CHAPTER 1: Mengingat Balik Seorang Laskar Alwandra
Past Tense
Penyesalan memang selalu datang di akhir sebuah keputusan.
Tentunya itu berlaku untuk semua orang yang merasa jika adanya dampak negatif dari sebuah keputusan yang diputuskan. Jadi tidak mungkin seorang Athalia Ilerina tidak pernah merasakan sebuah penyesalan dalam hidupnya.
Bagaimana tidak? Mau menatap realita dari keputusannya dirinya sudah tidak sanggup untuk berjalan, hatinya terasa sakit dan nafasnya mulai sesak. Setiap langkah yang ia jalani terasa seperti dirinya telah di tusuk berkali-kali. Tapi itu adalah perasaan terakhir yang dapat ia rasanya karena setelah itu kesadarannya pun menghilang dan dirinya bangun disebuah ruangan bernuansa putih. Seperti rumah sakit, batin Athalia.
"Syukurlah lo udah bangun, lain kali makanya makan, jangan ngeyel kalau dibilangin," suara kesal dari samping Athalia mengdumel kepada perempuan yang terbaring di tempat tidurnya. Suara yang jelas betul perempuan itu kenali hanya bisa mengdumel dengan pelan, "Bisa gak sih sekali gitu dengerin kakak? Kenapa pakek acara keras kepala, gitu pingsan lagi. Kamu mau buat satu rumah khawatir?"
"Sudah?" Jawab Athalia dengan singkat, "Apa kakak disini hanya mau komplain tentang semua kesah keluh kakak terhadap bebanya memiliki adik kayak-ku?"
"Kakak tidak pernah -"
"Aku mau tidur, kakak pulang aja, aku gak minta kakak disini sama sekali," bantah Athalia, perempuan itu mulai bangkit dari tempatnya. Melirik kesampingnya, tidak ingin melihat muka dari orang yang berbicara.
"Kenapa lo mesti bikin kita khawatir dek?"
"Aku tegesin lagi ya kak. aku ga minta kakak disini," Jawab Athalia dengan kesal. Perempuan itu memandang sekitarnya sebelum bertanya kepada orang yang disebalahnya tentang kedua sosok yang pergi tanpa kabar, "dimana papi mami?"
"Di London, mereka lagi mengurus kerjaan disana," Athalia yang mendengar pernyatan tersebut memalingkan wajahnya kearah lelaki yang duduk disamping. Rambut biru mencolok itu menyapa mata athalia, sebuah tatapan tajam diberikan kepada perempuan yang terbaring dikasur tersebut. Lelaki itu adalah Mikael Adipta ledger, Kakak kedua Athalia.
Mikael Adipta Ledger, anak kedua dari keluarga Ledger, pemegang perusahaan dari keluarga Ledger. Keluarga Athalia adalah keluarga konglomerat pemegang minyak tanah dan perihasan terbesar di Indonesia, sehingga dirinya sudah lahir dikeluarga yang sangat mapan. Namun, itu membuat Athalia semakin membenci dan menyesal untuk berada di keluarga ini. Orang tuanya yang tidak pernah berada di rumah karena sibuk.
"Kalau Kak Jeff? Masih di Itali?" Tanya perempuan itu dan lelaki itu menganggukan kepalanya. Tentu, pastinya tidak ada orang yang bakalan peduli, lempar aja kerumah sakit pasti beres, batin Athalia.
Kakak laki-laki yang pertama, Jeffry Kalendra Ledger, seharusnya menjadi pemegang tahta warisan dari keluarga, namun kakaknya lebih suka hidup bebas, sehingga pilihannya menjadi pembalap motor GP sering ditentang oleh kedua orang tuanya. Namun, dirinya mampu untuk tetap kekeh menjadi pembalap dan sekarang menjadi pembalap terkenal di dunia. Sekarang kakaknya hidup di Paris dan sedang mengikuti perlombaan motor GP di Itali.
"Lo tanya tentang orang lain, apa gak capek?" Celetuk lelaki itu dengan serius, "Jangan pura-pura buat bahagia, kalau capek ya bilang jangan dipendem."
"Emang kakak tau apa tentang bahagia?" tanya Athalia perlahan, "Kakak tau gimana perasaan ku selama Dia tidak ada? Jangan ngomong asal kak, kebahagian yang aku ketauhui, itu gak ada di kamus kakak."
"Terus?" bantah Mikael, "Apa kamu bakalan stay disini? Bersedihan hingga lo lupa makan? Lupa tentang kehidupan lo? Buang-Buang buat orang yang bahkan sudah gak ada -"
"JAGA MULUT KAKAK, LASKAR MASIH HIDUP KAK!"
"Athalia Ilerina Ledger, dengarkan dirimu sendiri! Lo menangisi seseorang yang bahkan tidak mencintai mu!" Amarah dari lelaki itu lepas melihat adik kesayangnya itu menangisi manusia tidak berguna.
Tentunya menyumpahi seseorang yang sudah meninggal merupakan hal yang tidak baik. Tapi bagaimana bisa seorang kakak tinggal diam, jika melihat adiknya itu menangisi lelaki yang sudah tiada itu setiap malam hingga lupa untuk menjaga dirinya sendiri?
Lelaki itu memeluk adiknya yang menetaskan air mata perlahan-lahan. Memeluk erat perempuan itu yang sedang tidak baik, kehilangan orang yang paling dicintai di hari kelulusannya mereka tentu bukanlah kenangan indah yang ingin diingat. Inilah penyesalan yang telah dipendam oleh seorang Athalia.
Laskar Alwandra, lelaki penyayang, sabar dan rendah hati yang harus meninggal di hari kelulusan mereka. Lelaki yang mampu membuat hari seorang Athalia berubah dari hitam putih menjadi bewarna, seorang yang telah menemani perempuan itu menjalani hidupnya yang kosong itu diisi dengan kenangan indah setiap hati. Lelaki yang rela naik motor jam 2 pagi karena Athalia lagi ngidam makan gado-gado. Lelaki yang menemani dirinya pergi ke toko buku di akhir pekan karena ia kehabisan bacaan buku. Lelaki yang selalu mengingat Athalia yang alergi dengan makanan seafood sehingga ia harus menemani Athalia di ICU karena alerginya. Laskar yang selalu melindunginya lebih dari keluarganya sendiri?
Semua itu dilakukan oleh lelaki itu, sehingga bagaimana tidak seorang Athalia tidak menangis sesosok lelaki itu? Apakah seorang yang seperti itu pantas dicap oleh kakaknya tidak mencintainya?
"Kakak bahkan tidak menanyakan kabarku," Athalia menangis dipelukan lelaki itu, "Kakak yang jangan pura-pura peduli sama aku."
"Makanya kakak akan mulai peduli, karena itu gue ngasih lo pilihan dek, lo mau engga ikut kakak ke singapura. A fresh start, away from the pain?" Tawaran yang sangat mengoda itu membuat Athalia menatap lelaki itu dan mengangguk kepalanya.
Itulah percakapan terakhir yang Athalia ingat sebelum dirinya menginjak pesawat pribadi keluarganya dan pergi dari Jakarta ke Singapura untuk menetap. Sebuah ringkasan percakapan 8 tahun lalu, yang membuat hidup seorang Athalia untuk berubah.
Present Tense
Laskar Alwandra
Seorang manusia biasa yang hidup di dalam keluarga yang bercukupan. Hidupnya penuh dengan orang-orang yang mencintainya, namun takdir tragis yang menimpanya membuat orang-orang disekitarnya heran akan hidupnya. Dia memiliki kedua orang tua yang kaya raya, mempunya rumah yang lebihd ari cukup, pakaian yang dia beli pun tidaklah murah, anaknya sangat baik hati, rajin dan bahkan tidak sombong.
Namun, dengan segitu berkat yang dilimpahkan kepadanya, bukanya cukup untuk mengucap syukur atas hidup? Bukankah perlakukan dirinya sendiri kepada dirinya akan membuat dirinya menutup jalan untuk masuk surga? Tentunya pertanyaan tersebut selalu menetap di otak seorang yang telah menangisinya selama ini.
Apakah yang sudah diberikan itu tidak cukup hingga sebuah jalan yang menyedihkan harus dipilih oleh lelaki tersebut?
Cerita ini akan bertujuan untuk mengenang seorang yang telah lama meninggal. Dirinya yang telah meninggalkan sebuah sepasang orang tua, sekumpulan teman, dan seorang yang menyayanginya lebih darinya. Meninggal dengan cerita tragis, seakan dirinya adalah sebuha karakter utama dalam cerita. Tapi ini bukan sebuah cerita, ini adalah fakta yang sering dilalui. Mungkin tidak terjadi pada dirimu tapi terjadi dengan orang disekitar mu. Sebuah masa kelam yang harus dipendam dalam-dalam, sebuah cerita tentang bagaimana 'Money is not everything' atau 'Money can never buy you happiness'.
Athalia memegang sebuah buku yang telah ia tulis selama ini, buku terakhir pemberian dari lelaki yang bernama Laskar itu ia pegang dengan erat. Sebuah kenang-kenang dari lelaki tersebut karena perempuan itu tidak kuat untuk menangis dengan semua peninggalan dari lelaki itu. Selama delapan tahun lama dirinya meninggalkan kota besar, Jakarta karena dirinya jatuh dalam depresi hingga orang tuanya harus memindahkan dirinya untuk pergi keluar negeri. Tujuan utama memang untuk menjauhkan pikirannya dari lelaki tersebut, tapi setiap saat dirinya selalu diingatkan dengan sebuah kenangan indah dari lelaki itu.
Tapi mau bagaimana lagi, Sebagian besar hidupnya yang bisa ia kenang selalu Bersama lelaki itu. Athalia pun harus akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri, bagaimana pun caranya. Ia harus kembali ke Jakarta dengan bahagia, sudah delapan tahun lamanya menderita untuk mengenang lelaki tersebut.
Athalia pun duduk dengan nyaman dari perjalanannya dari Singapura untuk balik ke Jakarta. Perjalanan menggunakan business class memang nyaman, tapi dirinya sudah meminta kepada mamanya untuk tidak menghabiskan duit untuk perjalanan sesingkat itu. Tapi tentu orang tuanya ingin untuk anak bungsunya bisa Kembali dengan nyaman. Sehingga disinilah dirinya duduk di kelas bisnis sambil dilayani oleh pramugari.
"Good afternoon ma'am, would you like something to drink while?"
"Hi! Do you perhaps have chamomile tea? I have a bit of a trouble in sleeping." Athalia bertanya dan pramugari itu menganggukan kepalanya.
"Of course, I would bring you some tea, would you like anything else?"
"No. Thank you, that would be enough."
Tak lama kemudian teh itu disajikan di depan Athalia, dengan senyuman lembut dari dirinya ia mengucapkan terimakasih dan mulai menghirup aroma dari teh tersebut. Chamomile tea, teh ciri khas yang lembut, mudah untuk membuat perempuan itu untuk tertidur, teh yang sangat disukai oleh laskar menjadi pilihan Athalia setiap kali dirinya kesusahan untuk tidur.
Lihat, gimana caranya gue untuk melupakan jika hal sekecil minum teh aja keinget sama dirinya? Gimana kalau gue coba minum kopi aja biar cepet lupa, batin Athalia dengan perlahan.
Meletakan secangkir teh tersebut perlahan dirinya mulai memposisikan dirinya untuk siap merenungkan minggunya yang melelahkan. Mulai membuka buku yang ia bawa dan mulai menulis semua kesah keluhnya.
This is going to be a long ride back home.