Pukul setengah enam pagi, Hera sudah mengelap meja serta menata berbagai peralatan makan dan minum di atasnya. Setelah kedelapan meja kayu di ruangan itu rapi dan bersih, ia merapikan empat kursi kayu yang mengelilingi setiap meja tersebut. Sambil mengusap peluh dengan punggung tangannya, Hera kemudian menata berbagai peralatan serta perlengkapan di counter barista.
"Kusangka kau akan merengek minta pulang setelah bekerja bersamaku."
Sebuah suara berat membuat Hera memutar badannya. Seorang lelaki tinggi berdiri di hadapannya. Ia tersenyum pada Hera.
"Kau terlalu meremehkan aku, Eggy!" Hera menunjuk hidungnya sendiri lalu mencibir ke arah pemuda itu.
Eggy tertawa mendapat reaksi seperti itu dari Hera. Dengan gemas, ia hendak mengacak-acak rambut perempuan itu. Tapi Hera dengan cepat menghindar. Terakhir kali ia bersentuhan dengan Eggy, jiwa dan raga Hera berpisah. Ia tak mau dianggap pingsan lagi oleh lelaki yang telah menolongnya tersebut. Bisa-bisa, Eggy memaksa Hera untuk pergi melapor ke polisi.
Di lain pihak, Eggy merasa terkesan oleh Hera yang sama sekali tak membiarkan bahkan ujung jari kelingking sekalipun untuk bersentuhan dengannya. Bukannya Eggy ingin menyentuh Hera, ia hanya menilai sikap perempuan itu adalah wujud dari kesetiaan seorang istri pada suaminya. Sayang sekali, suami Hera malah menyia-nyiakan perempuan sebaik dan secantik istrinya.
Dengan hari itu, genap satu bulan sudah Hera tinggal bersama Eggy dalam rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut. Bagian depan rumah lelaki itu adalah kedai kopi yang dikelolanya seorang diri. Hera ternyata berada di bagian belakangnya saat pertama kali bertemu dengan Eggy. Hanya ada satu kamar untuk beristirahat, toilet, garasi untuk motor dan gudang persediaan di sana. Setelah Hera menempati kamar tidur satu-satunya tersebut, Eggy merombak gudang persediaan hingga merangkap kamar untuk dirinya sendiri.
Hari pertama Hera habiskan dengan melamun dan membiasakan diri dengan segala perubahan di sekelilingnya. Sementara Eggy mengira bahwa perempuan itu sedang beradaptasi dengan perubahan dari gaya hidup kelas elit menjadi kelas pekerja, Hera sebetulnya sedang berusaha memahami bagaimana menjadi manusia biasa. Meski tahu apa yang dibutuhkan manusia untuk hidup, ia masih kesulitan untuk menerimanya sebagai bagian dari kehidupan fana yang akan ia jalani.
Eggy tidak memberi kesempatan berleha-leha dan manja untuk Hera. Di hari kedua, lelaki itu segera mengajarkan sang dewi bagaimana cara bekerja sebagai seorang pramusaji di kedainya. Eggy sebetulnya tidak berharap banyak pada perempuan yang tampak terbiasa dilayani alih-alih melayani itu. Tapi semangat belajar Hera membuat Eggy takjub. Perempuan yang terlihat seperti baru berusia dua puluh tiga tahun itu bahkan tak merasa malu mengenakan celana basket dan kaos oblong kebesaran yang dipinjamkan Eggy untuk bekerja.
Seperti manusia pada umumnya, beberapa hari saat ia mulai bekerja, Hera tak luput dari berbagai kesalahan. Mulai dari gerakan yang terlalu lambat, salah memberikan pesanan, tersandung lalu menumpahkan pesanan hingga memecahkan gelas saat mencucinya. Namun yang membuat Eggy kagum, Hera tidak putus asa. Ia memang terlihat kesal pada dirinya sendiri. Tapi Hera selalu berusaha memperbaiki cara kerjanya hingga tak pernah lagi melakukan kesalahan yang sama.
Setelah tiga minggu, Hera menjadi pramusaji yang tak hanya dapat diandalkan tapi juga benar-benar ramah pada pelanggan. Sebelum Hera datang, kedai kopi milik Eggy yang diberi nama Moliendo Cafe sebagian besar pengunjungnya adalah perempuan dari kisaran remaja hingga paruh baya. Mereka datang bukan hanya untuk kopi racikan Eggy. Tapi juga untuk bertemu dan berbicara dengan lelaki yang terkenal tampan dan ramah tersebut. Setelah Hera bekerja di sana, jumlah pengunjung pria dengan cepat meningkat luar biasa!
Pukul enam pagi, kedai mulai dibuka. Eggy dan Hera dengan cekatan melayani para karyawan yang membeli kopi dan menu sarapan seperti toast, croissant atau bagel untuk mereka bawa. Selain pagi hari, titik puncak kesibukan Moliendo Cafe ada pada jam makan siang dan jam pulang kerja di sore hari. Para pria membeli pesanan mereka sekaligus mendapatkan senyuman manis dari Hera sementara para wanita mendapatkannya dari Eggy. Moliendo Cafe tutup pada pukul sepuluh malam.
"Kau belum makan malam, Hera!" Eggy mengingatkan seraya menutup rolling door.
"Nanti saja," ujar Hera. "Aku mau mandi dulu."
"Jangan dulu mandi bila tubuhmu masih berkeringat! Sudah berapa kali aku memberitahumu? Nanti kau masuk angin!"
"Aku tak akan berkeringat lagi setelah membereskan counter."
Eggy tersenyum kalah.
"Kau ini perempuan. Jangan bekerja terlalu keras. Kau akan melahirkan dan membesarkan anak-anakmu nanti. Dan mereka lebih berhak mendapatkan tenaga, pikiran dan kasih sayang daripada pekerjaanmu."
Hera terhenyak mendengar penuturan Eggy. Bahkan Zeus tak pernah sekalipun memedulikannya seperti itu. Ia memang bukan manusia. Anak-anak Hera tidak mengalami fase pertumbuhan seperti halnya anak manusia. Tapi perhatian seperti yang diberikan Eggy terasa sangat berharga bagi seorang perempuan sekaligus ibu seperti dirinya, manusia atau dewi sekalipun!
"Maaf, apa aku salah bicara?"
"Ah! Tidak!" Hera tersadar dari lamunannya. "Aku hanya suka sekali dengan pekerjaan yang kau berikan. Aku merasa hidup. Kepuasan yang kurasakan saat melihat senyuman pembeli benar-benar membuatku bahagia! Aku juga makan lebih lahap dan tidur lebih nyenyak!"
"Manusia memerlukan tiga hal dalam hidupnya. Bekerja, makan dan tidur. Bila yang pertama tercukupi, yang lainnya akan terasa lebih nyaman."
Eggy berjalan ke arah counter setelah selesai membalikkan semua kursi dan menaruhnya di atas meja-meja di kedai itu.
"Satu lagi." Ia mengambil sebuah amplop dari dalam laci kasir lalu menyerahkannya pada Hera. "Ini adalah hasil kerja kerasmu untuk satu bulan kemarin."
"Apa ini?" tanya Hera seraya membuka amplop tersebut. "Uang? Aku tak bekerja untuk imbalan, Eggy!"
Pemuda itu tertawa mendengarnya.
"Bekerja tanpa mengharapkan imbalan itu namanya menolong, Hera. Tapi bekerja dengan aturan dan dalam waktu yang ditentukan harus memiliki timbal balik yang saling menguntungkan."
"Untuk apa uang sebanyak ini?"
"Kau bisa mengumpulkannya untuk membeli tiket pesawat ke Yunani. Tapi untuk sekarang sih, sebaiknya kau gunakan uang itu untuk membeli pakaian dan segala kebutuhanmu. Aku memberi lebih dari seharusnya karena kau selalu bekerja lebih dari batas waktu yang seharusnya."
Hera menatap Eggy penuh keharuan. Ia merasa sangat dihargai oleh apa yang pemuda itu berikan. Uang memang tak pernah berguna untuk sosok dewi sepertinya. Tapi kenyataan bahwa Eggy tidak memanfaatkan tenaga dan pikiran Hera secara cuma-cuma telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam di hatinya.
"Kalau aku punya kekuatan dewi Olympus, aku akan mengangkatmu menjadi salah satu dewa."
Eggy menatap Hera yang berkata dengan ekspresi penuh kesungguhan lalu tertawa terbahak-bahak.
"Ada-ada saja kau, Hera!"
Hera yang menyadari bahwa dirinya mungkin terdengar sangat bodoh karena apa yang ia ucapkan tadi hanya bisa tersenyum jengah dengan wajah merah padam yang terasa panas.
"Aku merasa sangat tersanjung. Tapi kalau aku ada di dunia dewa dan dewi, mungkin aku akan menjadi monster yang dimusuhi mereka semua."
"Apa?" Hera heran dengan ucapan Eggy. "Mana mungkin manusia baik sepertimu menjadi monster!"
"Siapa tahu? Lagipula aku merasa lebih keren menjadi monster raksasa."
Hera ingin mendebat, tapi Eggy menyuruhnya untuk segera mandi. Perempuan itu terpaksa menahan kata-kata yang ingin ia keluarkan hingga mereka duduk bersama kembali di salah satu meja kedai yang difungsikan sebagai meja makan oleh Eggy. Berbeda dengan penampilannya saat bekerja, rambut Hera yang panjang dan tebal dibiarkan terurai hingga pinggang. Warna hitam legam rambut itu membuat kulitnya yang putih semakin bersinar.
"Kenapa kau berpikir bahwa menjadi monster itu keren?" tanya Hera setelah menghabiskan sepiring nasi goreng yang dibuatkan pemuda itu.
"Kau masih memikirkan itu?" Eggy menatap Hera tak percaya. "Lebih baik kau pikirkan apa saja yang kau butuhkan untuk kau beli dengan gajimu.
"Aku tak tahu," ujar Hera seraya mengangkat pundaknya. "Kurasa tak ada lagi yang kubutuhkan. Kau sudah menyediakan semuanya untukku."
Eggy menatap Hera untuk beberapa saat. Laki-laki itu tampak memikirkan sesuatu.
"Bagaimana kalau besok kita libur? Aku akan mengantarmu ke mall untuk potong rambut sekalian jalan-jalan. Siapa tahu ada barang yang menarik perhatianmu."
"Kenapa aku harus potong rambut?"
"Karawang itu panas, Hera. Apa kau merasa tidak nyaman dengan rambutmu yang sangat panjang itu?"
"Tidak. Aku baik-baik saja."
Eggy tersenyum mendengar jawaban Hera yang apa adanya.
"Apa... apa kau tidak suka melihat rambutku?" tanya perempuan itu.
"Aku hanya khawatir kau merasa tak nyaman bekerja hingga berkeringat karena rambut panjangmu. Tapi bila kau memang merasa nyaman, aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula aku suka rambutmu."
Hera merasakan hawa panas menjalari tubuh hingga wajahnya. Hanya dengan kata-kata, Eggy bisa mempercepat detak jantung dan peredaran darah perempuan itu. Hera tak pernah merasa seperti demikian saat berbicara dengan laki-laki manapun. Baik itu dengan dewa maupun manusia yang ditemuinya di Yunani atau para pembeli yang berkunjung ke kedai.
"Basíleia...."
Seluruh tubuh Hera terasa kaku ketika ia mendengar bisikan samar yang menyebut gelarnya. Punggungnya terasa dilapisi oleh es. Dengan kecemasan tampak jelas di wajahnya, Hera menoleh ke sana kemari dalam ruangan yang telah tertutup oleh rolling door itu. Ia tak bisa melihat wujud makhluk yang memanggil gelarnya tersebut. Ia bahkan tak bisa menebak apakah suara itu adalah suara laki-laki atau perempuan. Suara itu terdengar parau, kering dan suram seperti desahan angin meniup dedaunan kering di musim gugur.
"Ada apa?" tanya Eggy yang menyadari perubahan sikap perempuan itu.
"Apa kau mendengarnya?"
"Aku tak mendengar apa-apa selain suara knalpot kendaraan yang lewat."
"Ada yang memanggilku!"
Tanpa berkata apa-apa, Eggy langsung beranjak menuju pintu masuk kedai dan membukanya. Ia kemudian berjongkok, membuka kunci gembok dan menaikkan rolling door. Hera mengikuti Eggy di belakangnya. Ia melongokkan kepala dan mengamati trotoar yang lengang di malam hari. Siapapun atau apapun itu, ia telah pergi tanpa menampakkan diri pada Hera yang tak sadar telah memegangi lengan Eggy dengan kuat dalam kecemasannya.