"Aku tidak pernah tahu seseorang bisa membuatku selemah ini."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
UNTUK pertama kalinya, Paing Takhon membelokkan setir, padahal ada jadwal rapat besar di depan matanya. Alpha itu mengeraskan rahang karena memaksakan kontrol diri. Napasnya berat, seolah-olah ada yang menyumpal di dalam dada. Dia oleng sesaat karena pandangan mendadak buram. Bukan karena paru-paru kambuh melainkan air mata yang menggenang dalam. Kelopaknya berkedip cepat agar tak menabrak sesuatu. Harga dirinya sebagai dominan tak sanggup berdiri karena dikoyak luka-luka yang terbayang dalam memori.
"No, Mile. I mean--I have a mate--"
".... dan kalian bonding di belakangku."
Paing rasa, daripada bibir yang bertaut, dia tidak pernah merasa begitu habis hingga melihat Apo tidak mampu membela diri sendiri atas pilihannya. Wajah sang Omega pucat pasi, baik sebelum direnggut Mile, maupun setelah dilepaskan pergi. Ingin Paing membanting seseorang ke arah Mile seketika, tapi tangannya tidak berhak di tempat itu untuk melakukan sesuatu.
Muntah Apo bukan menjadi alasan, Paing hanya--ah ... dia marah atas dosa yang terlanjur ditanggung berdua, walau faktanya Mile dan Apo sudah berjanji saling menutupi nanti. Mile atas sangkut paut namanya sebagai orang ketiga di depan para hakim, begitu pun Apo yang takkan mengungkit pembenaran kasus kekerasan rumah tangga yang Alpha itu lakukan. Apo boleh Omega, tapi tidak ragu melindungi dia. Perjudian paling besar sang mate akan dilakukan hari ini.
Lantas apa yang akan terjadi? Paing tidak pernah tahu. Prinsip suci dalam Keluarga Takhon telah dikoyak robek di bawah naungan benci, tapi pantaskah dirinya, seolah Alpha yang dipercaya banyak orang, diserahi 7 bayi dengan bola mata cinta, justru emosional hanya karena panas di dalam jantung. Paing ingin membalikkan laut jika bisa, atau meruntuhkan langit, dan segala keping kesalahan dirinya di masa lalu.
"And you're not in royal consent just like our dignity, Apo. Apa kau sekeras itu sampai aku tidak berhak mendapat kehadiran istriku hari ini saja."
"BRENGSEK KAU MILE! BRENGSEK!"
Setenang apapun dulu, Paing sendiri tidak menyangka tangannya meninju setir, mencamah orang, atau melonggarkan dasi yang tadinya rapi. Paing melesatkan mobil di tol yang untungnya cukup sepi. Bila ingin belok, dia belok. Bila ingin terus, maka dia tak berhenti. Paing mendadak muak dengan panggilan para manajer dan lain-lain. Mereka pasti mencarinya, tapi persetan dengan perusahaan hari ini.
Alpha itu baru turun setelah sadar sangat jauh. Dia putar balik menuju rumah karena bernafsu ingin memaki. Jika begini dia tidak butuh obat. Hanya kepada bayi-bayi, atau triplets Paing mengadu mencari pelukan.
"Dimana mereka?" tanya Paing sambil melempar kunci mobil ke meja tamu.
"Siapa, Tuan Takhon?"
"Anak-anak. Dimana mereka semua?"
Pelayan itu mundur karena auranya gelap sekali.
"Ah ... i-itu ... di "Istana Kecil?", pastinya?"
"Oh. Benar juga."
Langkah Paing tidak terhenti.
"Tuan Takhon, apakah Anda butuh bantuan?!" teriak sang pelayan panik melihatnya naik tangga langsung. "Mungkin saya bisa mengambilkan sesuatu? Anda sebenarnya kenapaaaaa?"
Paing membanting pintu tidak sabaran. Dia melewati para babysitter yang sibuk semua. Mereka refleks menyingkir karena Paing menguarkan feromon tajam. Lirikan matanya penuh bara yang menggunung. Kepalan tangannya sudah muncul saat Blau Er menoleh perlahan-lahan.
"Nenn, nennn. Nennn, nennn ...." kata Er yang naik mobil-mobilan. Tampak jelas balita itu sangat bingung. Bibir mungilnya membentuk "o" melihat Paing memijit kening yang berdenyut. "Nnn, nghh?" gumamnya, lalu turun menuju Alpha itu tanpa takut. Er meninggalkan Ed dan Kaylee yang baru naik sofa telur. Kakinya berjalan tertatih-tatih ke arah Paing dengan tangan yang terentang. "Nnaaa, naaaa .... nnlee, lll ...."
"Arrrgghhh! Terserahlah!" batin Paing sebelum memeluk si mungil. Er juga balas menabrak pahanya. Paing menghirup dalam-dalam aroma bedak dari leher lembut itu. Sesaknya dada biarkan seberisik pikirannya. Paing sudah tak peduli lagi.
"Er ... Er ...." sebut Paing dengan air mata jatuh. Dia tak pernah tahu hatinya bisa lemah karena seorang Omega. Diremasnya hoodie cokelat baby Er hingga kusut tak berbentuk. Paing habiskan sisa bedak yang masih menempel. Biarkan semua itu berpindah ke dirinya yang hanya ingin mereda. Yang aneh adalah Blau Er diam anteng saja. Baby itu malah meneteskan liur ke dasinya.
"Nnnhh, nnghh ...." gumam Blau Er yang mulai menggigit-gigit. Jemari mungilnya meremas-remas udara. Tidak jelas apa maksud ocehan Er, yang pasti semua babysitter terpana melihatnya. Baby itu tak kuat berdiri lama. Dia jatuh terduduk dengan bokong gemuk dulu. Berhubung hanya memakai pampers suaranya cukup mantap. Paing tersentil geli mendengar "buk" yang menghantam lantai.
"Ha ha ha ha, bodoh ...."
Baby itu memandangi wajahnya yang basah. Mukanya celingak-celinguk seolah tertular pusingnya Paing. Ed dan Kaylee pun penasaran ikut mendekat. Si sulung berjalan buru-buru, sementara Kaylee kadang masih ngesot. Baby perempuan itu cukup gigih. Dia berdiri sesaat, tapi langsung ambruk lagi. Kaylee berakhir meniti meja. Dia dan Ed gabung memutar demi mendaki tubuh berotot itu.
"Pelan-pelan, pelan-pelan. Kalau begini Uncle bisa roboh ..."
Kaylee tega-teganya menarik dasi Paing hingga si "Uncle" tercekik.
"Eh--Kaylee ... Kaylee ...." sebut Alpha itu, padahal air matanya masih bercucuran.
Dia nyaris berlutut demi mengikuti arah tarikan. Karena suka, atau bagaimana Kaylee mulai menghentak-hentak dasinya macam menangkap binatang. "Lepas ... hei, Kaylee ...."
Gelapnya aura ruangan pun menyurut karena tawa babysitter. Paing sendiri butuh waktu mengambil alih jeratan yang kuat. Dia dimintai gendong Er sambil dijambaki. Pinggiran jasnya dicengkeram Kaylee yang maunya ikut kemana-mana.
"Nnggh, nggh ...." Baby itu sudah macam buntut kucing. Langkah boleh terseok, tapi Kaylee tetap bar-bar. Bila Paing berjalan cepat, dia menjerit tidak karuan. Suaranya melengking-lengking seperti penyanyi orkestra. "Anngggh, aaregh! AAAAAKH!"
Benar-benar drama sekali.
Blau Er kini hanya memandangi ributnya mereka. Jeda sesaat eskpresi loading-nya malah berganti tertawa. Mulut tanpa gigi itu pun terpampang nyata. Dia asyik-asyik gelimbungan diantara boneka yang tergeletak di lantai. Mungkin versi dewasa Er akan mengatakan "sudah selesai tugasku". Si baby berguling dan menggigit karpet tebal lalu dihentikan babysitter yang gugup mendekat.
"Eeeh! Tuan Muda, jangan dong ah. Kotor itu! Tuan Errr ... sini Kakak ganti kekis!"
Paing lelah batin, hingga gelimbungan juga. Dimarahi orangtua nanti urusannya, karena dia ingin kembali menjadi anak TK yang hanya bermain-main. Alpha itu tertidur pulas di tengah triplets yang menungganginya. Entah di betis, paha, pinggang, bahu, atau bahkan kepala. Mereka berempat kompak bermimpi pada pukul 11 pagi.
"Ya ampun Phi ini kenapa," desah Yuzu sambil berkacak pinggang. Dia menilik pulang setelah menggantikan kursi pimpinan tanpa rencana. Tak apalah belepotan sedikit, asal klien tak terlalu kecewa. Omega itu berjongkok di sisi Paing. Disentuhnya kening sang kakak, yang ternyata suhunya stabil. "Masak sih tadi menangis betulan? Aku ragu tapi sepertinya iya. Mana jasnya berantakan sekali." Yuzu membenahi selimut kecil yang dipasangkan ke para baby. Bagusnya quadruplets bersaudara sudah dititipkan ke rumah orangtua sementara waktu.
"Eh? Nona Yuzu ... tumben Anda kok ikut kemari?" tanya babysitter yang kebetulan lewat. "Apakah Anda tahu sesuatu? Kami mau membangunkan mereka tidak berani. Tadi Tuan sepertinya marah-marah."
Alis Yuzu naik sebelah. "Iyakah?"
"Iya, Nona." Si babysitter mengangguk. "Seperti ini loh mukanya, seperti ini ...."
Melihat peragaan sembarangan itu, Yuzu pun tertawa hingga ingin menaikkan gajinya. "Ya sudah yang penting jangan dikulak-kulik. Tinggalkan saja." Dia menutup "Istana Kecil" kembali. "Nanti pasti ada masanya Phi kuinterogasi."
"Baik, Nona."
Pintu ruangan itu tertutup. Babysitter pergi. Tak seorang pun tahu Paing mulai mengigau di tengah mimpi-mimpinya yang sunyi.
***
9 Tahun Lalu ....
Surat Thani berubah menjadi kota yang sepi, setidaknya dua minggu setelah Paing pulih dari perkelahian besarnya. Dia tak diadili karena faktor pembelaan diri, namun melihat larungan abu kremasi Fay langsung menghancurkan perasaannya. Alpha itu menilik ulang lokasi terakhir Fay dihajar mati. Dia hampa melihat tempat itu sudah penuh warna putih. Mulai kamar tidur, sofa, meja belajar, dapur, televisi, dan perabotan apapun--semuanya dibungkus plastik oleh si pemilik apartemen karena akan diangkut ke pembuangan terakhir. "Kenapa?"
"Ya biar penghuni selanjutnya tak ketakutan. Memang siapa sih yang mau menempati kamar korban pembunuhan? Kalau arwahnya gentayangan bagaimana? Aku juga yang nanti rugi," jawab wanita itu. "Ingat ya, gara-gara pacarmu tempat ini harganya menurun drastis. Tanggung jawab! Mana dia belum bayar untuk bulan ini."
Dulu Paing akan menemukan tubuh Fay yang tergolek berdarah-darah dalam mimpinya, tapi semenjak berpamitan tempat itu hanya kosong seperti kasatnya mata biasa. Dia tidak menemukan trauma apapun. Hanya saja Apo datang untuk mengawasinya dari belakang. "Sedang mencari apa?"
"Tidak ada."
Omega itu akan berdiri menunggu. Dia tidak bergerak sedikit pun dan hanya mengajak bicara. "Nanti, kalau sudah selesai, pulang ya."
"Hm."
"Phi, kau tahu kan aku selalu di sini?"
"Iya."
"...."
Sadar ruangan berubah senyap, Paing pun berbalik dengan suara paraunya. "Aku yang justru tidak bersamamu di persidangan. Aku ...." Dia mengepalkan tangan. "Kenapa waktunya sangat tidak tepat, Apo? Kau datang sendiri ke rumahku hari itu, ke sana pun masih kubiarkan tanpaku."
"Phi, kau tahu kan bukan begitu tujuan kita? Malah tidak baik kalau Phi-nya ikutan datang."
"Berarti aku bayanganmu sampai sekarang."
"Mana ada sih, ya ampun. Siapa yang berani bilang begitu pada Alpha-ku?" kata Apo. "Biar kusumpal mulutnya pakai sepatu."
Mungkin karena kata "bayangan" telah meracuni otaknya. Dalam surat terakhir Fay itu tertulis, membuatnya takut jadi sosok dipaksa diam pada suatu titik. Kebebasan karena ditinggalkan, justru menjadi belenggu. Paing seolah bisa membayangkan seperti apa Apo Nattawin saat menggenggam kartu antriannya di bangku "Istri" sendirian.
[PENGADILAN AGAMA BANGKOK]
- Apo Nattawin Romsaithong -
Nomor Urut Anda:
G-11
Tanggal: 12/07/20XX || Jam: 08:57:58
Terima kasih telah tertib mengantri
Apo dengan raut pucat tetap berusaha baik-baik saja. Dia minum segelas air putih demi meredakan mual yang belum mereda. Mungkin Paing tak melihat, tapi ikatan mereka tetap terhubung. Seberapa gelisah Apo sebenarnya bisa dia rasakan.
Omega itu agak tenang saat Miri datang sebagai pendamping dari pihak keluarga. Dari belakang Mile juga begitu karena ada Songkit dan Nathanee. Mereka tertib di antara audiens lain sebagai saksi.
Tremor Apo sembunyikan dalam kepalan selagi Jaksa Na menata berkas-berkasnya.
Lelaki itu memakai jubah kebesaran seperti pengacara dan hakim. Empatinya saat wawancara kasus tak terlihat karena ini persidangan yang sebenarnya. Napvtik benar-benar berubah serius, seolah mereka tak pernah saling bicara.
"Siapa yang masih belum hadir?" tanya hakim agung melalui microphone kecilnya. Dia melirik sekitar demi memastikan Mile dan Apo lengkap semua. Segala kasus siap dia tampung pada hari ini juga. "Sudah? Apa bisa kita mulai sekarang?"
"Bisa, Pak."
"Bisa."
Jawaban keduanya sama rasa, dengan ketegaran tercetak di muka. Melihat kekompakan semacam itu pun membuat audiens tak ayal bertanya-tanya apa masalah mereka berdua.
"Ehem, baiklah ... sebentar, biar semuanya tertib dulu. Sepertinya ada yang masih kurang ...." Hakim pun mengangguk saat diberi 3 map berbeda dari notulen. Itu merupakan serangkaian singkat konsep kasus, dan pembahasannya dalam beberapa titik poin. Beberapa pasal menjadi hiasan, sebagai pengukuh dasar. Banyak audiens saling lirik dengan canggung karena isinya kerabat jauh dari dua keluarga. Mereka mungkin tak terkait, tetapi siap melihat drama.
Miris baru setahun Wattanagitiphat dan Romsaithong jadi satu kini sudah terancam pecah begitu saja. Apo sendiri buka tutup ponsel demi scroll galeri hasil jepretan gabutnya. Tidak ada yang lebih menenangkan hati, kecuali melihat foto para bayi-nya di rumah. Miri yang me-notice pun merogoh tas selempang dengan susah payah. Dua kali ini dia mengulurkan tisu agar Apo bisa mengelap keringat pada telapak. Suaranya sepelan angin waktu berbisik di sebelah telinga Apo. "Kau baik-baik saja, Sayang?" tanyanya. "Izin saja ke belakang sebentar kalau tidak kuat."
"Tidak perlu, Ma. Aku bisa," sahut Apo meski tatapannya sempat mengawang kosong. "Hari ini sudah kutunggu sedari lama."
"Oh, Sayangku ...."
"Mama, hanya harus percaya padaku."
Percikan tidak enak pun terjadi setiap kali saling pandang tidak sengaja. Songkit, Nathanee, dan Miri pun membuang muka, padahal titel besan belum terlepas dari mereka.
"Nona Lee, nona Lee ... tolong AC-nya diturunkan sedikit. Hari ini kelihatannya ada anak kecil yang hadir di sini," teriak seorang pria berseragam ajudan gerbang.
"Baik!" sahut Lee di balik meja.
Alan memang minum susu sambil dipangku neneknya. Dia --entah paham atau tidak-- akan peristiwa hari itu, tapi diam sambil menatap sekitar. Nathanee pun puk-puk pahanya yang ramping. Wanita merasa agak aneh, ketika menyadari aroma Alan sedikit berubah.
Apakah sering bergaul dengan Mile mempengaruhinya? Sebab bukan keringat biasa seperti Beta, tapi kini mulai bercampur harum dedaunan segar.
Persiapan itu pun menghabiskan waktu 15 menit, Mile dan Apo butuh waktu lagi karena harus mendatangkan beberapa saksi diantara daftar perkara. Ada pelayan yang dulu di kamar, ada Sekretaris Mile, Jirayu, Dr. Min selaku peracik suppressant Apo sejak belum menikah, Dr. Ox, selaku psikiater pribadi Mile--dan beberapa orang terkait. Mereka semua memakai pakaian baik, harum, lagi rapi nan tatapan mendalam. Seolah bukan menghadiri detik-detik perpisahan, melainkan bagian dari kesakralan pernikahan itu sendiri.
Akhirnya, pukul 09:23 semua saksi pun genap. Gerbang utama ruangan itu ditutup satpam dengan lampu hijau pada pojokan menyala.
"Hmm, baiklah ... selamat pagi, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Saya Khan Ao Vikairungroj yang akan memimpin. Mohon izin bertanya kepada Anda." Hakim itu mengecek ulang slip identitas di depan mejanya sebelum memulai. ".... pertama-tama benar pihak suami bernama Mile Phakphum Romsaithong?"