"Selamat pagi, duniaku. Inilah tempat baruku, di mana semua orang terlihat asing, dan acuh tak acuh. Suasana tempatnya lumayan asyik, nyaman, dan tenang. Harapanku, semoga mereka bisa membuatku betah dan nyaman berada di sini." Sari menghirup udara segar di tempat barunya, setelah ia pindah dari tempat yang tak terhitung ribuan kilo meter.
Hambawang, Bahaur, Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Iya, Sari dan keluarganya bersamaan pindah di perusahaan itu. Dia menatap orang-orang sekitarnya. Tampak ramai, sama-sama menciptakan canda gurau dengan memakai bahasa Jawa yang menurut Sari tidak asing di dengarnya.
"Lagi apa, Nak?" tanya Ibu Sari, menghampirinya. Ia sedang duduk santai di depan kemnya menikmati kebahagiaan dari orang sekitar.
"Itu, Buk. Mereka terlihat ceria sekali pagi ini," jawabnya seraya menatap orang-orang yang jauh di sana.
"Perlahan. Kamu belum kenal mereka, dan mereka pun masih menganggap kamu orang asing. Jangan terlalu iri dengan kebahagiaan orang lain," ujarnya menasihati.
"Cantik, kok. Ya kali dia janda."
"Eh, apaan. Masak iya, masih mungil gitu dibilang janda."
"Kalau ingin tahu lebih jelas, sekarang kita tanyakan langsung sama orangnya. Gimana?"
Gurauan orang-orang sekitar Sari, membuatnya tersinggung. Mereka yang lagi kepo-in Sari, dengan lantangnya mereka mengusik ketenangannya yang beberapa menit ia rasakan. Lebih tepatnya, sosok gadis mungil itu mereka ledek dengan kata 'Janda' yang membuatnya risi di dengarnya.
Tatapan gadis mungil tajam menuju orang-orang itu. Dia memperhatikan setiap kata yang terdengar dari masing-masing orang, kendatipun ia tidak terlalu mengerti bahasa mereka, bahasa Jawa.
'Sederhana, tapi mencolok penampilannya,' gumamnya, setelah ia melihat penampilan seorang lelaki yang terlihat sederhana, tapi membuat dia tertarik untuk mengenalinya.
'Tutur katanya pun tidak terlalu lantang seperti yang lain. Sikapnya, beda jauh dengan teman sebayanya yang pernah kuketahui di luar sana. Nama dia siapa?' lanjutnya. Ia dengan asyik memainkan pikirannya, penuh tanya-tanya tentang sosok lelaki muda yang berhasil menarik perhatiannya. 'Suatu saat aku pasti akan tahu tentangmu, lihat saja nanti!'
"Nak, sarapan dulu. Habis itu lanjut lagi." Suara itu mengagetkan Sari yang sedang melamun. Ibunya lebih dulu membubarkan angan-angannya tentang lelaki itu.
"Eh, iya Buk." Sari melangkah masuk ke dalam kem, ditemani rasa penasarannya yang masih belum terjawab, tentang sesosok yang berhasil memikat hatinya. Iya, karena dia masih belum mengenal siapa pun di tempat barunya.
'Cantik, mungil, tingkahnya seperti anak yang rajin.' Di seberang sana, terlihat Bima—pemuda asli Jawa—yang juga memperhatikan sikap Sari dalam diam. Namun, Bima sangat faham untuk menyembunyikan hal yang ia kagumi. Meskipun dengan keadaan tertawa cekikikan, tetapi ia punya rasa yang mendorongnya untuk bisa kenal dengan gadis mungil itu. Perasaan yang sama keluar dari keduanya.
"Nama dia, siapa?" tanyanya di sela-sela obrolan mereka.
"Cie … ada yang kepo dengan namanya," ledek teman sebayanya. Bima baru kali mempunyai rasa penasaran terhadap seorang perempuan. Padahal, sebelum-sebelumnya ia bersikap acuh tak acuh kalau bertemu dengan perempuan. Terlebih perempuan baru.
"Dih, apaan. Cuma nanya doang, kok." Orang-orang di sekitarnya tertawa lepas mendengar ucapannya. Terdengar aneh, tentang kepribadian Bima yang awal-awalnya memang terlihat sangat enggan menyapa perempuan, apalagi untuk mengetahui lebih jelas kepribadian tersebut.
Di awal pagi yang segar ini, mereka mencari sensasi dengan menciptakan lelucon yang mengarah pada orang-orang baru yang baru masuk ke perkebunan. Kebetulan, hari ini kerja panen sawit diliburkan, karena faktor jalan dan buah yang membeludak.
Selang beberapa menit, Bima melangkah masuk ke kamarnya meninggalkan mereka yang lagi asyik dengan obrolan paginya. Jelas, dengan penasaran yang sama, lelaki itu penuh tanya-tanya tentang gadis mungil yang sudah berhasil membuatnya terpesona dengan kesederhanaannya. Bima belum tahu jelas siapa gadis mungil itu dan dari mana ia berasal. Sembari masuk kem, ia bergelut dengan pikirannya sendiri yang dengan gigih mencari tahu tentangnya.
Tidak lama ia berada di dalam kem, batinnya terdorong untuk keluar, masih penasaran dengan keangggunan sikapnya. Akhirnya, ia memilih untuk pura-pura bergabung bersama temannya.
"Cie … penasaran, kan? Ngaku, loh!"
"Siapa juga yang penasaran! Aku juga tidak peduli siapa dia. Kenal saja, nggak." Ia berusaha menutupi semua penasarannya, meski dalam batinnya ia memang tertarik dengan keanggunan sikap dan gaya penampilannya yang cukup sederhana.
'Ah, sial. Sudah tidak ada gadis itu,' gerutu Bima dalam hatinya, kesal, setelah berusaha melirik ke tempat tadi yang diduduki gadis mungil itu.
PERTEMUAN (Bab2)
"Kamu tidak akan pernah tahu betapa sakitnya diperlakukan jutek seperti itu. Sementara aku, sosok yang sangat membutuhkan kasih sayang seseorang, sampai sekarang belum juga tercapai. Aku ingin membentak keras perlakuanmu yang acuh tak acuh itu, tapi aku sadar diri. Aku memang ditakdirkan hidup terlantar tanpa kasih sayang, yang membuat hidupku hancur, sehancur-hancurnya."
(Sari Dwi Mala)
"Nih," ucap Bima sembari melempar kaos tangan, tepat di hadapan Sari yang lagi ngutip berondolan (Biji sawit).
"Apaan, ini?" tanya Sari, pura-pura.
"Biji tomat! Sudah jelas itu kaos tangan, malah nanya. Bongol," ucap Bima jutek.
"Iya, maksudnya apa?"
"Pakailah. Supaya tanganmu tidak kotor, itu kan tanah basah. Jorok, jijik ih." dengan kejutekannya Bima memberi perhatian. Sari hanya tersenyum, mendapati seseorang yang ia anggap jutek masih mau peduli dengannya. "Terima kasih," lirihnya yang tanpa ada sepatah kata pun dari Bima.
Dengan peralatan pemanen sawit yang Bima bawa, ia terus melangkah seakan tidak peduli dengan Sari yang terus melirik langkah kaki Bima. Padahal, Sari sangat berharap dirinya bisa ngobrol lama dengan Bima. Namun, semua hanya khayalan. Sari tidak akan pernah membuat hati lelaki itu luluh. Apalagi dengan sikapnya yang sangat dingin. Kemudian Sari melanjutkan pekerjaannya, yang tanpa ia sadari ada perempuan paruh baya dari jawa yang memperhatikan perlakuan lelaki itu kepada Sari. Apalagi perempuan itu mendengar jelas kata kasar terhadapnya. Bongol.
"Iso sopan titik a mas? Bok yo sopan nang cah wedok kui, arek kui ijek anyar," katanya penuh pembelaan terhadap Sari.
(Bisa sopan dikit nggak mas? Tolonglah bersikap sopan sama cewek ini, dia masih baru)
"Bodoh."
Lagi, dengan sikapnya yang jutek lelaki itu acuh terhadapnya. Namun, dengan senyuman tipis Sari memakai kaos tangan dari Bima. Meskipun dengan cara yang kurang sopan, tapi hati Sari tetap sumringah dengan semua ini.
Perempuan paruh baya itu mendekati Sari, yang tak jauh dari tempatnya.
"Maafkan dia ya, Mbak Sari. Emang sikapnya tidak bisa dicerna," ucapnya sambil menyinyirkan kedua bibirnya.
"Tidak masalah kok, Tante. Aku sama dia kan belum kenal. Jadi, ya begitulah sikapnya," jawab Sari dengan senyuman tulus.
"Kalau Sari boleh tau, nama dia siapa? Tante sama dia satu kampung, ya?" kepo Sari menjadi.
"Enggak kok, mbak Sari. Kita beda Provinsi, tapi logat kita kebetulan sama, gitu. Nama dia BIMA ALDIYANSYAH," jelasnya.
"Oh. Kirain satu kampung, Tante."
Dalam hati Sari merasa puas, setelah ia tahu nama dari lelaki jutek itu. Meski begitu, tidak melunturkan niat Sari untuk bisa dekat dengan lelaki bernama Bima. Padahal, Bima sudah sangat keterlaluan sikapnya. Kenapa dia masih mengharapkannya? Kalau bukan bongol kata Bima, apa coba?
Gadis mungil itu terlalu lugu, kenapa dia tidak menghentikan rasa pesarannya terhadap lelaki jutek seperti Bima. Apakah dalam hatinya tersimpan sedikit rasa? Sehingga dengan perlakuan seperti itu, tekadnya masih belum hilang untuk bisa kenal dan dekat dengannya.
***
Sore hari hampir petang, semua karyawan sudah berada di kem-nya masing-masing. Kem yang mereka tempati mulai gemuruh seperti biasanya. Mereka saling bertukar cerita satu sama lain. Sedangkan Bima, tetap dengan kebiasaan yang sama. Tidak membuat dia terdorong untuk keluar berkumpul sama teman yang lain. Dia hanya menyibukkan dirinya bergelut di depan tungku, guna membuat cemilan, dan minuman hangatnya.
"INI TEH SARI ... WANGI." Dengan lantangnya ia menyodorkan teh hangat terhadap temannya yang lagi nongkrong di kem.
Teman yang mendengarnya merasa aneh, baru kali ini Bima melantangkan suaranya dengan kata itu. Padahal, sebelum-sebelumnya ia hanya perlahan menyajikan untuk temannya. Namun, mereka semua sedikitpun tidak memperpanjang pertanyaan. Mereka hanya menghidang sajian yang di siapkan Bima.
"Mas Bima. Dipanggil orang tua Sari, tuh." Suara itu membuat suasana kem Bima melongo. Perempuan dengan kulit aawo matang itu membubarkan semua rencana, yang awalnya mau berbagi cerita, kini terurungkan. Semuanya penuh tanya-tanya, dan tiada satu pun di antaranya yang sama mengenalinya.
Bima, dan temannya saling melirik satu sama lain. Ada yang aneh dengan semua ini. Padahal dari salah satu mereka tidak ada yang kenal dengan orang-orang baru.
"Kenapa harus aku? Ada perlu apa, katanya?" tanya Bima, mengerutkan keningnya tak masuk akal.
"Mana aku tau! Coba samperin, dan tanyakan langsung apa perlunya," ujar perempuan paruh baya itu dengan menyincingkan salah satu bahunya.
Tatapan aneh Bima terhadap temannya, tertepis. Mereka lebih mendorong Bima untuk memenuhi panggilan orang tua Sari. Kemudian Bima melangkah keluar, dengan perasaan yang tak karuan penuh akan pertanyaan dalam hatinya. Lelaki itu berjalan dengan tatapan datar, sembari menikmati sebatang rokok yang tak pernah lepas dari jari-jemarinya.
'Apa yang harus aku katakan soal tadi pagi? Padahal aku hanya ingin membuat dia nyaman! Apa mungkin sikapku yang membuat dia kurang nyaman? Sehingga dia mengadu sama orang tuanya. Ah, kacau.'