Dua minggu kemudian ...
Porchay dipersilahkan duduk oleh dokter khusus yang disiapkan Kinn untuk merawatnya. Tanpa membayar. Full jaminan, dan diawasi perkembangannya oleh seorang bodyguard entah siapa namanya.
"Selamat, ya. Sekarang kakimu hampir sembuh," kata dokter.
Perban dan gips di kaki Porchay pun bisa dilepas. Lukanya mengering, dan tinggal ada bekas yang nantinya pasti menghilang.
Namun, setelah pulang ke rumah, senyum di wajah Porchay hilang saat menoleh ke wajah kakaknya. "Phi, kau baik-baik saja?" tanyanya.
Tatapan mata Porche tampak kosong. Porchay yakin tidak ada masalah dengan pekerjaannya akhir-akhir ini, tetapi kakaknya yang ceria jarang begitu.
Apakah karena bertengkar dengan pacarnya yang waktu itu?
Porchay bahkan tidak yakin Porche mendengar omongannya barusan. "Phi ...." panggilnya sekali lagi.
"Eh, ya? Apa?"
Porchay menggeleng-gelengkan kepala. "Phi belum makan sarapannya. Itu ... sampai dingin." Dia menunjuk mangkuk Porche yang dibiarkan tergeletak di depannya.
Padahal sup daging adalah favorit Porche, tetapi kali ini diambil hanya untuk diaduk saja.
"Phi sebenarnya kepikiran apa? Aku menahan diri dua mingguan ini, tapi jujur tidak tahan," aku Porchay. "Kalau bertengkar dengan pacar Phi waktu itu, bukankah lebih baik bicara dengannya?"
Jantung Porche mendadak berdentum begitu keras. "Pacar? Siapa?"
Porche dan Porchay saling berpandangan.
"Yang waktu itu. Tuan ... Kinn? Atau siapa namanya. Dan meski dua bukan pacar, tidak mungkin Phi melupakan seseorang yang membantu kita," kata Porchay dengan raut polosnya.
Pusing mendadak, Porche langsung meraih sisi wajah sang adik tercinta.
"Dengar, Porchay. Dia itu orang jahat," kata Porche. "Phi bertemu dengannya tidak lebih dari tiga kali, dan dia datang karena ingin sesuatu. Jadi, bisa jangan bahas dia lagi?"
"Phi yakin?"
Entah kenapa, Porche tidak bisa membalas adiknya kali ini.
"Phi kelihatan ingin bertemu dengannya di mataku."
Senyum getir Porche pun muncul seketika. "Kau mungkin sudah salah paham," katanya.
"Iyakah?" tanya Porchay.
"Hm, ini bukan soal dia. Tapi di bar Che Yok, tadi aku membuat marah seorang gadis," kata Porche. Dia lalu meletakkan gitar sebelum membawa mangkuk supnya yang masih utuh ke dalam. "Tapi jangan khawatir. Besok aku pasti minta maaf padanya."
Memilih diam tidak melanjutkan, Porchay pun kembali mengerjakan tas anyaman untuk tugas akhir kreasinya.
"Ahhh ... harus bisa selesai hari ini," gumamnya. "Besok sudah kembali masuk sekolah."
***
Porche memang tidak membohongi Porchay. Namun, itu hanya sebagian dari kebenaran.
Faktanya, semua omongan Porchay benar. Sejak hari terakhir Kinn ada di rumahnya, Porche benci membayangkan wajah pria itu saat menyentuh pelanggan wanitanya.
Bar tidak terasa seru seperti dulu. Malahan, Porche merasa muak tiap kali ada wanita yang memanggilnya untuk bercinta di gang.
Itu bukan yang pertama. Porche sudah mencoba beberapa kali selama dua minggu ini, tetapi nihil.
Apanya yang mau langsung kembali besok pagi? Kinn justru tidak muncul samasekali sejak mengusiknya hari itu.
Tololnya, saat stress, Porche justru mengocok penisnya sendiri di kamar mandi seperti orang sinting.
"Ahhh .... hahh .... mnn ... Kinn BANGSAT!"
Sebenarnya apa yang sudah terjadi?
Porche yakin dia tidak sedang jatuh cinta pada pria itu. Malaham amarahnya makin besar tiap kali membayangkan seringai di wajah Kinn. Dia biadab! Tukang perkosa rendahan yang sembunyi di balik identitas mafia.
Lantas apa yang membuatnya sering muncul di pikiran Porche?
Porche merenungkannya berulang kali.
Satu hari.
Dua hari.
Satu minggu.
Dua minggu.
Tidak ada jawaban apapun, dan kosong. Sama seperti Kinn yang menghilang hingga hari ini. Dia mungkin sudah menemukan mainan lain, bahkan bisa jadi tidak hanya satu. Bukankah Porche harusnya senang jika dia pergi?
Omongannya yang kasar. Cara menatapnya yang arogan. Lalu kebrutalannya saat menyentuh. Porche benci semua hal tentangnya.
Hanya saja ... hanya saja ....
"Aku mungkin harus cari pekerjaan lain," gumam Porche suatu sore. Sayang, dia juga tidak yakin akan apa. Selain matematika dan taekwondo, Porche lemah dalam hal apapun. Otaknya tidak secerdas sang adik, dan pendidikan akhirnya tidak sanggup menyelesaikan S1.
Porche berpikir, akan buruk bila dia menjadi petinju bawah tanah 100%. Meskipun begitu, daripada terus menerus merasa rusak, dia memilih menyalurka emosi itu dengan bertarung.
"ARRRGH!!" teriak Porche. Di membuka baju dan membantingnya ke lantai sebelum menghajar lawan di depannya.
Dia menggila malam itu. Dia lupa namanya sendiri, dan nyaris membunuh sang lawan bila tak dipegangi si MC.
"BEDEBAH! BANGSAT! AKU AKAN MEMBUNUHMU!"
"PORCHE! PORCHE! SADARLAH!" teriak Jom tak kalah kencang saat menamparnya. "DIA SUDAH KALAH! KAU MENANG! KAU MENDAPATKAN UANGNYA, PAHAM?!"
Namun, Porche baru berhenti setelah meninju wajah Jom hingga jatuh ke tanah.
"Hahh ... hahhh ... hahh .... hahh ...."
Dengan dada yang naik turun, Porche langsung pergi dari sana sebelum menerima uangnya. Tatapannya begitu terluka, dan dia tak sanggup melihat hidung serta mulut Jom mengeluarkan darah di sana.
"Aku ini kenapa?! Kenapa?!"
Porche lagi-lagi tak mendapatkan jawaban. Dia menendang motor Ducati merahnya hingga terjengkang, berteriak mirip orang gila, lalu pulang untuk membersihkan diri.
Niatnya begitu, toh hari sudah larut sekali.
Porche sudah berencana membohongi Porchay lagi besok pagi. Soal luka, mungkin bilang baru bertengkar dengan Jom saja? Itu memang yang paling mendekati kebenaran.
"Jadi, kau pulang?" tanya sosok pria yang entah sejak kapan duduk di sofa ruang tamu Porche. Dia memunggungi, tampak masih tampan nan gagah meski baru pulang bekerja, lalu menoleh dengan kedua matanya yang menawan.
"Buat apa kemari lagi?" tanya Porche. Dia refleks mengepalkan tangan, padahal daripada memukul, entah kenapa dia ingin memeluk pria ini. "Mau bilang ingin seks dariku lagi? Maaf saja. Aku akan menghancurkan penismu sebelum benda itu kau keluarkan."
"Woah ... woah ... woah ... apa ini? Aku seperti mendengar kekasih yang sedang merajuk?" kata Kinn. Pria itu beranjak dari sofa, lalu mendekati Porche dengan langkah yang santai.
"Bagaimana bisa dia masuk? Aku bahkan tidak melihat mobil atau apapun yang membawanya datang."
"Kekasih? Kau bilang aku cuma mainanmu," kata Porche. Di pun diam di tempat. Beda dengan saat pertama kali Kinn mendominasinya, Porche kini lebih tegar.
"Oh, aku pernah bilang begitu?"
Dasar anak tolol ini. Bisa-bisanya dia mengatakannya?
Porche pun menunjuk-nunjuk dada Kinn lalu mendorongnya mundur selangkah dengannya. "Kutegaskan, Tuan mafia yang terhormat. Aku ini bukan mainanmu," katanya. "Dan kalau kau mau menagih hutang, aku tidak memiliki tanggungan apapun padamu. Uang atau balas budi. Semua sudah kulunasi. Jadi, bisa tolong pergi dari sini?"
Kinn justru tersenyum tipis. "Tidak akan."
"Aku tidak mau meludahimu saat adikku sedang istirahat di kamarnya," kata Porche. "Apalagi membuat keributan di sini. Yang terakhir, tetap saja akhir. Aku tak mau terlibat denganmu selagi kita masih bicara baik-baik."
"Hmmm ..." gumam Kinn. Pria itu tampak tidak gentar sedikit pun dengan Porche. "Menurutmu, aku akan melakukan sesuatu dengan baik-baik?"
"Hmph, kali ini aku akan memaksamu," kata Porche. "Mumpung tanganku ini masih sangat hangat."
Kinn pun melihat kedua tangan Porche yang terkepal. Jari-jari itu masih dihiasi darah kering, meski sudah dibasuh air sebagian. Dia tidak perlu bertanya soal itu. Arm, salah satu bodyguard-nya telah memantau kondisi Porche setiap hari untuknya.
"Kau tahu? Rasanya menghancurkan orang yang sebenarnya membuatku marah, mungkin rasanya akan sangat nikmat," kata Porche. Lelaki itu tampak ingin membuat Kinn segera pergi, tetapi salah satu tangannya justru diraih.
"Lukamu kali ini cukup buruk," kata Kinn. Anehnya, pria itu bahkan menyiapkan kotak P3K yang baru dibeli. Dan entah daya magis macam apa yang membuatnya bisa menarik Porche hingga mau jatuh duduk di sebelahnya. "Kemari. Biar kuobati sebentar."
Sofa panjang pun memantul beberapa kali. Untuk sesaat, Porche sempat lupa pernah mengganti dekorasi dan sofa ruangan ini dengan baru hanya karena tak mau ingat Kinn pernah mencumbu tubuhnya di sana.
"Bangsat!" kata Porche sebelum kapas basah Kinn menyentuh di jari-jarinya. Dia menarik tangan hingga tersentak pisah begitu saja. "Sebenarnya apa maumu, hah?! Berhenti melakukan hal tolol seperti ini!"
Saat itu, Kinn memandangi wajah emosi Porche lebih dekat. Dia memperhatikan pemberontakan di mata lelaki itu, amarahnya, lukanya, kecewanya, dan tentu saja ... rindu yang tak disadarinya sendiri--semua hal yang justru ingin Kinn kacaukan lebih jauh lagi.
"Kau ...." kata Kinn. "Bagaimana jika kujawab begitu? Apa kau mempercayainya?"
Bersambung ...