Detak jantungnya berdebar semakin menjadi. Panas dingin yang menyelimuti tubuhnya, membuat salah tingkah saat ia sudah berhadapan langsung dengan orang tua gadis mungil itu, Sari.
"Iya Pak, Buk. Ada apa, ya?" tanyanya gugup.
"Kamu yang namanya Bima, kan?" tanya perempuan di hadapan Bima.
"Benar. Kenapa, Buk?" Suaranya mengecil. Tampak jelas kalau dia salting saat berhadapan dengan orang baru. Dia hanya menunduk dengan tatapan mendatar. Sedangkan orang tua Sari yang di hadapannya, terlihat sangat santai.
"Boleh minta tolong?" tanyanya. Pertanyaan yang membuat Bima nerveus. Bima dengan gugup ingin menikmati sebatang rokok yang masih terikat jari-jemarinya. Ia hanya mengusap pelipisnya kasar, karena salting.
"Kita masuk ke dalam," kata lelaki dengan kulit hitamnya, sembari mendahului masuk ke kemnya. Bima hanya mengekor ajakan orang tua Sari. Duduk bersejajar dengan wajah menunduk tersipu malu.
"Kamu kenal Sari anakku? Dia miskin kasih sayang, tidak banyak seseorang yang ingin menemaninya. Aku sebagai orang tuanya, menyayanginya. Aku mempercayai kamu untuk menemani anakku. Aku perhatikan kamu penuh dengan sikap yang peduli dan penyayang. Aku minta tolong ya, Bim." Bima mengerutkan keningnya, memperhatikan setiap kata dari Ibu Sari. Bima menunduk, seraya menggigit bibir atasnya. Tampak jelas kalau hati seorang lelaki itu penuh dengan rasa prihatinnya.
Hening suasana kem tempat orang tua Sari. Apalagi Bima yang masih nyaman bergelut dengan pikirannya. Hatinya terkomat-kamit tak karuan. Berhadapan dengan orang baru yang sama sekali tidak tahu maksud dan tujuannya untuk apa? Padahal, antara ia dengan gadis mungil juga belum dekat, hanya sekadar tahu namanya dan sama sekali tidak tahu identitas sehari-harinya.
'Ah, aku kira di Instrogasi tentang perlakuanku sama tuh cewek,' gumam Bima merasa lega dari perasangkanya.
"Lakukan dengan ikhlas. Aku yakin kamu bisa menjalani semua ini," ucap Bapak Sari dengan mengedipkan matanya perlahan. Perasaan Bima semakin terdorong jiwa prihatinnya. Bapak Sari meyakinkan Bima, dengan menepuk perlahan pundaknya. Entah, sikap seperti apa yang nampak dari lelaki itu. Kenapa dengan mudah orang tua Sari percaya kalau Bima bisa bertanggung jawab atas anaknya. Padahal, secara perkenalan belum ada sama sekali. Aneh, tapi nyata.
"Aku khawatir Sari terkena gangguan mental, akibat kurangnya mendapat kasih sayang. Karena, dulu pernah ada salah satu dokter yang bilang sama aku, kalau Sari sangat membutuhkan seseorang yang membuatnya nyaman. Dan untuk sekarang, semuanya aku pasrahkan sepenuhnya sama kamu, Bim."
"Tapi, Buk—"
Belum sempat ia melanjutkan perkataannya, tapi Bapak Sari lebih dulu memotong perkataan dia.
"Tidak ada kecurigaan dari kami, Bim. Aku mohon sama kamu. Meskipun baru dua hari aku dan keluarga ada di sini, tapi setelah ada beberapa orang menilaimu baik, aku putuskan kepadamu tentang masa depan anakku, Sari."
"Iya, Pak. Akan tetapi, kenapa harus sama aku? Sementara aku masih banyak kekurangan, dan selalu bersikap ceroboh atas tanggung jawab," ungkap Bima tanpa mengalihkan pandangannya yang datar.
"Karena Sari!" jawab Ibu Sari, singkat.
Bima menoleh, kaget. Dia masih belum menerima jawaban dari orang tua Sari, kurang jelas.
"Sejak pertama kali kita ke sini. Aku perhatikan, Sari selalu melihatmu penuh kenyamanan. Aku rasa dia tahu, siapa yang pantas melindunginya," jelas Ibu sari. Lelaki itu terdiam sejenak, mengisap perlahan sebatang rokok yang sedari tadi dianggurinya. "Kita sebagai orang tuanya, tanpa sepengetahuan kamu dan Sari, sudah berusaha untuk tanya-tanya tentang kamu. Karena itu, aku minta tolong, ya, Bim," lanjutnya.
'Jangan pernah kamu membuat kecewa terhadap seseorang yang sudah terlanjur memberi kepercayaan sama kamu, Bim.'
Wejangan itu terlintas tiba-tiba dari pikiran Bima. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan, seakan dia belum percaya dengan semua drama dalam hidupnya ini.
"Nah, kebetulan besok kita libur bersama. Ibu harap, dan Ibu beri izin sama kamu untuk mengajak Sari jalan-jalan menyusuri perkebunan ini. Sekalian, agar kalian lebih dekat tanpa ada lagi kecanggungan dari kalian," ucapnya.
Bima sedikit menghela napas, seraya mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Dia menoleh ke arah orang tua Sari bergantian, sambil menganggukkan kepalanya memberi tanda kalau ia menyanggupi semuanya.
Iya, kebetulan di perusahaan yang mereka tempati masih meliburkan semua pekerjaan. Baik itu pemanen, perawat, dan semua rekan kerja di situ. Alasannya, karena perusahaan yang mereka tempati masih baru memulai adanya perkembangan perusahaan. Sehingga, terlalu banyak yang suka keteteran dalam semua bidang. Karena itulah, orang tua Sari memberi kesempatan kepada keduanya untuk bisa memulai perkenalan dan pendekatan.
"Tenang! Apa pun yang terjadi, semuanya aku yang akan menanggungnya. Terpenting, kamu mau membantu kita untuk bisa membuatnya bahagia," ucap Bapak Sari memberikan jaminan.
"Aku akan mengusahakannya sebisa mungkin, Buk, Pak."
"Kamu tidak ada niat macam-macam, kan, sama anakku?" tanya perempuan itu, sedikit menunjukan jari telunjuknya ke arah Bima.
"Ya … kalau memang masih ragu, bisa kok kalau mau dibatalkan." Dua orang itu tertawa kecil mendengar ucapan Bima, terlihat dari raut wajah dan sikapnya, sepertinya ia masih ragu-ragu untuk menyanggupinya.
"Semuanya sudah kita sepakati, mana bisa kita gagalkan secara tiba-tiba."
"Sepertinya aku sedang terjebak, nih." Dua orang itu kembali tertawa, menikmati sedikit lelucon dari pemuda bernama Bima. Ternyata, di balik keluguan sikapnya tersimpan jiwa humoris yang spontan ia perlihatkan.
Di awal malam, kesepakatan itu terjalin dengan indah. Bersama-sama mengubah sikap gadis mungil itu bisa merasakan kebahagiaan yang selama ini ia harapkan. Dengan kasih sayang dari salah seorang, mungkin akan lebih mudah menciptakan kebahagiaan itu sendiri.