"Aku tahu kamu peduli keadaanku, tapi tidak dengan melukai orang lain hanya karenaku.
Sikap kasarmu di depanku, membuat aku semakin malu dekat denganmu. Aku bisa apa? Sementara, jiwaku yang lemah ini tidak mungkin bisa berdiri tanpa kasih sayangmu. Iya, hanya kamu yang bisa memberi kehangatan dalam hidupku.
Bukan karena aku tidak suka sikap kasarmu, hanya saja aku tidak mau kamu kenapa-kenapa hanya karena membela namaku. Karena aku sudah terbiasa dengan keadaan yang hampa ini, tapi dengan kehadiranmu membuat jiwaku kembali bersinar lagi."
(Sari Dwi Mala)
"Kak Bim. Apa benar, Kakak sudah tunangan?" tanya Sari yang duduk bersandingan dengan Bima di samping kolam ikan.
"Kepo!" jawabnya jutek.
"Ihh, Kak Bima. Aku serius ini. Plislah, jangan jutek gitu," rengehnya.
"Dengar mitos dari siapa? Kenapa sampai ke situ pertanyaannya?"
"Kata Tante yang biasa ngobrol sama Kakak. Katanya, bulan depan Kakak mau pulang."
"Mau percaya sama aku, apa dengan mitos itu?" tanya Bima menatap Sari.
"Kalau Kakak jujur sih, aku lebih percaya sama orangnya langsung."
"Semua itu mitos. Namun, niat kepulanganku mungkin bisa jadi," katanya sambil melempari kerikilan kecil ke dalam kolam. Sari beranjak berdiri, mengambil dedaunan hijau untuk menyibukkan dirinya. Dari belakang, Bima masih menatapnya, ikut berdiri berdekatan dengan Sari. Mereka berdua seakan merasa takut kehilangan. Apalagi setelah mendengar keadaan Sari yang tidak mungkin bisa jauh dari lelaki itu. Namun, Bima berusaha menenangkan keadaannya. Bukan hanya karena tanggung jawab dari orang tua Sari, tapi memang Bima seperti menyembunyikan perasaannya, yang sama sekali tidak bisa ditebak.
"Woy, bongol. Kamu bisa saja mencuri hati cewek itu. Ingat tunangan Lo yang di Jawa, selingkuh mulu." Suara itu mengagetkan keduanya. Bima langsung menoleh cepat, tepat dari asal suara itu. Bima sedikit kesal dan segera mengepalkan tangannya menuju orang yang berlalu dengan kendaraan roda duanya. Padahal, orang itu atasan daripada Bima. Namun, karena seringnya bercanda gurau, Bima dengan biasa menanggapi panggilan bongol dari atasan yang bernama Irwan.
Bima melirik Sari yang terus menunduk datar. Terlihat jelas kalau dia sedikit tersinggung, setelah mendengar lantang suara dari orang yang berlalu darinya.
"Makan mie di warung, yuk! Sambil minum es. Panas banget nih tenggorokan." Ajak Bima mencoba menghilangkan pikiran Sari yang melayang. Gadis mungil itu hanya mengangguk pelan. Sementara Bima berjalan mendahului dengan gaya seakan menyibukkan dirinya, mengambil ponsel dari kantong celananya.
Sesampainya di pertengahan jalan, Sari lari-lari kecil untuk bersejajar jalan dengan Bima.
"Kakak perokok, kan?" tanya Sari, sambil melirik kantong Bima yang tertampak bungkusan rokok.
"Mau mencalonkan menjadi polisi?"
Pertanyaan Bima menjadikan kening Sari mengkerut menatapnya. Karena, tanpa jawaban dari Bima, malah ia menanyakan hal yang sama sekali tidak nyambung.
"Apaan, Kak. Nggak dijawab, malah nanya yang enggak-nggak."
"Males ah, cerewet banget banyak pertanyaan."
Sari langsung menunduk, seakan apa yang ia tanyakan tidak lagi dihargai oleh lelaki yang bersikap dingin itu. Padahal, Sari belum tahu karakter Bima yang menjaga perasaan perempuan saat tercium bau asap rokok. Memang Bima perokok berat, tapi dia bisa menghargai derajat perempuan yang kebanyakan dari mereka tidak suka dengan terciumnya bau asap rokok. Dengan itu, Bima lebih memilih untuk menahannya.
"Cil. Mie rebus dua, ya. Sekalian dicampur telor, dan sedikit nasi," sapa Bima saat sudah sampai di warung seberang milik Acil Linda.
"Iya, sebentar."
"Sekalianlah es-nya dua, Cil. Rasa jeruk, ya."
"Tunggu sebentar ya, Bim."
Iya, di Daerah Kalimantan yang dikenal dengan sebutan Acil itu, yang kalau di Daerah Jawa itu dipanggil Mbak.
Setelah beberapa menit, Bima dan Sari disodorkan dua gelas es yang sudah dipesannya. Keduanya segera menyeruput minuman itu.
"Kamu tunggu di sini ya, Sar. Aku mau ke teman dulu, sekalian mau merokok di sana. Dari tadi nahan terus," ucap Bima seraya menepuk lengan Sari, pelan. Gadis mungil memancarkan senyum manisnya tepat di hadapan Bima. Ia menyanggupi Bima meninggalkannya sendiri di depan warung Acil Linda itu.
Sambil menunggu mi yang dipesannya, Sari memainkan sendok yang ada di depannya. Sari tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ia duduk sendiri di depan warung itu. Sementara di seberang sana, Bima dengan keramahannya bergurau cekikikan dengan teman yang ia kenal.
Jarum jam menunjukkan angka tiga, pertanda hari sudah sore. Keduanya kembali ke kem. Sedikit ada perubahan di pertengahan jalan saat mereka menuju ke kem. Mereka sudah memulai untuk canda gurau, meski keadaannya sedikit ada rasa malu dan canggung.
"Bim, Bim! Kalau sudah enak hidup Lo, lupa sama temannya. Pamit kek, atau apa gitu. Main ngilang aja," ucap Rizki sedikit kesal saat petukan dengan Bima.
"Bodo amat," ujarnya sambil merangkul Sari, tiba-tiba.
"Kampret. Baru tiga hari dia ada di sini, kamu main rangkul-rangkul aja. Bongol, bongol." Sari yang sedari tadi tersenyum tipis, tiba-tiba melunturkan senyumannya. Karena merasa kaget atas apa yang Bima lakukan padanya. Sari tersipu, dan langsung menundukkan tatapannya dari hadapan Rizki.
"Jangan-jangan, kalian melakukan kenikmatan ya, di sana."
Bugh!
Plak!
Bima langsung menendang keras Rizki, yang tidak bisa mengontrol ucapannya. Bima kesal atas sikap Rizki yang tidak bisa melihat karakter cewek yang di samping Bima. Maksud hati, Rizki hanya bercanda sama Bima. Akan tetapi, semua diterima dengan salah faham. Sementara itu,, Sari yang berada di samping Bima tidak mengalihkan tundukkannya melihat tindakan keras yang Bima lakukan terhadap Rizki, teman satu kemnya.
"Sejak kapan kamu bersikap kasar seperti ini, Bro? Padahal semua itu gurauan kita selama ini," ucap Rizki yang tergeletak di tanah.
"Sikap kamu berlebihan, Bro."
"Tidak separah ini, Bro. Selama aku bergurau sama kamu, sekeras apa pun sikapku. Baru kali ini kamu menendang keras badanku," jelas Rizki kecewa.
Sari yang melihat cek-cok dari keduanya, sedikit melangkah berusaha meninggalkan keduanya. Dia merasa malu, seakan keadaannya menuntut untuk tersinggung atas sikap Bima yang keras itu. Kendatipun ia faham, sikap pembelaan Bima terhadapnya. Sari tidak mau ikatan persahabatan keduanya rusak, hanya karena pembelaan Bima menjaga perasaan Sari.
Pemuda bernama Bima segera menyusulnya, ia takut kenapa-kenapa dengan sosok mungil itu. Sebelum ia menyusulnya, sempat melirik Rizki, tetapi ia enggan untuk peduli dan memilih untuk menyusul si mungil itu.
"Sar," panggilnya. Kemudian ia berusaha mengejarnya, yang jaraknya sudah beberapa meter darinya. "Tunggu, Sar," lanjutnya masing mengejarnya. Sama sekali tidak ada tanggapan dari gadis itu, ia tetap berjalan sedikit kecewa. 'Kalau tahu seperti ini jadinya, lebih baik aku sendiri saja,' batinnya.
Belum sampai di kem, terlihat sosok kecil, adik Sari, menyambutnya dari kejauhan. Kemudian, Feby mendekati keduanya yang jalannya beriringan.
"Buk. Itu, Kak Sari dari mana? Kok berjalan berduaan sama Om Bima!" tanyanya.
"Ibu yang menyuruh Om Bima. Kamu tau apa, Feby," jawabnya. Namun, tanpa basa-basi lagi, langsung memeluk keduanya secara bergantian.