Chapter 47 - BAB 41

"Yang aku tahu, saat mata kami saling bertatapan ... itu adalah awal aku harus siap dengan jenis kehancuran apapun."

[Porche Pacchara Kittissawasd]

NB: Enggak banyak gambar di "Bab 41", karena emang enggak ada yang pas. Tadinya kupaksain beberapa gambar masuk, tapi kayaknya malah ganggu jadi kuhapus lagi. So, berimajinasilah, Kawan.

.

.

.

"Jadi, dia adalah Laura ...." batin Porche. "Baru sekarang aku melihat wajahnya secara jelas."

Sebab di Bar Maunju dulu, Porche akui dia lebih terdistraksi dengan kemunculan Mossimo, lalu Jom yang meninju wajahnya kasar. Atau Kinn, yang mendadak siaga hingga menodongkan pistolnya begitu cepat.

"MUNDUR!"

Bahkan teriakan lelaki itu masih terngiang tiap kali Porche mengingat kejadiannya.

Kini, Porche mampu merekam setiap fitur wajah Laura, yang ternyata tidak semaniak bayangannya. Malahan Laura bisa dikatakan cantik, walau Porche tidak bisa mengira-ngira berapa usianya.

Padahal, dulu Kinn menggambarkan Laura sebagai wanita dengan tampuk kekuasaan yang besar. Dunia bisnis yang dia pegang terlalu gelap. Jadi, Porche pikir dia akan berpakaian garang, tidak pandai merawat diri, juga merokok setiap saat--

Justru seperti ikut tersihir, Porche pun berdiri tegap di sebelah wanita itu bagai butler pribadi.

"Apa kau melihatku, Kinn?" batin Porche. "Mungkin lebih baik jika kau cepat menyadari aku di sini bersama dia."

Karena bila menghilang pun Kinn masih sanggup mencari, Porche ingin tahu bagaimana reaksi sang suami saat tahu dia memilih bergabung dengan wanita ini.

"Dan segera kembalilah ke Kinn yang dulu," batin Porche. "Biarkan aku melihat seberapa kuat dirimu yang bahkan mampu membunuh kekasihmu sendiri waktu itu."

"Hmmmmm ...." gumam Laura sembari membolak-balik buku menunya. Awalnya dia memang memilih-milih, tetapi lama-lama sengaja diam untuk melihat reaksi Porche.

"Ah, aku lupa mengatakan sesuatu," kata Porche tanpa dia rencanakan. "Selamat datang, Nona. Anda ingin saya menghidangkan apa?" tanyanya, meski sangat kaku.

Tentu saja Laura tahu kalau Porche tidak nyaman. Hanya saja, itu malah menerbitkan senyum tipis di bibir kemerahannya.

"Aku?" tanya Laura dengan lirikan mata yang anggun. Wanita itu memandangnya dari balik topeng perak, kemudian ke jari-jarinya yang mengenakan sarung tangan. "Bagaimana jika cincin pernikahanmu yang paling kumau?"

DEG

"Apa?"

"Tunggu," batin Porche seketika panik. "Kalau ini aku tidak--"

Tanpa permisi, Laura langsung menyentuh tangan kanan Porche. Namun, luar biasanya wanita itu tidak menggunakan kekerasan. Tiap gerakan Laura justru begitu lembut.

Mulai saat melepaskan sarung tangan yang membungkus jemari Porche, berikut adalah cincin pemberian Kinn Anakinn.

"Kenapa? Tidak suka?" tanya Laura.

Porche pun hanya memandang cincin tersebut. Dia mustahil mengatakan tidak, apalagi langkahnya sudah sampai sejauh ini. "Tidak, ambil saja," katanya.

Sebab wanita itu benar-benar Laura Biel. Mana mungkin Laura benar-benar datang tanpa pertahanan? Porche tahu, setiap kali wanita itu melangkah, ada pisau mungil di stocking hitamnya, juga alat komunikasi rahasia dengan para bawahannya.

Di sini Porche sadar dia tidak aman, kecuali benar-benar meminimalisir resiko saat bicara dengan sang ratu mafia.

"Oh? Semudah itu ternyata," kekeh Laura. Lalu memasang cincin itu ke jari manis kirinya sendiri. "Sekarang aku ingin coba gin hasil racikanmu," katanya. "Bukankah kau seorang bartender?"

"Darimana dia tahu itu?" Porche yang dulu mungkin akan berpikir begitu, tetapi sekarang maaf saja. Dia pun bilang, "Bersedia", tapi dengan satu syarat.

"Hm?" tanya Laura. "Memang kau menginginkan apa?"

"Setiap apa yang kuberikan, kau harus menggantinya dengan balasan atau jawaban jujur," kata Porche. "Dan untuk cincinku, katakan ... benarkah kau yang meracuni adikku?"

"Oh ...." desah Laura dengan senyuman kecil. "Yeah, itu aku," katanya dengan mengendikkan bahu. "Tapi tenang saja, Bung. Dia takkan mati hanya dengan meminumnya. Palingan, hanya punya gangguan syaraf sedikit. Di sini." Dia menunjuk pelipisnya sendiri. "Tapi aku punya penawar untuknya."

Porche pun mengepalkan tangan tanpa sadar. "Berikan," katanya. "Atau aku akan--"

"Apa?" tantang Laura. "Bukankah kau hanya harus memberi sesuatu padaku lagi? So, nanti pasti kubawakan penawarnya." Wanita itu terkikik kecil saat melihat bibir Porche bergerak-gerak. Sebab reaksi menggemaskan itu jelas tak pernah dia lihat dari seorang Don Mossimo Torrecelli, atau lelaki manapun di Italia ini. "Tapi terserah dirimu. Mau jalan sulit atau mudah. Aku hanya memberi pilihan."

Porche pun menenangkan diri. Dia memejamkan mata sejenak, kemudian berkata pelan. "Kalau begitu tolong tunggu untuk minumanmu," katanya. "Aku akan membawakannya segera."

Seketika, senyum Laura pun melebar. "Good boy," pujinya dengan mata yang berkilau-kilau. "Dan, tentu saja aku akan menunggumu, Tampan."

Saat Porche berlalu dengan langkah tegapnya, Laura tak berhenti memandang punggung lelaki itu dari belakang. Bagaimana cara Porche menggulung lengan di belakang bar ... bagaimana cara Porche mengocok gin hanya untuk dirinya, belum lagi topeng perak seksi itu ....

Hmm ... Laura jadi benar-benar ingin menaiki Porche di ranjang sekarang juga--

"Nona," panggil Domenico yang mendadak datang.

Refleks, Laura pun menoleh kesal pada lelaki itu. "Apa?" tanyanya.

"Anda yakin dia aman?" tanya Domenico penasaran. "Karena setahuku, Kinn Anakinn juga ada di kota ini. Tapi dia--"

"Aku sudah tahu itu," kata Laura dengan mengibaskan jarinya. "Tapi apa kau melihat ini? Seorang Porche bahkan tidak keberatan memberikan cincin sucinya padaku. Bukankah itu berarti hubungan mereka tidak lebih baik dari yang kupunya?"

Domenico pun tercenung diam. Di tak berkomentar lagi, lalu kembali menelusur lokasi tersebut.

Siapa tahu ada bawahan Kinn yang mendatangi mereka? Bagaimana pun, dia sekarang tahu jelas siapa Porche di mata mafia Thailand itu.

"Semoga suka dengan resep dariku," kata Porche yang mendadak datang dengan segelas gin merah. Namun, saat Laura memandangi benda itu, dia justru mengatakan hal mengejutkan.

"Sekarang minum sendiri benda itu," kata Laura. "Dan beri aku separuhnya. Karena jika kau baik-baik saja, aku baru bisa memutuskan apa kau pantas untuk dipercaya."

Porche pun menghela napas panjang. Dia tahu, lelaki tak sabaran sepertinya harus sangat menahan diri demi menghadapi sosok yang sama menyebalkan dengan dirinya sendiri.

Dia pun mengambil gin itu kembali, kemudian menyesapnya perlahan. Hal yang membuat Porche merasa aneh, karena menyadari ada sepasang mata wanita yang menatap jakunnya naik turun setiap detik. Karena itu memang pertama kalinya, meski dia sudah lama bekerja sebagai bartender selama ini.

"Baik, sudah."

"Hmmm ...." gumam Laura. Dia tersenyum bangga, tapi tiba-tiba menjambak kerah Porche seperti perampok--

BRAKH!

"Tunggu--"

Dan bibir mereka bertemu.

"Hmmmff--"

...

....

...

Hanya sedetik hingga Porche tersadar, sebab permukaan lembut berlipstik manis itu mengoyak bibirnya tanpa berjeda. Laura bahkan menariknya lagi hingga terjembab, tapi secepat itu juga dia mendorong Porche duduk untuk menaiki pahanya di sana.

BRAKH!

Hal yang membuat orang-orang di sekitar penasaran, tetapi anehnya mereka justru menyoraki wanita itu.

"WOHOOOOOOOOO!!!"

"HA HA HA!"

"BRING IT ON, GIRL!"

Dengan tepukan tangan. Dengan siulan. Bahkan dengan teriakan di sana-sini. Mungkin, ini hal yang lumrah di Italia. Mungkin, ini juga hiburan di mata mereka. Dan benar-benar tak ada satu pun yang peduli dengan Porche di bawahnya.

Lagipula siapa yang tidak tahu Laura Biel? Sang ratu mafia Sisilia. Dia tetap bintangnya semisal butler lain lah yang sedang "dipermainkan" di tempat itu.

Porche bahkan berpikir sangat tidak bijak jika berontak, padahal dia sudah sempat meraba pistol dari sakunya.

"Tunggu, aku tidak boleh menembaknya," batin Porche. "Aku harus tetap pada rencananya. Aku ini tidak boleh gagal!"

Decapan ciuman mereka pun mulai terdengar. Sebab meski Porche tidak membalas pergerakan Laura, wanita itu benar-benar ahli meliukkan lidahnya. Dia meremas dua bahu Porche hingga menempel di kursi. Dia jambak rambut Porche hingga lehernya terdongak begitu curam, dan dia menyisir tiap jengkal syaraf nikmat lelaki itu seolah lama tak melakukannya.

"Kuanggap barusan adalah yang ketiga kuberikan padamu," kata Porche setelah ciuman mereka terlepas. Dia pun bisa bernapas lega, lebih-lebih saat topeng peraknya ditarik lepas Laura. Membuat wajah Asia-nya terlihat jelas, dan orang-orang Italia sana kaget dengan ketampanan yang tersaji di depan mata mereka.

"So, what?! Dia tampan sekali! Shit!"

Laura pun meraba pipi Porche dengan jari berkuteknya. "Padahal aku masih ingin mengambil lain-lainnya," katanya sembari mengusili kancing baju Porche. "Kebetulan aku belum pernah bercinta dengan roleplay butler. Tidakkah kau penasaran rasanya?"

DEG

"Bercinta?"

Porche tak pernah berpikir akan melakukan hal sejauh itu.

"Sebenarnya apa tujuanmu, Laura?" tanya Porche. "Menghancurkan suamiku? Klan kami? Atau menyakiti suamimu sendiri?"

Anehnya, Laura tidak memperlihatkan ekspresi sadisnya. Dia justru tampak puas dengan pahatan wajah Porche, bahkan tiap perubahan emosi di mata lelaki itu.

Mau Porche jengkel, marah, berusaha sabar, atau penasaran dengannya seperti sekarang ... Laura sungguh menikmati semuanya.

"Ssssh ... shh ... ssshh ... Sayang, aku tidak sedang ingin menggigitmu," kata Laura gemas. "Kau justru aman bersamaku, mengerti? Tidak perlu terpaksa begini hanya karena bawahanku di sekitar."

"Laura ...." kata Porche menegaskan. "Kau berhutang satu jawaban padaku."

"Oh? Memang kalau kukatakan kau akan percaya?" tanya Laura. "Aku bahkan bisa saja memberitahumu tentang banyak kebohongan, Sayang."

"Kau pikir mataku buta?" tanya Porche. "Kau tidak pernah benar-benar menyentuhku hingga hari ini, Laura. Dan setelah beberapa permainan, aku sekarang di sini. Tidakkah kau penasaran rasanya jujur padaku?"

Laura mendadak terdiam.

"Kau harusnya tahu kenapa aku, meski sangat ingin menembakmu, tapi tidak kulakukan sejak tadi," kata Porche. Refleks Laura pun melirik ke tangan kanan Porche yang memang siaga di sakunya. "Karena bagiku, siapapun yang ingin merebut sesuatu dari orang lain, berarti mereka sudah kehilangan miliknya sendiri."

Seketika, bola mata Laura pun berkilat benci.

Bersambung ....