Chereads / AVIARA: Katanya Itu Sekolah Sihir / Chapter 4 - Perekrutan Anggota Osis (1)

Chapter 4 - Perekrutan Anggota Osis (1)

Hana tadinya sudah hampir putus asa karena orang yang dia cari tidak juga ketemu meski dia sudah keliling ke mana-mana selama 15 menit. Tapi untungnya saat dia mencoba untuk memeriksa perpustakaan sebagai pilihan terakhirnya, batang hidung ketua Osis itu akhirnya kelihatan.

Di salah satu sofa panjang yang ada di dekat jendela, seorang laki-laki kelihatan sedang santai memainkan game di handphonenya. Walaupun berkebalikan dengan game tembak-tembakkan yang dimainkannya, mata lelahnya kelihatan memancarkan ekspresi bosan yang akut. Ditemani cahaya matahari yang menembus jendela, dia kelihatan seperti pohon yang sedang berfotosintesis.

"Rei." Panggil Hana. Tapi karena dia tidak menyahut, dia pun duduk di atas meja di depannya. "Rei!" Panggilnya lagi, tapi orangnya masih saja tidak menoleh.

Kalau sedang gemas Hana bisa saja langsung merebut handphonenya untuk menarik perhatiannya. Tapi berhubung minggu lalu mereka baru saja bertengkar, Hana pun memutuskan untuk bicara pelan-pelan hari ini. "Kau belum makan siang kan? Aku bawa sandwich." Kata Hana sambil menaruh kantung plastik roti itu di pangkuannya.

Dan setelah diam sesaat, laki-laki itu akhirnya mulai tersenyum kecil sambil menjatuhkan handphonenya. Lalu dia menoleh dan memandang Hana dengan pandangan mengejek. "Kau butuh sesuatu ya? Kenapa bicaramu halus sekali?"

"...Aku selalu begini."

"Tentu saja." Cibirnya. Dan Hana pun cuma bisa mengerucutkan bibirnya cemberut.

Kebanyakan orang selalu menganggap Rei sebagai orang yang tidak ramah karena dia punya mata yang gelap dan tajam. Bahunya yang lebar dan lengannya yang berisi juga entah bagaimana selalu memancarkan aura garang seakan dia punya tato naga di balik bajunya. Dan ya, kadang dia memang bisa bicara kasar.

Tapi terlepas dari semua itu, Hana sebenarnya lumayan menyukai Rei. Penjelasannya agak sulit, tapi dia tahu Rei itu baik. Hanya saja, terlepas dari kesadaran itu, entah kenapa mereka tetap saja sering bertengkar. Hampir setiap minggu, bahkan mungkin setiap hari. Jadi kalau mau disimpulkan, mereka sebenarnya tidak cocok jadi teman apalagi pacar. Tapi di situlah mereka, selalu terlibat satu sama lain.

"Jadi, ada apa?" Tanya Rei sambil menggigit salah satu roti.

"Ini, daftar murid kelas satu yang akan direkrut ke Osis sudah jadi." Katanya sambil menyodorkan selembar kertas. "Kupikir lebih baik kalau kau lihat dulu."

Tapi tangan Rei sama sekali tidak bergerak dan terus saja mengunyah rotinya. "Kalau sudah dibagikan ke semua divisi nanti Aku lihat."

"Tapi… Lihat saja sedikit sekarang, ya?" Desak Hana lagi yang semakin menyodorkan kertas itu ke wajah Rei.

"Tidak mau. Tidak seperti Aku mengenal nama-nama itu." Balas Rei. Tapi karena Hana terus saja mendorong kertas itu ke depan wajahnya, Rei pun mulai memercikan api ke jarinya untuk membakarnya.

"Kau! Ini belum disalin tahu!" Omelnya sambil menarik kertasnya balik.

"Kalau begitu berhenti menggosoknya ke wajahku!" Keluh Rei sama kecutnya.

Semakin menekuk bibirnya, Hana pun menyerah untuk membuat Rei membaca daftar itu dan kembali menyimpan kertasnya. Meski sebenarnya dia masih punya satu permintaan lagi. "Tapi kalau datang ke briefing-nya mau tidak?"

Tapi bukannya kelihatan tidak senang, kali ini Rei malah mengerutkan alisnya dengan bingung. "Tentu saja tidak. Itu malah lebih merepotkan."

"Datang dan duduk saja juga tidak masalah. Mau ya?"

"Kalau begitu tidak ada bedanya Aku datang atau tidak."

"Ah, kalau gitu kau mau ikutan memberi arahan?"

"Jelas tidak." Putusnya cepat. Tapi karena Hana malah semakin menekuk bibirnya sedih, dia pun menambahkan. "Bukan masalah besar kan? Lagipula Aku memang tidak pernah ikutan mengurus anggota baru atau semacamnya. Kenapa sekarang kau malah ingin Aku datang?" Katanya.

Ditanya begitu, anehnya Hana malah jadi terlihat gugup dan mengalihkan pandangannya dengan kikuk. "Cu-Cuma, ya kan bagus kalau ketua Osis juga datang…" Jawabnya gagap.

Terdiam sejenak, Rei memandangi Hana dengan tatapan curiga. Tadinya dia pikir kalau Hana tidak akan membicarakan 'itu' lagi, tapi kelihatannya arah pembicaraan ini memang mengarah ke arah situ. "Kau… Tidak sedang memintaku untuk merekrut anggota Vip baru kan?"

Hana terdiam.

"Itu lagi? Kau tahu Aku tidak mau anggota Vip baru. Aku sudah mengatakannya 6 kali. Sekarang jadi 7." Kata Rei lagi.

Hana menggigiti bibirnya karena tahu ini topik paling sensitif yang bisa dia pilih. Tapi karena dirinya juga lumayan serius, dia pun membalas, "Iya makanya, mm, kau datang saja ke briefing-nya dulu. Siapa tahu ada anak yang…"

Tapi baru berkata seperti itu, Hana sudah kehabisan tenaga duluan karena mata tajam Rei terus memandangnya dengan lurus. Jadi akhirnya dia pun mulai mendesah. "Briefing-nya nanti sore di auditorium 4, siapa tahu kau berubah pikiran…"

Sadar kalau pertengkaran mereka sudah berakhir, Rei kembali menyandarkan punggungnya ke belakang. Tapi karena tidak mau memperburuk mood Hana juga, dia pun mulai mengalihkan pembicaraannya. "Tapi daripada mengharapkanku, sebaiknya kau pastikan saja Fiona tidak mengganggu acaranya."

Dan kali ini desahan Hana jadi semakin berat ditambah dengan nada suara yang akan menangis. "Uuh, semoga saja tidak."

=============================================

Tadinya Alisa hanya diam saja saat melihat Mary terus sibuk memandangi handphonenya sambil senyum-senyum dan bukannya menyuap makan siangnya. Tapi karena kasihan dengan makanannya, Alisa pun kemudian berinisiatif untuk menyuapi Mary yang ternyata langsung membuka mulutnya dengan senang hati.

"Tidak usah ditunggu, nanti juga bunyi kalau pesannya datang." Kata Alisa kemudian.

"Aku tahu!" Sahut Mary sambil langsung meletakkan handphonenya ke meja, meski pandangan dan senyumnya masih tidak berubah. "Lagipula Aku memang pasti dapat. Harusnya sih."

Kembali menyuapi Mary dengan sushi yang tadi dia beli, Alisa cuma bisa tertawa kecil melihat temannya sudah percaya diri begitu. Meski sebagai beta yang bisa menggunakan 6 sihir, Mary memang pantas percaya kalau dirinya akan diundang jadi anggota Osis.

"Tapi di kelas kita, kira-kira siapa lagi yang akan dapat undangan Osis ya? Mungkin Hal? Julie? Yuna? Erza?" Kata Mary sambil memandang ke sekitar kelas.

Mendengar Mary menyebutkan anak-anak yang punya banyak kemampuan sihir sama sepertinya, Alisa kemudian ikutan melihat sekitar. "Dino?" Tambahnya.

"Tidak, tidak." Sela Mary. "Dino sedikit menyebalkan. Osis tidak akan memilihnya." Lanjutnya agak berbisik.

"Ahh, perilaku juga dipertimbangkan ya." Komentarnya. Soalnya Alisa cuma dengar kalau hanya murid yang setidaknya bisa menggunakan 3 sihir ke atas yang bisa masuk ke Osis. Tapi selain itu Alisa tidak tahu ada kriteria lain atau tidak.

"Tentu saja. Malah ada yang bilang kalau justru itu kriteria utamanya. Maksudku, mana mungkin mereka mau memberikan kewenangan pada anak-anak yang suka berbuat onar."

"Benar juga."

Tapi setelah menyuapi Mary lagi, Alisa tiba-tiba saja tertawa kecil sendiri mengingat percakapan mereka sejak pagi ini. "Tapi sebenarnya Aku agak kaget kalau ternyata kau ingin jadi anggota Osis. Habisnya kau selalu cerita kalau Osis itu seperti tukang atur dan isinya kakak kelas galak semua. Jadi kukira kau tidak begitu suka Osis."

"Yaa, ini dan itu beda." Balas Mary yang juga menertawakan dirinya sendiri. "Habisnya kalau Aku ingin dapat sapu tangan itu, setidaknya Aku harus jadi anggota dulu—"

Tring Tring. Dan akhirnya pesan itu pun datang.

'Hai, dengan ini kamu adalah salah satu murid yang akan menjadi anggota Osis. Jadi silahkan datang ke auditorium no. 4 setelah pulang sekolah ya.'

"YES!" Seru Mary yang langsung berdiri. "Nanti malam kutraktir pizza."

"Iya, iya. Selamat ya." Sahut Alisa tertawa melihat Mary yang kesenangan. Tapi setelah itu dia pun mulai melihat ke arah teman-teman sekelasnya yang lain juga. "Omong-omong siapa lagi yang dapat?" Gumamnya.

"Ini, Hal juga dapat!" Sahut Sei sambil menunjuk-nunjuk kepala Hal. Walaupun orangnya sendiri malah menepis tangan Sei karena dia masih mau tidur lagi. Sejak pertama Alisa dan Mary mengenalnya, laki-laki dengan dasi kusut itu selalu saja kelihatan mengantuk.

"Berarti yang dapat baru Aku dan Hal. Ada lagi?" Kata Mary kemudian. "Kudengar biasanya ada 3 orang yang terpilih di setiap kelas. Apa di kelas kita hanya ada 2?" Lanjutnya, tapi semua orang benar-benar hanya diam dan saling memandang satu sama lain.

Baru setelah beberapa saat, Alisa akhirnya sadar kalau ternyata dia sendiri belum mengecek handphonenya—yang biasanya selalu dalam mode sunyi. Tapi karena kriterianya termasuk tidak memenuhi, Alisa tentu saja tidak akan dapat. Harusnya…

"Alisa?!" Sergah Mary yang langsung merebut handphone Alisa. "Kau juga dapat!"

"Eh, ta-tapi…"

'Kenapa Aku dapat?!'