Chereads / NIKAH (Anin x Yusuf) / Chapter 1 - Part 1 - BOSEN

NIKAH (Anin x Yusuf)

🇮🇩anind26
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 16k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Part 1 - BOSEN

***

Seperti lebaran sebelumnya, sebenarnya Anin ogah-ogahan berkumpul dengan keluarga besarnya. KELUARGA KAMIL. Bukan karena dia tidak mau, namun dia ingin menghindari pertanyaan yang sudah bertahun-tahun ini selalu di tanyakan kepadanya setiap mereka berjumpa dengannya. Hal itu lah yang membuat Anin tidak menyukai acara pertemuan keluarga seperti sekarang ini. Dia berusaha untuk sebisa mungkin membiasakan diri dengan pertanyaan semacam itu. Namun semakin hari, bukannya berkurang malahan pertanyaan tersebut sudah sangat liar untuk dijawab olehnya secara terus-terusan.

Kali ini, Anin sangat tertarik dengan keponakan barunya. Aqila yang baru berusia 3 bulan, namun tingkahnya sudah sangat menggemaskan dimatanya ditambah dengan pipi gembul dari bayi perempuan tersebut membuatnya semakin ingin dekat dengannya. Disaat tidurnya, Anin masih setia berada disampingnya sekalian dia ikutan tiduran. Hehehe.

CUPPP..

Anin melakukan mencium pipi sebelah kanan tersebut dengan sedikit kasar, hingga membuat sang pemilik menjadi bangun dan sudah tersirat tanda-tanda dia akan mengeraskan radio yang sudah 2 jam dimatikan.

"Ehhh, dek Aqila..."

"Baa...."

"Udah bangun ya..."

Begitulah cara Anin menghibur bayi yang sudah terlanjur bangun tersebut. Mama Aqila yang tidak lain adalah anak budhenya, mbak Yuni. Begitulah Anin memanggilnya, membuat mbak Yuni memelotot ke arahnya, karena berhasil membuat anaknya bangun. Sebelum tangisnya meledak, dia segera menggendong Aqila dan memberikan ASI. Cukup lama dia berusaha menidurkan Aqila dan hasilnya Aqila memang tidak bisa tidur lagi.

"lo ini ya, pasti kalau sama anak gue di gituin. Usil banget sih..."

Gerutu dari Yuni sebagai tanda protesnya kepada Anin. Namun yang dia gerutuin, malah sibuk dengan bayinya yang sudah tertawa mendengar ocehan dari Anin.

"Dek Aqila udah bangun??"

"Iya, udah bangun ya??"

"Tadi kaget ya, dicium sama mbak Anin??"

"Maafin mbak Anin ya??"

Anin masih sibuk berbicara dengan Aqila dan tidak mendengar apa yang di ucapkan Yuni. Lebih tepatnya sengaja ngga di dengerin. Dia pun sibuk mendengar ocehan Aqila yang memang ngga karuan ditambah dengan senyumnya, khas bayi, namun itu sudah cukup membuat Anin terhibur. Dia pun langsung menciumi dan memeluk Aqila.

"Maafin mbak Anin ya??"

Kata Anin yang memang terlihat sayang dengan keponakan barunya itu.

Melihat anaknya yang diciumi sedari tadi, memunculkan suatu pertanyaan sekaligus jahil. Karena Yuni satu-satunya orang yang ada di keluarga Kamil yang dapat membuat Anin akan menjawab pertanyaan yang satu ini

"Kalau gitu buruan aja nikah, Tante..."

Celetuk Yuni yang cengengesan. Karena untuk saat ini, dia berhasil membuat pandangan mata Anin beralih ke sumber suara kata 'NIKAH'.

"Jangan panggil aku tante..."

Anin memang tidak menyukai dirinya di panggil Tante. Serasa dia udah tua banget. Padahal umurnya sekarang baru 25 tahun.

"Daripada bulik..."

Cibir Yuni. Dia sudah mengatakan berkali-kali kepada Anin bahwa dirinya harus mau di panggil Tante. Itung-itung terlihat lebih modern, daripada di panggil Bulik. Karena memang kenyataannya, dia sudah punya keponakan dari dirinya dan saudara sepupu Anin lainnya.

"Orang umur udah 25 aja, masih pede aja bilang muda".

Imbuh Yuni, membuat Anin hanya menghela nafas panjang.

"Emang kamu beneran belum punya calon??"

Anin hanya bergedeng sambil melihat Aqila yang masih ngoceh ngga jelas.

"Trus ngga ada orang yang naksir atau kamu taksir gitu??"

Ketimbang dia terus di kejar pertanyaan sama Yuni yang kada KEPO-nya tinggi banget, membuat dia memilih untuk mengalah. Ngga ada gunanya menghindar dari pertanyaannya Yuni.

"Ngga ada mbak. Lagi fokus sama kerjaan dulu".

Jawab Anin seadanya, karena itu memang kenyataannya. Sekarang yang dia pikirkan hanyalah karirnya tanpa embel-embelan ngurusin cinta.

"Dulu ditanya, jawabnya 'Kuliah aja absen mulu, mbak. Kenapa mikirin kaya gitu'..."

"Lha sekarang, kaya gitu juga".

Yuni agak kesal dengan Anin. Karena dirinya juga tidak habis pikir, apalagi yang ingin dicapai sama sepupunya yang satu itu.

"lo ngga LGBT, kan??"

Pertanyaan tersebut tiba-tiba meluncur dari perempuan tersebut. Ada secuil pikiran akan hal itu, karena sampai sekarang Anin itu memang masih memegang predikat 'LAJANG SEJAK LAHIR'.

Jujur, Anin yang mendengar hal tersebut keluar dari Yuni sedikit kesal. Segitu parah kah keadaan single-nya sekarang??

"Aku normal, mbak. Orang masih sehat wal afiat kaya ginni kog, di bilang LGBT".

Tiba-tiba cowok yang sudah selesai mengusili keponakannya itu datang. Arwi Kuncoro Kamil. Adik laki-laki Anin.

"Yaelah mbak Yuni, masih nanyain kaya gitu sama mbak Anin".

Kemudian dia duduk bersila berhadapan dengan kakaknya tersebut.

"Jelas ngga di jawablah mbak. Bunda aja sampai bosen nanyainnya".

Timpal Arwi yang sudah terkena cubitan di paha kanannya oleh Anin. Adik satu-satunya itu emang ember yang bocornya kemana-mana.

"Dasar Jones sok sibuk..."

Arwi serasa tidak kapok dengan apa yang baru saja dia dapatkan.

"Ngomong aja, lo lagi galau gagal move on. Di tinggal pacar nikah..."

Anin terkekeh. Kemarin, dia sempat mampir kerumah orangtuanya saat malam takbiran. Dan dia membaca sebuah undangan yang ditujukan untuk adiknya. Setelah di cermati, ada nama anak yang pernah di ceritakan Arwi sebagai pacarnya saat Arwi kelas 2 SMA. Kalau dihitung-hitung, udah 3 tahun. Awet juga ternyata untuk cowok slengekan kaya Arwi.

"lo kog tega banget sih ngomongnya?? Ngga pake filter lagi".

Arwi yang merasa di sudutkan oleh kakaknya, memilih kabur dari tempatnya. Dia tidak ingin kakaknya itu keblabasan buka rahasianya. Apalagi dia juga diawal sudah memancing emosinya.

"Salah sendiri jadi ember. Konsen aja lo sama kuliah. Baru aja semester awal, udah galau mulu. Ngga malu lo sama airmata lo tadi".

Anin tidak berhenti mengomeli orang yang sudah tidak ada dalam pandangannya itu. Sudah lama sekali dia tidak mengomeli adiknya itu. Apalagi, Arwi memang mempunyai kebiasaan saat sungkem dengan Ayah-Bunda serta dirinya. NANGIS.

Yuni yang ada di antara mereka hanya bisa geleng-geleng kepalanya. Kapan kakak-beradik itu berhenti menjadi Anjing sama Kucing. Selalu bertengkar setiap mereka bertemu.

"Kalau dia konsen kuliah mulu. Nanti ujung-ujungnya dia kaya lo. Jones. Kasian kan, cowok tampang cover boy kaya gitu malah jomblo".

Yuni tidak rela, jika sepupu laki-lakinya yang semakin gedhe itu malah makin tampan aja. Padahal kalau di ingat, dulunya Arwi itu, item sukanya main terus.

"Kalau ganteng mah, nanti ketemu aja jodohnya. Apalagi kalau udah mapan, yaudah..."

Timpal Anin tidak mau kalah.

"Lha kamu, kurang apa coba. lo cantik, ngga ada kurangnya apapun. lo sekarang juga sukses dalam segala hal, tapi ngga soal hati".

"Ahhh, yaudah mbak... males ngomong sama kamu... bye Aqila".

Anin mengecup pipi Aqila dan pergi begitu saja.

Mendengar hal itu, membuat Anin tidak berkutik. Dia memilih ngloyor pergi seperti yang dilakukan adiknya tadi. Memang benar, apa yang dikatakan Yuni tadi. Soal hati, dia memang mengakui kalau dirinya memang payah dalam hal itu. Tapi kan Yuni tetap seorang perempuan. Bukankah dia juga seharusnya tau apa yang dia rasakan. Perempuan mana yang tidak ingin menikah. Namun prioritasnya sekarang bukan untuk menikah, namun ada hal lain yang ingin dia capai sebelum akhirnya dia menikah suatu hari nanti.

***

Anin memilih kembali ke kamarnya. Dia meninggalkan acara keluarganya yang di adakan di rumah neneknya. Lebih tepatnya, sebelah rumah orangtuanya. Anin benar-benar tidak ingin bertemu dengan banyak orang terlebih dahulu. Berbagai pertanyaan dan pernyataan dari Yuni, membuatnya berpikir akan hal itu juga.

"Kapan aku nikah, ya??"

Gumam Anin dengan dirinya sendiri. Dia akhirnya meletakkan tubuhnya merasakan empuk spingbed yang sudah lama dia tinggalkan. Dia tidak peduli lagi bagaimana jilbabnya nanti atau bagaimana membayangkan betapa kusut bajunya karena dia tiduran seperti sekarang ini.

Matanya mulai berat serasa ada tuntunan agar dirinya memejamkan matanya. Sudah menjadi kebiasaan dari Anin, bahwa sekali dia mencium bantal, dalam sekejab dia akan tertidur. Padahal ini baru jam 7 malam. Namun dia tidak jadi tertidur setelah mendengar suara teriakan dari ruang tamu yang terus memangggil namanya.

"Mbak... Mbak Anin... Kamu dimana mbak???"

Suara tersebut milik bundanya. Sarawati Kamil.

"Aku disini, Bunda..."

"Dikamar..."

Sahut Anin sambil bangun dari tempat tidurnya. Kapan dia akan beristirahat setelah kemarin malam dia ikut begadang menyiapkan semua hidangan untuk acara rutin keluarganya setiap lebaran bersama Bundanya dan Budhe Lastri.

~Budhe Lastri, kakak tertua dari ayahnya.

Sarawati pun berjalan menuju sumber suara tersebut. Dia tahu benar bahwa suara yang dikeluarkan anaknya itu khas orang bangun tidur.

"Kamu tidur mbak??"

Tanya Sarawati muncul dari balik pintu dan menangkap mata merah dari anaknya.

Pertanyaan tersebut hanya dijawab dengan anggukan dari anak perempuannya tersebut.

"Makan dulu gih, habis itu sholat Isya..."

Perintah Sarawati dengan sabar, karena beliau tau bahwa memerintah anaknya setelah dia di bangunkan, membuat dirinya harus bersiap kena mentahnya. Alias Marah.

"Ngga usah makan deh. Langsung sholat aja. Udah capek ini badan".

Jawab Anin sudah beranjak dari kasurnya. Bundanya langsung memegang pergelangan tangan Anin. Dari sorot matanya bisa di tebak bahwa perempuan paruh baya itu memendam pertanyaan.

"Ada apa, Bunda??

"Bunda mau nanyain apa??"

Seperti biasa, Anin langsung menebak secara langsung tanpa berbasa-basi. Karena dirinya tidak menyukai hal itu, meskipun dia sekarang sedang berbicara dengan bundanya sendiri.

"Kamu capek kan denger pertanyaan semacem nikah?? Jadi kamu milih ngga makan sekarang??"

Akhirnya Sarawati mengungkapkan apa yang sekarang ada dalam pikirannya. Tidak ada jawaban dari Anin, karena jawaban yang ingin di dengar oleh Bundanya sudah tersirat dengan gamblang dari raut wajahnya.

"Kamu masih nungguin Mas Yusuf itu??"

DEG...

MAS YUSUF???

Nama orang tersebut seakan mampu membuat, jantung Anin berhenti beberapa detik sebelum otaknya menyuruhnya untuk segera bersikap normal kembali.

"Kan udah Anin bilang, Bunda. Mas Yusuf itu kemungkinan udah nikah bahkan mungkin udah punya anak sekarang".

Jelas Anin apa adanya. Terlihat jelas dari sorot matanya begitu sedih mengatakan kenyataan yang ada. Kenyataan yang selama ini Anin percayai.

Sedangkan Sarawati yang melihat ekspresi anaknya langsung menghela nafas berat.

"Bunda ngga usah ikut-ikutan khawatir akunya dapet jodoh atau ngga. Bunda sendiri pasti jauh lebih mengerti dari orang yang diluar sana".

Imbuh Anin yang memaksa Bundanya harus mengerti kondisinya sekarang.

Kalau di ingat kembali, ini salahnya juga karena saat Anin sudah mulai mengenal cinta, dirinya justru melarang anaknya memikirkan hal tersebut dan hanya memikirkan pendidikannya saja. Tapi sekarang, melihat Anin terlalu menyukai kehidupannya yang sekarang, dia juga khawatir dengan kehidupan cinta dari anaknya tersebut. Karena yang terakhir dia dengar, Anin sudah menyukai seseorang bahkan Anin pun mengakui hal itu. Namun saat itu, Anin memilih untuk konsentrasi pada kuliahnya saja.

Bundanya hanya mengelus tangan anaknya yang masih ada di genggamannya. Dan sekarang Anin mulai berjalan keluar dari kamar meninggalkannya untuk menjalankan sholat Isya.

***

REUNI AKBAR...

Satu angkatan saat kuliah...

Membuat Yusuf terpaksa mengikuti acara tersebut, karena Hendi sudah menyeretnya dari rumah. Dia sebenarnya tidak ingin menghadiri acara tersebut, karena bisa dipastikan hanya dirinyalah yang sekarang tidak membawa pasangan. Begitulah mata Yusuf melihat sekelilingnya sekarang. Hanya dirinya yang nganggur di temani oleh Agus. Sedangkan orang yang merengek kepadanya tadi pagi, sudah sibuk mengenalkan istri dan anaknya. Yusuf hanya bisa bersabar menahan sikap sahabatnya.

Sabar.

Akhirnya, Yusuf memilih untuk menikmati setiap menu makanan yang ada di acara tersebut. Lumayan kan makan gratis. Karena dirinya disini memang tidak membayar uang iuran untuk acara ini. Itu adalah salah satu syarat dari Yusuf untuk Hendi, jika Hendi menginginkan dirinya ikut di acara reuni teman kampus mereka. Dengan terpaksa, Hendi menyetujui permintaan Yusuf. Yang penting, orang yang sudah membuatnya memohon tadi pagi itu bisa ikut di acara tersebut. Baru kali ini, Yusuf mau menerima ajakannya. Biasanya dia akan sibuk dengan pekerjaannya untuk menolak ajakannya. Dan hari ini pun sebenarnya juga sama, namun kali ini dirinya memang sudah bertekad untuk mengajak Yusuf. Apapun caranya.

"Masih sendirian aja, Yusuf??"

Tanya Ana sambil menggendong bayi yang sudah terlelap dengan manisnya.

"Ngga, tadi gue bareng Hendi sama keluarganya dan tadi ngobrol sama Agus".

Jawab Yusuf seadanya. Dia masih menikmati salad buah yang ada di tangannya saat ini.

"Yaelah, lo mah dari dulu sampai sekarang kog tetep 'es batu'. Kapan mencairnya lo??"

Sindir Ana yang merasa Yusuf tidak mengerti maksud sebenarnya dari pertanyaannya tadi.

Yusuf hanya mengerutkan keningnya. Mencoba memikirkan kembali apa yang baru saja di ucapkan oleh Ana. Namun tetap saja, dia tidak mengerti. Terlalu blur untuk di tebak.

"lo itu kalau mau tanya sama Yusuf itu, langsung blak-blakan aja. Dia mana tahu kata sindirian macem kaya gitu".

Akhirnya muncul juga orang yang membuat Yusuf mengikuti acara reuni. Hendi diikuti istrinya dan anaknya dari belakang membuat Yusuf semakin mengerutkan keningnya tanda dia tidak mengerti.

"Maksudnya Ana itu, lo kagak nikah?? Kaya gitu aja harus di perjelas".

Cibir Hendi yang membuat Yusuf serasa ingin menjitak kepala Hendi seketika itu juga, kalau dia tidak mengurungkan niatnya karena sekarang ada istri dan anaknya Hendi.

"Ya gitu aja harus di tanyain. Simpulin aja yang lo lihat sekarang. Kalau gue sendirian, ya berarti emang gue belum nikah".

Jawab Yusuf santai, karena memang tidak ada hal yang harus di tutupi mengenai fakta dirinya belum menikah juga.

"Nungguin apa sih?? Sekarang udah jadi direktur kaya gini kog. Cewek mah pasti ngantri".

Ana memang penasaran dengan nasib percintaan Yusuf sekarang. Karena menurut rumor saat mereka masih kuliah, Yusuf itu akan menikah setelah dia lulus dari kuliah. Saat itu, Yusuf sudah bertunangan dan Ana sendiri juga melihat proses pertunangan tersebut. Jadi wajar saja kalau sekarang dia menanyakan kelanjutan dari pertunangan tersebut.

"Tenang aja kali... gue temenin sendiriannya".

Kata Dimas yang ikut nimbrung dalam sesi wawancara Yusuf mengenai kehidupan percintaannya.

"Ngga usah sok sendirian deh. Istri lo aja yang ngga bisa ikut".

Ana geregetan dengan tingkah Dimas yang merasa sok single itu.

"Kalau lo nikah, jangan lupa undang kami ya?"

Dimas tidak menghiraukan gerutuan dari Ana. Dia lebih suka menggoda Yusuf, karena Yusuf itu kalau di goda kaya saat ini malah diem. Jadi yang nggoda itu malah gemes.

"lo aja yang udah nikah masih pengen dianggep single. Lha aku yang masih single kenapa ngebet nikah? Udah ah, gue pulang aja. Hendi, gue pulang duluan ya. Tadi pak Efendi bilang kalau sekarang dia udah ada dikantor, jadi gue mau nyusulin dia".

Yusuf memilih pamit, karena sebelumnya dia mendapat telepon bahwa 1 jam lagi, Pak Efendi sudah ada dikantornya.

"Pak Efendi ngapain kekantor?? Orang masih libur lebaran kaya gini lho".

"Ada berkas yang harus gue urus. Besok kan gue mulai aktif di kantor baru. lo juga kan?? Jadi lo disini aja ngga papa. Gue yang urus semua".

Tanpa menunggu tanggapan dari Hendi, Yusuf langsung meninggalkan teman-temannya yang mungkin sebentar lagi akan memusatkan perhatian kepadanya. Menanyakan ini-itu. Dan hal yang paling di hindari oleh Yusuh adalah tentang pernikahan. Dia sudah bosan dengan pertanyaan macam itu. Dirumahnya sendiri pun sekarang, dia sudah didesak untuk menikah. Apalagi setelah adik bungsunya sudah melangkahinya untuk menikah dan sekarang sudah mempunyai anak. Membuat Yusuf semakin gencar untuk di suruh nikah.

Emang nikah itu, gampang.

Nikah kan harus siap ini. Siap itu.

Nikah kan menyatukan dua keluarga. Bahkan kalau perlu dua dunia yang berbeda jika seandainya orang yang dia nikahi memiliki kehidupan yang berbeda dengan dirinya. Menyatukan dua kutub yang sangat jauh perbedaannya, agar tetap berjalan beriringan menuju tujuan yang sama.

Itulah yang di pikirkan Yusuf. Bukan karena hal lain. Karena baginya, kehidupannya yang sekarang sudah ada yang mengaturnya. Allah SWT. Dia yakin, bahwa mungkin memang belum saatnya dia untuk menikah, karena sampai sekarang ini pun dia belum bisa melupakan wanita yang sudah ada yang memiliki tersebut.

***