kedatangan Akara, ia langsung tersenyum dan memakai kembali topengnya.
Akara mengernyitkan dahinya ketika melihat Lisa yang sedang berada di atas tebing, mengingat kembali pertemuan pertama mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja Lisa menghilang begitu saja.
"Dapat!" Lisa ternyata sudah berada di belakang Akara, dan mengambil kedua pedangnya.
"Kejar aku!" Lisa kembali terbang ke arah hutan, namun Akara mengabaikannya dan duduk di pinggir sungai. Anak kecil itu begitu murung, menekuk kakinya dan ia gunakan sebagai sandaran kepala.
Karena Akara tidak mengejarnya, Lisa menatapnya sesaat, namun kemudian menjentikkan jarinya. Aliran listrik kecil muncul dari jentikan jarinya dan menjalar, mengarah ke tubuh Akara.
"Ahh!" Akara terkejut, hingga melompat ke dalam sungai, sedangkan Lisa tertawa begitu puas.
"Kenapa!?" teriak Akara sambil berusaha naik ke daratan.
"Kejar aku atau perjanjian kita batal!" seru Lisa yang langsung terbang ke hutan, tanpa menunggu jawaban dari Akara.
Akara segera bergegas mengejarnya, menyusuri hutan yang begitu lebat. Kembali tingkah jahil dari Lisa muncul, ia melentingkan dan menjatuhkan ranting pohon ke arah Akara. Setelah itu membuat Akara terperosok ke dalam lubang dan memancing amarah seekor gajah agar mengejar Akara.
Kegiatan itu terus berulang-ulang hingga beberapa hari. Akara yang tadinya nampak begitu kikuk saat melewati hutan, kini dapat melewatinya dengan begitu lincah. Melompati akar dan batang pohon yang tumbang, lalu mengindari ranting dengan begitu mudah.
Pada hari ketujuh saat Akara ingin menuju tempat biasanya, ia bertemu dengan tuan muda Cor Beton, ketiga kawannya dan juga Kana.
"Si sampah!"
"Pecundang yang kabur itu!"
"Hahaha." Mereka menghalangi jalan Akara dan mengejeknya, diikuti gelak tawa.
Akara kesal, mengepalkan tangannya dengan begitu kuat, namun tiba-tiba terbelalak.
"Satu, dua…" Akara tiba-tiba menghitung jarinya, lalu Cor Beton mendekatinya.
"Kenapa? Kita ada 4 orang, tapi aku saja sudah cukup untuk menghajarmu,"
"Ehh 7!?" Akara mengabaikan Cor Beton dan panik begitu mengetahui ini hari ketujuh.
"Beraninya kau mengabaikan aku!" Cor Beton sontak kesal, namun tiba-tiba saja Akara berlari mengindarinya.
"Hahaha pengecut itu lari ketakutan melihat tuan Cor Beton!" seru salah satu bawahan Cor Beton.
"Hahaha kejar dia!" Cor Beton merasa sombong dan mengejar Akara bersama bawahannya.