Salah satu kelemahan Terry adalah sifat malas. Walaupun begitu ia tidak pernah peduli dengan kemalasannya, malah menikmati hal itu. Terry bahkan mempunyai buku khusus yang berisi tentang kemalasannya. Sebuah buku tebal dengan cover setebal 2mm tampak kusam karena sering dgunakan sebagai bantal cadangan saat sedang belajar di mejanya. Cover buku itu penuh dengan motif yang aliran abstrak yang terbentuk secara alamiah, atau singkat kata penuh dengan bekas air liur Terry saat sedang tertidur. Jorok ya, tapi Terry tetap bangga dengan buku itu.
" Buku ini berisi tentang perjuangan diriku." Ucap Terry bangga, saat sepupunya bertanya padanya.
Terry memang tinggal bersama dengan keluarga pamannya. Paman Terry bernama Joni, ia menikah dengan tante Sisca, dan setelah 1 tahun menikah mereka dikaruniai anak cewek bernama Vivi. Umur Vivi dan Terry beda 3 tahun, jadi saat Terry baru pertama kali menginjakan kakinya di kuliah, Vivi ini juga pertama kalinya menginjakan kakinya di jenjang SMA. Menuruty Terry, Vivi orangnya cukup unik, wajahnya amit–amit, tapi berubah jadi imut – imut kalau sedang marah. Soalnya ada sandal melayang kalau Terry tidak merubah pendapatnya.
"Buku kumal begini kamu pakai sebagai diari?" tanya Vivi heran, "Ternyata kamu romantis juga Ter, nulis diari." Vivi memang memanggil Terry dengan nama tidak pakai embel - embel kak, mas, ataupun ko. Ini sebenarnya permintaan khusus dari Terry. Menurutnya kalau dipanggil dengan embel–embel itu membuat dia merasa tua, jadi kalau dipanggil langsung nama, ia merasa jadi awet muda.
"Hus siapa yang bilang itu buku diari, tapi ya memang aku tuh romantis, hanya belum dipraktekin," jawab Terry, kemudian ia buru–buru mengambil buku itu dari tangan Vivi sebelum Vivi membaca isinya. Maklum isi buku itu tentang berbagai kemalasan yang pernah Terry lakukan, takut gelar pemalas pindah tangan ke Vivi kalau Vivi membaca dan mempraktekan.
"Ini buku isinya tentang apa aja yang aku lakukan di hari malas Terry, namanya 'Terry's absolute laziness book',"kata Terry sambil mengangkat bukunya tinggi–tinggi serasa mengangkat medali penghargaan.
"Hari malas? Apalagi itu? " Tanya Vivi heran
" Hari dimana aku bermalas – malasan. Tapi kemalasan yang dilakukan berbeda – beda, ada malas makan, malas olahraga, malas bermain macam–macam. Nah buku ini adalah kumpulan kisah malas yang sudah kulakukan di hari malas itu," kata Terry tersenyum bangga sambil membuka–buka buku miliknya itu.
"Emang malas pun ada ketegorinya ya?"
"Oh tentu , nih aku ceritakan beberapa hari malas yang sudah pernah kulakukan, sebentar.... Ah ini Hari Malas kerjabakti."
"Hari malas kerja bakti? " tanya Vivi makin bingung saja.
"Yap! Ingat kan pas dekat hari libur kemerdekaan dulu, kompleks kita mengadakan kerja bakti berkelompok. Dan Pak Rt berjanji memberi hadiah untuk kelompok terbaik sebagai motivasi tambahan."
"Ya masih, kalau ga salah waktu itu kamu dapat hadiah sebagai kelompok terbaik bersama Indra tetangga kita," sahut Vivi mengingat–ingat kejadian yang dimaksud sepupunya.
"Ya betul, tapi saat itu aku sedang melakukan hari malas kerjabakti," kata Terry.
"Eh?! Kalau saat itu kamu malas, bagaimana bisa menang?"
"Nah begini ceritanya...," celotehTerry memulai cerita pertama tentang hari malasnya.
[Hari malas kerjabakti]
Hari ini Pak Rt mengajak warganya untuk kerja bakti. Benar–benar tidak menyenangkan padahal ini hari minggu. Bukannya aku tidak suka dengan kerja bakti, malah aku suka dengan kerja bakti, karena bisa dapat makan siang gratis yang enak. Tapi sialnya hari ini aku sudah menentukan sebagai hari malasku, dan topiknya adalah malas untuk bersih–bersih. Sebagai pemalas profesional pantang bagiku untuk membatalkan hari malas, dan pilihan untuk tidak mengikuti kerja bakti juga pelanggaran kode etik pemalas.
[ ]
Vivi langsung memotong
"Kode etik pemalas? Apalagi itu? Memangnya ada?"
"Ada donk, pemalas profesional itu ada kode etiknya .... Ciptaanku , nah kita teruskan cerita hari malas kerjabaktinya."
[ ]
Ya kode etik pemalas profesional, salah satu dari isi kode etik itu adalah tidak mengabaikan tugas walaupun sedang malas, dan harus menyelesaikan tugas itu tapi dengan kondisi malas. Dengan kode etik ini artinya aku tidak boleh melewati tugasku untuk mengikuti kerja bakti. Tapi bagaimana caranya? Saat sedang berpikir, secara kebetulan Indra lewat di depan rumah hendak membuang sampah. Indra adalah tetangga yang cinta kebersihan, dia adalah maniak dalam urusan bersih–bersih. Memang dewa malas selalu menolong umat pemalas dalam kesusahan, kalau aku satu kelompok dengan Indra pasti aku bisa untuk partisipasi dalam kerja bakti tapi tetap berpegang dengan kemalasanku. Segera aku memanggil Indra.
"Ndra, lagi asik bersih-bersih nih?" sapaku berbasa-basi.
"Iya donk," jawab Indra singkat.
"Eh Ndra tau tentang kerja bakti hari ini?" Tanyaku langsung to the point.
"Tentu, pasti mengasyikan,"balasnya.
"Nah kerja bakti itu kan berkelompok baru lancar, bagaimana kalau kita sekolompok, dan berusaha menjadi kelompok terbaik ?" ajakku, Indra tampak berpikir.
"Ayolah kita bakal jadi tim yang kompak. Aku tau kebiasaanmu membersihkan tidak suka dengan campur tangan orang lain. Nah aku tidak akan campur tangan dalam urusan pembersihannya, bagianku hanya sebagai asistenmu. Jadi seluruh pembersihan dalam kerja bakti ini kuserahkan padamu. Kamu tentu tidak keberatan ada asisten yang membantumu meneliti bagian–bagian yang masih kotor kan? Tentu tidak menyenangkan kalo terlewati," rayuku, kutatap Indra termakan omonganku.
"Ya kurasa kamu benar. Dengan bantuanmu,pasti aku bisa membersihkan dengan sempurna."
Sempurna! Sekarang tinggal pelaksanaanya. Tidak susah karena Indra sangat antusias dalam kerja bakti, tugasku ? ringan aku hanya berdiri disampingnya dan memberitahu Indra bagian–bagian yang masih belum ia bersihkan. Hasilnya? Kita menjadi kelompok terbaik , dia senang, aku senang. Dia mendapat kesenangan untuk bersih–bersih, dan aku mendapat kesenangan karena aku tetap bisa melaksanakan hari malasku. Ini namanya win win solution.
[ ]
"Gimana? Kisah yang menarik bukan? Hahaha, panggil aku Terry si Malas," kata Terry bangga sampai idungnya memanjang seperti pinokio.
"Ya Kak Terry, malas kok bangga amat. Lagian itu kan hanya satu kasus, pasti kasus lainya hari malas kak Terry hanya diisi dengan tidur-tiduran di dalam kamar," kata Vivi sambil memeluk guling Terry, tapi buru – buru ia buang berhubung bau ketek.
" Ihhh bau banget, pasti ga pernah dicuci sarung gulingnya," protes Vivi melempar guling itu ke Terry. Terry dengan gesti menangkap gulingnya.
"Baru juga 2 bulan."
"Ih Jorok."
"Biarin!" kata Terry sambil membalik–balik buku malasnya, "Ah ini salah satu hari malas yang menarik, Hari Malas bicara."
"Hmm, rasanya aku ingat. Itu kan kejadian minggu kemarin. Dipanggil, ditanya kamu hanya menjawab dengan bahasa isyarat, sampai–sampai mama kuatir takut kamu tiba–tiba bisu bagaimana bertanggung jawab sama tante."
"Hahaha....maaf bukan maksudku begitu, nah mau dengar apa aja yang terjadi dihari itu?" tawar Terry, Vivi mengangguk,"Ok begini kisahnya....."
[Hari Malas Bicara]
Hari ini tenggorokanku sakit sekali, pasti gara–gara kemarin kebanyakan teriak saat main sepak bola di PS3 sama teman-teman. Sial gara–gara terlalu semangat hasilnya begini deh. Akhirnya aku memutuskan hari ini sebagai hari malas dengan topik "Malas Bicara". Malas bicara gampang-gampang susah. Gampangnya? Ya kita tinggal berlagak bego, susahnya? Jadi bingung bagaimana menyatakan pendapat, atau meminta sesuatu sama orang lain. Pagi hari kulalui dengan baik, untuk menghadapi Vivi , dan tante Sisca cukup mudah.
"Nak Terry, sudah sarapan?"tanya Tante Sisca, aku menggeleng.
"Mau roti atau mie?"tanya tante lagi, aku hanya menunjuk bungkusan roti.
"Roti?"
Aku mengangguk.
Tante Sisca kelihatan bingung, tapi aku cuek, kuambil roti itu dan langsung berangkat kuliah sebelum ditanya aneh–aneh lagi. Sampai di pintu depan, ternyata Vivi sudah menghadang.
"Ter anterin Vivi sekolah donk." Dengan mantap aku menggelengkan kepala, masalah kelar. Aku langsung menuju motor bututku dan pergi ke kampus. Di kampus agak repot lagi. Aku dikenal paling ribut, dan sekarang mendadak diam seribu bahasa tentu semua pada heran. Tapi itu tidak membuat teman–teman bertanya–tanya. Mereka justru menikmatinya
"Kenapa Ter? Lagi sakit gigi? Sariawan? Kok diem aja," tanya Andre.
"Dunia terasa damai kalau kamu terus–terusan diam Ter, pertahankan," celetuk Jimmy.
Semua tertawa. Dasar Sial, malah di ejek. Mereka tidak terlalu memperdulikan diriku yang tidak berbicara, malah mereka enjoy banget. Dan parahnya mereka memanfaatkan itu dengan selalu menyindir, dan mengejek aku. Sialan awas nanti ya besok akan kubalas pikirku dalam hati.
Untunglah hal itu tidak berlangsung lama, karena kuliah hari ini hanya 1 mata kuliah. Baguslah aku tidak perlu menghadapi mereka, sekarang tinggal pulang ngendon di dalam kamar sampai hari esok tiba. Aku kira masalah di kampus sudah selesai tapi ternyata...
"Terry!" panggil suara keras dari belakang, suara itu milik Pak Benny dosen paling killer di jurusanku. Gawat ! Untuk yang satu ini tidak mungkin aku hanya pakai bahasa isyarat, bisa–bisa aku dikasih tugas tambahan. Ah untunglah otakku cukup cemerlang, aku tinggal membuka mulut berlaga berbicara saja, tapi tidak mengeluarkan suara. Mudah–mudahan Pak Benny tertipu.
"Terry bantu Bapak mengangkat buku–buku ini ke mobil Bapak." Aku mengangguk, dan segera mengangkat buku–buku tebal yang dibawa oleh Pak Benny.
"Untunglah kamu ada disini, buku-buku ini terlalu berat untuk aku mengangkat sendirian. Terima kasih ya," kata Pak Benny, aku menjawab dengan tanpa suara.
"Tidak masalah Pak, yang penting nilaiku dikash A ya," jawabku tentunya tanpa suara yang keluar dari mulutku.
Seperti yang kuduga Pak Benny tampak bingung, ia melihat mulutku terbuka seperti sedang berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Kamu bicara apa Terry?" tanya Pak Benny heran, kami berdua berjalan menuju parkiran khusus dosen.
"Tidak apa–apa Pak," jawabku tentunya tanpa suara.
"Terry kamu jangan mempermainkan saya ya," kata Pak Benny mulai tidak sabar.
"Benar Pak tidak ada apa–apa," jawabku tanpa suara, Pak Benny hanya menatapku dengan pandangan mata memicing melihat mulutku.
"Kamu bicara apa? Aku tidak bisa mendengar?"
"Tidak Masalah Pak, saya senang membantu Bapak," jawabku tanpa suara tapi kali ini aku membuat mimik seperti setengah berteriak. Pak Benny sepertinya menangkap ucapanku tanpa suara itu.
"Tidak masalah? Senang membantu saya ? begitu?"Aku mengangguk.
"Aduh apa ada masalah dengan telingaku ya? Aku tidak bisa mendengar suaramu dengan jelas Terry, Ah mungkin ini penyakit karena sudah terlalu tua. Beberapa hari lalu Istri dan anakku memanggil akupun tidak sadar. Sebaiknya aku periksa dokter saja. Ah kita sudah sampai, terima kasih ya Terry.
"Tidak masalah Pak," jawabku tanpa suara lagi.
"Ya ya aku masih tidak bisa mendengar dengan baik. Ah sebaiknya aku mendaftar ke dokter THT saat ini juga," kata Pak Benny masuk ke dalam mobilnya.
Aku hanya melambai-lambaikan tanganku . Fiuh masih terjaga hari malas berbicaranya. Dan untunglah setelah kejadian itu, tidak terjadi maslaah lain. Hari itu dapat kulewati dengan sama sekali tidak berbicara, yaa karena malas.
[ ]
"Hahaha kasihan dosenmu itu, Pak Benny," Vivi tertawa.
"Ya gak pa–pa lah, lagian dia memang sudah tua. Emang sudah semestinya sering–sering check up. Sapa tahu malah menolong dia lebih cepat tahu kalau ada penyakit gawat," balas Terry
"Ah gak seru. Malasmu itu biasa–biasa aja. Semua juga bisa melakukan," kata Vivi kemudian.
"Mau yang lain dari biasanya?"
"Iya donk, masa buku itu isinya hanya malas–malas biasa aja. Sudah umumlah," tantang Vivi.
Padahal dalam hatinya, Vivi merasa malas berbicara yang dilalui Terry sudah termasuk ga biasa. Tapi Vivi ingin mengetahui lagi sapa tahu ada hari malas yang lebih mustahil yang pernah dilakukan oleh Terry.
"Sebentar.... Nah ini dia yang paling luar biasa dari cacatan ku selama ini. Yakin mau dengar? Nanti kamu terkejut dan pingsan karena kaget."
"Halah." dengus Vivi meremehkan.
"Ok ini baru terjadi 2 hari lalu," kata Terry memulai ceritanya.
"Tunggu dulu, perasaan 2 hari lalu itu kamu justru sangat rajin deh. Bantu masak, nyuci, bahkan kamu menawarkan diri menyapu dan mengepel rumah. Kok bisa kamu bilang itu hari malas? Pasti salah hari tuh," potong Vivi cepat.
"Oh gak, 2 hari itu adalah hari malas, hanya topiknya yang sedikit berbeda."
" Apa topiknya? "
"Hari malas untuk bermalas–malasan !" terang Terry.
"Hari malas untuk bermalas–malasan ?"
"Yup, itu adalah hari malas dimana aku malas untuk bermalas–malasan jadi... hari itu seharian aku semangat bekerja ya hasilnya seperti itu. Aku bantu masak, bantu ngepel, bantu cuci, bantu sapu semuanya deh," kata Terry tersenyum memamerkan giginya yang kuning.
"Dasar kamu! Ada–ada aja hahaha," Vivi tertawa lagi.
"Bagaimana hari malas yang aneh bukan?"
"Iya deh, kuakuin. Tapi Ter, bukannya setiap hari selasa ini kamu mestinya kuliah jam 2 siang? Kok masih belum berangka kuliah? Ini kan sudah jam 2 lebih," tanya Vivi heran.
"Ya itu dia, setelah 2 hari lalu aku menguras tenaga buat melakukan hari malas untuk bermalas- malasan, jadinya kutetapkan lagi hari ini sebagai hari malas."
"Hari malas apa lagi? Emang ada hubungannya dengan kamu masih belum pergi kuliah."
"Tentu saja ada."
"Apa emangnya?" tanya Vivi heran.
"Hari ini adalah hari MALAS UNTUK KULIAH," jawab Terry santai