"Hazel, kau akan mengantar mereka pulang kan?" Tanya Hilda begitu mereka keluar gedung Osis. Soalnya tidak seperti mereka yang asramanya dekat dengan gedung Osis, Mary dan Alisa masih perlu berjalan berkilo-kilo meter lagi untuk sampai di asrama mereka.
Dan sejujurnya Hazel memang sedang memikirkan itu--terutama karena dia merasa perlu bicara juga dengan Alisa mengenai pekerjaan baru yang tadi diberikan Rei. Tapi saat Hilda menanyakannya langsung di depan dua anak kelas satu itu, dia malah jadi spontan membalasnya dengan sinis duluan.
"Kenapa Aku harus?" Tanyanya balik. "Lagipula dia juga bisa terbang kan?"
Hilda sudah mengerutkan alisnya untuk mengomel, tapi ternyata Mary menyela duluan. "Alisa payah dalam terbang, kalau kakak tidak tahu." Sahutnya tiba-tiba. Alisa yang ada di sampingnya langsung menarik-narik lengannya kelihatan malu, tapi Mary cuma memasang senyum pahit dan mengelus-elus kepalanya saja.
"...Masa?" Balas Hazel tidak percaya. Habisnya bagaimanapun dia adalah anak yang berhasil selamat dari serangan Fiona kan? Walaupun setelah dipikir-pikir, Hazel memang belum pernah lihat Alisa terbang bahkan sebelum semua sihirnya ketahuan.
"Kemarin Aku memintanya untuk terbang keliling sekolah. Tapi baru 5 menit, dia langsung kehabisan nafas seperti kena asma." Cerita Mary lagi. "Makanya tadi kami jadi harus numpang dengan kak Benny."
"Makanya kubilang harus pakai tutup botol…" Sahut Alisa cemberut.
"Tapi Aku tidak mau naik tutup botol!"
"Memang ada bedanya?" Tanya Hazel juga.
"Ada--" Tapi saat Alisa baru membuka mulutnya, Mary sudah mengepak-ngepak tangannya tidak sabar. "Penjelasannya panjang dan aneh. Kakak tidak mau mendengarkannya." Potongnya.
"..." Hazel terdiam agak lama memandangi Alisa dengan bingung. Entah bagaimana jadi mulai ingat kalau Alisa memang sering memberikan impresi yang tidak stabil seperti itu.
Misalnya saat dulu dikira lemah dan penakut, ternyata malah punya mental kucing dengan 9 nyawa. Lalu sekarang saat sudah dikira lumayan pandai menggunakan sihir, ternyata tetap saja punya kelemahan yang kelewat sepele.
"Ah, bodo amat." Celetuk Hazel akhirnya. "Yasudah akan kuantar. Daripada kalian naik tutup botol."
Senang dengan hasil akhirnya, Hilda pun tersenyum lagi. "Kalau begitu hati-hati ya." Katanya sambil melambaikan tangan. "Nanti Aku juga akan pastikan Hana dan Rei menerima ini, jadi kau tidak usah khawatir." Tambahnya, mengisyaratkan paperbag di tangannya.
Alisa masih sedih kalau teringat dia tidak berhasil bertemu dengan Hana hari ini, tapi itu berhasil menghiburnya sedikit jadi dia pun kembali tersenyum senang.
"Hm? Kak Rei juga?" Celetuk Mary yang langsung menatap Alisa bingung. Dia sudah dengar kalau Alisa menitipkan cemilan dan surat untuk Hana, tapi dia sama sekali tidak tahu kalau temannya juga mengirimnya untuk si ketua Osis?! "Kau tulis apa untuknya?"
"...Cuma terima kasih." Balas Alisa sekenanya.
Mary kelihatan masih penasaran, tapi Hilda sudah keburu bicara lagi. "Yasudah Aku duluan ya." Katanya dan dia pun mulai berjalan pergi ke arah lain.
"Dadahh…" Alisa terus-terusan melambaikan tangannya sampai sosok Hilda mulai menghilang ke balik pepohonan. Di sana tidak kelihatan apa-apa, tapi dia sudah menebak kalau asrama khusus pasti ada di suatu tempat di balik sana. Asrama yang diperuntukkan hanya untuk para ketua divisi dan anggota Vip.
Tapi saat mengingat itu, Alisa jadi menoleh lagi ke arah Mary dengan bingung. "Tapi kalau kak Hilda juga tinggal di asrama khusus, apa itu artinya dia juga ketua divisi…? Eh tapi tadi dia tidak ikut rapat."
"Kak Hilda itu anggota khusus, jadi kau tidak perlu memikirkan itu." Timpal Hazel.
"Khusus bagaimana?"
"Penjelasannya panjang dan aneh. Kau tidak mau mendengarnya." Balas Hazel yang seketika membuat Alisa cemberut.
Mary juga tidak kelihatan tahu banyak. Tapi karena Alisa melihat ke arahnya dengan pandangan memelas, dia pun menjawab seadanya. "Aku juga tidak tahu rinciannya, tapi katanya kak Hilda punya kemampuan sihir yang agak spesial." Katanya kemudian. "Saking spesialnya, Osis tidak memberinya pekerjaan apapun dan membiarkannya main di dapur sesukanya."
Tapi setelah memasang wajah serius, Mary tiba-tiba saja melebarkan senyumnya dengan aneh. "Tapi selain itu, kak Hilda juga katanya--"
"Apa yang kalian lakukan? Cepat naik!" Panggil Hazel tiba-tiba. Entah sejak kapan, ternyata sudah ada kapal layar yang melayang di sampingnya.
"Uwah!" Celetuk kedua anak itu.
Ukurannya tidak begitu besar dan hanya seukuran dengan kapal nelayan yang kecil, tapi jelas masih cukup besar untuk 3 orang. Dan yang lebih penting lagi, Alisa sebenarnya agak hafal dengan bentuknya karena dia sudah sering dia melihatnya di salah satu tumpukan koleksi Hazel. "Violet!" Teriak Alisa.
"Kau…!" Hazel sudah hampir malu setengah mati karena Alisa ternyata tahu nama yang dia berikan pada kapalnya. Tapi untungnya Mary tidak begitu mendengarnya dan langsung melompat ke atasnya dengan semangat.
"Wah, ini keren! Kakak selalu naik kapal begini kalau mau pergi-pergi?" Serunya.
"...Hanya kalau Aku punya penumpang yang tidak ingin naik tutup botol." Balasnya masih getir. Hazel sebenarnya juga ingin protes kalau-kalau kapalnya lecet karena Mary terus mengetuk-ngetukkan kakinya dengan keras, tapi akhirnya dia cuma mendesah pelan dan menoleh ke arah Alisa saja. "Kau tidak naik?"
Masih dengan tatapan kaget, Alisa mendekat ke pinggirnya dan mulai mengelus-elus kapal itu dengan mata terpana. "Kak Hazel, memangnya tidak berat mengendalikan ini?" Tanyanya.
"...Hah? Apa maksudnya?" Balas Hazel yang sama sekali tidak paham dengan pertanyaannya. Dia sempat melihat Alisa mengerucutkan bibirnya tidak senang, tapi akhirnya dia naik juga ke atas kapal itu.
Dan mereka pun terbang berlayar di angkasa malam.