Chereads / Christmast Gift (Hadiah Natal) / Chapter 20 - 19 Memikirkannya.

Chapter 20 - 19 Memikirkannya.

Kalau memang kami tidak akan pernah bertemu lagi, aku lebih baik...

________________

_______________

_____________

__________

________

Aku lebih baik mengambilnya sekarang.

"Tunggu." Kata ku pada Christ.

Dia menoleh ke arah ku. Aku berjalan mendekatinya sekarang. Lalu ku buka pintu mobil ini. Aku mencari sesuatu di bawah jok kursi yang biasanya aku tempati. Tapi aku tidak menemukannya.

"Dimana payungku?" Christ masih berdiri di samping mobilnya.

"Kau belum mengambilnya?" Christ bertanya sambil berjalan ke arah ku.

Dia mulai memasukkan setengah tubuhnya ke dalam mobil seperti yang aku lakukan tadi. Kemudian dia menghidupkan lampu yang terletak di atas langit-langit mobil ini. Akhirnya Christ menyerah karena dia tidak juga menemukan benda itu.

"Mungkin seseorang memindahkannya." Christ berkata sambil menghadap ke pada ku.

"Apa kau meminjamkan payung ku kepada kekasih mu?" Tanya ku dengan tatapan curiga.

"Tentu saja tidak." Katanya tidak menyetujui pendapat ku.

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu." Kata ku sambil menyipitkan mataku ke arahnya.

"Nanti, aku akan mencari payung mu. Kalaupun tidak ketemu, aku akan menggantikannya." Christ menutup pintu mobilnya lalu berjalan ke arah sisi pintu kemudi.

Christ masuk ke dalam mobilnya. Setelah menghidupkan mesin mobilnya, ia menurunkan kaca jendela yang berada di dekat ku.

"Kau harus mempercayai ku. Karena aku belum mendapatkan kekasih" Lalu Christ melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah ku.

Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir darinya. Itu adalah kalimat yang aku harapkan darinya. Sepertinya, buku yang aku belikan untuknya tidak berhasil.

************

********

*****

Seminggu lebih sudah aku dan Christ tidak bertemu. Dasar pembohong! Dia mengatakan akan mencari payung itu sampai ketemu. Dia juga berjanji akan menggantikan payung itu dengan yang baru bila tidak ketemu. Tapi, sekarang dia menghilang bagaikan ditelan bumi.

"Sayang, apakah uncle Christ tidak ada mengirimkan text apapun padamu?" Tanya ku sambil membelai rambut panjangnya yang berada di pangkuan ku.

Karena beberapa hari ini aku sering merasa bosan, maka aku mengajak Bie untuk berjalan-jalan di taman yang terletak tidak jauh dari rumah kami. Kebetulan saat aku pulang dari butik langit masih cerah. Jadi ku putuskan untuk menghirup udara sore hari di sini.

"Tidak ada, mom." Jawabnya sambil membalik lembar halaman pada komiknya.

Bie asik membaca komik di pangkuan ku. Di taman ini tersedia beberapa kursi. Biasanya itu tempat istirahat untuk orang-orang yang lelah sehabis olahraga sore. Ada juga yang membawa hewan peliharaannya untuk sekedar berjalan-jalan di sini.

"Tapi, mom sering melihat mu mengetikkan sesuatu pada layar ponsel mu, sayang." Kataku sambil menatap sampul buku komiknya.

"Itu karena Bie sedang memainkan game mom." Kata Bie lalu ia bangkit dari pangkuan ku.

"Kenapa sayang, apakah kau sudah selesai membaca komik ini?" Bie sudah duduk di sampingku.

"Mom, Bie haus." Sambil memamerkan deretan giginya Bie tersenyum.

"Baiklah, kau tunggu di sini dulu ya, sayang." Ku usap pipinya sebelum aku beranjak dari kursi ini.

"Jangan, mom. Biar Bie saja yang beli." Bie menahan tangan ku.

Ada sebuah kantin yang terletak di pintu masuk taman ini. Aku merogoh saku celana ku. Tadi aku hanya menyelipkan dua lembar uang kertas di dalam saku ku ini. Lalu aku menarik keluar satu lembar uang kertas ini.

"Ini sayang. Kau jangan bermain terlalu jauh ya, sayang!" Ku sodorkan uang ini kepada Bie.

"Oke, mom." Bie mengambil uang dari tangan ku lalu mulai berjalan ke tempat kantin itu berada.

Dari arah Bie berjalan aku melihat beberapa pria berlari mengelilingi taman. Keringat sudah mulai membasahi baju-baju mereka. Satu diantara mereka menyeka keringatnya menggunakan handuk yang tergantung pada leher mereka. Lalu mereka berlari melewati kursi ke tempat ku berada. Mereka mengenakan kaos dengan warna yang berbeda dan di padukan dengan celana yang pendeknya sampai sebatas lutut mereka. Pelari paling akhir mulai berhenti. Dia hanya berlari-lari kecil menyusul teman-temannya. Setelah sampai di depan kursi ku dia menghentikan langkahnya.

"Hei, kau ada di sini juga?" Pelari pria ini ternyata mengenaliku.

"Hai, apa kabar?" Ucapku canggung.

Walaupun kami sudah lama saling mengenal, aku masih belum terbiasa untuk terlihat akrab lagi dengannya. Lalu pria ini mulai duduk di sebelah ku. Ternyata sedari tadi dia sudah memegang botol minuman. Mungkin mereka tadi juga sedang membawa botol minuman, hanya saja aku tidak melihatnya karena mereka memegangnya dengan tangan kanannya. Sementara aku duduk menghadap pada sisi kiri mereka. Tentu saja, bukan kah tadi aku melihat mereka berlari dari arah kantin. Pasti mereka membeli minumannya di sana.

"Kau sendirian?" Tanyanya sambil membuka tutup botol minumannya.

Dia meneguk dengan rakus air mineral yang berada di dalam botol itu. Terlihat jakun di lehernya bergerak naik turun saat air itu mulai memasuki kerongkongannya. Aku jadi teringat Christ. Kenapa aku selalu memikirkan Christ? Aku geleng-geleng kan kepalaku guna menghilangkan pikiran ku tentang Christ.

"Ada apa Em?" Sambil menyeka keringatnya menggunakan handuk, pria ini bertanya.

"Ah, tidak ada apa-apa Kev." Jawab ku.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Em?" Dia bertanya lagi.

"Tidak ada." Ku lihat dia meletakkan handuknya di sampingnya bersama dengan botol minuman mineralnya.

"Jangan berbohong, Em. Kau tidak akan bisa membohongi ku." Kevin terkekeh.

Kevin masih belum berubah. Dia masih sama seperti yang dulu. Dia adalah orang kedua yang mengerti diriku setelah El, mendiang suamiku.

"Apakah kau sudah memiliki pengganti El, Em?" Seketika aku menatap wajah Kevin.

Rambut bagian depannya sedikit basah, mungkin karena keringat yang di hasilkan dari dahinya. Kevin menatapku dengan serius. Apa maksud dari pertanyaannya? Tidak mungkin kan.

"Kenapa kau sedari tadi hanya diam, Em?" Pertanyaan Kevin membuat ku memalingkan muka.

"Tidak. Maksud ku belum." Jawabku sambil menghindari tatapan dari matanya.

"Apakah kau akan mengizinkan ku untuk menjadi pengganti El?" Kevin terdengar serius dengan ucapannya.

"Tapi aku sudah memiliki seorang putri, Kev." Entah kenapa pikiran itu terlintas begitu saja.

Mungkin kah aku menolak Kevin karena aku masih mengharapkan Christ. Apa mungkin Christ juga memiliki perasaan yang sama denganku? Paling tidak, siapa pun yang ingin mendekatiku harus mendekati putri ku terlebih dahulu, seperti Christ. Untuk apa aku terus memikirkannya, belum tentu juga dia akan memikirkan aku.

"Bolehkan aku meminjam ponselmu?" Dengan tangan kanannya ia meminta.

Aku merogoh saku ku, lalu aku menyodorkan kepadanya. Kevin mengetikan sesuatu pada ponsel ku. Beberapa saat kemudian dia menyerahkan kembali pada ku.

"Aku sudah menyimpan nomor ponsel ku di situ." Ucapnya setelah aku menerima ponsel ku.

Ternyata dia tadi menekankan nomor ponselnya pada ponsel ku. Dia juga melakukan panggilan dari ponsel ku untuk menghubungi ponselnya.

"Berikan aku waktu untuk mendekati putri mu, Em." Kevin masih berusaha membujuk ku.

"Mom, ayo kita pulang." Bie datang menghampiriku.

Kebetulan sekali Bie datang. Hari juga sudah mulai gelap. Jadi dengan begini aku bisa menghindari Kevin. Aku bukannya tidak menyukainya, hanya saja, dia terlalu tiba-tiba. Aku masih belum bisa menerima kehadiran orang lain di hatiku, karena sepertinya Christ sudah mencuri hatiku.

"Hai, anak manis kita ketemu lagi." Kevin menyapa Bie.

"Hai uncle..." Bie melirik kearah ku, sepertinya dia melupakan nama Kevin.

"Uncle Kevin, sayang." Kata ku, memberitahukan kepada Bie.

Aku langsung berdiri dari kursi ini. Kevin juga mengikuti ku. Seketika Bie mulai merangkul tangan ku, setelah aku berdiri.

"Kami pulang dulu, Kev." Kataku sambil memberikannya sedikit senyuman.

"Baiklah, hati-hati di jalan." Lalu Kevin mensejajarkan diri dengan Bie.

"Sampai ketemu lagi Abigail." Kevin mengacak rambut Bie.

Kevin mengingat nama putri ku. Tentu saja aku tidak heran, dari semasa muda Kevin memang memiliki daya ingat yang kuat. Dia dan El memiliki prestasi yang baik karena kepintaran mereka berdua. Orang-orang yang disebut pintar itu, karena mereka memiliki daya ingat yang kuat juga. Kevin lalu berhadapan dengan ku. Sebelum kami berpisah dia mengatakan sesuatu.

*ToBeContinued*