Hera masih tak bergerak di hadapan makhluk menyerupai manusia yang masih menatapnya dengan bola mata hitam bak batu onyx. Sang dewi merasa sesuatu memukul-mukul dari dalam dadanya. Tubuhnya seakan kaku dan lidahnya kelu. Seperti inikah rasanya bila manusia dicekam ketakutan? Menyedihkan sekali!
Tak ada waktu untuk terdiam seperti patung tak berguna! Binatang-binatang besar itu bisa kembali kapan saja! Meski kekuatan sihirnya hilang, Hera memiliki pengalaman berabad-abad dalam seni perang. Satu makhluk menyerupai manusia tinggi akan lebih mudah dikalahkan ketimbang beberapa binatang besar bertubuh keras. Hera serta-merta mendorong tubuh makhluk itu dan memaksanya kembali ke dalam.
"Siapa kau?" makhluk tersebut bertanya dengan suara berat laki-laki seraya memegangi kedua tangan Hera.
Saat kulit mereka bersentuhan, sang dewi merasa seakan disambar petir Zeus. Ia merasa keberadaannya dirobek menjadi dua. Sebuah kekuatan luar biasa yang menariknya dari dua arah berlawanan benar-benar membuatnya tidak nyaman. Tapi anehnya, Hera tidak merasa kesakitan. Untuk pertama kalinya, sang dewi mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Setelah semuanya berakhir, ia melihat sesosok perempuan terkulai lemas di hadapan makhluk itu.
Tunggu! Perempuan itu memakai tunik dan stola miliknya! Bahkan jalinan rambutnya pun sama persis dengan dirinya. Tapi kulit dan karakteristik wajahnya berbeda dengan apa yang dilihat Hera saat bercermin. Perempuan cantik itu terlihat masih muda dan seperti berasal dari Argyre. Tapi, dari mana ia datang? Bukankah tadi hanya ada dirinya dan makhluk laki-laki itu di sana? Sebuah benda yang jatuh dari genggaman perempuan tersebut membuat kedua mata Hera terbelalak kaget. Benda itu adalah alat buatan Hephaestus!
Hera melayang mendekati perempuan yang dibopong makhluk laki-laki tadi ke dalam rumahnya. Melayang? Keheranan, sang dewi menatap kedua kakinya yang sama sekali tidak menjejak lantai. Rupanya ia telah kembali ke salah satu wujudnya sebagai dewi Olympus. Dengan bersemangat Hera segera mencoba kekuatan sihirnya. Namun segala cara yang dilakukannya sia-sia. Meski tak lagi terkekang jasad yang lemah, kekuatan Hera tidak kembali seperti sediakala. Ia tak ubahnya seperti arwah yang bergentayangan menunggu giliran untuk menyeberangi sungai Styx.
Setidaknya ia bisa mengamati dunia baru di sekitarnya dengan leluasa. Makhluk laki-laki itu sama sekali tak menyadari kehadiran Hera tepat di depannya. Ia terus membopong jasad sang dewi ke kamar tidur.
"Hei! Kenapa kau membawa tubuhku ke kamar tidur?"
Dengan marah, Hera menampar pipi pemuda itu. Tapi tanpa jasad, telapak tangan sang dewi seakan menembus kabut. Ia sama sekali tak bisa menyentuh laki-laki itu.
"Awas kalau kau berniat jahat!"
Di luar dugaan Hera, laki-laki itu menyelimuti tubuh jasadnya. Ia memperlakukan tubuh perempuan itu dengan lembut dan hati-hati.
"Bangunlah!" ucap laki-laki itu seraya mengusap wajah jasad Hera dengan kain yang dibasahi air. "Bagaimana aku bisa membantumu bila kau pingsan seperti ini?"
Hera menatap laki-laki itu dengan takjub. Rupanya makhluk menyerupai manusia tinggi itu rupanya memiliki hati yang baik. Kekuatan sihir sang dewi memang hilang. Tapi ia beruntung bahwa kemampuan mempelajari bahasa asingnya masih tetap ada. Hera mendekat ke arah laki-laki yang mengeluarkan sebuah kotak kecil dan tipis dari dalam sakunya. Ia terkejut manakala kotak itu mengeluarkan cahaya setelah diusap jempol laki-laki itu.
"Apa kau memiliki kekuatan dewa?"
Tentu saja laki-laki itu tidak menjawab, ia tampak serius membaca berbagai tulisan dan gambar yang ada di dalam benda tersebut. Hera benar-benar terkesan dengan kekuatan laki-laki itu. Bermacam makhluk kecil tampak hidup dalam benda yang hanya sedikit lebih besar dari telapak tangannya. Hera ikut membaca tulisan-tulisan pada benda itu. Pembunuhan, pemerkosaan, orang hilang... ah, rupanya lelaki itu sedang membaca informasi dari kotak tipis menyala tersebut.
"Tidak ada berita orang hilang yang sesuai dengan ciri-ciri tubuhmu." Manusia itu kembali mengusap wajah jasad Hera dengan air. "Bangunlah! Kau akan membuatku berada dalam masalah jika terus pingsan!"
Setelah beberapa saat membaca informasi-informasi itu, sebuah ide tiba-tiba muncul dalam kepala Hera. Ia akan tinggal bersama makhluk baik hati di hadapannya. Dan, Hera tahu alasan yang akan membuat laki-laki itu menerima permintaannya. Tinggal menemukan cara untuk kembali ke dalam jasad gadis cantik yang tergolek lemah di atas ranjang. Meski menyenangkan, menjalani hari-hari sebagai makhluk yang tak terlihat tanpa ada teman untuk berbicara tidaklah menyenangkan. Hera tahu itu.
Upaya pertama yang dilakukan sang dewi adalah menyentuh kembali laki-laki itu. Tapi, seperti saat mencoba menamparnya tadi, tangannya malah menembus tubuh kekar laki-laki di hadapannya. Selagi Hera menusuk-nusukkan jari telunjuknya ke setiap bagian tubuh manusia itu, ia menyadari betapa tampan dan gagahnya laki-laki dengan karakter wajah khas Argyre tersebut. Hera hanya mendengar kisah tentang pulau perak tersebut dari penuturan Poseidon.
Dewa penguasa samudera itu bercerita bahwa jauh di daerah tempat berkuasanya para dewa dan dewi yang berbeda dengan mereka yang bertahta di Olympus, terletak sebuah pulau yang memakai perak sebagai perhiasan dan senjata. Di pulau itu, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang mahir menunggang kuda dan gajah. Raja dan para prajuritnya tidak bisa dilukai oleh senjata selain buatan kaum mereka. Mereka menyebut kerajaan mereka dengan nama Salakanagara dan Poseidon menyebut wilayah itu Argyre.
Laki-laki di hadapan Hera memiliki karakteristik yang sesuai dengan penjelasan Poseidon tentang ksatria Argyre. Hera dengan iseng menusukkan jari telunjuknya ke bola mata hitam dibawah alis tebal laki-laki itu. Hera mengamati rupa manusia di hadapannya dari dekat. Hidung mancung dan bibir tebal berpadu sempurna pada wajah beraut tegas lelaki itu. Rambut panjang ikalnya digulung dan diikat di atas belakang kepalanya. Dengan pinggiran dan bagian belakang bawah kepalanya yang dicukur habis, laki-laki itu terlihat seperti perpaduan ksatria Sparta dan petarung barbar dari utara.
Sang dewi menghela napas dan berpaling ke arah jasad yang tergolek di atas ranjang. Seperti itukah wujud Hera di dunia yang baru? Perempuan di hadapannya tampak sangat muda dan cantik. Tubuhnya ramping dengan dada dan pinggul yang dapat membuat Aphrodite merasa iri. Berbeda dengan wujud Hera di Olympus, warna rambut jasad perempuan itu hitam legam namun terjalin sama indahnya. Hera terkesan pada laki-laki yang tampak tidak tergoda oleh perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah merekah serta kedua mata berbulu lentik yang terpejam itu. Ia membelai paras jasadnya yang terlihat damai dalam ketidak sadarannya.
Saat jemarinya menyentuh pipi jasad itu, tiba-tiba Hera ditarik oleh tenaga yang luar biasa besar. Sang dewi merasa seakan dihisap pusaran air yang tak terlihat menuju ke dalam jasad perempuan tersebut. Tak hanya dikejutkan oleh kekuatan yang menariknya, kepala Hera juga seakan dijejali banyak informasi yang tak ia kenali dalam waktu yang sangat cepat. Hera merasa tubuhnya kembali berat. Kepalanya terasa sangat pening seperti sehabis dihantam sesuatu dengan kuat. Meski pandangannya tampak kabur, Hera tahu kalau ia sedang menatap langit-langit ketika membuka mata. Sesaat saja dan hanya sekilas ia menoleh ke arah manusia laki-laki di sebelahnya. Karena sang dewi yang merasa sangat lemah kembali menutup matanya.
Namun mendadak kedua mata indah itu membelalak. Hera segera bangkit dari tidurnya dan duduk. Ia menatap kedua tangannya lalu mengusap wajahnya. Ia juga menyapukan tatapan matanya ke sekeliling ruangan tempat ia berada.
"Apa kau baik-baik saja?"
Hera menoleh ke arah suara berat yang bertanya.
"Siapa kau?" tanya sang dewi. "Apa maumu?"
"Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu?"
"Dimana ini?"
"Kau berada di rumahku. Tadi kau tiba-tiba mendorongku lalu pingsan."
Hera menunduk seraya memegangi kepala dengan kedua tangannya. Serta-merta semuanya menjadi jelas. Informasi yang menjejali kepalanya membuat Hera tahu kalau ia sedang berada di sebuah kota bernama Karawang. Ia juga menyadari bahwa apa yang ia sangka binatang besar bermata menyala itu hanyalah kendaraan yang disebut mobil dan motor. Logikanya dengan cepat menyusun semua informasi untuk menciptakan sebuah alasan yang tepat.
"Apa yang perempuan sepertimu lakukan di daerah ini saat pagi buta?"
Hera mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki itu.
"Aku dibuang oleh suamiku."
"Dibuang atau lari? Kau tampak sangat ketakutan tadi."
"Dua-duanya," tukas Hera. "Aku melabrak suamiku yang selingkuh. Kemudian ia membawaku pulang. Kami bertengkar sepanjang perjalanan hingga akhirnya ia menendangku keluar dari mobil di tengah jalan."
Laki-laki itu terdiam menatap Hera penuh selidik.
"Kau tidak terlihat sedih."
"Kenapa aku harus sedih? Aku marah!"
"Di mana tempat tinggalmu? Biar aku mengantarmu pulang."
"Argos, Yunani."
Laki-laki itu membelalakkan matanya dengan mulut yang terbuka. Hera hampir tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. Ia juga merasa takjub dengan kebohongan yang sangat lancar mengalir dari mulutnya sendiri.
"Tapi kau berbicara bahasa indonesia dengan lancar!"
"Orang tuaku adalah orang Indonesia tapi mereka menjadi warga negara Yunani jauh sebelum aku lahir. Suamiku orang Yunani tapi ia memiliki bisnis di beberapa negara termasuk Indonesia."
"Coba kau bicara dalam bahasa Yunani."
Hera tersenyum. Dalam hati, ia menertawakan syarat mudah manusia lugu di hadapannya.
"Oi pleístoi ánthropoi kakoí."
Laki-laki itu tampak terkesan dengan apa yang diucapkan Hera.
"Apa artinya?"
"Kau menyuruhku berbicara bahasa yang tak kau pahami?" Hera tak mengerti jalan pikiran manusia di hadapannya. "Bagaimana kalau aku bicara asal-asalan?"
Lelaki itu tersenyum lebar. Hera terperangah melihat betapa tampannya manusia itu ketika ia tersenyum.
"Kau tidak akan selancar tadi bila bicara asal-asalan. Aku masih ingin tahu arti ucapanmu."
"Sebagian besar manusia itu jahat."
Laki-laki itu mengernyitkan dahi mendengar ucapan Hera.
"Itu berarti masih ada sebagian kecil manusia yang baik. Seperti para polisi yang akan kuhubungi—"
"Jangan hubungi polisi!" tukas Hera. "Aku sudah berjalan sangat jauh untuk mencapai tempat ini. Kumohon, ijinkan aku tinggal hingga suamiku sendiri yang mencari dan menemukan aku."
Laki-laki itu menatapnya dengan aneh. Meski demikian, tak ada sedikitpun kecurigaan dari sorot matanya.
"Namaku Hera. Aku tidak punya maksud jahat apapun terhadapmu. Aku hanya butuh tempat berlindung untuk sementara waktu."
Laki-laki itu tersenyum seraya berdiri. Hera merasa sangat kecil di hadapan laki-laki tinggi itu.
"Kalau begitu, aku akan menjadi satu dari sebagian kecil manusia yang masih baik." Laki-laki itu tersenyum. "Karawang tidak seperti Yunani. Dan kelas sosialku jauh berada di bawah kelasmu. Kau mungkin harus melakukan segalanya sendirian bila akan tinggal di sini," ujarnya seraya membalikkan badan.
"Siapa namamu?" tanya Hera sebelum laki-laki itu melangkah keluar kamar.
Lelaki itu membalikkan badannya lagi hingga menghadap Hera. Mata mereka bertemu. Dan, entah kenapa, sesungging senyuman di wajah lelaki tersebut membuat Hera merasa tenang dan aman.
"Orang-orang biasa memanggilku Eggy."