"What the hell with this world ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Rajamangala National Stadion, Bangkok, Thailand.
_____________________
Pukul 8 kurang 10 menit, Paing sudah menemui Bretha di belakang panggung. Dia ditarik wanita itu untuk buka baju. Dicek luka tembaknya. Barulah diambilkan kotak cokelat berisi perlengkapan khusus. Pertama kaus pendek, rompi, kemeja ... barulah tubuh Paing dipakaikan jas hitamnya ulang. Bretha juga menyimpulkan dasi sang rekan, meski Paing agak risih. Dia tahu wanita itu usil ingin menggodai, apalagi aromanya sudah beda daripada dulu. (*)
(*) Alpha-Omega bonding beda efek guys. Meskipun harumnya sama, aroma Alpha tetep tercium orang lain karena dia bisa bonding lebih dari 1 Omega. Kalau Omega, aromanya hilang dari penciuman orang lain karena dia udah permanen milik Alpha-nya.
"Lancar, Sayang? Selamat sudah bertemu mate-mu. Aku turut bahagia karena Alpha tampan ini tidak sendirian lagi," kata Bretha sembari menepuk-nepuk bahunya.
"Dan mate-ku istri orang lain. Kau ini sebenarnya mau mengejekku atau apa?" kata Paing sedikit kesal.
"Ha ha ha ha ha," tawa Bretha seketika. "Ya, tidak masalah dong, Sayang. Toh Omega itu sudah membuktikan dia hanya mau mencintaimu. Kau pikir bonding itu sembarangan? Aku dan suami saja tidak mau meski kami nikah 7 tahun."
"Cih, Bretha."
Sambil nyerocos, Bretha kini menunduk untuk menyimpulkan tali sepatu Paing. "Dengar, ya. Karena aku seorang Omega. Dan nikahku sudah agak lama, kuberitahu satu nasihat," katanya. "Percayalah selalu pada Omega-mu mulai sekarang. Apapun tindakannya. Bahkan jika kalian jadi selingkuhan sampai akhir."
Mereka lantas berhadap-hadapan.
"Aku tahu, Bretha ...." kata Paing dengan muka datar. "Tapi menurutku, Apo bukan jenis Omega yang pantas direndahkan. Bahkan oleh suaminya sendiri."
Bretha pun menyilangkan tangan di depan dada. "Oh, Sayang ...." desahnya agak prihatin.
"Dia pikir istrinya tahan di posisi sekarang?" kata Paing. "Saat aku menganggap Apo pantas dapat yang melebihiku, tapi dia main-main dengan pernikahan atas hidup seseorang," bantahnya. "Di mata orang luar, Wattanagitiphat dipertahankan atas nama hebat keluarga. Tapi pada kenyataannya, mereka diinjak dengan maki-maki kotor."
"Paing ...."
"Belum lagi soal bayi-bayi itu," kata Paing mulai tak terkendali. "Apa dia tak menganggap mereka manusia? Sekarang mungkin masih kecil, Bretha. Tapi pasti ada waktunya dewasa. Paham dunia. Belum lagi soal hak waris dan lain-lain---cih ... sudah sinting sampai tak peduli dengan dengan siapa mereka."
Brugh!
"Astaga, shhh ... shhh ...." Bretha pun merangkul Paing dengan tepukan pada punggungnya. "Tenang dulu, Sayang. Maaf juga kalau pancinganku tadi agak kelewatan, tapi ... ketahuilah aku ini ada di sisimu."
Paing pun diam, tapi ekspresinya benar-benar terlihat tertekan. ".... Tapi Luhiang sekarang kesulitan menempatkan diri, Bretha. Dan itu pun karena aku juga." Dia bilang. "Mereka boleh berurusan denganku, tapi bisa jangan ikutkan rekan-rekanku? Luhiang tak ada sangkut pautnya dengan ini semua."
Elusan Bretha pun makin lembut di punggung itu. Dia tahu Paing sedang sangat kacau. Tapi meninggalkan adalah hal terakhir yang akan dia lakukan. "Oke, oke. Aku paham. Tapi rekanmu pun tak mungkin membiarkan dirimu jatuh sendiri, ingat? Lagipula Luhiang takkan semudah itu diseret mereka. Percayalah." Dia bilang. "Kau hanya harus tidak goyah, Sayang. Toh mencemaskan selain diri sendiri hanya akan makin hancur. Ya Tuhan ... kemana Paing yang kukenal biasanya? Kau tidak seperti dirimu."
Paing pun memijit kening karena dia terus disadarkan. Oh, Tuhan. Memang sulit waras kalau sudah begini, Pikirnya. Lalu membayangkan Mile pernah merasakannya. Tapi, mana mungkin Paing membiarkan dirinya gagal? Alpha itu benci memikirkan Apo akan sendirian. Menanggung segalanya. Apalagi perusahaan sang Omega sedang jatuh-jatuhnya.
".... Phi pikir cuma kau saja yang khawatir? Aku pun ingin Phi tetap hidup seterusnya. Bernapas. Jangan mati kalau besok ada sesuatu selama aku tertidur."
"Hhh ... hhhh ...."
"Di sini, kalau sampai ada baby yang Phi titipkan padaku, akan kulahirkan dia dengan baik. Dan kurawat dia sampai Phi bisa menemuinya. Karena kalau Mile menang di meja sidang. Atau aku tetap terikat bersama dia, Phi ingat. Aku milikmu sampai kapan pun."
"Apo ...."
"Aku cuma mau jadi milikmu sampai kapan pun, Phi. Aku ini tidak mau dengan dia lagi ... hiks ... hiks ... hiks ...."
"Jadi aku harus apa untuk kembali menjadi diriku, ha ha ha ha ha ...." tawa Paing, sehingga Bretha sudah memperkirakan seperti apa Alpha ini saat mengamuk tadi siang. "Aku bingung sekali, Bretha. Aku mulai tidak paham dengan situasi ini."
...
....
Jeda sejenak, Bretha pun mengusir semua cluster yang ada dalam ruangan. Dia ingin sendirian dengan Alpha ini, karena cara Bible menenangkannya kemungkinan kurang efektif. Untung aku dengar laporannya sebelum terlanjur. Shit--dasar ... aku benar-benar tidak tahan melihatmu sekacau ini, Pikir Bretha sebelum mengodel kotak lainnya.
KACRAK! KACRAK!
"Oke, anggaplah aku mendukung jiwa liarmu. Tapi kuberikan ini bukan untuk kau gunakan sembarangan," kata Bretha. Dia memasang dua senjata di sabuk belakang Paing Takhon. Juga menyematkan lencana izin, pertanda akan ada di sisi Paing jika hukum menyeretnya suatu hari. "Jadi pilihlah targetmu baik-baik, Sayang. Pastikan mereka orang yang pantas dihajar. Atau nyawamu sendiri yang nantinya malah mendapat hukuman mati." (**)
Diantara ramainya orang yang berbondong-bondong masuk konser, Amaara justru santai mengepulkan asap rokok dari hidungnya. Gadis itu berparas santai dengan topi dan masker dibuka. Warnanya kombinasi dan tak hitam lagi, melainkan biru dengan merah. Dia tidak mencolok karena rambut panjang sepinggang digerai. Sebuah pisau lipat sempat dimainkan di sebelah saku celana. Sangat atraktif. Namun dia berhenti saat ditepuk seseorang di sebelahnya.
Pakh!
"Ada apa, Joe. Bagaimana dengan informasi yang kuminta barusan?" tanya Amaara langsung to the point.
Joe, lelaki yang dulu menjadi sopirnya ketika penembakan pertama pun mendengus. "Dengar, Amaara. Sepertinya situasi kita tidak cukup bagus," katanya sambil lirik-lirik sekitar.
"Kenapa?"
Amaara tetap mengepulkan asap rokok tanpa ekpresi. Masih tenang. Lalu mendengarkan baik-baik.
"Aku menemukan banyak wajah sama persis di sekitar sini. Paing, Mile, Mew, Nadech, bahkan mukamu sendiri ...." kata Joe sambil bisik-bisik. "Mereka berkeliaran di mana-mana. Dan generator listrik dijaga paling banyak orang. So, aku belum bisa mematikan saluran lampu untuk seluruh stadion ini."
"Oh ...." desah Amaara tetap santai-santai saja. "Terus? Apa ada kejanggalan lain?"
"Untungnya aku ingat kau tak memakai hoodie hitam hari ini. Jadi, sementara aman. Kau bisa kutemukan dengan mudah, tapi apa-apaan dengan wajah Paing Takhon? Mereka banyak sekali, Ra. Jadi menurutmu siapa yang asli? Mereka, atau justru yang menggunting pita adalah dirinya sendiri?"
Amaara pun membuang puntung rokoknya. Lalu menginjak benda itu di bawah sol sepatu. "Siapa pun yang berada di karpet merah, menurutku makan saja jebakannya." Dia bilang, "Karena begitu kita menimbulkan kepanikan. Aku yakin ... mereka akan mulai bertindak secara acak. Dan "Si Asli" bisa jadi kabur, balas hajar, atau memperhatikan kita di suatu tempat saat acaranya hancur." (***)