Seperti yang dikatakan Olivia, tempatnya memang tidak seburuk yang dibayangkan Elisa. Udaranya tidak sebersih di dunia sihir, tapi setidaknya tidak beracun. Tidak terlalu. Para manusianya juga terlihat biasa, tidak kelihatan seperti preman yang suka bawa-bawa rantai. Ada tempat yang berantakan, tapi yang bagus juga banyak.
Malah, aura kehidupan di tempat ini hampir membuat Elisa takjub. Karena walaupun di sini sudah malam, ternyata keadaannya masih sangat ramai. Orang-orang yang masih sibuk bekerja, kilauan cahaya di mana-mana, bangunan-bangunan tinggi…
"Terlihat menakjubkan kan?" Kata Olivia. Meski Elisa malah merapatkan bibirnya, seperti tidak mau langsung mengakui.
"Tapi baju di sini agak aneh." Protes Elisa kemudian, kelihatan tidak nyaman dengan rok hijau yang memamerkan betisnya. "Orang-orang di sini pakai rok sependek ini? Demi dewa…"
Tapi karena Olivia mengabaikannya, Elisa jadi harus menoleh lagi pada Olivia yang ternyata malah sudah sibuk dengan tas kecil barunya. "Itu semua apa?" Tanyanya.
"Ini, lihat. Yang ini namanya handphone, dan yang ini namanya kartu kredit." Jelas Olivia sambil memamerkan benda manusiawinya dengan bangga.
"Asal kau punya dua benda ini, kau bisa melakukan apapun di sini. Nih, Aku juga sudah mendapatkannya untukmu." Lanjut Olivia sambil melemparkan tas kecil satunya lagi pada Elisa.
"Aku sudah merencanakan ini semua dari lama tahu. Jadi Aku sudah mengurus ini-itu sejak tahun lalu."
"Tahun lalu? Sebenarnya nona Olivia sudah merencanakan semua ini sejak kapan sih? Sudah sering ke sini ya? Tunggu, nona Olivia juga sudah berencana mengajakku sejak awal??" Tanya Elisa beruntun masih tidak percaya, meski Olivia sudah tidak membalas dan malah sibuk dengan handphonenya lagi.
Jadi walaupun bingung, akhirnya Elisa memutuskan untuk memeriksa isi tasnya juga. Tapi selain dua benda tadi, Elisa juga mendapatkan kartu kecil lain yang ada foto dirinya.
"Elisa Ravina? Tapi nama belakang saya bukan Ravina." Protes Elisa.
"Yah, kau kan harus jadi kakakku. Jadi Aku menyamakannya dengan nama belakang yang sudah kubuat."
"...Kakak?"
"Tentu. Bagaimanapun kau kan lebih tua 6 tahun dariku." Balas Olivia yang tiba-tiba malah melebarkan senyumnya. "Jadi kau harus memanggilku Olivia saja mulai sekarang. Dan jangan pakai anda!" Perintahnya.
"..." Tapi seakan membeku, Elisa malah terdiam seperti patung setelah mendengarnya.
"Yah, kau bisa latihan mulai sekarang." Tambah Olivia lagi.
Sembari duduk di kursi halte bus, Olivia terus saja sibuk dengan handphonenya selagi Elisa sibuk kaget dengan segala hal yang melewati penglihatannya. Padahal Olivia sudah mengajaknya belanja ke sana-sini sejak sore. Tapi sampai sekarang dia terus saja menggandeng lengan Olivia seperti takut ditinggal sendiri. Kalau dari sikapnya saja, rasanya Elisa jadi lebih cocok dapat peran seorang adik.
"Oke sudah." Kata Olivia yang tiba-tiba saja berdiri.
"Eh? Kita mau ke mana?"
"Ketemu agen penjualan rumah."
"...Untuk?"
"Tentu saja beli rumah."
"..." Olivia mulai ingin tertawa lagi melihat Elisa terus kelihatan bingung seperti itu, tapi akhirnya dia melanjutkan, "Beli rumah di sini lumayan merepotkan, kau tahu. Meski sudah beli, kita juga belum bisa langsung tinggal di sana. Jadi nanti kita perlu cari penginapan sementara juga."
"Oh." Sahut Elisa sekenanya meski sebenarnya dia masih tidak paham. "Tapi apa tidak bisa saya tunggu di sini saja selagi nona.... Maksudku, selagi kau beli rumahnya sendiri?"
Olivia hampir agak tertawa mendengar cara bicara Elisa yang baru. Tapi karena Elisa kelihatan manahan malunya sekuat tenaga, Olivia pun memutuskan untuk tidak meledeknya dulu.
"Tidak, kau harus ikut. Kalau Aku bisa beli sendiri pasti sudah kubeli sejak tahun lalu Aku ke sini."
"Tidak bisa?"
"Sayangnya tidak." Balas Olivia sambil mulai menarik tangan Elisa untuk pergi.
"Sudah kubilang kan, beli rumah di sini merepotkan. Dan salah satunya adalah kau harus sudah berumur 18 ke atas kalau mau beli rumah. Dan sialnya Aku masih 16 di sini." Jelas Olivia.
"Aku sih bisa saja menyamar dan menggunakan segala macam sihir untuk melakukannya, tapi untuk jangka panjang sepertinya pakai cara yang manual lebih aman."
"…Tunggu!" Kata Elisa tiba-tiba agak keras sambil menahan lengannya. "Setidaknya jawab dulu semua pertanyaan saya tadi." Protesnya.
"Yang mana? Bukannya sudah kujawab semua?"
"Yang tadi! Tentang sejak kapan nona… Kau berencana pindah ke sini." Pintanya. "Tentang seberapa sering kau ke sini juga. Lalu tentang saya… Aku yang sekarang jadi ikut juga. Semuanya."
Melepaskan tangan Elisa, Olivia sempat terdiam sejenak memandanginya. Tapi karena mantan pelayannya memang kelihatan frustasi, Olivia pun mulai bercerita.
"Kalau rencana… Mungkin Aku sudah memikirkannya sejak 2 tahun lalu? Tapi Aku baru mulai serius merencanakannya sejak tahun lalu. Jadi ya, sejak itu Aku lumayan sering ke sini untuk mengurus ini-itunya."
"Kalau Aku?"
Mengulum bibirnya, Olivia seperti merasa lucu sendiri dengan jawaban yang akan dia katakan. "Bukan hanya kau, sejujurnya Aku berencana mengajak banyak orang ke sini. Aku bahkan juga berencana membuatkan identitas untuk Lunia di sini. Ya walaupun tentu saja dia sudah tahu."
"Tapi, banyak…? Memangnya siapa lagi?"
"...Kalau orang-orangnya betulan datang baru akan kuberitahu." Balas Olivia yang akhirnya mulai menarik lengan Elisa lagi. "Pokoknya untuk sekarang kita beli rumah dulu."
Dan setelah berjalan beberapa saat, di sinilah mereka. Agen Perumahan Jaya.
"Mau mencari tempat tinggal? Kalian kakak adik ya? Mau sewa apartemen yang seperti apa? Atau rumah? Kecil, sedang, besar? Bla-bla-bla…" Pria paruh baya itu terus saja bicara dengan senyum lebarnya.
Sejujurnya Olivia sudah sangat ingin mengambil alih diskusi ini. Tapi karena dia harus bertindak sebagai adik yang masih di bawah umur, dia belum boleh terlalu mencolok sekarang. "Rumah." Bisik Olivia pelan pada Elisa.
"A-Ah, kami ingin sebuah rumah." Ulangnya menurut.
"Beli rumah." Bisik Olivia lagi.
"Kami ingin langsung beli rumah."
"Yang besar dan modern."
"Yang besar dan... pokoknya bagus."
Tapi walaupun bisik-bisik, tentu saja pria itu mendengar semuanya. Di mana gadis yang satu terus membisiki yang lain…
'Jangan-jangan Aku salah mengira yang mana yang kakak dan yang mana yang adik?' Pikir pria itu bingung.
"A-Ah, langsung beli rumah ya?" Kata pria itu lagi sambil melihat buku besarnya. "Yang besar dan bagus memang ada beberapa. Tapi kalau hanya berdua, mungkin yang..." Kata pria itu lagi sambil mulai membalik-balik bukunya.
"Yang ini bagaimana? Cukup besar untuk dua orang." Katanya sambil menyodorkan sebuah foto.
Melongokkan kepala mereka, Elisa dan Olivia memperhatikan foto itu dengan seksama. "Rasanya tidak lebih besar dari rumahku di kampung." Celetuk Elisa.
"Iya. Kami mau yang lebih besar. Ah, dan yang halamannya luas juga." Tambah Olivia sambil mendorong kembali foto itu.
Terdiam sejenak, pria itu mulai mempertimbangkan lagi penilaian tentang keuangan dan selera dua kakak beradik ini. Kalau dilihat dari pakaian sang kakak yang agak norak, tadinya dia berpikir mereka hanya manusia dari kalangan menengah biasa.
'Tapi jangan-jangan uang mereka banyak?' Pikirnya lagi. Jadi dengan pemikiran seperti itu, pria itu pun akhirnya mengambil buku besar yang lain.
"Bagaimana kalau rumah-rumah yang sedang disita oleh bank? Yang dulunya dimiliki oleh para pejabat?" Kata pria itu sambil menyodorkan bukunya.
"Pejabat itu maksudnya pejabat kerajaan?" Tanya Elisa
"Kerajaan...? Ya-Yaa, mirip seperti itu." Balas pria itu kebingungan.
"Memangnya kenapa rumah mereka disita?"
"Ya tentu saja karena mereka sudah masuk penjara." Jawab pria itu sambil tertawa.
"Oh! Rumah orang jahat biasanya bagus." Puji Olivia balik yang sekarang jadi lebih semangat melihat-lihat buku itu. Sampai tidak lama kemudian dia tiba-tiba saja menempelkan matanya pada satu halaman. "Yang ini kelihatan bagus." Katanya.
Dan saat Elisa ikutan melihat fotonya, ternyata dia juga sependapat. "Ada kebun di halaman belakangnya? Hm, memang cocok kalau nanti kita perlu menanam sayuran."
"...Haha. Pilihan yang bagus. Pemiliknya baru dipenjara bulan lalu, jadi kondisinya masih sangat bagus." Kata pria itu senang. "Harganya 6 milyar. Bisa dicicil tentunya."
"6 milyar?!" Elisa mengulang dengan kaget. Tapi kemudian dia mendekati Olivia dan berbisik, "6 milyar itu kira-kira berapa koin emas?"
"Sekitar segunung?" Sahut Olivia. "Tapi tentu saja kak Elisa punya kan uang sebanyak itu?" Lanjutnya yang tiba-tiba melanjutkan peran adiknya.
Tapi untuk banyak alasan, Elisa malah mulai berkeringat dingin. Walaupun dia tidak tahu seberapa banyak peti uang yang Olivia simpan di kalungnya itu, segunung koin emas rasanya terlalu banyak. "Ti-Tidak bisa lebih murah lagi?"