Chereads / Christmast Gift (Hadiah Natal) / Chapter 19 - 18 Berakhirnya Perjanjian.

Chapter 19 - 18 Berakhirnya Perjanjian.

"Kau berjalan sangat lambat." Katanya sambil melingkarkan tangan ku pada bahunya.

________________

_______________

_____________

__________

________

Christ masih memapah ku sampai kami memasuki danau. Sedangkan Bie sudah berjalan di depan ku dengan menenteng kantong plastik yang berisi makan ringan. Christ menyewa sebuah perahu. Katanya kami akan melihat kembang api dari atas perahu yang mengambang di atas danau ini.

"Hati-hati!" Christ menarik tangan ku dan Bie dari atas perahu.

"Wah." Bie terlihat senang setelah duduk di atas perahu ini.

Aku duduk di samping Bie sementara Christ duduk berhadapan dengan ku. Perahu ini hanya muat untuk empat orang saja. Kalau saja Kevin memiliki tiketnya, pasti dia bisa duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Christ.

"Kau saja yang mengayuh perahu ini Bie. Mommy mu tidak bisa." Christ mengatakan kalimat itu sambil mulai mengayuh perahu ini.

Perahu ini bergerak bukan di dayung, melainkan di kayuh. Ada sepasang pedal yang terletak di lantai perahu ini. Perlahan perahu kami mulai menjauhi tepi danau.

"Ok uncle. Bagaimana kalau kita ke sana." Bie mengayuh perahu sambil menunjuk ke arah tengah danau ini.

Bie terlihat begitu semangat. Dari awal memasuki danau ini Bie selalu tersenyum dan kedua matanya berbinar saat melihat Christ menyewa perahu ini. Malam ini pasti adalah malam paling bahagia bagi Bie.

"Let's go." Sahut Christ.

Ada banyak perahu yang mengambang di atas danau ini. Kebanyakan dari mereka sepasang kekasih. Setelah sampai di tengah danau ku lihat Christ mulai berhenti mengayuh perahu ini.

"Jangan mengayuh lagi, Bie." Christ mulai berucap.

"Kenapa uncle? Nanti kita akan terdampar di sebuah pulau kalau kita tidak terus mengayuh." Bie tidak menyetujui ide Christ, tapi dihentikannya juga gerakan pada kakinya.

"Bie, kita ada di sebuah danau. Jadi, kita tidak mungkin terdampar kemapun."Christ berbicara sambil tertawa.

"Sayang, air di danau tidak akan membuat ombak. Kita hanya bisa terdampar kalau kita berada di tengah laut atau pun sungai." Jelas ku pada Bie.

"Kenapa begitu, mom? Danau kan juga tempat menampung banyak air." Bie memainkan air danau ini dengan cara menyiram-nyiram kan air danau ini.

"Coba kau perhatikan air danau ini." Kataku padanya.

Bie mencondongkan tubuhnya ke arah air danau ini. Ia juga mulai memandang ke sekitar danau. Di lihatnya juga beberapa perahu yang sudah berhenti di kayuh.

"Ternyata air danau ini diam, mom." Kata Bie setelah menemukan jawabannya.

Aku mengangguk kan kepalaku sebagai jawaban. Bie kemudian mengambil sesuatu dari kantong plastik yang di bawa olehnya. Lalu ia menyobek kemasan dari sebuah keripik kentang berukuran jumbo. Aku baru ingat akan sesuatu. Karena tadi aku tidak menyangka akan bertemu dengan Kevin, aku jadi melupakannya.

"Bie, kemana perginya aunt Katty?" Tadi kami berpisah karena Katty menemani Bie untuk membeli makanan ringan.

"Tadi, aunt Katty di jemput sama uncle Ton. Jadi tadi mereka mau mengantarkan Bie pada mom, tapi kata uncle Ton dia akan menunggu di mobil saja setelah Bie dan aunt Katty melihat mom dari kejauhan." Sambil memasukkan keripik kentang, Bie bercerita.

Padahal, aku baru saja mau bercerita pada Ton mengenai pertemuan ku dengan seorang pria yang terlihat mirip dengannya. Apakah pria yang ku lihat di lift itu memang dia?

Aneh, kenapa Ton sepertinya menghindari ku? Biasanya dia akan ramah dan selalu menyapa ku.

"Siapa lelaki yang bersama dengan mu tadi?" Christ membuyarkan lamunanku.

"Maksud mu Kevin? Dia adalah teman ku. Dan yang lebih tepatnya dia teman dekat mendiang suami ku." Ku lihat Christ mendengarkan ucapan ku dengan serius.

"Kalau dia memang teman dekat suami mu, bukan berarti dia bisa dengan sesuka hatinya memeluk mu." Suara Christ terdengar tidak suka.

"Bukan salah Kevin, aku yang terlebih dahulu memeluknya." Aku hanya terlalu senang bisa bertemu lagi dengannya.

"Kenapa kau bisa dengan mudahnya memeluk lelaki?" Sepertinya dia sedang mencari masalah dengan ku.

"Tentu saja, karena kami sudah lama tidak bertemu." Aku berucap sambil membuang wajah ku.

"Bagaimana dengan ku, bukankah kita sudah dua hari tidak bertemu?" Ucapan Christ membuatku menoleh padanya.

"Apa maksudnya?" Hanya kalimat itu yang terlintas di dalam benak ku.

Christ seperti akan mengucapkan sesuatu tapi ia urungkan niatnya karena tiba-tiba suara letusan dari kembang api mulai bersahutan. Otomatis kami semua melihat ke arah langit hitam yang sudah di hiasi berwarna-warni pijaran api.

"Whoa, indah sekali." Bie takjub melihat pemandangan yang berada di atas langit saat ini.

Ku lihat Christ memandangi ku. Percikan warna-warni kembang api menerangi wajahnya. Christ terlihat sedang memikirkan sesuatu saat memandang ke arah ku. Setelah tersadar dari lamunannya, Christ seketika menatap ke atas langit.

Selama di perjalanan menuju ke rumah ku Christ hanya diam. Sedangkan Bie sudah tertidur di kursi belakang. Mantel Christ menutupi seluruh tubuhnya. Karena malam sudah terlalu larut bahkan sekarang sudah hampir pagi, Bie mengatakan kalau ia merasa kedinginan. Dengan segera Christ memakaikan mantelnya pada Bie. Dan aku terpaksa mengikat ujung mantelnya agar Bie tidak terjatuh. Christ menepikan mobilnya di pinggir jalan. Sebelum aku bertanya, dia susah keluar dari mobil ini.

"Ini, pakailah." Chris menyerahkan sebuah kantong plastik berukuran kecil setelah masuk ke dalam mobil.

"Apa ini?" Dengan bingung aku menerima pemberiannya.

Seingat ku, aku tidak pernah memintanya untuk membeli sesuatu setelah kami keluar dari danau. Karena, setelah percakapan kami yang terakhir di atas perahu, aku dan Christ tidak berbicara lagi. Sepertinya malam ini suasana hatinya sedang buruk. Ternyata ada sebuah krim pereda rasa sakit dan krim untuk menyembuhkan luka memar yang di beli olehnya tadi. Jadi, tadi dia sengaja berhenti di apotek hanya untuk membelikan obat untuk ku?

"Terima kasih." Kataku padanya setelah kami sudah sampai di rumah.

Tadi Christ menggendong Bie masuk kedalam kamar. Dia bilang kasihan kalau harus membangunkannya dari tidurnya.

"Untuk?" Tanyanya.

"Untuk semua malam ini dan juga obat tadi." Kata ku.

Christ hanya mengangguk. Dia menatapku lama, lalu ia kembali bersuara.

"Sepertinya ini malam terakhir aku menemui mu." Suara Christ terdengar sedih.

Dia sudah tidak menatap ku lagi setelah mengatakan kalimat itu. Dia hanya menundukkan kepalanya, seolah-olah pemandangan di lantai rumah ku lebih menarik.

"Kenapa?" Tanyaku singkat.

Dia kembali menatapku. Dengan bantuan cahaya dari lampu teras rumahku, aku dapat melihat ekspresi wajahnya yang terlihat sendu.

"Perjanjian ku dengan Bie sudah berakhir. Jadi aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian lagi." Christ tersenyum getir.

Entah mengapa saat Christ mengucapkan kata-kata perpisahan ini membuat hati ku berdenyut sakit. Tanpa menunggu balasan dari ku Christ berjalan menuju mobilnya. Sebelum ia membuka mobilnya aku teringat akan sesuatu. Kalau memang kami tidak akan pernah bertemu lagi, aku lebih baik...

*ToBeContinued*