"Aku dari kelas 10-B." Ucapnya kepada Lucy. Kemudian pandangannya tertuju kepada Aisyah lagi. Ia berkata, "Maukah kau makan siang bersamaku?" Ketika Aisyah hendak membuka mulutnya, seketika Lucy memeluk bahunya lalu berkata kepada Chris. "Maaf ya, aku dan Aisyah selalu makan siang bersama. Aku tidak mau kalau tanpa Aisyah." Mendengarnya, Chris merespon, "Kalau begitu, aku akan bergabung dengan kalian."
Gadis berjilbab itu segera menengahi mereka berdua. "Teman-teman, aku mau sholat dulu ya. Lucy, kau makan duluan saja bersama Chris. Nanti aku menyusul." Lucy mengerti dan mengangguk. Kemudian Aisyah berjalan keluar ruangan. Chris yang tidak mengetahui apa-apa, ia mengerutkan kedua alisnya dan bertanya kepada Lucy. "Apa itu sholat?"
Aisyah menjalankan sholatnya dengan khusyuk di ruangan luas itu. Diam-diam Chris menyusulnya dan memperhatikannya dari kejauhan. Ia duduk di salah satu kursi di perpustakaan itu dan memandang kearah Aisyah yang sedang menjalankan kewajiban yg diperintah oleh tuhannya. Ia tercengang melihat pemandangan yang berbeda itu. Itu adalah pengalaman baru yang dilihatnya. Ketika aisyah sujud dan menempelkan dahinya ke lantai, Chris mengerutkan kedua alisnya. Ia terheran-heran. Kemudian ia bergidik dan menggeleng-nggelengkan kepala. Ia harus segera menyadarkan gadis itu bahwa agama yang dianutnya adalah salah.
Seusai salam, Aisyah berdiri dan mengambil Al-Qur'an yang diletakkan diatas salah satu meja. Ketika itulah Chris berjalan menghampirinya. Aisyah terkejut melihat kehadirannya. "Sejak kapan kau disini?" Chris tersenyum ramah dan menjawab, "Sejak tadi." "Baiklah, tunggu sebentar ya." Aisyah beranjak duduk lagi diatas sajadahnya dan membuka Al-Qur'an nya itu. "Aisyah, aku mau bertanya satu hal padamu." Gadis itu mendongakkan kepalanya. "Kenapa kau menyentuhkan dahimu ke lantai ketika sholat?" Nada suaranya terdengar sangat lembut, berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.
Mendengar pertanyaan itu, ia tersenyum dan berkata, "Itu namanya sujud. Sujud menandakan bahwa aku menyerahkan semuanya kepada tuhanku, Allah. Terserah Allah mau berbuat apa padaku. Aku berserah diri dan mengakui diriku yang penuh dosa ini. Sujud juga mengingatkanku bahwa suatu saat nanti aku juga akan terkubur di bawah tanah ini. Dunia tidaklah kekal. Maka sujud juga mengingatkanku akan kematian." Chris dapat memahaminya dan ia mengangguk-angguk setuju.
"Aisyah, bukankah sekarang waktunya kau sholat?" Lucy menyadarkannya dari lamunannya. Dilihatnya jam yang telah menunjukkan waktu zuhur itu lalu ia bergegas untuk mengambil wudhu. Ibu Bethany sudah menyiapkan tempat khusus untuknya menjalankan ibadah sholat sejak putri sulungnya itu bersahabat dengan Aisyah tiga tahun yang lalu dan Bethany sering mengajak Aisyah main ke kediamannya. Bethany juga diberi uang untuk membeli peralatan sholat sahabatnya itu. Maka sejak itulah ada jejak barang-barang Islami untuk yang pertama kalinya di rumah mewah itu.
Disamping lain, Lucy juga melakukan hal yang sama untuk Aisyah. Ia menyiapkan tempat khusus untuknya sholat dan peralatan sholatnya di istananya yang megah itu ketika ia mengajak Aisyah kesana. Mereka adalah tiga sahabat dalam satu harmoni dan saling menghormati. "Giliran aku." "Disana loh. Kenapa harus memakai arena yang ini?" ucap Bethany kesal. Adiknya tidak menjawab dan hanya bersungut-sungut sambil merebut bola bowling yang dipegang kakaknya.
"Biarlah, Beth. Namanya juga anak kecil, suka sekali mengganggu kakaknya. Kapan lagi kan Aaron mengganggumu. Nanti kalau dia sudah dewasa pasti kau akan sangat merindukan kenakalannya." Lucy mengajak Bethany duduk di bar dan mengajaknya minum. "Aaron sudah pulang sekolah ternyata. Bagaimana harimu?" sapa Aisyah yang memasuki arena bowling itu. Wajah Aisyah sudah segar kembali setelah terkena air wudhu dan menunaikan sholat. Frekuensi bayang-bayang Chris juga perlahan memudar. Bola bowling yang dilempar oleh Aaron tepat sasaran dan menjatuhkan kesepuluh pin.
"Hari ini di sekolah seru sekali, kak. Tadi waktu praktikum kimia, aku dan temanku sengaja memilih meja praktikum paling belakang. Lalu diam-diam kami makan makanan ringan selama praktikum berlangsung." Ketiga gadis itu tertawa mendengar cerita anak laki-laki SMP itu. Memang ulahnya selalu membuat orang menggeleng-nggelengkan kepala. Aaron adalah anak laki-laki yang nakal namun juga berprestasi. Tidak ada guru-guru dan teman-temannya yang tidak mengenalnya.
"Apa yang baru saja kau katakan?" Ayah Bethany memasuki arena bowling itu. Ia berjalan dengan melipat kedua tangannya didepan dadanya. Bethany mencibir adiknya dengan kata-kata mengejek. Aaron hanya menunduk melirik ayahnya yang sedang berjalan menuju ke arahnya. "Apa yang baru saja kau katakan?" Ayahnya mengulangi pertanyaannya sekali lagi. Dagu Aaron semakin merapat kedadanya. Bethany, sang kakak juga melipat kedua lengan didada meniru sang ayah.
Tak lama kemudian, ayahnya mengelus kepala putranya dengan lembut. Nadanya pun berubah rendah dan berkata, "Jangan diulangi lagi ya. Jangan makan selama pelajaran berlangsung. Sekarang pergilah membantu ibumu mengangkat barang-barang. Ayah buru-buru pergi ke kantor. Ada beberapa hal yang harus ayah tanda tangani." "Kenapa harus aku? Kan ada pembantu?" Ucap Aaron sekenanya. Ayahnya tersenyum sambil berkata, "Tugas pembantu adalah membantu kita. Itu bukan artinya kita berdiam diri saja dan melihat mereka melakukan semuanya. Sesekali tubuh juga harus bergerak dan bekerja, bukan?" Aaron mengangguk dan berjalan lesu keluar ruangan itu.
"Ayah bisa mengubah dunia, namun ayah tidak pernah bisa mengubah Aaron." Bethany tersenyum melihat sikap Aaron yang sedikit liar itu. "Kau benar." Ayahnya tertawa mendengar ucapan putrinya. Kemudian kedua matanya tertuju kepada Aisyah dan berkata, "Aisyah mau kuliah di Harvard ya? Sebenarnya kalau Aisyah mau langsung bekerja, bisa langsung mendaftar di perusahaan paman. Nilai-nilai Aisyah sudah lebih dari cukup dan tidak memerlukan ijazah S-1 lagi." "Terimakasih atas tawarannya, paman. Tetapi Aisyah ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan terlebih dahulu", ucapnya dengan sopan.
Ayah Bethany mengangguk-angguk paham lalu berkata, "Kalau begitu, bagaimana kalau Aisyah kuliah di Belanda saja. Urusan biaya biarlah paman yang menanggungnya. Bujuklah juga Bethany. Dia sama sekali tidak mau kuliah di luar negeri sejak awal. Padahal paman sangat menginginkan dia mendapatkan gelar dari sana. Nanti kalian bisa bersama-sama lagi dengan Lucy di Belanda." Mendengarnya, Lucy loncat-loncat kegirangan sambil menepuk-nepuk lengan kedua sahabatnya. Namun ekspresi Bethany sangat tidak setuju tentang keinginan ayahnya yang akan mengirimnya ke luar negeri. Ia tidak ingin berpisah dengan Aaron. Jika ia harus kuliah di Belanda, maka setidaknya Aaron juga ikut dengannya dan sekolah disana. Namun itu sangat tidak mungkin mengingat Aaron yang sangat bergantung pada kedua orang tuanya.
"Itu adalah tawaran yang sangat berharga, paman. Sejujurnya saya juga sangat ingin kuliah di luar negeri. Tetapi maafkan saya, paman. Dengan berat hati saya tidak bisa menerimanya. Jika saya menerima tawaran paman, secara tidak langsung saya telah melukai perasaan kedua orang tua saya karena saya adalah tanggung jawab mereka. Dengan itu saya juga merasa tidak menghargai mereka sebagai orang tua saya."
Perkataan Aisyah membuat ayah Bethany terenyuh. Ia tersenyum dan kedua matanya berkaca-kaca lalu berkata, "Seandainya paman mempunyai putri sepertimu, itu sudah lebih dari cukup. Kau tahu? Bethany tidak pernah menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya." Bethany merasa sedikit kesal dan ingin memprotes ayahnya. Namun itu memang benar adanya. Ia mengurungkan niatnya dan menutup mulutnya rapat-rapat.
"Itu adalah tawaran yang sangat berharga, paman. Sejujurnya saya juga sangat ingin kuliah di luar negeri. Tetapi maafkan saya, paman. Dengan berat hati saya tidak bisa menerimanya. Jika saya menerima tawaran paman, secara tidak langsung saya telah melukai perasaan kedua orang tua saya karena saya adalah tanggung jawab mereka. Dengan itu saya juga merasa tidak menghargai mereka sebagai orang tua saya."
Perkataan Aisyah membuat ayah Bethany terenyuh. Ia tersenyum dan kedua matanya berkaca-kaca lalu berkata, "Seandainya paman mempunyai putri sepertimu, itu sudah lebih dari cukup. Kau tahu? Bethany tidak pernah menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada kedua orang tuanya." Bethany merasa sedikit kesal dan ingin memprotes ayahnya. Namun itu memang benar adanya. Ia mengurungkan niatnya dan menutup mulutnya rapat-rapat.
Aisyah tersenyum mendengarnya lalu memandang Bethany yang sedang menunduk dengan wajah kesalnya. "Bethany juga anak yang baik, paman. Sebenarnya dia lebih dari saya. Mungkin dia tidak mengatakannya secara terang-terangan, namun dia menunjukannya dari perbuatan." Ayahnya tampak berpikir keras, "Ya, mungkin. Benarkah itu Bethany?" Putrinya membuang pandangannya kearah samping. "Entahlah. Sudah cukup suasana mengharukannya. Bukankah ayah buru-buru ke kantor?" Bethany menenggak minumannya.
Seketika ayahnya melihat jam tangannya dan segera melangkah meninggalkan ruangan itu. "Ayahku selalu seperti itu. Dia tidak pernah bangga kepadaku", ucap entengnya. Matanya menyipit ketika minuman beralkohol itu menyentuh ujung tenggorokannya dengan cepat tanpa aba-aba darinya. Aisyah datang dan memeluk bahunya, "Tetapi setidaknya kita bangga padamu." Aisyah tersenyum lebar sambil mengangkat gelasnya yang berisi teh keatas lalu mereka bertiga bersulang.