"Kau akan tahu sifat asli seseorang ketika dirimu sudah tak berguna untuk mereka."
[James Jirayu Tangrisuk]
.
.
.
BERBEDA dengan Kinn yang mengalami kegagalan, Porsche berhasil mencapai Venezia dengan mulus. Dia, Mossimo, dan Laura menyusup ke dalam mansion Kim yang dijaga beberapa polisi tidur.
Tengah malam, hanya dua yang masih terjaga dan berkeliaran dengan senter masing-masing. Meraka berkeliling di sekitar tanda kuning bertuliskan "Caution" , merokok, dan mengobrolkan baju seksi seorang jaksa anyaran.

Ketiganya pun masuk melalui pintu rahasia di sebelah kolam. Bentuknya bulat seperti lubang tikus, memiliki tutup yang sudah peyot, dan langsung menelan setiap raga dengan baik.
"Hati-hati, Laura."
Porche bahkan tidak sadar dia membantu Laura turun, sementara Mossimo mengamankan bagian belakang.
Mereka tidak banyak bicara selama di perjalanan. Kecuali Porche yang berusaha mengingat mana jalur yang pernah dipakai Kinn kabur sambil menggendongnya.

"Semuanya tergenang air, Porche," kata Laura.
Porche pun mengayunkan tangannya kepada wanita itu. "Jangan turun ke bawah, Laura. Ayo ikut aku ke lorong saja," katanya karena ingat kemana harus pergi ke jalur yang kering.
Mereka pun berhasil melewati banyak ruang dalam waktu singkat, walau Porche sendiri takjub kenapa otaknya sekarang mudah dipakai mengingat.
"Kau yakin ini jalan yang benar?" tanya Mossimo memastikan. Sang mafia Sisilia tetap ragu, karena bagaimana pun banyak kotak-kotak kelahiran yang mereka lewati. Dikira Mossimo, setiap ruang pasti sama saja. Atau mereka tersasar di dalam sana.

Namun, Porche tidak mau pedulikan Mossimo. Dia yakin ini benar. Dan ketika Laura mengintip kotak-kotak tersebut, dia takjub karena masih ada klona yang tertidur di dalam sana.
"Aku mungkin bisa bangunkan mereka sekaligus," kata Laura. "Sebagai prajurit kita, pastinya. Tapi belum tahu juga."
"Bukankah ini sedikit aneh?" kata Mossimo. "Kudengar aparat sudah sampai ke sini. Mustahil mereka tidak melihatnya, jadi pasti ada sebagian yang diambil dan dalam proses penelitian."
Semuanya diam mendengar spekulasi mengerikan lelaki itu, lalu meneruskan perjalanan hingga ke jantung sistem.

"Ha ha ... ternyata hanya seperti ini?" kata Laura yang seperti melihat rumah. "Jadi, apa permasalahan adikmu?" tanyanya. Jujur, wanita itu merasa desain sistem Kim cukup sederhana, tapi memang besar dan kuat. Laura juga mengakui dia belum bisa memikirkan yang seperti ini, tapi tidak masalah.
Laura takkan menganggap Kim "mencuri" desainnya lagi, melainkan menyempurnakannya. Oh, Nak. Harusnya kau jadi partner-ku saja di masa depan ....
"Kudengar klona prajuritnya terpecah menjadi dua," kata Porche. Sementara Laura mengotak-atik komputer melayang di sana sesuai instruksi lelaki itu.
"Oh, terus?"

"Ya, pokoknya itu aneh. Walau yang berkhianat hanya sedikit," kata Porsche. "Karena mereka menyerang adik iparku sendiri juga kekasihnya."
"Hm ... apa lagi yang kau tahu?"
Jari Laura tidak berhenti.
"Padahal, hanya mereka yang tercatat sebagai pemilik akses utama."
"Oh ... jadi menyerang si pemilik, ya. Hmm ...."
Mossimo tidak banyak ikut andil dalam dalam perebutan akses itu. Sang bos mafia Sisilia justru melipir ke pintu untuk siaga, tapi mata tidak melepaskan mereka berdua.
Entah apa yang ada di pikirannya. Yang pasti, Mossimo hanya diam saja.

Mungkin, ada sebagian rasa takjub mengapa Laura sangat antusias dengan Porsche. Dan berusaha mempelajari apa saja yang salah dari dirinya. Mungkin, dia juga telah menyerah menjadi yang nomor satu, karena semua itu tidak berguna.
Namun, diantara semuanya, Mossimo lega cukup dengan satu fakta: bahwa Laura tidak lagi mempermasalahkan pola hubungan mereka seperti dulu, walau artinya kebersamaan mereka pun tak lagi penting.
Tidak ada lagi perdebatan yang melemahkan posisi. Tidak ada lagi rasa cemburu. Juga pertikaian yang merusak emosinya setiap hari.


"Oke, baik. Jadi sebaiknya kita mulai dari sini dulu," gumam Laura sambil mengutak-atik seluruh data.
Sebenarnya tidak ada yang salah. Semua kecocokan instruksi sesuai sistem, tetapi Laura menemukan keganjilan karena ada wilayah otonomi.
"Hm?"
Semua di bawah nama "Wik Nakjunorn Ma". Hal yang membuat Laura mengernyitkan kening. Sebab nama lelaki itu berganti sebanyak dua kali dalam pengesahan akses.
"Kenapa, Laura?" tanya Porche yang semakin mendekat ke layar.
"Siapa Wik? Dan kenapa nama dokterku ada di sini?" kata Laura. Lalu mata wanita itu menyipit. "Kemudian ... Allard Bassile."


"Siapa?"
Mosssimo baru ikut mendekat ketika mendengar nama tersebut.
"Allard, kenapa?" tanya Laura.
Sang mafia Sisilia pun menelisik data-data di layar dengan teliti. "Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali."
"Benarkah?"
"Ya, di pesta dengan para uang baru." (*)
(*) Uang baru adalah sebutan untuk pebisnis pendatang yang merintis menuju kesuksesan besar. Mereka punya potensi, dan cenderung bertujuan untuk menyombongkan diri saat menghadiri pesta.

Mossimo menggantikan tempat duduk Laura sebentar. Karena dilarang mendekat bukan berarti tak bisa, melainkan Mossimo malah langsung menyelami sistem itu sekali pun tidak paham prototip awalnya seperti apa.
"Jadi, sekarang dia adalah si pemegang akses otonomi terakhir."
"Ya, singkatnya begitu," sahut Laura.
"Apa kita harus membunuhnya?" tanya Porche.
Mossimo menggeleng tanpa mengalihkan pandangan dari layar sistem. "Jangan. Itu cara terakhir yang harus kita lakukan," katanya. "Lagipula, membunuh hanya akan memindahkan akses kepada salah satu dari kita."
"Ya, bukankah yang Kinn inginkan adalah menyatukan akses adiknya?" tanya Laura kepada Porche.
Porche pun menatap pasangan suami istri itu bergantian. "Kupikir kalian ingin menguasai sebagian klona untuk diri sendiri," katanya. "Maksudku, kalau ingat dirimu bilang soal prajurit kita." Tatapannya jatuh kepada Laura.

"Oh, ya. Kami memang sangat brengsek," kata Laura dengan senyuman manis. Dia murni gemas karena Porche sangat awam dalam dunia mafia. Tapi tidak dengan Mossimo yang menghela napas panjang. "Tapi, Porche. Untuk saat ini kita tidak hanya sedang mengamankan nama adikmu. Tapi ketiga pihak yang sudah bertempur di mansionnya."
"Oh, masuk akal ...." batin Porche yang mendadak merasa bodoh sekali.
"Dan kalau kita serakah, yang ada aku dapat akses sedikit, tapi kehilangan kerja sama dengan kalian semua ... lalu berurusan dengan pemerintah sendirian," jelas Laura secara rinci. "Dan kami tak mau begitu. Jadi, kau ... tidak perlu khawatirkan soal sistem. Perebutan bisa kapan saja, hanya saja bukan sekarang waktunya."
"Oke, baik, maaf. Kita lanjutkan saja sekarang," kata Porche. "Jadi, solusinya apa menurutmu?" tanyanya mengalihkan topik.
Laura pun menjelaskan mereka hanya harus menerjemahkan serta menyusun kode-kode sistemnya ulang. Kalau ingin meng-hack akses Allard, sebenarnya pun butuh waktu cukup lama. Jadi, mungkin kalau sampai besok pagi tidak bisa.

"Bagus, sekarang sudah kosong semua. Tinggal kita isi ulang dengan susunan yang benar," kata Laura dengan raut yang begitu fokus.
"Apa kau butuh bantuan?" tanya Porche kepada Laura.
"Ya, butuh," sahut Mossimo yang ribut membuka laci-laci berkas di belakang. "Kenapa tidak bantu aku cari flashdisk atau semacamnya? Kita harus jaga-jaga untuk menyalin datanya daripada putus asa tidak bisa selesaikan di sini langsung."
"Oh ... oke."
Porche pun langsung meninggalkan meja Laura dan membantu Mossimo. Dia menatap raut wajah sang mafia Sisilia sesekali, dan membaca apakah yang barusan murni misi atau ingin menjauhkannya dari Laura--
"Hei, bukankah mereka sudah saling membenci?" batin Porche sambil memilah-milah isi laci. "Kenapa sekarang antipati sekali padaku?"
"Dapat!" seru Porche sambil mengangkat sebuah flashdisk. Laura pun langsung menyalin data coding program Kim, tapi sambil mengerjakan yang sudah ada di layar.

Sejujurnya, setinggi apapun tingkat intelegensi Porche sekarang, dia tetap tidak mampu menyerap apa yang Laura lakukan. Hanya mengingat prosedurnya saja yang dia bisa. Namun, jika Porche diminta untuk melakukannya dengan cara berbeda, dia menyerah.
Ada terlalu banyak kode yang berlompatan ke sana kemari. Ada terlalu banyak metode yang Laura pakai. Wanita itu seperti menyatu dengan sistemnya dan bermain-main daripada sedang meretas akses Allard di seberang sana.
"Pantau sudah berapa persen keberhasilannya," kata Laura.
"Oke! Sekarang sudah 24%!"
Mossimo pun duduk lagi, sementara keduanya tengah bekerja keras. Lelaki itu hanya mengatakan nasihat yang bijak, meski Laura tetap getol melanjutkan.
"Lakukan separuh saja. Kita cari cara lain kalau sudah sampai rumah nantinya."
"Tidak. Harus selesai di sini," kata Laura. "Bukankah kau bilang benci pekerjaan yang tidak selesai?"
Mossimo tidak mau membantah jika itu Laura. "Kalau begitu aku akan awasi daerah luar."

Jam menunjukkan pukul 3 pagi saat Laura menyelesaikan 72% coding. Mungkin karena dia bukan salah satu pembuat klona, tetap saja butuh waktu untuk meretasnya satu per satu. Toh 30% klona itu tak sedikit (jika dijumlahkan dengan seluruh pasukan Kim) jadi, saat Laura berkeringat ... Porche pun mencarikan air minum meski tetap tidak mendapatkan.
"Mossimo, kau ingin gantian berjaga?" tanya Porche pada akhirnya.
Namun, sang mafia Sisilia malah mengajaknya bicara hal lain. "Kau jangan permainkan perasaan istriku," katanya.
DEG
"Tunggu ... apa?"
Mossimo mengalihkan pandangannya dari balkon jendela mansion. "Aku tahu, aku mungkin bukan yang terbaik," katanya. "Tapi jika dia tidak dapatkan pantas. Aku akan menghajar siapapun orang itu nanti."

Perkataan Mossimo membuat Porche terdiam. Apalagi lelaki itu langsung meninggalkannya di sana, seolah-olah pernah memikirkan percakapan mereka sebelum mengatakan itu kepadanya.
.
.
.
.
.
Sins of Bartender
.
.
.
.
.
.
[Peringatan! Peringatan! ]
[Akses sistem akan segera dipindahkan kepada sang eksekutif secara total]
[Keberhasilan coding sebanyak 72%]
[Semoga hari Anda menyenangkan]
[😊😊😊]

"Arrggghhhhhh!!" teriak seseorang yang dicekik Allard. Andai saja waktu itu sistem tidak memperingatkan dirinya terus menerus, lelaki di tangan Allard pasti sudah mati.
DEG
BRAKH!
"Sial, ini mengganggu sekali!" kata Allard jengkel. Dia pun menendang lelaki yang kini di lantai, meski belum ingin menyudahi. Padahal, menghukum siapa pun yang ingin berhenti gabung selalu menyenangkan, tapi kali ini tidak bagi Allard.
Lelaki itu merasa amat terganggu. Apalagi saat Mike memperingatkan dirinya. "Allard, mungkin ini waktu yang tepat untuk ke penjara lelaki kemarin."

"Aku tahu, sangat tahu," kata Allard. Dia lantas melangkahi tubuh lelaki kesakitan itu, sebelum pergi ke penjara rahasia mereka. Di sana ada bodyguard yang sudah bersimbah darah, tetapi bukan milik sendiri.
"Hei, John. Bagaimana situasi di sana?" tanya Allard. John pun berhenti menyiksa, kemudian menoleh kepada sang boss.
"Dia keras kepala sekali. Tidak mau melakukan peretasan untuk kita. Terus aku harus bagaimana?" kata John.
"Cih ... kelamaan!" kata Allard. Lelaki itu pun mendekat, kemudi menjambak rambut Jirayu yang sudah penuh darah merah. "Hei, bocah--"
CRAKH!
"Arrrrgghh!"

Dengan satu tusukan di paha, teriakan Jirayu pun melolong dalam ruangan gelap tersebut.
"Dengar. Kau di sini adalah orang buangan," kata Allard. "Bukankah kau berkhianat? Siapa yang mau peduli lagi padamu kecuali aku? Jadi lakukan saja perebutan aksesnya kembali, patuh padaku, nanti kuberikan posisi kuat di tempat ini."
Jirayu malah tertawa-tawa meski mulutnya berdarah.
"Ha ha ha. Patuh, katamu?" kata Jirayu. "Padahal kau ketakutan saat ini. Ah, bagaimana jika aksesku 100% direbut, apakah pasukan tadi takkan menjadi milikku lagi? Seseorang yang merebut ulang pasti lebih hebat darimu di luar sana."
"Oh, ya?"
Kratakkhh!!
"ARRRGHHHHHHHH!!"
Allard pun menahan puntirannya di tempat. "Baik, pilih saja hidup atau mati?" tanyanya. "Jika hidup, maka bersyukurlah atas napasmu. Tapi jika pilih mati, maka aku takkan segan-segan mematahkan tulangmu yang lain satu per satu."
Bersambung ....