Walaupun sudah tahu kalau Aviara itu sangat luas, sejujurnya kebanyakan murid tidak begitu merasa kesulitan karena kebanyakan kegiatan mereka hanya berada di sekitar daerah utama sekolah. Rutenya paling hanya gedung sekolah, asrama, gedung olahraga, lapangan, lalu ke sekolah dan ke asrama lagi. Ah, dan kantin.
Tapi setelah berjalan ke luar daerah utama sekolah seperti ini, barulah akhirnya terasa betapa luasnya sekolah ini. Terutama saat Alisa sudah keliling belok kanan dan kiri selama hampir setengah jam dan tetap belum ketemu tempat tujuannya. "Rasanya Aku tersesat…" Desahnya mengakui.
Kalau perlu digambarkan, berjalan di Aviara itu rasanya hampir mirip seperti berjalan di taman wisata dinosaurus yang sangat luas. Karena selain tempatnya yang dipenuhi pohon di segala sisi, lingkungannya yang dipenuhi dengan jalan berukuran sedang dan melingkar belok-belok terasa sangat familiar.
Bahkan penanda jalan yang ada di setiap belokan juga hampir terlihat seperti penanda arah pertunjukan. Belok ke kanan ada perpustakaan, gedung Osis, divisi kebersihan, dan sebagainya. Lalu belok kiri ada daerah utama, gedung sekolah, asrama, dan sebagainya.
Padahal tadi Aria bilang hanya tinggal mengikuti penanda jalan. Tapi meski sudah berkali-kali belok seperti ini, Alisa tetap saja tidak bisa menemukan penanda yang bertuliskan divisi pengendalian sihir.
"Apa Aku harus lihat dari atas?" Gumamnya sambil melihat ke atas. Walaupun saat sedang mempertimbangkan ide itu, tiba-tiba saja dia malah melihat ada asap hitam kecil yang terbang ke langit. Yang artinya ada orang! Orang yang bisa ditanya! Sehingga tanpa pikir panjang lagi, Alisa pun langsung berlari-lari kecil ke sumber asap itu.
Dan dia pun sampai di sebuah pondok.
Sekilas pondok kayu itu kelihatan normal dan biasa. Ukurannya tidak kecil tapi juga tidak termasuk besar. Beda dengan halamannya yang justru termasuk sangat luas dan kosong, di mana di situ hanya ada meja kayu panjang di tengahnya. Meski untungnya tidak jauh di dalam pagarnya, ternyata di situ betulan ada seorang laki-laki yang sedang nongkrong di depan api pembakaran sumber asap tadi. Pasti dia sedang membakar sampah atau semacamnya.
Mendekat dengan hati-hati, Alisa sudah akan bersuara untuk tanya jalan. Tapi saat Alisa baru membuka mulutnya, laki-laki itu malah terdengar tertawa pahit sendiri. "Tsk, benar-benar… Padahal Aku kan minta divisinya yang dibubarkan. Tapi jangankan dibubarkan, sekarang Aku malah harus mengurus anggota baru yang cuma bisa telekinesis? Gorila kedengarannya lebih baik!" Katanya seperti mengomel sendiri.
"..." Agak kaget dengan kalimat yang dia dengar, Alisa pun terpaku diam. Apalagi saat dia coba untuk melirik ke arah pembakaran dan mendapati kalau ternyata isinya adalah papan-papan kayu penanda jalan yang bertuliskan 'divisi pengendalian sihir' yang daritadi dicari Alisa selama setengah jam lebih.
"Hmph, biar saja anak baru itu tersesat sampai ke hutan sekalian. Dan kalaupun nanti dia ke sini Aku tinggal mengomelinya karena telat sampai dia takut dan tidak berani ke sini lagi—"
"Itu termasuk perusakan fasilitas sekolah, kau tahu." Sahut suara lain tiba-tiba. Bukan cuma si pelaku pembakaran, Alisa juga sampai berjengit kaget mendapati suara di belakang punggungnya. Seorang perempuan.
"Ka-Kak Ruri?!" Seru laki-laki itu panik sambil langsung buru-buru menggunakan sihir airnya untuk memadamkan api. Tapi karena tidak cepat mati, dia pun menggantinya dengan sihir tanah dan langsung menumpahkan segunung tanah di lubang itu.
Melihatnya berdiri tiba-tiba, Alisa pun buru-buru menjauhkan langkahnya karena laki-laki itu seketika jadi terlihat terlalu tinggi--yang artinya dia berdiri terlalu dekat dengannya. Tapi meski orangnya sudah tidak berkata jahat lagi, entah kenapa ekspresi di wajahnya masih terlihat tidak ramah. Dengan rambut hitam yang agak bergelombang, laki-laki itu punya mata dingin dan alis yang selalu berkerut seakan dia tidak pernah merasa puas terhadap apapun.
Tapi sama sekali berbeda dengan caranya menggerutu tadi, nada suaranya yang sekarang terdengar sangat berbeda. "Itu, kakak tahulah, mm, untuk daur ulang, iya, gitu, haha." Ocehnya cari alasan.
Awalnya perempuan dengan kardigan panjang itu kelihatan merengut seperti ingin mengomel, tapi setelah beberapa saat dia hanya mendesah dan malah mengalihkan pandangannya ke arah Alisa. "Dia memang begitu." Katanya dengan senyum kecil. "Tapi omong-omong Heka belum datang?" Tanya Ruri lagi ke arah si laki-laki jahat.
"...Kak Heka memangnya mau ke sini?" Balasnya malah balik bertanya.
Mendengar itu, Ruri hanya mengangkat bahunya. "Yah, kalau begitu kurasa Aku harus menunggunya." Katanya. "Tapi Hazel, kau punya minuman? Aku minta ya. Untuk dia juga." Tambahnya sambil melirik ke arah Alisa, sehingga Hazel malah jadi cemberut lagi ke arahnya.
Diserang dengan aura tidak enak, Alisa spontan mendekatkan dirinya ke arah Ruri. Tapi untungnya Hazel segera pergi masuk ke pondok dan meninggalkan mereka berdua.
"Aku mau bilang kalau dia tidak jahat, tapi yah…" Kata Ruri lagi. "Ingat saja untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia begitu pada semua orang."
"Eh, ah, iya, terima kasih." Sahut Alisa yang tidak tahu lagi harus membalas apa.
Tapi setelah diperhatikan lagi, walaupun kelihatan ramah, sebenarnya perempuan itu juga punya aura yang agak mengintimidasi. Mungkin karena cardigan dan choker hitamnya, perempuan dengan rambut lurus panjang itu terasa seperti orang yang harusnya Alisa temui di toko peramal yang cuma buka saat tengah malam. Makanya meski Hazel sedang pergi ke dalam pondok meninggalkan mereka berdua, Alisa masih merasa gugup untuk mendekatinya.
Tapi sebaliknya, Ruri kelihatannya acuh dengan itu. "Namamu?"
"Ah, A-Alisa." Jawabnya kikuk.
"Tadi Hazel mengatakan sesuatu tentang anggota baru, jangan-jangan kau orangnya?" Tanyanya dan Alisa pun mengangguk. "Hm, Aku tidak tahu mereka menempatkan anggota baru ke sini." Gumamnya lagi. "Ah, Aku Ruri." Tambahnya.
"Kak Ruri…" Ulang Alisa, yang perlahan jadi lebih tenang. Makanya saat Ruri kelihatan berjalan ke arah meja di tengah halaman, dia pun mengekor di belakangnya dan ikutan duduk di sana. Alisa berharap Ruri mengatakan sesuatu lagi, tapi ternyata orangnya malah sudah kelihatan sibuk mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang daritadi dia bawa.
Alisa tadinya cuma diam memperhatikan perempuan di depannya mengeluarkan kotak-kotak kayu kecil yang aneh. Tapi saat dia mulai membukanya, Alisa langsung melebarkan matanya. "Itu…!" Alisa menceletuk dengan nada terpana karena tidak bisa percaya dengan pemandangan itu, di mana ada beberapa botol kecil dengan cairan warna-warni yang familiar.
"Ah, baru pertama kali lihat? Ya, ini ramuan sihir." Sahut Ruri santai. "Karena Heka memintanya tiba-tiba, Aku perlu mencari resepnya dulu tadi. Jadinya kupikir Aku akan membuatnya di sini saja." Lanjutnya bercerita. Tapi karena tidak disahut, Ruri pun mengalihkan pandangannya untuk memperhatikan Alisa lagi. Dan dia justru jadi sedikit bingung karena ternyata anaknya benar-benar kelihatan terpana.
Merasa agak lucu melihat mata beningnya melebar begitu, tanpa sadar Ruri menceletuk begini, "Kau mau bantu?"
"Eh, bo-Boleh?"
Seketika itu Ruri tersadar. 'Sebenarnya tidak boleh…' Jawabnya dalam hati. Tapi karena dia yang duluan menawarkan, rasanya sudah agak terlambat untuk bilang tidak. Jadi dia pun mengabaikan suara hatinya. "Ini, pegang ini." Katanya kemudian sambil menyodorkan dua botol kecil pada Alisa. Yang masing-masing berisi cairan hitam dan hijau.
Agak semangat, Alisa pun mendekatkan posisi duduknya ke tempat Ruri dan memegang dua botol itu, selagi orangnya sendiri mulai sibuk menuliskan sesuatu di botol kosong yang lain. Baru setelah itu dia mengambil botol kecil lainnya dengan cairan berwarna kuning dan merubahnya jadi warna merah.
"Ohh, itu dipanaskan…" Celetuk Alisa tanpa sadar, yang detik berikutnya jadi kaget sendiri. Kalau saja bisa, Alisa sebenarnya ingin menutup mulutnya. Tapi sayangnya tangannya masih memegangi dua botol tadi, jadi dia pun cuma bisa melipat bibirnya kikuk.
Dan sesuai dengan kekhawatirannya, Ruri kelihatan sedikit kaget saat menoleh. Tapi ternyata dia hanya berkata, "Ah, apa kelihatan?" Sahutnya sambil mulai menyodorkan cairan merah tadi ke arah Alisa. "Tuangkan yang hijau ke dalamnya. Sampai berubah jadi oranye…" Suruhnya lagi.
Menghela napas lega diam-diam, Alisa pun menurut. Sama sekali tidak sadar kalau Ruri melihatnya dengan ekspresi heran karena tangan Alisa sama sekali tidak kelihatan ragu ketika menuangkannya. "Iya, begitu. Tuangkan sedikit-sedikit…"
Di tengah kesibukan itu, Hazel pun akhirnya kembali dengan membawa kotak termos besar yang berisi macam-macam minuman--yang biasanya dia habiskan sendiri. Walaupun saat melihat Alisa malah sedang sibuk membantu Ruri dengan proyek ramuannya, dia jadi kelihatan bingung. Karena bagaimanapun dia juga tahu harusnya tidak sembarang orang boleh ikut-ikutan pegang ramuan Ruri.
"Dia asisten kakak yang baru atau semacamnya? Memangnya kakak boleh punya asisten?" Tanyanya sambil duduk.
"Dia asistenmu tahu." Balas Ruri. "Namanya Alisa kalau kau belum tahu."
Membeku sesaat, Hazel pun memandangi anak yang sekarang sedang memasang ekspresi canggung ke arahnya. Tentu saja, memangnya siapa lagi orang yang punya urusan ke pondok ini! "Oh. Kau pandai cari jalan." Celetuknya singkat. "Nih, minum." Lanjutnya lagi sambil menyodorkan teh kotak ke depannya dan kaleng jus ke depan Ruri juga.
Suasananya sempat kembali canggung, tapi kemudian Ruri kembali fokus pada ramuannya. "Oh, sekarang campurkan yang kuning juga ke situ." Kata Ruri lagi. Padahal tadinya dia hanya ingin dibantu sedikit, tapi melihat Alisa yang justru kelihatan lumayan pintar, entah bagaimana Ruri malah jadi mulai menyuruh Alisa untuk melakukan semuanya.
"Tapi yang ini tidak berubah warna…" Keluh Alisa yang kedengaran sedih.
"Kau perlu mengocoknya sedikit." Jawab Ruri dengan tawa kecil.
"Ah, apa begini?" Sahut Alisa yang mulai mengocok botol itu pelan. Dan ketika warnanya akhirnya berubah jadi ungu, bibirnya pun melengkung ke atas lagi. "Oh, berubah!" Serunya senang.
"Begitu harusnya cukup." Kata Ruri yang kemudian mengambil botol itu dari Alisa. Lalu setelah dia memasukkan butiran permen kecil entah apa ke dalamnya, akhirnya ramuan itu pun jadi bening. "Nah, sudah." Katanya sambil mendesah dengan lega.
Menonton semuanya sudah selesai, Hazel pun akhirnya kembali bicara. "Dilihat-lihat dia lebih cocok jadi asisten kakak. Kakak boleh mengambilnya kalau kakak mau." Usulnya.
"Tapi kalau begitu kau harus bilang dulu ke Rei—"
"Tidak jadi." Putus Hazel langsung. "Tapi itu kak Heka yang minta?"
"Dia tidak cerita?" Tanya Ruri balik, meski Hazel hanya diam karena merasa jawabannya sudah jelas. Soalnya kalau dia tahu, bukan hanya membakar penanda jalan, dia mungkin sudah membangun pagar setinggi 30 meter di sini.
"Katanya ada anak yang mengeluh kalau tangannya suka panas saat menggunakan sihir. Jadi dia tanya apa Aku punya ramuan yang bisa membantu." Jelas Ruri meski Hazel langsung terlihat tidak tertarik lagi.
"Ahh." Celetuk Alisa tanpa sadar lagi, karena dia memang sudah mencurigai itu saat membuatnya tadi.
"Kenapa?" Tanya Hazel.
"Eh, ah, tidak…"
Melihat sikap Alisa yang tiba-tiba aneh, Hazel sudah akan bertanya lagi. Tapi kemudian dia malah menangkap Ruri memandanginya dengan tatapan menuntut yang serius. "...Kenapa?" Tanyanya pura-pura tidak paham. Tapi karena Ruri semakin menajamkan tatapannya, dia pun menambahkan. "Aku kan sudah memberikannya minum. Gratis pula." Katanya.
"Hh…" Desah Ruri. Dia sama sekali tidak tahu kenapa Hana menaruh anggota baru ke sini, tapi rasanya memang mengkhawatirkan melihat anak sepolos ini berada di tempat yang sama dengan Hazel mulai sekarang. "Mungkin Aku harus minta Hana untuk periksa ke sini sesekali."
Dan seketika itu Hazel pun langsung merendahkan tubuhnya ke meja dan menelungkupkan kedua tangannya pada Ruri. "Tolong-jangan." Katanya memohon.
"Tapi kau harus tetap memperbaiki penanda jalannya."
"Yasudah, nanti akan kutempel kertas untuk penggantinya. Supaya kalau hujan bisa langsung rusak." Balas Hazel datar. Ruri kelihatan mengulum bibirnya tidak puas, jadi dia pun melanjutkan, "Habisnya di sini kan hampir tidak ada pekerjaan apa-apa. Jadi tidak ada gunanya memasang penanda jalan kalau memang tidak ada yang ke sini."
"Tapi sekarang kan kau punya anggota baru. Kalau kau menghilangkan penanda jalannya, kau mungkin harus menjemputnya setiap hari." Balas Ruri.
"Eh, ah, karena Aku sudah tahu tempatnya, kurasa sekarang Aku sudah ingat jalannya. Mungkin." Balas Alisa cepat-cepat.
"Lagipula bukannya kau bisa terbang atau semacamnya? Buktinya kau pakai pin bintang terkutuk itu." Balas Hazel lagi.
Tapi setelah Hazel berkata begitu, ternyata Ruri yang malah kelihatan kaget. "Pin?" Ulangnya dengan alis terangkat saat dia menyadari memang ada pin familiar yang menempel di dasi Alisa. "Kau memakainya…? Apa pemandu hari ini lupa melepaskan punyamu?"
"Ah, itu, tapi kak Aria tadi bilang tidak apa-apa kalau tidak ke gedung Osis…" Balas Alisa yang malah jadi agak khawatir lagi. "Itu, apa memang harus dilepas?"
"Kenapa? Kau suka pinnya?" Tanya Hazel lagi dan Alisa diam tidak membantahnya. "Hm, aneh."
Melihat anak manis di depan mereka kelihatan tidak mau melepaskan pin kesayangannya itu, Ruri dan Hazel sempat saling memandang sejenak sampai akhirnya mereka berdua cuma bisa mengangkat bahu asal. "Yah, kurasa tidak masalah." Kata Ruri akhirnya. "Tapi kalau nanti kau perlu ke gedung Osis, jangan lupa dilepas ya. Soalnya nanti ada monster yang menyerangmu."
"...Monster? Maksudnya—"
Tapi belum sempat menanyakan hal itu lebih jauh, tiba-tiba saja sudah ada sapu tangan terbang yang mendarat di halaman pondok. Di situ ada dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Salah satu laki-laki yang punya badan agak besar kelihatan langsung melambai ke arah mereka, jadi mungkin itu Heka yang tadi sempat disebut-sebut.
"Tapi kok dia bawa dua orang?" Komentar Hazel yang kembali merengut. "Kenapa hari ini banyak sekali yang datang?" Gerutunya.
"Ruri sudah di sini ya." Kata Heka kemudian. "Ah, kau pasti anggota yang baru ya? Aku Heka." Lanjutnya lagi pada Alisa.
"Ah, iya..." Balas Alisa kikuk.
"Kau tidak bilang kalau muridnya ada dua." Kata Ruri kemudian. "Dua-duanya suka sakit di tangan kalau menggunakan sihir?"
"Ah, tidak, anak yang itu katanya sudah tidak merasa sakit lagi. Jadi dia tidak jadi datang."
'Hh…' Ruri mendesah pelan karena ramuan yang tadi sudah dibuat malah jadi sia-sia, tapi ya apa boleh buat. "Lalu mereka?"
"Yang ini Arin." Kata Heka sambil menunjuk perempuan di sebelahnya. Dia kelihatan sedikit lebih tinggi dari Alisa, tapi kulitnya sangat putih bahkan cenderung pucat. Apalagi ditambah dengan rambut mengkilapnya yang digerai, dia sebenarnya kelihatan agak mirip boneka. "Aku juga tidak begitu paham, tapi sepertinya dia jadi tidak bisa melihat." Jelas Heka dan semua orang langsung terdiam.
"Maksud kakak dia jadi buta? Tidak kelihatan begitu." Komentar Hazel. Soalnya tatapannya tidak kelihatan hampa atau semacamnya.
"Ti-Tidak sampai buta." Sahut perempuan itu. "Hanya saja pandanganku jadi penuh kabut." Jelasnya sebisa mungkin.
"Kabut…" Ulang Ruri sembari berpikir. Dia kelihatannya punya dugaan, tapi karena belum yakin, dia pun mengalihkan pandangannya ke arah anak yang satunya dulu. "Kalau dia kenapa?"
"Kalau yang ini Rio. Dia hanya sedikit terlalu kuat." Jelasnya, meski semua orang hanya mengerutkan alis mereka karena penjelasan itu masih terlalu umum. Jadi Heka pun menoleh kembali ke laki-laki berambut kusut itu dan memberi isyarat padanya.
Laki-laki itu sempat mendesah pelan, tapi kemudian dia berjalan mendekat ke meja. Dan dengan tangan kosongnya, diapun mematahkan sedikit ujung meja itu.
"Hei! Aku suka meja ini!" Protes Hazel.
Tapi daripada menyahut Hazel, Rio malah memandang ke arah Ruri yang kelihatannya merupakan dokter di situ. "Awalnya tidak begini. Tapi beberapa hari ini agak terlalu… Tadi saja handphoneku sampai patah." Jelasnya.
Ruri mengulum bibirnya dengan getir, tapi dia hanya mendesah pelan. "Kalau begitu kalian semua duduk saja dulu. Akan kubuatkan sekarang. Untungnya ramuan untuk itu termasuk mudah." Katanya sambil membuka kotaknya lagi. "Tapi karena ini termasuk tipe ramuan yang harus diminum dalam dua batch, 3 hari lagi, berarti hari jumat kau harus kembali lagi ke sini." Jelasnya pada Rio.
Dan setelah Rio mengangguk tanda paham, Ruri pun kembali memandang ke arah Arin. "Kalau untukmu, kabut yang kau lihat itu kemungkinan besar adalah energi sihir." Jelasnya yang kemudian kembali berpikir. "Mm, sebenarnya ini agak berbeda, tapi untuk sementara akan kubuatkan ramuan yang biasa digunakan pada anak yang bisa lihat roh. Siapa tahu sama." Katanya.
Memikirkan kalau dia harus membuat dua ramuan sekaligus, kepala Ruri sudah mulai berputar untuk merencanakan langkah-langkah prosedurnya. Tapi untungnya anak di sampingnya kelihatan punya banyak waktu.