Chereads / AVIARA: Katanya Itu Sekolah Sihir / Chapter 55 - Lepaskan Aku...

Chapter 55 - Lepaskan Aku...

Hazel sudah khawatir bagaimana akan menjelaskannya pada Alisa dan Hilda yang jelas akan mengeluh kenapa misi mudahnya bisa gagal. Tapi entah beruntung atau bukan, ternyata keduanya sudah menghilang begitu dia kembali ke dapur.

Hazel sudah punya bayangan kalau mereka mungkin sedang membagikan makanan atau semacamnya ke divisi yang lain. Tapi kalau membayangkan dia harus mencari mereka ke sana-sini, tubuhnya sudah langsung jadi malas duluan sehingga akhirnya dia hanya menaruh pantatnya ke kursi panjang di situ. "Ah, bodo amat."

Sadar kalau dia lapar, Hazel kemudian berjalan ke arah kulkas untuk cari makanan. Dan di situ dia malah melihat ada satu kotak salad buah dan tiramisu yang sudah dihias sedemikian rupa bahkan lengkap dengan kartu ucapan di atasnya.

Yang tiramisu jelas untuk Hana, tapi nama yang tertulis di kotak saladnya ternyata nama Rei.

Hazel tadinya sudah akan mengabaikan itu dan mengambil sisa kotak salad yang lain. Tapi seakan dibisiki godaan Fiona atau apa, dia jadi penasaran dengan isi kartu yang Alisa buat untuk Rei. Jadi setelah menahan dirinya 2 detik, Hazel berencana mengintipnya sedikiiit saja—

Brak! Tapi pintu dapurnya tiba-tiba saja terbuka. "Oh? Kak Hilda tidak ada?" Celetuknya. Rupanya itu Ten. Lalu setelah melihat Hazel ada di depan kulkas, dia jadi ikutan mendekat ke sana. "Apa ada makanan di situ? Aku benar-benar lapar."

"Tsk."

"...Apa?" Tanyanya, meski Hazel tidak menyahut dan hanya mengambil kotak salad tadi lalu kembali duduk di kursi. Tapi karena Ten ingin makanan yang lebih berat, dia pun melewati kulkas dan mencari-cari ke arah lemari lain. "Apa tidak ada mi di sini?"

"Kak Hilda tidak pernah menyimpan mi." Sahut Hazel, meski Ten kelihatannya malah menemukan sesuatu yang lain di rak pojokan. Dan Hazel tahu isi rak itu. "...Kak Hilda akan membunuhmu kalau kau mengambil itu."

Ten tadinya sudah akan merobek bungkus protein bar di tangannya, tapi untungnya dia sempat berhenti. "...Tapi kak Hilda tidak membunuh orang."

"Tidak, kecuali itu." Balas Hazel.

Ten kelihatan masih ingin merobek protein bar di tangannya, tapi kemudian seseorang mendobrak pintunya lagi, bahkan lebih keras. BRAK!

Dan ternyata itu si pemilik ruangan sendiri. "Hazel!" Teriak Hilda dengan panik.

"Apa? Anaknya hilang?" Balas Hazel santai. Soalnya dia sudah mulai hafal kalau anggotanya adalah tipe anak bebek yang tidak bisa tidak keluar jalur. "Biarkan saja, palingan nanti—"

"Tidak, itu, bolanya…!" Potong Hilda sambil menunjukkan tasnya yang berlobang.

"...Agh, harusnya tadi Aku langsung pulang saja." Gerutu Hazel begitu menyadari situasi buruk yang jelas lebih merepotkan. "Lagipula kenapa bisa hilang begitu? Memangnya kakak tidak menyadarinya?"

"Bukan hilang! Tadi, itu, tersangkut, lalu robek…" Jelas Hilda belepotan. Meski Hazel juga cuma membiarkannya sampai dia merapikan kalimatnya sendiri. "Robek, lalu bolanya gelinding jatuh dari tangga, dan…"

"Pecah?"

"Tenggelam masuk ke lantai." Cerita Hilda, dan Hazel malah semakin bingung bagaimana harus menanggapinya.

Tapi karena keduanya tiba-tiba saja diam, akhirnya Ten yang masih ada di situ ikutan menyela. "Apa yang kalian bicarakan? Bola?" Tanyanya.

Hazel dan Hilda menoleh ke arahnya, tapi keduanya cuma diam karena penjelasannya pasti makan waktu lebih dari 1 detik. Ditambah, yang Ten tahu, Fiona terkurung di pajangan kaca lain. Jadi akan merepotkan kalau dia tahu tentang ini.

"Aku benar-benar minta maaf ya." Kata Hilda akhirnya. "Tapi kalau sudah begini sebaiknya kita beritahu Rei saja."

"...Tu-Tunggu!" Sela Hazel saat Hilda sudah akan mencari handphonenya. "Itu, mm, tapi jangan lupa bilang kalau Aku tidak ikutan, dan ini semua salahnya Alisa--"

Tapi Hilda sudah menekan tombol cepatnya yang pertama.

=========================>>

"Rei!" Panggil Hana begitu dia memasuki ruangan di lantai 5.

Karena orangnya tadi tiba-tiba kabur seperti hantu, Hana tadinya sudah khawatir kalau dia akan menghilang ke lantai 6 atau ke tempat lain. Tapi untungnya dia cuma kembali ke ruangan Vip di lantai 5.

Hana sebenarnya ingin langsung bertanya mengenai topik terakhir yang tadi mereka bicarakan di rapat. Tapi melihat sosok Rei yang sama sekali tidak bergeming setelah Hana memasuki ruangan, entah kenapa Hana jadi merasa dia harus pelan-pelan mendekatinya.

"Rei, kau baik-baik saja?" Tanyanya kemudian. "Sebenarnya apa yang mengganggumu? Kau pikir ada sesuatu di tempat Ello?"

"..." Sembari menoleh, Rei kelihatan seperti ingin menjawabnya. Tapi setelah terdiam sejenak, dia malah kembali membuang wajahnya dan mendesah. "Bukan apa-apa. Akan kuberitahu kalau Aku sudah lebih yakin."

"Eh? Tu-Tunggu." Panggil Hana yang buru-buru menahan tangan Rei. "Kalau begitu, apa ada yang bisa kulakukan sekarang? Apa saja. Maksudku, karena kelihatannya kau sangat bekerja keras tadi, jadi…"

"Maksudmu rapatnya? Atau tentang Aku yang harus mendengarkan semua protes tidak jelasmu itu?"

"Baiklah, semuanya! Aku minta maaf!" Balas Hana langsung.

Melihat Hana memasang wajah cemberut, entah kenapa perasaan Rei jadi lebih baik. Jadi dia pun sedikit mengulum senyumnya dan berpikir sedikit. "Mm, kalau begitu bagaimana kalau kau pergi menemui anak itu?" Usul Rei kemudian. "Ambil bola Fionanya."

Tidak menyangka akan dapat permintaan itu, Hana terdiam sejenak. "...Untuk apa?"

"Aku mungkin perlu Fiona untuk melakukan sesuatu." Jawab Rei. Tapi karena Hana malah terdiam di depannya, Rei jadi agak bingung melihatnya. "Atau ya, kalau merepotkan tidak usah saja. Nanti Aku ambil sendiri--"

"Tidak, itu…" Hana langsung menyela lagi. "Hal yang kau perlukan, bagaimana kalau Aku saja yang melakukannya? Tidak usah Fiona."

"Kau tidak bisa. Aku butuhnya Fiona."

"Kenapa? Aku juga bisa melakukan banyak hal."

"..." Rei terdiam agak lama memandangi Hana dengan bingung. Tapi saat dia mulai terpikir alasannya, dia langsung mengerutkan alisnya dengan kesal lagi. "Kau… Cepat atau lambat Fiona tetap harus keluar tahu."

"Ta-Tapi!" Hana langsung membalas. Kelihatannya perkiraan Rei memang benar. Hana belum mau melihat Fiona berkeliaran di alam bebas lagi. "Lebih lambat lebih bagus kan."

Rei kelihatan menghela napasnya pelan seakan malas untuk berdebat lagi, tapi akhirnya dia tetap berkata, "Aku sudah mengurungnya selama seminggu. Memangnya kau mau Aku mengurungnya berapa lama?"

"Aku tidak tahu… Tapi tidakkah kau harus menunggu sampai semua gosipnya mereda dulu?" Balas Hana lagi. "Maksudku, semuanya masih membicarakannya kan? Bahkan di rapat tadi juga."

"Kau dan Aku tahu yang seperti itu memang tidak akan mereda." Balas Rei lagi, dan Hana akhirnya diam tidak bisa membalasnya.

Tapi karena perempuan di depannya masih saja melipat bibirnya dengan kesal, Rei kembali menambahkan, "Aku akan pastikan Fiona tidak melukai siapapun dulu untuk sementara, ya ampun."

Hana mengangkat kepalanya sejenak untuk membalas tatapan Rei. "Aku percaya padamu. Tapi Aku kan tidak percaya Fiona."

"Ha…" Tapi anehnya Rei malah mengulum senyum aneh saat mendengar itu. "Maksudmu Aku, yang tidak percaya pada Fiona. Kau sama sekali tidak begitu." Katanya mengoreksi.

"Kalau kau memang tidak percaya padanya, kau tidak akan membiarkannya menerobos ke kamarmu dan makan dengannya setiap hari meski dia sudah berkali-kali meracunimu."

"..." Hana kembali membeku di tempatnya mendengar itu, tapi Rei masih saja menambahkan, "Bukankah itu sebabnya juga kau membiarkannya berada di pihakmu saat kita buat taruhan waktu itu?" Lanjutnya.

"Kau, yang selalu menaruh harapan pada Fiona. Bukan Aku." Kata Rei blak-blakan. "Alasanmu tidak mau mengeluarkannya sekarang juga bukan karena khawatir ada yang terluka lagi. Tapi karena—"

"Tunggu, Rei, hentikan, Aku paham--"

"—Karena kau pikir sudah memahami Fiona tapi nyatanya sama sekali tidak!" Lanjut Rei begitu saja.

Rei sudah akan mengatakan sesuatu lagi, tapi handphonenya malah tiba-tiba bergetar. Dia berniat akan langsung menutupnya. Tapi karena itu dari Hilda, dia pun mengangkatnya. "Ada apa?" Tanyanya.

"Rei, itu, mm, tadi, Aku pegang bola kaca Fiona…" Jelasnya sehalus mungkin.

Rei sejujurnya tidak begitu kaget saat mendengar kalau bola Fiona menghilang entah ke mana, karena dia justru mengira ini sudah akan terjadi berhari-hari lalu. Tapi fakta bahwa bola itu menghilangnya di gedung Osis memang perlu dipertanyakan.

Dan kenapa juga Fiona selalu punya keberuntungan bagus mengenai hari yang cocok untuk merepotkan orang? Harus banget tepat saat Rei baru saja mengatakan di rapat kalau dia sudah mengurung Fiona, bahkan sampai tepat saat dia sedang bertengkar dengan Hana karena mendebatkannya begini??

"Ada apa?" Tanya Hana yang curiga melihat ekspresi Rei. "Jangan bilang Fiona kabur?! Tuh, kan, sudah kubilang!"

Hana kelihatan langsung mendekat ingin merebut handphone Rei supaya dia bisa bicara juga, tapi Rei langsung mendorong wajahnya menjauh dan berkata untuk terakhir kalinya ke telepon. "Nanti kuhubungi lagi." Katanya, dan dia pun menutup teleponnya.

"...Fiona tidak kabur, cuma hilang—"

"Tidak ada bedanya!"

"Ada, kalau—Hh…" Tapi Rei malah sudah lelah duluan.

Makanya dia jadi memutuskan pakai cara cepat saja dan langsung menendang kaki Hana supaya dia jatuh ke lantai. Lalu saat orangnya tidak lihat, Rei juga melepas dasinya sendiri dan menggunakannya untuk mengikat tangan dan kaki Hana.

"Apa—Rei! Kya!"

"Semuanya jadi merepotkan kalau kau ikutan, jadi kau di sini saja dulu." Kata Rei sambil mengeluarkan kotak kecil dari kantongnya dan mengambil sebuah suntikan kecil.

"Re-Rei?? Apa yang mau kau—Aw!"

Tapi Rei sudah menyuntikkan isi obat itu ke pundaknya. Hana sama sekali tidak tahu itu obat apa, tapi selang 2 detik, dia bisa merasakan energi sihir yang ada di tubuhnya seperti merembes keluar.

Alhasil, Hana pun tidak bisa mengeluarkan sihir apa-apa dari tangannya dan cuma bisa menggeliat-geliat di lantai seperti belut. "Rei! Rei…!" Bahkan Hana yang tadinya marah saja mulai terdengar memelas. "Lepaskan Aku…"

Rei sempat merasa bersalah melihatnya, tapi akhirnya dia hanya menaruh bantal sofa di depan wajah Hana. "Nih, kalau lehermu mulai pegal." Katanya dan dia pun kabur.