"Alisa! Duduk sini." Panggil Mary begitu dia melihat temannya memasuki bis pulang. Soalnya walaupun tadi Heka sudah menawarkan untuk mengantarnya ke asrama dengan Arin dan Rio, Alisa menolaknya karena dia sudah janji untuk ketemu lagi dengan Mary di bis pulang.
Tapi dibanding dengan sewaktu berangkat, bis pulang terasa lebih sepi sekarang. "Apa murid yang bisa terbang sebenarnya ada banyak?" Kata Alisa.
"Yah, beberapa. Tapi yang menumpang dengan orang yang bisa terbang kurasa lebih banyak." Sahut Mary yang ternyata sudah meluruskan kakinya di bangku kosong sebelah. "Tadi teman divisiku yang lain juga menumpang dengan kak Rian, tapi Aku kan sudah janji denganmu."
Setengah tertawa, Alisa sedikit memiringkan kepalanya selagi duduk. "Aku sih senang, tapi rasanya kau tidak akan melewatkan tumpangan terbang hanya karena Aku."
"Yaa, tidak. Soalnya kak Rian kelihatan menyebalkan." Sahut Mary cepat. "Terus jadinya bagaimana di divisimu sendiri? Apa di sana menyenangkan? Oh iya, kau mau donat? Tadi di sana ada banyak donat gratis." Oceh Mary langsung.
"Gratis? Enaknya." Balas Alisa yang kemudian mengambil donat itu.
Awalnya Mary menunggu sampai Alisa menelan gigitan pertamanya. Tapi karena Alisa malah melanjutkan gigitan keduanya tanpa mengatakan apa-apa, dia pun harus menanyakannya lagi. "Terus? Jadinya bagaimana di divisimu?"
"Di gedung Osis bagaimana? Apa gedungnya benar bagus?"
"Ya ampun, kau benar-benar harus coba ke sana besok!" Balas Mary seketika semangat lagi. "Gedungnya besar dan hampir terlihat seperti mansion gitu. Bahkan di dalamnya juga sedikit bernuansa klasik—Tunggu, apa kau baru saja mengalihkan pembicaraan? Aku tidak tahu kau bisa melakukannya?" Kata Mary.
"Tidak juga." Balas Alisa dengan tawa kecil. "Walaupun Aku memang agak bingung bagaimana menjawabnya."
"Kenapa? Kakak kelasnya galak ya?"
Alisa memainkan bibirnya sejenak. "Mm, kakak kelas yang perempuan baik. Tapi kakak kelas yang laki-laki kelihatannya sedang dalam mood buruk tadi." Jelasnya senormal mungkin.
"Yah, kakak kelas di divisiku juga ada beberapa yang rada-rada." Balas Mary berusaha menghiburnya. "Terus tadi kau melakukan apa saja di sana? Kalau divisiku cuma keliling gedung Osis sebentar dan habis itu malah mendengarkan debat antara kak Erika dan kak Rian tentang tema poster baru. Yang sebenarnya lumayan seru." Ceritanya.
"Tadi sih ada 2 anak yang mengeluhkan tentang sihir mereka."
"Ooh! Apa keluhannya?" Tanya Mary yang langsung semangat ingin dengar.
Sembari mengatur kalimat di kepalanya, Alisa mengunyah donatnya dulu pelan-pelan. "Yang satu kelihatannya punya sihir penguat tubuh atau semacamnya. Tapi karena terlalu kuat, katanya dia jadi sering menghancurkan barang secara tidak sengaja."
"Hm… Kedengaran hebat, tapi anehnya kedengaran biasa sekali." Komentar Mary. "Lalu yang satu lagi?"
Alisa terdiam lagi sejenak sambil menggigit donatnya. "Yang satu lagi kelihatannya bisa lihat energi sihir."
"Wah!" Celetuk Mary. "Eh tapi kenapa dia mengeluhkannya? Padahal itu kedengaran seperti kemampuan yang keren. Tidakkah dia jadi bisa lihat aura sihir orang atau semacamnya? Atau tidak?"
"...Yaa, dia bisa." Sahut Alisa yang anehnya terdengar getir.
Soalnya saat Arin dan Rio sampai di pondok tadi, Alisa sebenarnya ingat kalau Arin sempat memandanginya dengan tatapan heran. Makanya setelah dengar kalau ternyata Arin bisa lihat kabut—yang sudah pasti adalah energi sihir--Alisa sempat sedikit khawatir. Karena kalau melihat pandangan Arin yang menyelidik, Alisa jadi mulai takut kalau-kalau dia kelihatan beda dari yang lain—yang masalahnya Alisa juga tidak tahu!
Karena walaupun banyak penyihir yang bisa merasakannya, tidak semua orang punya kemampuan untuk melihat aura sihir dengan mata telanjang. Jadi kalau disuruh membayangkan bagaimana penglihatan Arin mengenai Alisa tadi, tidak ada yang tahu. Apakah aura sihirnya akan sama dengan murid lain yang juga terpapar energi sihir atau tidak, pokoknya tidak tahu!
"Ta-Tapi ya itu, karena energi sihir itu bentuknya seperti asap kabut, sekarang penglihatannya jadi terganggu sampai dia tidak bisa melihat dengan jelas." Jelas Alisa lagi. "Makanya dia mengeluhkannya."
"Sepertinya energi sihir di sekolah kita memang ada di mana-mana ya." Celetuk Mary. "Terus kalau aura sihir kelihatannya bagaimana? Seperti kabut juga? Apa semua orang sama saja?"
"Mm, kata orangnya sih hanya kelihatan tipis dan semuanya cenderung berwarna putih juga seperti kabut lainnya. Jadi kalau tidak diperhatikan dia juga tidak bisa lihat bedanya." Jelas Alisa. "Tapi untuk sebagian orang, katanya suka ada yang warnanya sedikit beda."
"Kalau auramu bagaimana?"
"...Katanya sih hanya putih." Jawabnya, yang memang benar.
Soalnya karena gelisah, Alisa juga akhirnya coba menanyakannya langsung pada Arin tadi—Dengan sehati-hati mungkin sembari pura-pura menanyakan warna aura Hazel atau Ruri juga. Dan dengan santai, Arin pun menjawab kalau auranya cuma kelihatan putih seperti kebanyakan murid yang lain.
"Sepertinya kapan-kapan Aku harus bertemu dengannya langsung supaya Aku bisa tanya warna auraku sendiri." Kata Mary lagi. "Namanya siapa?"
"Kukenalkan kapan-kapan."
Mendengar itu Mary mengerutkan alisnya. "Hm? Apa Aku tidak boleh tahu nama murid yang ke sana atau semacamnya?"
"Tidak tahu, tapi untuk jaga-jaga."
"Hm. Terus bagaimana kalian membantunya sembuh? Apa mereka berdua diajari meditasi atau semacamnya?"
"Ah, benar. Mengenai itu." Sahut Alisa yang malah seperti teringat sesuatu. "Mereka pakai ramuan sihir. Apa kau tahu kalau di sekolah ini ada ramuan sihir?"
"Tentu saja." Sahut Mary cepat. "Obat yang suka ada di uks kan juga termasuk ramuan sihir."
"Ternyata kau sudah tahu…" Celetuk Alisa cemberut. Karena dia tidak pernah ke uks, selama ini dia tidak pernah menyadarinya.
"Tapi di divisimu ada ramuan yang lain? Jangan-jangan banyak?" Tanya Mary lagi. "Kupikir mereka hanya menyimpannya di kebun."
"Tidak kok, tidak banyak. Hanya…" Sahut Alisa. "Tapi kebun? Kebun apa maksudnya?"
Tapi belum sempat dijawab, Alisa malah mendengar ada seseorang yang tertawa dari bangku depan. "Haha, Mary. Apa temanmu ini anggota Osis juga?" Tanya seorang laki-laki. Dia bahkan sampai berdiri dari bangkunya untuk menertawakan Alisa. "Kok bisa dia tidak tahu tentang kebun Osis?"
"Jangan mengganggunya, Gin." Sahut Mary sambil melempar kertas bekas donat ke wajahnya. "Alisa itu orangnya baik, jadi dia tidak suka mendengarkan gosip."
"Tapi tidak perlu sampai masuk grup gosip hanya untuk tahu tentang kebun Osis, kau tahu. Semua orang harusnya tahu." Sahut laki-laki itu lagi yang sekarang kembali memperhatikan Alisa. "Kau seriusan tidak tahu?" Tanyanya dan Alisa masih diam. Tapi karena tidak suka ditertawai oleh laki-laki yang pakai beanie itu, Alisa pun memutar otaknya sedikit.
Kebun yang ada di peta sekolah kan cuma kebun bunga, buah, dan sayur. Tapi kalau mereka bukan membicarakan itu…
'Hm, karena Aku tadi sedang membicarakan tentang ramuan sihir...' Pikirnya sejenak. "Jangan-jangan... Maksudmu kebun yang ada tanaman sihir atau semacamnya?" Tebak Alisa kemudian.
"Itu tahu." Celetuk Gin.
"Wahh…" Sahut Alisa terkagum. Bibinya saja tidak punya kebun tanaman sihir dan harus selalu pesan dari luar kalau ingin buat ramuan tertentu. Tapi di sekolah ini malah ada?! Walaupun kalau dipikir-pikir, di sekolah yang katanya berdiri di tanah yang bertuah ini, sepertinya keberadaan tanaman sihir tidak terlalu aneh juga. "Ada di mana?"
"Di belakang gedung Osis." Kata Mary. "Tapi jauuuh banget. Pakai teropong juga belum tentu kelihatan."
"Kau pernah ke sana? Jangan bilang tadi semua orang tur ke sana??" Tanya Alisa lagi yang mulai merasa iri.
Walaupun ternyata Mary malah ikutan memasang wajah kecewa. "Tentu saja tidak. Soalnya kebun itu daerah paling terlarang di sekolah." Katanya. "Bahkan anggota Osis saja tidak ada yang boleh ke sana."
Alisa terdiam dan mengedip-ngedipkan matanya. "Anggota Osis juga tidak boleh?" Ulangnya. "Terus yang boleh ke sana siapa? Guru?"
"Guru katanya." Ejek Gin yang mulai tertawa geli lagi. "Tentu saja anggota Vip, ya ampun."
"Tapi kudengar kak Fiona juga tidak boleh ke sana." Timpal Mary. "Dan kak Hana juga tidak terlalu suka ke sana."
"Berarti yang ke sana hanya ketua Osis? Yang kak Rei itu?"
"Dan kak Ruri, tentu saja. Dia kan pengurus kebunnya." Sahut Gin lagi.
Tapi karena melihat Alisa agak melebarkan matanya, Mary jadi berpikir kalau Alisa seperti minta penjelasan tambahan. Makanya dia pun melanjutkan, "Ah, itu lho. Kau ingat kan Aku pernah bilang anggota Vip masih ada satu orang lagi?" Kata Mary. "Ternyata namanya kak Ruri dan dia orang yang mengurus kebun itu."
"...Coba ulang lagi."