"Aku juga sudah lapar." Ku dengar suara seorang pria dari belakang punggungku.
________________
_______________
_____________
__________
________
"Kenapa kau masih ada disini?" Tanyaku heran padanya.
"Mom, tadi uncle Christ sudah pulang. Tapi kembali lagi karena mau mengembalikan tas Mom yang tertinggal di dalam mobil." Bie menjelaskan sambil mengisi mie ke dalam mangkuk kosong yang di bawa olehnya menggunakan garpu.
Bukankah tadi aku meletakkan tas ku di atas kursi? Oh, aku lupa. Tadi mungkin yang aku bawa hanyalah paper bag yang berisikan seragam kerjaku. Karena terburu-buru ingin buang air kecil, aku sampai tidak menyadarinya.
"Mom, sudah mengisi mangkuk mu, sayang." Aku menyodorkan mangkuk yang sudah terisi mie.
"Ini untuk uncle Christ, mom." Bie menyodorkan mangkuk itu pada pria yang masih berdiri di belakang ku.
"Tidak perlu, Bie. Aku sudah kenyang." Tolak Christ.
"Dia tidak mau makan, mungkin karena tidak terbiasa dengan makanan ini, Bie. Lebih baik ayo kita makan." Aku mulai duduk dan mengambil mangkuk yang di sodorkan Bie tadi.
"Siapa yang bilang aku tidak bisa?" Christ merampas mangkuk yang sudah hampir aku letakkan di atas meja.
Dia mulai duduk di kursi sebelah kiri ku. Dia mulai meniup mie yang menyangkut pada garpu. Setelah dia rasa cukup hangat, di masukannya mie itu ke dalam mulutnya. Kenapa aku melihatnya makan? Lebih baik aku juga makan. Setelah beberapa menit, Bie dan Christ mulai berebut mengambil mie yang masih tersisa di dalam mangkuk besar ini. Sesekali mereka tertawa. Karena salah satu dari mereka mendapatkan sayuran atau apapun yang menjadi isi dari kuah mie instan ini saat mereka sedang berebut.
"Sini biar aku saja yang cuci." Aku mencoba merebut spons dari tangan Christ.
"Biar aku saja, kau kan sudah memasak untuk kami." Christ menjauhkan spons itu dari tangan ku.
"Benar, mom sebaiknya istirahat saja." Bie terlihat sedang membilas mangkuk yang di penuhi busa.
Akupun menyerah. Kuserahkan mangkuk bekas makan ku kepada Bie. Aku berjalan menuju ruang tamu. Ku raih tas ku yang berada di atas komik-komik Bie.
"Kenapa kalian tidak memasang tirai pada jendela ini?" Christ sudah berada di dekat jendela.
"Kami memang tidak memilikinya. Lagi pula di atas jela ini tidak ada tiang yang bisa menjadi gantungan tirai." Aku menunjuk ke aras atas jendela.
Christ melihat ke arah yang aku tunjuk. Dia melihat atas ujung jendela pertama sampai ke ujung jendela ketiga. Mungkin dia mencoba mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menggantung kan tirai.
"Baiklah, sudah malam. Aku pulang dulu." Christ berbalik menghadap ku.
"Ya. Kau berhati-hatilah di jalan." Aku mulai berjalan ke arah pintu.
"Kalau bisa sebelum ada tirai, lebih baik kau matikan saja lampu di ruangan ini." Sebelum melangkah keluar, Christ berpesan kepada ku.
Apa maksudnya? Bukankah aku sudah mengatakan kalau jendela ini memang tidak memiliki tirai.
"Kenapa?" Kata itu terlontar begitu saja dari bibirku.
"Jangan banyak tanya, turuti saja perintah dari ku!" Kata Christ.
Christ masih menatap wajah ku tanpa berniat untuk melangkahkan kakinya.
"Baiklah, akan aku lakukan." Kataku akhirnya.
Lalu Christ mulai berjalan ke arah pintu keluar. Tiba-tiba dia berhenti di hadapan ku.
"Bagus." Katanya sambil mengusap pucuk kepalaku.
Deg! Kenapa jantung ku berdetak dengan cepat. Aku mematung sambil menatap kepergian Christ. Mobilnya mulai melaju meninggalkan halaman rumahku. Seketika aku mendengar bunyi pintu di tutup dengan kuat. Suara itu menyadarkan ku. Sepertinya aunt Jane menutup pintu terlalu kuat. Aku juga menutup dan mengunci pintu rumah ku. Karena Christ tadi sudah berpesan, maka aku mematikan lampu ini dengan menekankan tombol yang terletak di dinding.
***********
******
***
Sore ini sebelum pulang ke rumah aku mampir ke pasar. Aku membeli beberapa bahan makanan. Kemarin malam saat memasak mie instan, aku menyadari kalau bahan makanan di kulkas ku sudah hampir habis. Yang tersisa hanya beberapa macam sayuran dan jamur. Itu juga sudah habis, kemarin aku gunakan untuk sebagai pelengkap mie instan. Dengan dua tangan yang menenteng plastik belanjaan, aku berjalan menuju rumahku. Ada sebuah mobil terparkir di depan rumah ku. Mobil siapa ini? Lalu, kenapa pintu rumahku terbuka? Kenapa Bie teledor sih? Aku harus menegurnya. Bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat?
"Bukan yang itu tapi yang sedikit lebih kecil, Bie." Suara seorang pria terdengar olehku.
Aku melangkah masuk dan di sambut oleh pemandangan ruang tamu yang berantakan. Ada kabel panjang di lantai yang memanjang sampai ke arah belakang. Sepertinya itu untuk mengambil arus listrik melalui kamar ku. Dapat ku lihat sedang Christ memanjat menggunakan kursi kayu yang terletak di ruang tamu ini. Bie sedang berjinjit menyerahkan sesuatu kepadanya. Christ sedikit membungkuk untuk meraih benda dari tangan Bie. Apa yang sedang di lakukan olehnya di rumahku?
"Mom." Bie memeluk perut ku dari arah depan.
Seketika Christ menoleh padaku dari atas kursi tempatnya berdiri.
"Kau sudah pulang?" Christ tersenyum ke arahku.
Deg! Kenapa aku menjadi salah tingkah melihat senyumnya? Aku dapat merasakan pipi ku memanas.
"Bie lepaskan, tubuh mom bau amis." Ucap ku pada Bie sambil mengerutkan hidungku.
Tadi, selain membeli sayuran, aku juga membeli ikan, udang dan cumi-cumi. Bau amis dari pasar ikan itu pasti menempel di tubuhku. Apalagi di sana tadi aku juga ikut menyentuh udang dan ikan-ikan itu. Aku menyentuhnya untuk memilih kualitas yang bagus. Bagiku kualitas yang bagus itu di lihat dari ukuran dan kesegarannya.
"Sedang apa kau disini?" Tanyaku pada Christ setelah Bie melepaskan pelukannya.
"Memasang tirai." Jawabnya sambil melanjutkan aktivitasnya.
Aku juga tahu dia sedang memasang tirai. Maksudku kenapa dia harus melakukan itu? Apa dia sedang tidak ada kerjaan lain? Bukankah baru kemarin Bie menemaninya ke toko buku. Masa, dia setiap hari bosan? Apakah dia seorang pengangguran? Tapi, bagaimana caranya dia bisa menghasilkan uang? Dia memiliki mobil dan dia baru saja memberikan sebuah handphone kepada Bie. Kemarin juga ku lihat, dia memiliki cukup banyak lembaran uang kertas di dalam dompetnya saat di toko buku. Sudahlah biarkan saja dia, bukankah lebih baik jika dia dan Bie menghabiskan waktu di sini. Dengan begitu aku bisa terus mengawasinya.
"Nanti aku akan membantu mu. Aku akan letakkan ini di dapur dulu." Kataku sambil berjalan menuju dapur.
"Tidak usah, Bie bisa membantuku. Kau masakan lah sesuatu. Aku lapar." Christ berbicara agak keras.
Mungkin dia mengira aku tidak akan mendengar suaranya. Kalau begitu aku mandi saja dulu. Seragam ku sudah bau amis. Kebetulan aku memiliki sepasang seragam lagi. Jadi aku bisa mencuci seragam yang aku kenakan sekarang. Setelah selesai mandi aku mengisi air minum ke dalam gelas. Ku teguk gelas ini. Akhirnya rasa haus ku sudah hilang. Sepertinya Christ belum minum. Aku tidak menemukan adanya gelas di meja ruang tamu tadi. Aku langkahkan kaki ku menuju ruang tamu. Bie duduk di kursi sedang membaca komiknya. Biasanya Bie akan membaca komik-komik nya di kamar, mungkin karena Christ akan membutuhkannya.
"Ini, minumlah dulu." Ku angkat gelas yang berisi air ke arah tempatnya berdiri.
"Terima kasih." Christ sedikit membungkuk untuk mengambil gelas ini.
Dari bawah aku melihat tonjolan pada lehernya bergerak naik turun saat dia minum. Dia meneguknya dengan lahap. Kelihatan sekali kalau Christ kehausan. Kenapa dia tidak meminta minum pada Bie, kalau memang haus? Dengan menggunakan lengan bajunya, dia mengelap tetesan air yang tersisa di atas bibirnya. Dia mengenakan kemeja panjang, tapi dia menggulung lengan dari kemeja itu sampai ke sikunya. Otot-otot pada lengannya tercetak jelas di balik pakaian yang ia kenakan. Christ segera turun dari kursinya. Dia berdiri tepat di hadapan ku.
"Kau terpesona padaku?"
Lalu dia mengembalikan gelas kosong itu padaku.
Aku menjadi salah tingkah. Christ tersenyum mengejek karena aku tertangkap basah sedang menatapnya. Segera aku mengambil gelas yang dia sodorkan padaku. Tanpa sengaja aku memegang jari-jari tangannya yang masih menempel pada gelas ini. Deg! Aku merasakan denyut jantungku berdetak tidak beraturan.
*ToBeContinued*