Beberapa detik kemudian aku telah siap lalu melangkah menuruni tangga dengan cepat. Aku meraih kunci mobil yang berada berserakan diatas meja marmer berwarna putih di ruangan tengah. Puluhan lampu-lampu di rumah ini perlahan dihidupkan mengikuti turunnya matahari di ufuk sana. "Ma, aku pergi dulu ya." Pamitku kepada mama yang tengah duduk di sofa berwarna krem itu. Pintu kaca otomatis yang lebar itu seketika bergeser ke samping ketika aku melangkahkan kaki mendekatinya. Aku memutar-mutar kunci itu diantara jemariku dan memainkannya. Siulanku terdengar memantul pada tembok putih itu. Nama itu dalam sekejab dapat merubah duniaku. Aku sangat merindukannya walau hanya sehari tidak bertemu. "Antarkan aku ke Lavasa." Kataku singkat pada salah satu supir pribadiku yang melintas lalu aku mengoper kunci mobil padanya. Aku menempelkan ibu jariku pada sensor deteksi yang berada disebelah pintu garasi, lalu pintu lebar yang terbuat dari kaca tebal anti peluru itu terbuka secara perlahan kearah samping. Dengan cepat aku melangkah kearah mobil Tesla yang baru saja digunakan oleh mamaku. Aku setengah berlari karena terlalu semangat untuk bertemu dengannya, menghirup udara yang sama dengannya. Mobil putih ini melaju keluar dari garasi yang luas ini dan pintu garasi itu otomatis menutup kembali.
Sesampainya di Lavasa, yang terlihat oleh mataku adalah Aisyah. Ia melihatku sekilas lalu memalingkan pandangannya. "Terimakasih sudah datang." Kata Bethany sambil mengoper kunci mobil milik Lucy kepadaku. Aku bergeming sambil terus memandangi Aisyah yang tengah membopong tubuh Lucy yang setengah sadar itu bersama Beth dan yang lainnya. Aku mengikuti mereka dari arah belakang. Kedua mataku tak pernah lepas dari sosok Aisyah. Sesampainya di lahan parkir restoran itu, aku masuk ke mobil Lucy dan mulai menghidupkan mesinnya. Awalnya Aisyah menolak untuk satu mobil denganku. Lalu Bethany meminta maaf padanya dan menjelaskan bahwa ia tidak bisa mengantarnya pulang dikarenakan jalur yang berbeda dengan rumah Lucy. Jadi Bethany yang akan mengantarkan Lucy dan teman Asma pulang, sedangkan aku yang mengantarkan Aisyah dan Asma kembali ke apartemennya. Supir pribadiku mengikutiku tak jauh di belakang. Selama di perjalanan, kedua gadis itu hanya duduk terdiam di kursi belakang. Sesekali mataku melirik kearah Aisyah melalui kaca spion yang berada di dalam mobil. Kulihat ia tengah memandang keluar jendela. Mobil Bethany di depan berbelok kearah timur. Sedangkan aku belok kearah kiri menuju jalan Osceola Ave dimana apartemen Aisyah berada.
Nyatakanlah cintamu, katakan bahwa kau menginginkan diriku. Akan kubawa bunga-bunga dan membuat dirimu terbang. Aku telah memilih dirimu dan akan membuat hidupmu bahagia. Aku akan membawamu pergi dan tak akan membuatmu menyesal, batinku. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari kakak-beradik itu. Di dalam mobil terasa sepi tanpa suara. Mungkin seperti inilah sikap wanita Muslim jika diantar oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Walaupun begitu, di dalam diamnya, ia telah membuat detak jantungku bergemuruh sedari tadi. Untuk melihatnya saja sudah sangat membuatku senang. Aku telah bersusah payah selama ini memikirkan sebuah alasan untuk selalu bersamanya. Aku selalu ingin memandang wajahnya yang jelita itu. Menatap parasnya saja seakan-akan dunia ini runtuh jatuh menimpaku. Telah datang kesempatan langka itu hari ini. Akhirnya aku bisa bersamanya lagi. Lautan luas yang biru bisa kubeli, namun biru matanya itu sangat susah untukku memandangnya walau hanya sedetik saja. Aku rela melepaskan semuanya untuknya dan memberikan apapun yang dia minta, walaupun itu adalah agama dan keyakinanku.
Sesampainya di depan apartemen, Aisyah dan Asma keluar dari mobil. Sebelum menutup pintu, Aisyah mengucapkan terimakasih kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil terus memandanginya dari kaca spion. Aku tidak menginjak pedal gas sampai menyadari bahwa sosok Aisyah telah hilang memasuki lift. Aku tersenyum sekilas lalu memacu mobil Porsche 911 ini ke rumah Lucy. Sesampainya di pekarangan hijau rumahnya, seketika gerbang besi itu terbuka otomatis seperti ada seseorang dari dalam sana yang menekan tombol untukku. Sepertinya Bethany sudah sampai terlebih dahulu lalu mengatakan bahwa aku yang akan membawa mobil Lucy pulang. Aku menginjak pedal gas membawa mobil itu melewati jalan pavingan menuju rumah besar diujung sana. Bunga-bunga tampak segar merebakkan wanginya seperti telah disiram semenit yang lalu. Beberapa meter didepan, tampak supir pribadi Lucy keluar dan sedang menantiku. Tanpa basa-basi aku segera mengoper kunci padanya dan berkata, "Bethany sudah sampai?" "Sudah tuan muda, baru saja nona Bethany pulang." Ia menunduk sopan padaku. Kemudian dengan segera aku menuju mobilku dan duduk di kursi belakang. Sabuk pengaman sudah terpasang dan supir pribadiku menginjak pedal gas berjalan keluar dari halaman yang luas itu. Aku merebahkan leherku ke sandaran kursi. "Antarkan aku ke bar."
Di tempat lain, Aisyah sedang minum teh hangat bersama keluarganya. Formasi saat itu lengkap. Asma tidak ada perkuliahan malam di hari itu. "Apakah pemuda Turki itu menghubungimu lagi?" tanya ayahnya. "Belum. Dia sedang di rumah sakit." Ayahnya mengangguk-angguk mendengarnya. "Mahasiswa kedokteran memanglah sibuk, banyak praktikumnya. Dulu ayah mempunyai teman jurusan kedokteran, dia juga sering disibukkan oleh kegiatan perkuliahannya sama seperti Shoaib. Mungkin dia juga sering lembur karenanya." Aisyah diam tak berkata apa-apa. Ia hanya rindu berbicara padanya dan mendengar suaranya lagi. Sesekali ia melirik handphonenya dan tidak ada notifikasi dari Shoaib yang masuk. Mungkin dia sangat sibuk, batinnya. Seusai menyeduh teh, keluarga itu berkumpul di mushola kecil mereka dan duduk melingkar. Mereka membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an secara bergantian dimulai dari ayahnya terlebih dahulu. Mereka menutup hari itu dengan berusaha untuk mendapatkan syafa'at dari Al-Qur'an nanti di penghujung jaman. Tak lupa juga shalawat dan salam mereka hantarkan kepada baginda besar Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam. Setiap shalawat yang terucap akan membukakan langit selebar-lebarnya dan doa-doa itu langsung melesat naik menuju sang pencipta. Tidak ada yang menghambat doa-doa itu untuk sampai ke tuhannya jika berlabelkan shalawat. Ia melesat naik bagaikan petir yang menyambar keatas.
Keluarga kecil Mr Smith menutup hari yang sangat melelahkan dan menguras pikiran itu dengan mencoba mendapatkan cinta kasih dari tuhannya. Mereka berdoa agar Allah selalu menjaga dan meridhoi mereka di dunia dan di akhirat nanti. Seorang muslim yang baik adalah ketika ia selalu mengingat akan kematian. Ia seratus persen sadar bahwa ia hanyalah sebagai musafir di bumi Allah ini dan akan berakhir di tempat yang berbeda. Bumi bukanlah akhir dari perjalanan manusia. Dunia hanya sebatas digenggaman tangan sedangkan akhirat berada lekat menempel dihati. Hanya Allah yang berhak atas dunia dan seisinya. Meskipun begitu Allah sangat menyukai butiran air mata yang menetes dari hamba-hambanya walaupun Ia memiliki seluruh air di lautan yang ada di bumi. Allah tersenyum setiap kali mendengar hambanya beristighfar meminta ampunan-Nya. Detik itu seketika ia menurunkan rahmatnya berjatuhan ke bumi dan mengampuni seluruh dosa manusia yang hina itu karena sesunggunya rahmat Allah lebih besar dan mendahului apa yang telah tertuliskan di buku lauhul mahfudz. Semua takdir bisa berubah dalam hitungan detik tergantung pada hubungan manusia itu dengan tuhannya.
Tiket neraka bisa terganti dengan tiket surga dan sebaliknya. Semua siksaan yang telah disiapkan untuknya diakhir jaman bisa hilang seketika karena sebutir air matanya yang menetes meminta belas kasihan Allah di sepertiga malam ketika semua orang sedang tertidur nyenyak dibawah selimut yang hangat. Pada jam itulah setiap malam Allah turun dari singgasananya dan melihat siapa saja hamba-hambanya yang memanggil nama-Nya dan meminta bantuan-Nya. Namun sering sekali panggilan Allah sang pencipta alam yang lembut itu tak dihiraukan dan mereka lanjut tidur dibawah selimutnya yang hangat. Tak jarang perhatian-Nya itu bertepuk sebelah tangan. Hanya segelintir orang saja yang bangun dari tidurnya walau kantuk masih setia menggelayuti kelopak matanya dan ia bangun untuk menyambut tangan Allah dan menjawab panggilan-Nya. Hanya beberapa orang saja yang tak membiarkan tangan Allah hampa tanpa balasan. Allah, tuhan sang pencipta alam yang maha baik dan santun.
Memanglah manusia tidak bisa melihat secara langsung bagaimana bentuk kebaikan dan kesantunan Allah, tetapi bukankah Ia sudah menciptakan seseorang dan menjadikannya sebagai model di atas bumi untuk ditiru? Jika Nabi Muhammad sebaik dan sepenyantun itu, maka bagaimana dengan tuhannya? Allah lebih baik dan santun dari utusan-Nya. Dialah maha dari segala maha dan tiada tandingannya. Dialah satu-satunya tuhan dan Ia telah mendeklarasikannya pada semua mata manusia yang masih tertutup kedalam kitab suci yang bernama Al-Qur'an. Semuanya sudah jelas dan rinci. Allah sudah menjabarkan semuanya. Maka nikmat mana lagi yang kau dustai? Hanya membutuhkan mata dan pikiran saja untuk menyadari itu semua. Suara Allah sudah tertulis didalam kitab itu melalui malaikat Jibril dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Tidak ada keraguan padanya karena tidak ada manusia satupun yang mampu mengarang kitab sempurna seperti Al-Qur'an. Ayat-ayat yang disampaikan Rasul adalah langsung dari bibir sang pencipta alam melalui malaikat-Nya tanpa ada campur tangan dari manusia lain ataupun setan yang terkutuk. Ayat demi ayat turun via malaikat Jibril dan disampaikannya melalui lisan Nabi Muhammad sebagai wahyu. Kitab itu adalah suara Allah yang nyata dan Islam adalah agama yang sempurna tanpa cacat. Maka nikmat mana lagi yang didustakan? Allah telah berbicara namun kau menutup telinga dan mata lalu tak menghiraukannya. Itu bukanlah dongeng belaka namun Allah telah benar-benar berbicara kepada manusia dan siksaan Allah adalah nyata.