Syifa tersenyum sendiri membayangkan wajah Gus Huda yang masih di dalam masjid itu.
Beberapa kali Syifa dapat berpapasan dengan Gus Huda secara langsung.
Matanya melotot takjub takkala Gus Huda keluar masjid. Aura yang teduh dan bersinar membuatnya seolah berhenti bernafas.
"Masyaallah."tanpa sadar dia berucap saat di depan Gus Huda tersebut.
Gus Huda yang melihat wajah aneh Syifa tertunduk malu.
Dengan sangat gugup Syifa beranikan menyapa.
"Gusss..." suara agak gemetar meluncur seolah sangat dipaksakan.
Sebenarnya dia sudah dari tadi menyiapkan kalimat basa-basi ketika berpapasan dengan Gus Huda ini, namun karena sangking gugupnya dia malah sangat aneh dan malu-maluin.
Gus Huda berlalu dengan senyum kecil. Tanpa memberikan jawaban.
Syifa merasa sangat menyesal karena bersikap sangat buruk.
"Tidak ada anggun-anggunya sama sekali" gerutunya dalam hati.
Pertemuan itu memberikan kesan yang luar biasa di dalam hatinya. Angan-angan melayang membayangkan dia, dia dan dia.
Hape berdering, suara panggilan dari orang tua di desa. Beda kota dengan pondok yang ditempati Syifa.
"Syifa, gimana kabarnya? Sehat kan?"
Suara dibalik panggilan itu. Ibu.
"Kamu bisa pulang kan?" tanya ibu lembut. Seperti pernyataan kangen yang berselimut basa-basi.
"Tentu bu, aku akan segera pulang, mungkin besok akan cari tiket kereta yang murah saja. " Jawab Syifa mencoba menenangkan ibunya.
Dalam batinnya sudah berkecamuk. ingin bercerita tentang perasaannya pada putra kiainya. Di sisi lain juga bingung adakah ini bukan suatu tindakan tidak punya unggah-ungguh. Dimana posisidia yang hanya santri biasa.
Sayang sekali malam ini harus berakhir, tanpa suatu harapan jelas meski ada harapan dapat bertemu dengan Gus Huda.