Aku menjadi salah tingkah. Christ tersenyum mengejek karena aku tertangkap basah sedang menatapnya. Segera aku mengambil gelas yang dia sodorkan padaku. Tanpa sengaja aku memegang jari-jari tangannya yang masih menempel pada gelas ini. Deg! Aku merasakan denyut jantungku berdetak tidak beraturan.
________________
_______________
_____________
__________
________
Ku rasa kan jari tangan ku yang bersentuhan dengannya terasa seperti tersengat listrik. Apakah Christ masih memegang alat yang masih dialiri listrik? Pria ini juga masih belum mau melepaskan gelasnya. Christ menatap ke dua bola mataku. Aku tidak bisa menjelaskan arti dari raut wajahnya. Wajahnya terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, bingung, ingin melakukan sesuatu, di dalam waktu yang bersamaan.
"Maaf." Christ dengan cepat melepaskan tangannya dari gelas ini.
Aku merasakan kehilangan saat dia menarik tangannya. Christ berjalan berbalik memunggungi ku. Lalu dia mulai berjongkok, seperti sedang mencari-cari sesuatu pada tumpukan benda-benda yang di bawa olehnya.
"Kalau begitu, aku ke dapur dulu." Kataku sambil menunggu jawaban darinya.
"Hmm." Christ hanya berdehem untuk menjawab perkataan.
Dia sama sekali tidak menatapku. Christ masih asik dengan kegiatannya. Apa yang aku harapkan? Tentu saja dia tidak akan menatapku. Seharusnya aku harus sadar diri. Hari sudah semakin gelap, lebih baik aku membuatkan makan malam. Bie pasti sudah lapar. Kalau siang hari, aunt Jane yang akan mengantarkan makan siang untuk Bie. Berhubung aku belum mengizinkan Bie untuk menyalakan kompor gas. Aku berjalan menuju dapur. Aku mengambil wajan lalu ku tuang kan minyak di atasnya. Lalu ku nyalakan api dari kompor gas ini. Sambil menunggu sampai minyaknya panas, aku mulai membersihkan udang yang akan di goreng. Ku tuang kan tepung bumbu di atas mangkuk. Kemudian, aku membalurkan udang-udang yang sudah ku kupas kulitnya tadi ke dalam mangkuk yang berisikan tepung ini. Sepertinya, minyak sudah panas. Ku masukkan satu persatu udang yang sudah aku balur tadi ke dalam wajan yang menampung minyak panas ini. Sambil menunggu udangnya matang, aku mulai meracik beberapa bahan sayuran untuk aku jadikan menu makan malam.
"Bie ayo makan. Ajak uncle Christ juga." Kata ku pada Bie saat dia datang mengambil minuman di dapur ini.
Bie meminum air mineral yang sudah terisi di dalam gelasnya. Setelah air di dalam gelas itu habis, Bie mulai berbicara. Aku memindahkan sayuran yang sudah matang ke atas piring.
"Ya, mom. Wah harum sekali mom." Bie menghirup aroma masakkan ku yang tersebar di ruangan ini.
"Kau sudah lapar sayang?" Tanyaku sambil meletakkan sayuran yang baru aku pindahkan tadi ke atas meja makan.
Bie tersenyum sambil mengangguk kan kepalanya. Ia dekati meja makan ini, lalu Bie mengambil seekor udang goreng yang sudah ku tata di atas piring keramik. Tidak lupa juga, ia mencolek saus sambal yang berada di tengah susunan udang tadi di atas piring. Bie menggigit setengah dari seekor udang goreng itu. Lalu sisanya masih berada diantara ibu jari dan jari telunjuknya. Sambil mengunyah Bie mulai berjalan ke arah ruang tamu. Aku mendengar dia mengajak Christ untuk makan.
"Kau sudah selesai masak? Kenapa cepat sekali?" Tanya Christ setelah memasuki ruangan ini bersama putriku.
Bie mulai membantuku dengan mengambil tiga buah gelas kosong. Tiap gelas dia isi air mineral melalui dispenser. Satu persatu gelas yang sudah terisi penuh ia letakkan di atas meja.
"Selain cepat memasak, semua masakan mom juga enak lho, uncle." Putri ku mengacungkan ibu jarinya kepada Christ.
Christ hanya tersenyum lalu segera mendekati meja makan. Aku berbalik menuju ke tempat rice cooker ku berada. Ku lihat lampu pada rice cooker ini sudah berganti warna. Akhirnya, nasinya sudah matang. Ku raih sendok penanak nasi, lalu ku buka penutup rice cooker ini. Asap putih mengepul keluar dari dalamnya. Dengan hati-hati ku korek nasi yang sudah matang ini menggunakan sendok penanak nasi. Aku menutup sebentar rice cooker ini.
"Tentu saja mom bisa melakukannya. Karena dulu mom lumayan lama bekerja di beberapa restauran, sayang." Kataku mulai mengambil tiga buah piring kosong, lalu ku isi piring-piring ini dengan nasi yang baru saja matang tadi.
"Kau masak apa?" Ku dengar Christ mulai menarik kursi untuk duduk.
"Kau kan bisa lihat sendiri." Kata ku ketus padanya.
Kenapa aku berkata seperti itu? Sepertinya aku masih kesal karena tadi dia hanya menjawab perkataan ku dengan kata 'hem'. Aish, ada apa dengan ku, kenapa jadi sensitif begini? Aku mulai meletakkan piring yang berisikan nasi di atas meja. Lalu aku meletakkan sendok-sendok pada setiap piring. Dia atas udang dan cumi goreng aku meletakkan garpu.
"Kenapa kau memasak banyak menu sayur?" Christ bertanya setelah memasukkan brokoli ke dalam mulutnya.
"Aku tidak tahu yang mana kau suka. Seperti ini, kau bisa memilih udang kalau kau tidak suka cumi." Kataku sambil menunjuk ke arah piring yang berisikan cumi goreng tepung.
"Seperti Bie yang sangat menyukai udang, uncle. Sedangkan mom sangat menyukai cumi ini, tapi Bie tidak." Bie menunjuk cumi-cumi goreng menggunakan garpunya.
"Kenapa kau tidak tanyakan langsung saja padaku? Jadi, kau kan tidak perlu repot-repot memasak sampai sebanyak ini." Kali ini Christ memakan cumi goreng tepung yang aku sebutkan tadi, dia juga mengoleskan cumi itu dengan saus sambal.
Benar juga katanya. Kenapa tadi aku tidak kepikiran sama sekali? Ah, setidaknya aku bisa menghemat stok bahan sayuran ku. Tapi, setelah aku perhatikan, sepertinya Christ menyukai semuanya. Dari bermacam-macam sayur yang aku masak tidak ada yang tidak di makan olehnya. Ternyata dia pencinta sayuran. Pantas saja dia tampan. Eh, apa yang otak ku pikirkan? Ku tepuk-tepuk kepalaku dengan tangan kiri ku untuk menjernihkan kembali pikiran ku.
"Kenapa kau memukul kepalamu? Aku menyukai semua masakan mu ini." Christ mengangkat tanganku yang masih berada di atas kepala ku.
Deg! Lagi-lagi dia membuat jantung berdegup kencang. Bagaimana tidak? Selain memegangi tangan ku dia juga mengusap kepala ku yang ku tepuk tadi. Kebetulan Christ duduk tepat di sebelah kiri ku. Dia masih menatap wajahku. Bisa aku rasakan wajahku memanas.
"Kenapa wajah mu memerah?" Christ tertawa terbahak-bahak.
"Eh." Aku menutupi kedua pipi ku dengan telapak tangan ku.
Bie melihat interaksi kami melalui tempat duduknya. Aku benar-benar malu di hadapan Bie. Bisa-bisanya Christ mengatakan wajah ku memerah. Kalau nanti Bie bertanya, aku harus jawab apa? Lalu aku menoleh ke arah sisi kiri ku.
"Sepertinya setelah ini, kau harus mencuci rambut mu." Kata Christ tertawa sambil menunjukkan jari-jari yang berminyak yang tadi ia letakkan di atas kepala ku.
Sial! Ternyata dia mengerjaiku. Ku usap dengan kuat rambut-rambut ku yang dia sentuh tadi. Kudengar tawanya masih menggelegar di atas meja makan ini. Tidak lama setelah itu, Bie ikut tertawa bersamanya. Christ sungguh sangat menyebalkan. Awas saja, aku pasti akan membalas mu!
*ToBeContinued*