Pada sebuah tebing yang tinggi, sepasang kaki indah milik Hera menjejak rerumputan berwarna biru. Ya, biru! Sang dewi serta-merta terkejut melihat pemandangan di sekitarnya. Betapa tidak, ia berada di dunia di mana semua persepsinya tentang bentuk dan warna sama sekali dimentahkan. Hera mengucek kedua matanya lalu kembali mengamati sekitar tempatnya berada.
Ketika ia menengadah, Hera melihat langit berwarna jingga membentang luas tanpa sedikitpun warna lain menodai. Di hadapannya, menjulang dinding alam berupa tebing bebatuan berwarna merah muda. Tak jauh dari tempat Hera berdiri, terdapat banyak benda menyerupai akar kuning besar yang saling berpilin dan melingkar seperti jalinan rambut ikal. Sang dewi merasa pusing dan mual oleh semua warna cerah yang mengelilinginya.
Dengan cepat ia menatap kedua lengannya. Betapa leganya Hera setelah mengetahui bahwa kulitnya masih putih bersih seperti sebelumnya. Rambutnya pun masih berwarna coklat gelap seperti seharusnya. Hera menyimpulkan bahwa masalah bukan berasal dari penglihatannya. Sang dewi tak suka dengan tempat yang terlalu terang dan mencolok itu. Apollo atau Iris mungkin akan senang tinggal di sana, tapi tidak dengan Hera.
Tiba-tiba ia merasakan bahaya dari arah belakangnya. Dengan sigap, Hera segera membalikkan badan dan mengibaskan tangan. Ia hendak membuat perisai pelindung dengan kekuatan sihirnya. Namun, betapa terkejutnya Hera saat mendapati kekuatannya hilang sama sekali! Tak ada waktu untuk berpikir bagi sang dewi. Sebilah tombak meluncur cepat ke arahnya tanpa bisa ia hentikan!
Naluri menuntun lengan Hera untuk menghalangi laju tombak itu. Keberuntungan masih berpihak padanya karena ujung tombak itu ternyata menghantam tepat pada alat buatan Hephaestus yang terbuat dari emas. Meski lolos dari maut, benturan yang keras membuat telapak tangan hingga bahu sang dewi terasa pegal. Matanya mendelik ke arah datangnya tombak yang telah tergeletak di atas rumput.
"Siapa yang berani menyerang ratu Olympus?"
Pertanyaan lantang Hera dijawab dengan raungan serempak dari makhluk-makhluk berkulit hijau yang melesat keluar dari sela-sela ratusan akar kuning besar yang berpilin di hadapan sang dewi. Saking banyaknya jumlah makhluk-makhluk itu, mereka terlihat seperti gelombang ombak berwarna hijau. Mereka memacu kecepatan dengan keenam kaki mereka yang terlihat seperti kaki kumbang. Keempat tangan masing-masing makhluk tersebut menggenggam tombak dan parang. Dan tatapan ketiga mata di atas mulut penuh taring mereka terpusat pada tubuh Hera!
Jarak yang cukup jauh memberi Hera tiga puluh detik untuk bertindak. Dengan gerakan tangan, sang dewi berusaha menghempaskan semua makhluk itu. Tapi kekuatannya sama sekali lenyap tak bersisa. Hera yang panik melihat tombak-tombak mulai meluncur ke arahnya, tak punya pilihan selain menekan tombol pada alat buatan Hephaestus. Tapi tombak yang pertama rupanya telah merusak permukaan alat tersebut hingga penyok.
Hera kehabisan waktu. Dengan frustasi, ia memukul-mukul tombol pada alat tersebut dengan telapak tangannya. Tanpa kekuatan, dewa dan dewi Olympus tak ubahnya seperti manusia biasa. Tanpa kekuatan, keabadian bisa diakhiri oleh luka yang fatal. Hera bisa mati oleh tombak-tombak yang melesat semakin dekat ke arahnya. Menolak mati, Hera memukul alat tersebut sekuat tenaga hingga akhirnya memendarkan cahaya putih yang kemudian menelan seluruh tubuhnya dalam sekejap. Hera menghilang tepat sesaat sebelum ratusan tombak menancap pada rumput tempatnya berdiri.
Sehabis alat itu rusak oleh tombak, perjalanan melintasi celah antar dimensi benar-benar tidak menyenangkan. Hera berada dalam kegelapan yang sangat pekat hingga ia bahkan tak bisa melihat telapak tangannya sendiri. Sang dewi tak bisa lagi membedakan bila posisi tubuhnya masih berdiri atau sedang berbaring. Kakinya yang tak menyentuh apapun membuat Hera semakin tak tahu bila ia sedang jatuh atau melayang. Tak ada sedikitpun hembusan angin. Semuanya gelap dan hampa.
Entah berapa lama Hera mempertanyakan keberadaannya yang seolah berada di antara hidup dan mati. Setelah sebelumnya mengutuki Hephaestus dan alat buatannya, logika Hera menuntunnya pada kesimpulan bahwa kerusakan pada alat tersebut adalah penyebab apa yang ia alami. Dan, semuanya berawal dari keputusannya untuk meninggalkan Olympus. Hera tak punya siapapun untuk disalahkan selain dirinya sendiri.
Setitik cahaya menyilaukan tampak mendekat dari arah kaki sang dewi. Dengan cepat titik cahaya itu membesar dan membungkus sekujur tubuhnya. Hera merasa seakan sedang digelitiki ribuan semut yang berjalan pada seluruh permukaan kulitnya. Sementara itu, cahaya yang semakin menyilaukan membuat ratu Olympus tersebut memejamkan mata. Hera yang tak tahan dengan sensasi geli yang ia rasakan baru saja merekahkan bibirnya untuk berteriak ketika tiba-tiba semuanya berakhir begitu saja.
Sepasang kaki indah sang dewi menjejak permukaan keras. Terpaan angin semilir terasa membelai rambut panjangnya. Tubuhnya terasa berat seperti saat ia mengambil wujud manusia untuk membuntuti Zeus di wilayah kekuasaan Olympus. Berbagai suara bising terasa memekakkan telinga setelah sekian lama terbiasa dengan kesenyapan. Hera perlahan membuka mata. Betapa bingungnya perempuan itu menatap pemandangan di sekelilingnya. Ternyata ia sedang berada di sebuah lorong sempit dengan bangunan menyerupai rumah yang berderet di sisi kiri dan kanannya.
Hera memberanikan diri untuk meraba kawat besi besar yang dibengkokkan dan disusun membentuk pagar yang membatasi rumah-rumah itu dengan jalan setapak. Ia juga meraba permukaan salah satu rumah di sana lalu meraba jalan yang dipijaknya. Dunia itu telah menguasai teknologi untuk mencairkan batu dan mengeraskannya hingga bisa mereka bentuk. Hera juga terkesima saat melihat bahwa semua rumah di tempat itu telah menggunakan kaca, benda yang masih sangat jarang untuk digunakan bahkan pada istana raja-raja di Yunani.
Kegelapan malam di tempat itu tak terasa mencekam karena setiap rumah memiliki benda yang memancarkan cahaya pada langit-langit mereka. Hera mencoba untuk melayang ke arah salah satu benda bersinar itu. Namun, seperti sebelumnya, ia tak memiliki kekuatan sihir sama sekali. Tanpa tujuan dan cara untuk pulang, Hera memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak tersebut. Ia merasa penasaran dengan cahaya terang yang bergerak-gerak di ujung jalan tersebut. Bila itu api, pasti ada makhluk hidup di dekatnya.
Hera hampir terjatuh saat ia melompat mundur karena terkejut melihat sesuatu melesat cepat beberapa langkah di hadapannya. Mata binatang hitam itu menyorotkan cahaya sambil menggeram mengerikan. Belum pulih rasa kaget sang dewi, binatang-binatang lainnya ikut melesat mengikuti binatang tadi. Bentuk tubuh mereka berbeda-beda tapi tampak seperti memiliki cangkang keras yang mengkilap. Dari semua binatang yang lewat, Hera memperhatikan kalau binatang bermata satu adalah yang paling cepat. Mungkin karena tubuh mereka lebih kecil dan ramping dari binatang bermata dua.
Sadar dirinya tak memiliki kekuatan, ia langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Tak ada lagi rumah di dekatnya. Di sebelah kiri dan kanan sang dewi hanya ada dinding dari batu yang dibentuk setelah dicairkan. Bila ia berlari, binatang-binatang itu mungkin akan menangkap gerakannya. Beruntung, Hera menemukan celah pintu yang berada beberapa langkah di depan. Tanpa menimbulkan suara dan tanpa membuat gerakan yang dapat memancing perhatian makhluk-makhluk asing bermata terang tadi, Hera bergerak menuju celah tersebut dengan tubuh menempel ke dinding.
Tinggal selangkah lagi menuju celah pintu yang terbuka itu, Hera dikagetkan dengan kemunculan sesosok makhluk tinggi berpakaian hitam dan putih dari dalamnya. Makhluk itu menatap Hera dengan sama terkejutnya. Meski mematung karena terkesima, logika Hera mengamati wujud makhluk di depannya. Dari sudut manapun, makhluk itu sama seperti manusia. Hanya sedikit karakteristik seperti warna kulit, bentuk hidung dan warna mata saja yang berbeda dengan manusia di sekitar Olympus. Tapi makhluk itu sangat tinggi. Bila Hera mengambil wujud manusia untuk mengunjungi kuilnya, tinggi manusia tak ada yang melebihi dadanya. Namun di hadapan makhluk itu, Hera hanya setinggi bahunya saja!