Terlepas dari fakta bahwa ini adalah 'semacam' sekolah sihir, dan penampilannya yang agak purba karena dipenuhi hutan di segala sisi, fasilitas yang tersedia di dalamnya ternyata termasuk lumayan. Sangat lumayan malah. Atau setidaknya itu yang bisa dipikirkan Alisa begitu dia sampai di depan asramanya. Yang bukan cuma gedong, halamannya juga luas seperti lapangan bola.
Ada tiga bangunan di sana. Kuning, biru, dan hijau. Tapi seluruh murid baru cuma diturunkan di depan bangunan yang kuning, jadi Alisa menebak kalau setiap bangunan mungkin dipisah untuk setiap angkatan.
"Tes, tes. Oke, kalian bisa istirahat dulu. Tapi jangan lupa kalau nanti sore ada acara inisiasi." Kata si pak sopir ramah yang sekarang memegang megaphone juga. "Nanti sekitar jam setengah 4, bis-nya akan menunggu lagi. Jadi jangan terlambat. Oke, bye!"
Baru setelah bis itu pergi, semua murid mulai mencari-cari koper mereka yang tadi sudah diteleportasi duluan ke sini. 'Wah, teleportasi betulan' Pikir Alisa sendiri. Melihat langsung sihir yang belum bisa dia kuasai rasanya agak pahit sekaligus mengagumkan.
"Kau tidak cari kopermu?" Tanya seorang perempuan yang sudah memegang kopernya. Dengan rambut dikuncir dan short jeans-nya, perempuan itu mendekatkan wajahnya ke depan Alisa dengan senyum lebar. "Kau melamun ya? Aku tahu! Asramanya besar sekali!" Serunya.
Namanya Mary, teman yang tadi duduk di sebelahnya saat di bis. Berkatnya, Alisa sama sekali tidak merasa bosan di perjalanan panjang mereka dari gerbang sampai ke asrama. Iya, jaraknya benar-benar lumayan jauh. "Lihat! Mereka menggantungkan kunci kamar kita di tag-nya." Lanjutnya sambil memamerkan kopernya, di mana di sana sudah ada kartu bertuliskan nomor kamarnya.
"Wah, iya." Sahut Alisa seadanya sambil memandang sekitar lagi, sampai akhirnya dia menemukan koper merah besarnya. Kelihatannya dia dapat kamar nomor 7-6, yang setelah diperiksa di peta bangunan, ternyata ada di lantai 7. Alisa sudah putus asa duluan kalau dia harus naik tangga lagi, tapi untungnya di situ ada lift.
"Kita ketemu lagi nanti ya." Kata Mary yang turun duluan di lantai 4. Alisa melambaikan tangannya. Tapi melihat teman barunya pergi, tanpa sadar dia jadi melipat bibirnya kecewa. Tadinya dia berharap bisa dapat teman sekamar, tapi sayangnya di Aviara setiap murid dapat kamar masing-masing. Sayang banget!
Karena semua orang turun duluan, Alisa cuma sendiri saat dia turun di lantai 7. Tapi yang pertama menarik perhatiannya begitu dia keluar lift adalah pemandangan di luar koridor asrama. Betapa luasnya sekolah ini! Alisa bisa melihat beberapa gedung sekolah dari situ, tapi gerbang masuk yang tadi sudah tidak kelihatan sama sekali. Yang ada cuma hutan, bangunan sekolah, dan danau.
Dan di kejauhan, Alisa bisa melihat ada beberapa orang yang kelihatan terbang di langit. "Wah, Aku benar-benar ada di sekolah sihir? Semacam!" Celetuknya, yang entah bagaimana jadi mulai semangat lagi. Bibinya jarang melakukan hal yang berguna, tapi untuk saat itu dia merasa senang bibinya mengirimnya ke sini.
"Oh, Aku masih harus cari kamarku." Gumamnya menyadarkan diri dan akhirnya mulai menyusuri koridor lagi. Dan itu dia pintu kamarnya, bertuliskan 7-6.
Alisa segera menggunakan kartu yang tadi diberikan di kopernya untuk membuka pintunya. Dan dia langsung melebarkan matanya begitu dia masuk ke dalam. Kamarnya luas. Yah, tidak luas banget, tapi tetap termasuk lumayan besar. Di mana di situ sudah ada satu kasur medium, satu meja belajar, satu lemari, dan tentu saja lengkap dengan kamar mandi juga.
Di atas kasurnya juga sudah ada kardus besar yang menunggunya. Yang ternyata berisi seluruh benda-benda keperluan sekolahnya. Seragam, buku, sampai beberapa gawai khusus seperti tablet, handphone, dan printilan kecil lainnya.
Yang pertama Alisa lakukan adalah memeriksa seragamnya. Saking semangatnya dia bahkan langsung memakainya dan mulai senyum-senyum sendiri begitu melihat dirinya di cermin. Dia suka pita kuningnya!
Baru setelah memastikan kecocokan seragamnya, dia pun kembali melompat ke kasur dan mulai memeriksa yang lain. Dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke gadget-gadget barunya. "Sampai memberikan ini, sekolah ini keren sekali." Celetuknya kagum.
Untuk sesaat Alisa jadi sempat terpikir bagaimana bibinya bisa membayar sekolah yang kelihatannya mahal begini. Tapi karena percuma memikirkannya, dia pun menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali melihat handphone barunya. Tidak perlu daftar apa-apa, handphone itu sudah siap pakai. Tabletnya juga.
Sekilas handphone itu tidak kelihatan berbeda dari handphone lamanya, kecuali yang ini lebih kinclong. Tapi setelah dilihat, yang pertama dia sadari adalah sinyal wi-fi-nya. "Oh? Di sini ada?" Gumamnya sambil memeriksa handphone lamanya lagi.
Dia ingat tadi murid-murid sempat mengeluhkan tidak adanya sinyal internet begitu mereka memasuki gerbang. Tapi ternyata yang di sini ada. Atau tidak. Soalnya di handphone lamanya tetap tidak terdeteksi sinyal apa-apa.
Alisa sudah akan curiga apa handphonenya rusak, tapi sebuah dugaan tiba-tiba muncul di kepalanya. "Mungkin internetnya hanya bisa bekerja kalau pakai ini…?" Pikirnya sendiri.
Tapi karena tidak ada jawabannya, dia pun mulai memeriksa handphonenya lagi dan mendapati kalau di dalamnya sudah ada banyak aplikasi asing yang terinstal di situ. Mulai dari icon Urgent, Avi-Shop, Avi-Money, sampai buku Pedoman Hidup—Yang di halaman utamanya langsung terpampang daftar panjang seluruh peraturan sekolah.
No. 1. Dilarang melakukan kekerasan.
No. 2. Dilarang menggunakan sihir untuk hal negatif.
"Wahh…" Gumam Alisa yang spontan membaringkan tubuhnya di kasur untuk mulai membaca semuanya. Bahkan bukan cuma daftar peraturan, dia juga sampai melihat video perkenalan Aviara, denah sekolah, sampai semua daftar ekskul dan organisasi sekolah. Semuanya seru untuk dibaca!
Tapi mungkin karena kelelahan, saat hari menjelang siang, Alisa tertidur begitu saja. Dengan handphone di tangannya dan masih pakai seragam juga.
Alisa terbangun karena mendengar suara burung mematuki jendelanya. Awalnya dia hanya guling-guling sejenak menikmati kasur barunya. Tapi setelah tiga detik mengelus-ngelus bantalnya, Alisa langsung terduduk dengan kaget dan melihat handphone-nya. "Jam 4 lewat, ya tuhan!" Serunya panik.
Dia sudah langsung buru-buru ingin keluar kamar, tapi untungnya saat melewati cermin, dia menyadari kalau penampilannya agak kusut. "Ah…" Masalah rambut dan wajahnya tidak seberapa, tapi Alisa sedih melihat seragamnya kelihatan kusut. Meski untungnya dia bisa langsung merapikannya dengan sedikit sihir, yang juga legal di sini!
Setelah selesai, Alisa akhirnya keluar kamar. Dan firasatnya sudah jelek saat dia melihat ke halaman tapi suasananya malah sudah sepi! Dia sudah ketinggalan rombongan, itu jelas. Bahkan mungkin acaranya sudah dimulai, dan masalahnya Alisa bahkan tidak tahu aula untuk upacaranya ada di mana. Dan kalaupun tahu, Alisa ragu tempatnya dekat.
Tapi untungnya bukan cuma dia yang begitu. "Alisa!"
"Mary!" Balas Alisa yang langsung semangat lari ke pinggir halaman. Temannya kelihatan lebih cantik saat rambutnya digerai. Atau mungkin karena seragamnya. Mungkin juga lipstik merahnya.
"Aku kira kau sudah berangkat. Tapi ternyata kau terlambat juga!" Kata Mary, menertawakan mereka berdua.
"Hehe, Aku ketiduran." Balas Alisa malu. Dia kemudian melirik ke arah sepasang perempuan dan laki-laki yang juga ada di situ. Laki-laki yang rambutnya agak panjang kelihatan sempat meliriknya, tapi perempuan berkacamata itu kelihatan masih sibuk dengan handphonenya. Mungkin karena rambutnya yang dikuncir kuda, lehernya juga kelihatan agak panjang. Kardigan pink-nya yang fit juga membuatnya kelihatan langsing.
Alisa tadinya sempat berpikir kalau mereka murid baru yang terlambat juga sepertinya. Tapi pita seragamnya tidak berwarna kuning, melainkan biru dongker, seperti semua kakak kelas yang dia lihat sebelumnya.
Melihat Alisa yang penasaran, Mary pun berkata duluan. "Itu kak Aria dan kak Sena. Mereka bilang biasanya ada saja murid yang terlambat seperti kita, makanya mereka disuruh menunggu setengah jam di sini setelah rombongan yang lain berangkat." Katanya.
"Oh…" Celetuk Alisa seadanya. Secara naluriah Alisa menggeser kakinya untuk menempel di samping Mary. Tapi entah kenapa, dia kembali melongokkan kepalanya ke arah dua kakak kelas. "A-Aku Alisa." Katanya agak malu.
Yang laki-laki hanya mengangguk dengan santai. Tapi yang perempuan sempat terdiam dan menyentuh kacamatanya sejenak sebelum akhirnya memandangi Alisa.
Melihat anak itu sembunyi di samping Mary dan melongokkan kepalanya dengan malu begitu, impresi pertama yang terpikir olehnya adalah dia mirip anak kucing. Dan perempuan itu pun mulai tersenyum. "Kau ketiduran ya?"
"I-Iya. Maafkan Aku."
"Yah, tidak masalah. Lagipula jam segini memang jamnya mengantuk." Balasnya ringan.
"Jangan-jangan kakak dulu begitu ya?" Canda Mary ikutan.
"Oh, benar!" Sahut Sena yang setelahnya langsung dipukul Aria. Meski sebelum protes, matanya kemudian menangkap sosok laki-laki yang keluar dari asrama dengan wajah bingung. "Kau, cepat kemari!" Panggilnya dan laki-laki itu pun mendekat. Tidak seperti Alisa yang masih mendingan, laki-laki dengan dasi berantakan itu benar-benar kelihatan masih mengantuk.
"Nah, sepertinya sudah tidak ada yang lain lagi, jadi kita pergi sekarang saja." Kata Aria sambil berjalan duluan. Tapi bukannya berjalan keluar, Aria malah berjalan ke tengah halaman. Baru setelah itu dia mengeluarkan sebuah sapu tangan yang kemudian langsung melebar dan melayang. "Ayo cepat naik atau pidato kak Hana keburu selesai nanti."
Ketiga anak baru itu tentu saja terdiam, sama-sama tidak percaya dengan apa yang mereka lihat--bahkan meski salah satunya adalah penyihir asli. Tapi setelah beberapa saat, ternyata Mary yang duluan lompat ke atasnya, diikuti oleh Sena. Baru setelah itu Alisa juga ikutan naik, lalu laki-laki yang mengantuk tadi.
"Yang seperti ini hanya sekali lho. Kalau nanti-nanti kalian terlambat seperti ini, kalian harus cari cara sendiri." Kata Sena. "Yah, kecuali kalau nantinya kalian bisa sihir terbang atau semacamnya."
"Semoga Aku bisa!" Seru Mary semangat walaupun sebenarnya dia masih gemetar karena belum pernah terbang tanpa jendela seperti ini. Makanya dia terus menggenggam erat lengan Alisa.
Tapi beda dengan Mary, Alisa justru malah sibuk mengelus-ngelus sapu tangan terbang itu dengan tatapan kagum. Karena kebanyakan penyihir semuanya bisa terbang, Alisa jarang lihat ada penyihir yang sampai perlu media lain untuk terbang. Selain dirinya. Soalnya dia juga termasuk yang lebih suka pakai media lain untuk terbang. Walaupun pilihan utamanya jelas bukan kain halus seperti ini.
Meski saat Alisa masih senyum-senyum begitu, laki-laki di sampingnya mulai agak heran. "Apa yang kau lakukan?" Tanyanya.
"Eh? Ah, tidak. Mm, cuma, kupikir kainnya bagus." Jawab Alisa belepotan. Laki-laki itu kelihatan mengerutkan alisnya, jadi Alisa pun buru-buru berpaling. Sampai akhirnya dia melihat sebuah ballroom besar mulai terlihat di ujung ufuk. "Apa acaranya digelar di sana?"
"Yep." Sahut Aria, yang kemudian menurunkan mereka semua di sana. Karena mereka terbang, mereka langsung sampai hanya dalam hitungan 1-2 menit.
Aulanya besar, tapi atapnya yang bergelombang-gelombang itu kelihatan mengagumkan dilihat. Daripada acara inisiasi, rasanya lebih cocok kalau mereka mengadakan konser rock di situ.
Saat mereka masuk ke dalam, acaranya tentu saja sudah dimulai. Tapi entah sudah sampai di bagian yang mana, yang sekarang sedang berdiri di podium adalah seorang murid perempuan yang suaranya begitu lembut begitu juga senyumnya. Dilihat dari jauh pun orangnya sudah kelihatan berkilau.
"Uwah, kakak itu cantik sekali." Celetuk Mary.
"Duduk saja di sana." Kata Aria kemudian sambil menunjuk barisan bangku yang ada di belakang. Baru setelah itu dia dan Sena juga pergi ke bagian samping aula di mana di sana terlihat ada beberapa kakak kelas lain yang sedang berjaga.
Laki-laki tadi langsung kembali memejamkan matanya begitu duduk. Tapi pandangan Mary dan Alisa sudah tidak bisa lepas dari podium di depan. "Apa itu ketua Osisnya ya?" Celetuk Mary lagi. Walaupun Alisa sudah tidak sempat menyahut karena isi pidato itu mulai terdengar penting.
"—Walaupun Aku yakin kebanyakan murid juga sudah mengetahuinya dari buku panduan yang ada di handphone kalian, hanya untuk jaga-jaga, Aku akan menjelaskannya secara singkat dari awal ya." Kata perempuan di depan.
"Jadi dulu, katanya sekolah kita ini berdiri di atas sebuah lahan bertuah yang menyebabkan seluruh daerah di sini diselimuti dengan energi sihir misterius. Yang hasilnya ternyata bisa memberikan kemampuan sihir pada semua orang yang berdiri di atasnya." Jelasnya yang kemudian mulai membuat murid-murid riuh dengan senang.
"Tapi tidak seluruhnya." Lanjutnya dengan suara agak keras dan semua orang pun kembali diam. "Menurut data sensus sekolah, perbandingan orang yang bisa menggunakan sihir dan yang tidak, kurang lebih berkisar di angka 80/20, sudah termasuk guru dan staff lain. Kemampuan sihirnya juga macam-macam, jadi anggap saja itu memang berdasarkan peruntungan masing-masing. Jadi tolong jangan saling dendam atau iri ya. Sangat dimohon."
No. 3. Harus mematuhi Osis.
"Tapi terlepas dari semua itu, Aviara tetap sekolah biasa. Jadi kalau bisa Aku ingin semua orang lebih fokus dengan urusan sekolah dan menggunakan sihir kalian di waktu luang saja. Hormati para guru dan hargai teman-teman kalian adalah yang paling penting."
No. 4. Osis punya kekuasaan mutlak.
"Dan seperti yang bisa kalian bayangkan, sihir juga bisa membahayakan orang lain, bahkan diri kalian sendiri. Osis dan kakak kelas lainnya akan membantu sebisa mungkin, tapi kehati-hatian kalian adalah hal yang paling krusial. Senang-senang boleh, asal jangan berlebihan. Kuharap semuanya paham ya."
No. 5. Osis berhak menghukum murid yang melanggar.