Bandar Udara Internasional Subarnabhumi, Bangkok, Thailand.
"Tuan Macau, ini teh untuk Anda," kata Nim. Bodyguard keluarga minor Theerapanyakul itu tersenyum demi meringankan bad mood sang pewaris termuda.
Macau tetap menyahut meski malas-malasan. "Hm, thanks," katanya. Lalu menyedot teh gelasan itu perlahan. "Tapi kok lama sih? Phi Vegas sepertinya minta dipukul!" serunya kesal.
Ya. Dia memang tengah menunggu kepulangan Vegas dari Rusia. Sang kakak kesayangan baru saja menyelesaikan bisnis besar di sana. Namun, sebelum Vegas sempat liburan, Macau sudah menelponnya urgen.
"Phi! Pulang! Jangan pikir kau bisa lupa kalau punya adik! Ini kan sudah 2 tahun!" kata Macau marah-marah. Vegas mungkin akan beralasan ini itu lagi, tetapi tidak ketika Macau menyinggung rencana pernikahan Kinn dengan seorang lelaki yang dipilihnya.
"Huh? Dia mendadak punya pacar baru?"
"Bukan urusanku juga, tapi Ayah bilang kita semua harus hadir di acara makan malam untuk bertemu dengannya," kata Macau. "Bagaimana pun, cepat lambat orang itu akan jadi anggota keluarga juga."
"Oh ...."
"Jangan bilang Phi tidak mau pulang! Phi kan janji mau main skateboard bersamaku lagi kalau kerjaannya sudah kelar!" tuntuk Macau garang.
Vegas mungkin mudah melakukan hal buruk pada orang-orang di sekitar tanpa pikir panjang, tapi tidak kepada siapa pun yang jadi kesayangannya.
"Baik-baik," kata Vegas. "Aku pesan tiket pesawatnya besok. Tidak perlu menungguku di bandara, Adik nakal. Aku pasti belikan oleh-oleh untukmu dari sini."
"Cih ... jangan makanan saja, oke?"
"Hm, Kalau begitu pisau lipat khas Rusia?"
Macau pun tertawa senang. "BAGUS!"
Tapi, apa ini? Perasaan perkiraan penerbangan turun sudah satu jam yang lalu. Vegas tetap saja tidak muncul-muncul.
Macau pun melirik gelisah ke sekitar dan gemas ingin memeluk tinju sang kakak. "Ugh, awas saja kau membohongiku, Phi!" gumamnya sebal.
"Suprise ....?" kata Vegas tiba-tiba dari belakang. Saudara tertua keluarga minor itu menodongkan pistol ke tengkuk Macau, dan sang adik langsung terlonjak senang dari bangkunya.
"PHI!" seru Macau.
Macau pun melompat peluk Vegas senang, lalu merebuk pistol itu dari tangannya. "Wah! Keren! Katanya pisau? Kenapa jadi si cantik ini?"
"Kalau kubawakan barang yang kujanjikan, namanya bukan kejutan," kata Vegas dengan senyuman kecil.
Macau pun memeluk kakaknya lagi. Dia seperti anjing kecil yang dielus sang pemilik, lalu tersenyum sumringah, meski Vegas langsung menanyakan orang lain.
"Padahal sudah kubilang tidak perlu menjemputku," kata Vegas.
"Ah, biar! Aku kan senang! Kenapa harus dilarang?"
"Hm, terserahlah. Kemaunamu sendiri juga," kata Vegas. "Oh, iya. Dimana Pete? Dia tidak ikut datang?"
Macau pun menunjuk bodyguard yang berdiri di sebelah mobil hitam jemputan Vegas. Lelaki berpipi gembul itu melambaikan tangan kepada Vegas, seolah menyapa sahabat daripada pacar.
"Hai, Khun Vegas."
Daripada senang, Pete justru mendorong dada Vegas ketika sang kekasih datang dengan niat menciumnya.
"Hei, hei. Vegas--kita masih di tempat umum," kata Pete.
Vegas tetap mendesaknya sebentar ke pintu mobil dan mengecup beberapa kali. Tindakannya itu membuat beberapa bodyguard lain mengalihkan pandangan, begitu juga orang asing di sekitar.
"Kau ini! Sudah kubilang juga--"
Mendadak suara Vegas merendah. "Jadi, dicium Kinn tidak masalah, tetapi denganku justru tabu, huh?" katanya.
DEG!
Pete pun ingat kejadian beberapa Minggu lalu. Shit! Bisa-bisanya Vegas tahu soal itu! Padahal kan sudah lama sekali!
"Hah? Apa?" kata Pete pura-pura tidak tahu.
Vegas pun menggigit telinga Pete pelan. "Jangan bohong, aku sudah tahu soal itu," katanya. "Sepupu bodohku baru saja menggila lagi kan? Dia merindukan orang yang sudah mati, lalu menyentuh milikku. Menurutmu apa yang akan kulakukan padanya?"
Deg ... deg ... deg ... deg ....
Jantung Pete pun bertalu-talu Rois sekali. "Ahh ... ha ha ... dasar. Serius sekali, sih? Itu kan hanya kecelakaan? Dia mabuk, Vegas."
Vegas pun meraba bibir Pete dengan jemarinya. Dia membuat beberapa muka orang asing yang melihat jadi merah, tetapi Vegas lebih tenang dalam melanjutkan ancamannya. "Jadi, kalau mabuk langsung disebut tidak bersalah?" katanya. "Bagai jadinya bila waktu itu tidak hanya cium saja? Kau mau aku menunggu dia menidurimu untuk waspada?"
"Tapi kan--"
"Pete, kupastikan Minggu ini adalah yang terakhir untukmu bertugas di rumah keluarga mayor," sela Vegas gemas. Giginya menggemeretak, tetapi hal tersebut malah merubah ekspresi Pete jadi sinting.
Pete tersenyum senang, tetapi juga bergairah seolah ingin lebih disakiti lagi. "Ha ha ha ... terus? Apa yang harus kulakukan jika tak bekerja lagi? Keliling dunia bersamamu sebagai pasutri?" tantangnya.

Vegas pun tersenyum puas seolah tidak ada hari esok diantara mereka. "Ide yang yang tidak buruk," katanya. "Mau kulamar sekarang?" tawarnya sambil meremas bokong Pete diam-diam. Untung bagian itu tertutup oleh mobil lain di sebelah mobil mereka.
Pete pun hanya memukul tangan Vegas sebelum tertawa menggoda. "Tidak-tidak, melamarnya bisa nanti malam saja," katanya. Lalu menarik kerah Vegas hingga bibir mereka bertemu. "Di ranjang ...." bisiknya, lalu menatap mata Vegas senang. "Aku punya mainan baru untuk kau coba nantinya."
"Hmph, benarkah?"
"Yup."
"Benar-benar menarik sekali ...."
Wajah mereka begitu dekat. Dan sebelum mereka menarik perhatian lebih banyak, Pete pun menarik tengkuk Vegas agar masuk ke dalam mobil.
"C'mon, Vegas. Do it," bisik Pete sebelum menimpa sang kekasih di jok mobil belakang.
BRUGH!
"Kiss me ...."