Chapter 113 - BAB 103

IKLAN LEWAT 🤣👏

[Gamau ngakak sendirian gara-gara kesalahan teknis ini]

Menurut kalian sendiri ganteng James Jirayu atau Mario Maurer? 👀

Cagliari, Sardinia, Italia.

SESAMPAINYA di Cagliari, Kinn pun menyerahkan Jasmine kepada Porche daripada bocah itu makin terguncang di dekatnya. Pete juga membantu menenangkan tangis Jasmine meski tak banyak membantu, sementara Vegas menjaga jarak dengan Laura yang masih antipati padanya.

"Oi ... cup-cup. Kau tidak akan disakiti di sini. Jadi, tak perlu bersedih, oke?" Porche bahkan mengobrak-abrik kulkas Kim barang untuk mencari permen atau apa tapi tak ada. Malahan hanya kopi kalengan dan susu putih. "Arrrghhh. Kenapa Kinn tidak membelikanmu cokelat atau sesuatu selama di jalan? Dasar calon Papa payah!" omelnya agak frustasi. Dan karena hanya menemukan buah,

Porche pun mengeluarkan jurus mengupas buah agar Jasmine agak terhibur.

Mulai dari apel jadi kelinci, kiwi jadi kura-kura, atau bahkan berbentuk kepiting. Untungnya cara itu manjur! Jasmine sampai mengusap matanya sendiri yang basah, walau agak bengkak karena sudah berjam-jam emosional di kendaraan.

"Semuanya buat aku?" tanya Jasmine. Gadis kecil itu pun baru tertarik menatap setiap orang dewasa di sekitarnya.

"Umn! Tentu! Memang buat siapa lagi? Aku tak mungkin mengupaskan untuk mereka. Ini kan spesial untukmu!" kata Porche. Lalu mendorong piring-piring itu ke depan Jasmine.

Pete adalah orang pertama yang mengeluarkan uneg-unegnya. "Oh, wow ... aku tidak tahu kau punya bakat menjadi ibu, Porche."

"Hah?" Porche menggaruk kepalanya. "Tidak. Ini karena dulu Porchay pernah ada tugas tata boga. Aku membantunya latihan bikin hiasan semalam."

"Ho. Tetap saja ... keren."

Sebagai wanita, tapi tak bisa melakukannya ... Laura pun melengos. Dia menuju Jirayu dan Kim yang baru sampai, lalu melipir pergi dari meja Jasmine.

"Oh, baiklah, Kawan. Kita sekarang berteman. Walau aku sedikit sangsi harus bicara apa dulu padamu," kata Laura sembari memandang Kim.

Kalem, Kim pun bergabung duduk di sofa ruang tamu, sementara Jirayu di sebelahnya. "Kenapa tidak mengancamku saja? Bagaimana pun kau bisa meretas aksesku di masa depan," katanya.

"Ha ha ha. Kau kan bisa merubah coding-nya segera setelah masalah ini selesai."

Jirayu mendadak menanggapi. "Secara teknis bukan dia yang merancang desain sistem kami, tapi aku," katanya.

Laura pun mengalihkan pandangan padanya. "Oh, dokter pengkhianat-ku ternyata adalah pacarmu. Pantas ....," katanya. "Aku seharusnya lebih jeli mengawasi siapa saja bawahanku yang sungguhan setia."

Jirayu malah membalasnya tajam. "Mulut mana yang bilang aku berkhianat?" katanya. "Tuan Mossimo bahkan belum dewasa saat orangtuaku mengawal dirinya."

Laura refleks terdiam. Karena dia benar-benar tidak tahu relasi macam apa yang dimiliki keluarga Jirayu dengan Mossimo, yang pasti tidak heran suaminya mempercayai Jirayu ikut dalam susunan kelompok mereka selama ini.

"Jadi, pendatang baru. Kau pun harusnya tahu diri sebelum berkomentar macam-macam padaku," kata Jirayu pada Laura.

Kinn yang sejak tadi bicara dengan Mossimo lewat telepon pun baru bergabung. "Mossimo sudah melakukan pertemuannya dengan orang itu," katanya. "Tapi masih belum menemukan titik temu. Kupikir, tidak heran jika seseorang tetap mencurigainya soal kita." Lelaki itu menatap Jirayu yang entah kenapa memiliki aura memusuhinya.

"Tapi intinya dia akan menyusul kemari?" tanya Kim. Dan itu adalah pertama kalinya sang adik mengajaknya bicara sejak mereka menjalankan misi masing-masing.

"Mungkin tidak. Karena kami sudah punya kesepakatan lain," kata Kinn. "Dia kuminta membantu mengamankan rumah yang di tanah air, sekaligus mengawasi pergerakan selain di tempat ini."

"Ho ... jadi seburuk itulah hubungan kalian berdua," komentar Jirayu tiba-tiba. "Sang kakak memilih minta bantuan pada mantan musuhnya, dan sang adik yang punya kekuatan lebih besar disia-siakan. Pantas saja kalian tidak bisa cocok."

"Phi Jirayu ...." Kim mendadak mendengus, meski fokus tetap pada teh hangat di cangkirnya.

Kinn pun mengibaskan jasnya sebelum ikutan duduk. "Aku mungkin membencimu 100% jika selama ini tidak menjaga adikku," balasnya.

Jirayu tetap tidak gentar sedikit pun. "Tak masalah. Aku tetap merasa lebih baik daripada kakak yang hanya bisa abai hingga adiknya terlanjur dewasa."

Ketegangan pun mulai memenuhi ruangan itu, tapi tidak lagi ketika Vegas datang dengan menyajikan coretannnya di atas meja. "Permisi, semua," katanya. "Daripada berdebat, kupikir akan lebih baik jika kita mulai pikirkan misinya." Lelaki itu melirik Laura sekilas. "Ehem, terutama untukmu. Anggap saja aku tidak ada kalau kau masih terganggu."

Laura benar-benar pergi dari tempat itu. "Kinn, kuserahkan yang di sini padamu," katanya. "Tapi jika ada apa-apa bilang saja selama bisa kubantu."

Kinn menyentakkan dagunya pada sang ratu mafia. "Hm."

Vegas pun menghela napas panjang karena dia belum menemukan cara untuk berbaikan dengan Laura. Padahal situasi mereka sudah sangat bagus, tapi tetap sulit sekali. Namun, daripada fokus kepada hal itu semakin lama, dia pun memaparkan yang sejak tadi telah terbersit dalam kepala.

"Jadi, kuanggap ada 3 pihak yang sekarang berputar dalam lingkaran ini," kata Vegas. Dia mengetuk kertas itu dengan kukunya. "Kita, perebut akses sistemmu, dan polisi-polisi itu," lanjutnya sambil melirik Kim.

Kinn menutupi bagian polisi dengan menggeser cangkirnya. "Sementara kita abaikan mereka dulu," katanya sambil melirik Jirayu. "Karena aku sungguh penasaran dengan siapa orang-orang tersebut."

Masih tak percaya 100% pada gabungan ini, Jirayu pun melirik Kim sebelum menyamarkan jawabannya. "Yang pasti mereka inginkan pasukan besar," katanya. "Karena setelah merebut akses, mereka juga ingin aku membuat klona yang lain."

DEG

"Oh, begitu?" Alis Vegas naik sebelah.

"Hm. Tapi siapa yang ditargetkan, mungkin kita tetap harus cari tahu." Jirayu kemudian ikut menggeser cangkirnya ke sebelah milik Kinn. "Karena itulah, Kim menyembunyikan Ken dan Tawan. Toh jika bukan salah satu dari kita yang dicecar, pastinya mereka berdua."

Vegas pun menatap Kim dengan selidik. "Oh, aku tidak sadar kau sudah melakukannya." Lelaki itu lantas berdehem pelan. "Memang sekarang mereka dimana?"

Membayangkan Tawan sudah sampai di Costa Rica, Kim pun balas melirik sang sepupu lurus. "Kurasa tak ada alasan yang mewajibkanku menjawab," katanya. "Cukup lewati soal mereka."

Jirayu memandang ekspresi Kim dan coba menerjemahkannya. Mungkin, dia masih belum sanggup meraba kedalaman hati lelaki itu, tapi Kim sungguh berhati-hati. Persis seperti dirinya, sang jantung hati pasti belum terlalu mempercayai orang-orang di tempat ini. Apalagi itu soal Tawan.

"Baiklah, tapi jangan ragu jika membutuhkan sesuatu dari kami," kata Vegas. "Karena kita telah menjadi satu tim, Kim."

Kim justru mengalihkan topik. "Menurutku, kalian harus mengurus yang sudah jelas dahulu," katanya sambil menoleh ke arah Porche yang menyuapi Jasmine apel. "Persoalan gadis itu bagaimana? Seseorang sudah marah dan memburu kita, tapi dia belum kembali."

Vegas melingkari gambar sederhana mansion Kim dengan bulatan. "Kau sendiri tidak khawatirkan sistemmu? Tempat ini harus benar-benar diamankan."

Jirayu mengambil alih percakapan mereka. "Jika memang terpaksa diambil alih, aku bisa pindahkan pusatnya ke versi baru," katanya. "Walau waktunya jelas tidak sebentar. Konsepnya jelas beda jauh dengan hanya meretas akses."

"Maksudmu membuat pusat sistem salinan?" tanya Kinn.

Jirayu mengendikkan bahu. "Aku selalu mempersiapkan kejadian seperti ini," katanya. "Kotak kelahiran klona, kotak perawatan Tawan, jebakan rumah yang dulu hampir membunuhmu, dan tentunya sistem cadangan di Milan ...." Lelaki itu kemudian tersenyum tipis. "Aku yang merancang dan membuat semuanya berdiri, Kakaknya Kim. Jadi, kusarankan kau tidak meremehkanku mulai sekarang."

Vegas akui, dia sempat menahan napas mendengar kata-kata Jirayu. Bagaimana pun, praktik soal teknologi di tanah air mereka belum semaju Kim dan Jirayu di negara ini. Maka, mungkin mereka memang harus berbaikan total suatu hari nanti. Dengan begitu, daripada berlanjut menjadi musuh, mereka bisa belajar banyak hal agar tidak terkalahkan oleh musuh mana pun di masa depan. "Oke, jadi bisa kita anggap itu bukan lagi masalah besar?"

Jirayu pun mengangguk pelan. "Hm, tapi aku tetap butuh mengerjakannya dengan beberapa orang," katanya. "Itu kalau mau lebih cepat. Apalagi harus menetap beberapa hari hingga mingguan. Tentu keamanan tidak kalah penting. Maksudku, sebagai jaga-jaga kalau ada yang menyerangku di Milan."

"Aku akan membantumu nanti," kata Kim.

Namun, Jirayu malah melarang Kim kali ini. "Tidak, jangan. Kau sebaiknya ikut terlibat di dalam misi," katanya. Lalu memandang semua orang di sekitarnya. "Karena menurutku, memang hanya kau yang pantas kendalikan semua prajurit yang sudah ada."

"...."

"Atau orang-orang yang mungkin kau beri kesempatan mendapatkan sebagian kecil aksesnya."

Kinn pun bercelutuk pelan. "Bagaimana dengan Laura?"

"Laura?" Sudut bibir Jirayu pun berkedut saat menoleh ke mantan majikan. Wanita itu kini tengah duduk di sisi Jasmine untuk ikut menyuapi apel. Gerakannya sangatlah kaku, aneh, lalu balas meliriknya dari jauh sana. "Oh, bagus. Asal dia mau kerja sama saja."

"Baiklah, serahkan itu padaku," kata Kinn. "Akan kuyakinkan dia untuk bergabung denganmu nanti."

"Ya, terserah." Jirayu mendadak beranjak. "Kalau begitu kuanggap tugas bagianku sudah pasti saja."

"Hm," sahut Kinn.

"Sekarang boleh aku bicara dengan Kim sebentar? Dia akan kembali secepatnya kalau sudah selesai," kata Jirayu, yang membuat semua orang di tempat itu terdiam.

Kim pun segera mengikuti langkahnya ke ruangan lain. Lelaki itu seperti sudah menduga kenapa Jirayu tidak terang-terangan saja saat berkumpul, lalu mendengarkan semua perkataannya.

"Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan mereka," kata Jirayu sambil mencari-cari pulpen dan kertas di rak terdekat. "Yang terpenting kau, dan kita berempat bisa keluar dari masalah ini dengan sempurna. Tapi tak apa kalau sementara selesaikan bersama-sama."

Kim lantas menerima kertas yang ditulisi Jirayu dengan kode-kode khusus. "Ini untuk mengakses tempatmu?" tanyanya memastikan.

"Ya, yang ada di Ocho Rios. Aku sudah menggantinya sandi pusatnya lagi sebelum meninggalkannya terakhir kali," kata Jirayu. (*)

(*) Ocho Rios adalah sebuah kota dalam pulau kecil yang tak jauh dari Pantai Jamaica, Amerika Utara. Letaknya cukup dekat dengan Laut Karibia. Dan di sanalah Jirayu menyembunyikan satu-satunya rumah rahasia miliknya. [Beda dengan Kim yang memilih Italia sebagai lokasi ketiga mansionnya sekaligus].

Namun, Kim tidak langsung mengantunginya. "Aku akan menjemputmu kalau urusan di Milan selesai," katanya. "Ken dan Phi Tawan juga."

"Tidak, aku sendiri yang akan datang," kata Jirayu sambil menuliskan entah apa lagi di kertas yang lain. "Kau fokus saja dengan orang-orang yang di luar. Karena aku yakin, mereka bahkan belum mengendus soal Domenico dan lain-lain."

"Domenico?" tanya Kim dengan alis naik sebelah.

"Ya, karena dia yang menodong kepalaku saat sempat meretas sistem Wik darimu," kata Jirayu dengan gerakan yang terhenti tiba-tiba. Dia bahkan belum menyelesaikan tulisan--tidak jelasnya--di kertas tadi, tapi menangkup kedua bahu Kim seolah meminta maaf. "Aku yakin, dia punya hubungan dengan lelaki yang baru kau bunuh, tapi kali ini firasatku benar-benar tidak bagus. Ah, mungkin karena aku mengenalnya sejak menyusup di tempat Laura? Jadi, biar kucarikan relasi miliknya untukmu nanti."

"...."

"Paham maksudku, kan?" kata Jirayu memastikan. "Tapi, aku tak bisa percaya dengan siapapun di luar sana."

Kim pun berusaha menyimpulkan.

"Kau ingin aku membunuhnya sendiri?" tanyanya memastikan.

"Ya, tentu saja. Dan aku yakin kau mampu. Toh siapapun yang ditargetkan, sudah jelas kalau dia pernah ingin mengancam kita," Jirayu lantas kembali melanjutkan catatannya. "Lalu jika selesai, langsung pergi saja tak masalah. Karena pemerintah bukan lagi urusanmu. Jangan terlibat dengan para mafia terlalu dalam. Itu masalah mereka."

"Aku tahu."

Jirayu lantas memberikan kertas yang kedua kepada Kim. "Bagus. Sekarang bawa yang ini juga," katanya. "Karena kalau aku sudah tidak bisa, kau bisa membuka laci-laci itu untuk memulainya sendiri."

"Apa maksudmu sebenarnya."

Jirayu malah melanjutkan apapun yang ingin dia sampaikan. ".... dengan Ken. Atau siapa pun yang ingin kau ajak. Semua salinan data manual dan desain sistem serta klona kusimpan secara terpisah. Jadi, kau tidak perlu khawatir lagi kalau suatu saat hal seperti ini terulang," katanya.

Kim pun mengalihkan pandangannya dari dua kertas itu ke Jiraiyu. "Kau bilang akan ada di Milan."

"Ya, tapi akan kucari waktu demi keluar," kata Jirayu. "Untuk mencari informasi soal Domenico dan orang itu? Aku baru sadar pernah melihat wajah remaja mereka di suatu tempat bahkan sebelum kita bertemu." (*)

"Aku benar-benar tidak paham omonganmu, Phi--"

"Ini pasti ada hubungannya dengan orangtuaku, juga ayah Tuan Mossimo," sela Jirayu seperti orang yang gugup. "Atau mungkin masalahnya lebih luas lagi, Kim."

Kim pun tidak bisa memberikan reaksi apapun saat Jirayu mengecup bibirnya sekilas. "...."

"Sementara itu saja," kata Jirayu pelan. "Kapan-kapan--kalau ada kesempatan--akan kujelaskan lebih detail setelah semua bisa kubuktikan."

"...."

"Aku pergi sekarang."

Brakh!

Kim pun membiarkan Jirayu keluar ruangan dan meninggalkan mansion ini dengan mobil hitam. Entah mau kemana dia, yang pasti Kim mendadak ingat tentang Ken yang dulu menyinggung-nyinggung masalah pekerjaan orangtua Jirayu selama di Sisilia.

Bila tak ada mereka, pasti Jirayu pun takkan punya jalan untuk menyusupi pabrik AI Laura atau menjadi dokternya.

Ah, terlalu banyak rahasia yang terpendam. Atau lebih tepatnya terabaikan. Mungkin karena selama ini dirinya, Ken, dan Jirayu hanya fokus dengan projek klona dan penghidupan Tawan?

Yang pasti Kim hanya harus cepat membantai Domenico, dimana pun lelaki itu berada sekarang.

BRAKHHH!!!

"KIM! KIM! KIIIIM!"

Baru saja Kim mengantungi kedua kertas itu ke saku, tiba-tiba Porche berlari ke ruangannya dengan Jasmine yang ada di dalam gendongan. Raut lelaki itu sangatlah merah. Tapi bukan karena amarah, melainkan syok bercampur frustasi dan air mata yang merembes di pelupuknya.

"Kau ... kau apa belum dapat kabar?" tanya Porche dengan ponsel yang tergantung di sisi tubuh. "Tawan--"

Suara Porche sudah disela oleh sistem yang mendadak mengambang diantara mereka berdua.

[PERINGATAN! PERINGATAN!]

[SIAGA 4 UNTUK SIDE CONTROLLER TELAH DIAKTIFKAN!] (**)

[TERDETEKSI KOTAK PERAWATAN DENGAN KODE AI2135 BERGERAK KELUAR JALUR TUJUAN!]

[🚨🚨🚨]

DEG

"Apa?!" Seketika, jantung Kim pun berdebar kencang.

Porche pun mengangguk menegaskan. "Ini, barusan ada panggilan dari Ken melalui telepon umum," katanya. "Dia mendadak diserang di tengah jalan saat sudah sampai di San Jose. Bak truck gandengnya terpisah menjadi tiga, dan yang paling depan membawa Tawan diambil alih oleh pelaku--" (***)

BRAKKHHHHH!!!

"BRENGSEK!!! KEN!! MENJAGANYA SAMPAI TUJUAN SAJA KAU TIDAK BISA!! ARRRGGGHHH!!"

Daripada mengejar sang adik ipar, Porche pun melindungi Jasmine yang punggungnya ditabrak Kim di ambang pintu.

Deg ... Deg ... Deg ... Deg ....

Dengan jantung yang ikut berdegub tak wajar, Porche pun membisikkan sesuatu kepada Jasmine sambil mengelus pucuk kepalanya. "Tidak apa-apa ... tidak apa-apa ... dia bukannya sedang marah padamu ...." katanya, walau dalam hati berharap Kim baik-baik saja selama menyusul jantung hatinya pergi.

"Kim ...."

Bersambung ....

🙂 Pergerakan Domenico cepet ya gaes. Mendadak udah nemuin lokasi Tawan aja buat balas dendam. Well, senam jantungnya akan dimulai lagi.

(*) Melihat dimana? Nanti kalian akan tahu.

(**) Hanya jika kalian lupa, Side Controller adalah sebutan Tawan. Kalau Excecutive CEO adalah sebutan Kimhan di sistem.

(***) San Jose ini Ibu Kota Costa Rica, Amerika Tengah. Hampir nyampe lah ke pulau pribadi Kim. Sayangnya udah dicegat duluan. Masih di sebelah laut Karibia juga. Sekian informasi saat ini.