Aisyah bangun dan bangkit dari sofa. Ia berjalan gontai menaiki tangga hendak meletakkan novel itu di meja belajarnya. Langkahnya terhenti ketika didengar suara ayahnya memanggil namanya dari arah belakang. Sejenak ia lupa bahwa ia tengah menanti kedatangan ayahnya itu. Ia bahkan tidak tahu sekarang pukul berapa.
"Duduk disini. Ayah ingin berbicara sebentar denganmu." Laki-laki itu mengisyaratkannya untuk duduk di seberang sofa tempat ayah dan ibunya duduk. Suasana sore itu menjadi serius seketika. "Mama sudah mengatakan semuanya pada ayah. Tampaknya laki-laki Turki itu serius dengamu. Firasat ayah mengatakannya. Tetapi alangkah baiknya jika Aisyah jangan terlalu berharap padanya karena hanya Allah yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aisyah sebagai manusia hanya bisa berusaha. Restu ada ditangan Allah, bukan ditangan kita. Terserah Allah mau dibawa kemana. Jadi, saran ayah Aisyah tetap dalam batasan-batasan Islam. Walaupun dia berjanji akan menikahi Aisyah, tetapi sebelum cincin itu disematkannya, maka semuanya masih tetap haram." Kedua mata biru Aisyah seketika berbinar-binar. Setelah sekian lama jemarinya dirasakannya gatal untuk membalas pesan-pesan pemuda itu, akhirnya ia akan segera melakukannya. Tersirat senyuman di ujung bibir Aisyah lalu ia berdiri untuk memeluk kedua orang tuanya. "Aisyah janji." Kemudian, ia segera berlari meraih handphonenya. Dengan tidak sabar ia membuka Facebook dan membalas pesan pemuda itu. Itulah pertama kali dilihatnya senyuman putrinya itu dikarenakan oleh seorang pemuda Muslim.
Pukul 04:10 PM
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Maaf saya baru membalas pesan-pesan anda sekarang.
Dan ya, kita bisa berbicara. Saya dari Amerika dan saya berusia delapan belas tahun. Nama lengkap saya Aisyah Kimberly Smith. Sekarang saya baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Horace Fieldston. Senang berkenalan denganmu.
Hujan yang ringan membasahi jalan yang belum diaspal itu. Debu-debu berhenti berterbangan membiarkan orang-orang lewat dengan leluasa. Listrik beberapa menit yang lalu telah padam dikarenakan konsleting pada bagian kabelnya. Petugas yang menanganinya sudah datang dan menegakkan tangga besi untuk naik keatas. Ini bukanlah yang pertama kalinya. Di minggu itu listrik telah mati mendadak beberapa kali. Entah harus menyalahkan siapa. Harusnya para pemimpin bisa mencari solusi yang terbaik. Memanglah korupsi masih menjadi momok menakutkan. Menuduh namun takut salah tuduh. Perlahan korupsi itu membunuh bangsa sendiri. Mereka hidup diambang kemiskinan dan tak tahu siapa yang akan menolong.
Suara knalpot sepeda motor tua yang bising itu sering kali terdengar mondar-mandir di jalanan. Semua sepeda motor memiliki merek yang sama. Suara sepeda motor tua itu menghantam dinding rumah-rumah yang terbuat dari batu yang belum di cat. Terlihat sekali aura kuno darinya. Setiap pagi orang-orang yang lanjut usia menjemur baju-baju lusuh anggota keluarganya yang sudah dicuci. Kambing dan sapi mereka berteriak meminta jatah makan setiap pagi dan sorenya. Terlepas dari itu semua, ada hati yang selalu terpaut. Diam-diam seseorang menantinya pulang dipenghujung hari. Mata tuanya yang lelah sesekali melirik kearah ujung cakrawala yang berpasir itu dan berharap ada seseorang yang sangat dikenalnya itu terlihat. Biasanya bis yang membawanya sudah tiba. Oh iya, ia lupa bahwa putranya akan pulang terlambat hari itu. Wajar baginya jika kepikunan kerap kali menyapa.
"Gejala-gejala yang umum dari Osteochondritis Dissecans tergantung dari persendian yang terpengaruh oleh kondisi ini. Di antaranya yaitu perasaan sakit, khususnya setelah berolahraga, tetapi tidak semua mengalami rasa sakit yang sama. Saat rasa sakit terjadi, mungkin terasa ringan, tidak terlalu jelas, dan rasa sakit ini timbul dan menghilang. Ini membuat diagnosis sulit dilakukan. Kedua, persendian mungkin retak atau terblokir (tidak dapat digerakkan) apabila ada fragmen yang tersangkut saat bergerak. Ketiga, persendian melemah. Keempat, jangkauan gerakan yang sedikit seperti tidak dapat meluruskan lengan dan kaki yang dipengaruhi oleh Osteochondritis Dissecans. Ada beberapa hal yang tidak kusebutkan, tetapi itulah yang paling umum terjadi." Lawan bicaranya mencatat dengan baik penjelasan seniornya yang lebih berpengalaman itu. Beruntung sekali di hari itu ia berpapasan dengan orang yang lama sekali tak dijumpainya dan dikesempatan itulah ia menanyakan suatu hal yang sangat penting untuknya ketahui. Ia mendapatkan ilmu itu langsung dari ahlinya. Kedua pemuda itu duduk berdampingan di kursi besi khas rumah sakit. Keduanya memakai jas putih yang khas dan salah satu diantara mereka mengenakan kaca mata. Lorong rumah sakit itu tampak lenggang dan sepi. Cahaya putih dari lampu memantul pada keramik lantai dan membuat semuanya terlihat serba putih bersih.
"Besok ada jadwal operasi lagi?" tanya pemuda berkacamata itu. "Tidak. Besok aku mengisi seminar yang membahas tentang kanker tulang. Insyaallah aku akan kembali kesini tiga hari lagi. Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan. Sampai kapan praktikum mu?"
"Aku disini masih lima hari lagi", jawab pemuda berkacamata itu. Kemudian lawan bicaranya bangkit berdiri dan merapikan jas putihnya. Ia menepuk pundak kawannya lalu berkata, "Istirahatlah malam ini, Shoaib. Seorang calon dokter juga harus menjaga kesehatannya. Jangan terlalu sering lembur. Itu tidak baik." Shoaib tersenyum lalu mengangguk mengiyakan. Dilihatnya seniornya itu hingga hilang dibalik lorong. Ia memejamkan kedua matanya yang terasa panas. Dilepasnya kaca mata dan disematkannya ke kerah kemeja kotak-kotak birunya. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul satu dini hari. Ia menghembuskan nafas pelan lalu berkata pada dirinya sendiri, "Benar, aku harus istirahat." Ia bangkit dan berjalan menuju ruangan prakteknya. Sepatu kulit hitamnya berirama menghantam pelan lantai keramik itu. Ujung jas putihnya terlihat melambai-lambai mengikuti ayunan langkah kaki jenjangnya.
Ditariknya tuas pintu putih itu dan yang dilihatnya pertama kali adalah meja putih yang berada tak jauh didepannya. Kedua orang temannya yang ditempatkan di ruangan yang sama dengannya sudah pulang terlebih dahulu. Meja putih itu kini dikuasai oleh buku-buku materi pembelajaran miliknya. Ia akan pulang beberapa menit lagi, batinnya. Diraihnya foto rontgen yang dipinjamnya dari ruang bedah. Foto itu menunjukkan tulang jari kaki kelingking seorang pasien yang retak. Ia mengamatinya dan sesekali mencatat beberapa hal. Tak sengaja bola matanya melirik kearah baju gantinya yang digantung di dinding. Ia terkejut dan segera berlari untuk mengambil handphone di saku baju itu ketika dilihatnya ada sinar merah tanda masuknya notifikasi dari Facebook. Senyumannya tak tertahankan. Seketika itu otot-otot diwajahnya bangun dan rasa lelahnya hilang seperti adanya aliran listrik yang menyentak dirinya. Energinya tercas kembali menjadi seratus persen. Dengan cepat jemarinya membuka kunci layar itu dan dilihatnya nama gadis itu muncul paling teratas. Udara yang memenuhi dadanya seketika terasa hangat. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya berulang-kali memastikan bahwa itu adalah kenyataan. Pesan itu benar-benar nyata. Kemudian pemuda itu segera mengetik untuk membalasnya. Detak jantungnya berpacu, wajahnya memerah, desir aliran darahnya tak beraturan, senyuman itu belum pudar dari bibirnya. Dialah sang pemabuk cinta. Ia terbuai oleh ombak asmara. Seakan-akan ia membuka kedua tangannya lebar-lebar untuk menyambut ombak itu.
Pukul 01:15 AM waktu Turki
Terimakasih telah membalas pesanku, nona. Aku sangat menanti balasan darimu sejak hari itu.
Aku sangat senang sekali ketika menerima pesan balasanmu. Jadi, namamu Aisyah? Sang istri tercinta Rasulullah? Pasti semua orang disekelilingmu sangat mencintaimu kan? Aisyah, sang penyejuk hati.
Dan selamat atas kelulusanmu.
Gadis di seberang sana masih belum membalasnya lagi. Ia masih belum membuka chat nya. Pemuda itu sungguh menjadi tidak sabaran untuk menanti. Suasana hati dan fokusnya tiba-tiba berubah. Ia memaksimalkan volume handphone nya lalu bangkit untuk membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Sering kali ia memandang ke handphone nya yang diletakkannya diatas meja. Sekali lagi, senyumannya masih terlihat menghiasi bibirnya. Tengah malam itu dirasakannya seperti pagi hari. Kantuknya hilang dan ia merasa sangat bersemangat. Malam itu akan menjadi malam yang sangat panjang untuknya. Tidak ada yang menjamin bahwa ia akan bisa tidur nyenyak malam itu.
Tinggal beberapa lembar kertas lagi yang perlu dimasukkannya kedalam tas hitam itu ketika terdengar suara handphonenya berbunyi. Secepat kilat ia menghentikan aktifitasnya dan langsung meraih handphone itu. Jemarinya bergerak cepat sambil ia duduk di salah satu kursi. Matanya terpaku pada layar handphone itu.
Pukul 01:40 AM, waktu Turki
Aisyah:
Maaf tuan, saya telat membuka pesanmu. Tadi saya masih makan malam bersama keluargaku. Terimakasih banyak atas sanjungannya. Saya sangat jauh berbeda dengan Sayyidah Aisyah radhiyallahu'anha. Saya hanyalah wanita akhir zaman yang bercita-cita ingin menjadi sepertinya.
Shoaib:
Subhanallah, sungguh mulia cita-citamu. Semoga Allah selalu membimbingmu.
Tidak perlu terlalu formal berbicara padaku. Aku hanyalah pemuda biasa, bukanlah putra presiden. Kau tahu? Setelah berbicara denganmu, aku semakin menyukaimu. Apakah kau mengijinkanku?
Aisyah:
Anda terlalu terburu-buru, tuan.
Shoaib:
Tidak. Aku serius. Semakin lama aku semakin menyukaimu.
Aisyah:
Menyukaiku? Apakah tidak ada gadis lain di Turki yang bisa menarik perhatianmu?
Shoaib:
Iya. Kau benar. Memang tidak ada.
Diseberang sana, Aisyah menghentikan gerakan jemarinya. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya. Udara hangat semakin terasa memenuhi relung dadanya. Wajahnya telah memerah sedari tadi. Ia duduk di tepian kasurnya dengan pintu kamarnya yang terbuka lebar.
Shoaib:
Hello, nona. Apakah kau disana? Sepertinya kau sangat pemalu. Maafkan aku.
Aisyah:
Rasa malu adalah mahkota wanita.
Shoaib:
Benar, Islam mengajarkan kita itu. Baiklah, mari kita berbicara topik yang lain, nona Aisyah. Bagaimanakah hidup di negara hebat seperti Amerika?
Udara tengah malam di Turki saat itu dirasakannya sangat berbeda dari dua puluh dua tahun sebelumnya. Musim semi seakan-akan datang lebih cepat dan bunga yang berwarna-warni bermekaran di malam gadis itu membalas pesan demi pesannya. Lihatlah diluar sana, langitpun cemburu menyaksikan perbincangan hangat mereka berdua. Hembusan angin terdiam sesaat untuk mendengarkan bisikan kata hati mereka. Sesekali angin memberitau kepada awan yang sangat penasaran akan apa yang terjadi dibawah naungannya. Tanpa diketahui oleh siapapun, diam-diam pemuda itu tersenyum bersama alam yang merestuinya. Kedua insan itu bercerita akan kehidupannya di negara masing-masing. Shoaib adalah pemuda keturunan Pakistan yang telah lama tinggal dan menetap di Turki. Ia dan keluarganya masih memegang erat budaya Pakistan di lingkup keluarga mereka. Mereka menetap di desa Denizciler diujung tepian Turki. Perlahan, Aisyah mengerti akan banyaknya perbedaan yang sangat jelas diantara mereka. Namun, perbedaan itu dipersatukan oleh agama mereka, Islam.
Shoaib:
Aisyah ada dimana sekarang?
Aisyah:
Di kamar. Kalau anda?
Shoaib:
Aku masih di rumah sakit. Sebentar lagi aku pulang.
Aisyah:
Pulanglah sekarang. Masih ada waktu esok untuk kita lanjutkan perbincangan ini.
Shoaib:
Baiklah, nona Aisyah. Tetapi tahukah kau? Aku sangat tidak sabar untuk berbicara denganmu lagi besok. Aku berharap malam ini akan cepat berlalu dan aku dapat berbiacara lagi denganmu. Bahkan aku tidak bisa menjamin bahwa aku bisa tidur malam ini.
Aisyah:
Anda lucu sekali. Saya bukanlah siapa-siapa. Lihatlah di sekitarmu, gadis lain seperti halnya mawar yang indah, sedangkan aku hanyalah dandelion pucat yang tak berwarna.
Shoaib:
Benar. Gadis disini seperti indahnya mawar. Tetapi mereka memiliki duri yang bisa menyakiti kapan saja. Keindahannya hanya sebatas dipandang mata, namun mereka melukai ketika aku mendekatinya. Sedangkan dandelion, tahukah Aisyah kalau sebelum dandelion berubah warna, ia adalah bunga yang tak kalah indahnya dengan mawar. Warna kuningnya melambangkan kasih sinar sang mentari yang selalu disampaikannya kepada bumi.
Gadis itu tak membalasnya lagi. Setelah membaca pesan itu, ia segera menonaktifkan handphone nya. Ia terdiam sejenak sambil masih menggenggam handphonenya. Senyuman manis yang tertahankan itu masih terlihat di sudut bibirnya. Semenit kemudian, ayahnya memasuki kamarnya. Ia sesekali memperhatikan putrinya dari kejauhan. "Bagaimana?", tanya ayahnya dengan sebuah senyuman. "Dia baik." ucap singkatnya. "Baiklah, sekarang Aisyah belajar untuk tes seleksi ya." Gadis itu mengangguk mengiyakan lalu berjalan menuju meja belajarnya.
Di bawah langit yang sama, pemuda itu terus memikirkan wajah Aisyah yang dibalut oleh kain hijab berwarna coklat susu di fotonya. Kulitnya yang putih bersih dan sorot mata birunya yang meneduhkan membawanya ke dunia yang dipenuhi oleh bermacam-macam bunga. Ia tersenyum membayangkan wajah gadis itu di sepanjang perjalanan pulang. Goyangan bis yang dikarenakan oleh jalanan yang tidak rata itu sama sekali tidak merubah suasana hatinya. Bis itu tampak lenggang. Hanya ada dirinya dan beberapa orang yang menaiki bis malam itu. Ia memandang kearah jendela luar yang gelap. Sepertinya listrik mati lagi malam itu. Lampu-lampu yang seharusnya menyinari jalanan tidak menjalankan tugasnya dengan semestinya. Ia menghembuskan nafasnya dan sekali lagi senyuman itu terlihat. "Ya Allah, jadikanlah dia milikku seperti halnya Engkau membawa Fatimah radhiyallahu'anha kepada pelukan Ali bin Abi Thalib. Tanpa sepatah kata dan tidak ada yang tahu, hanya Engkaulah yang tahu apa yang tersimpan di hati mereka masing-masing. Mencintai dalam diam dengan restu-Mu adalah hal yang paling terindah. Maka berikanlah restu-Mu sekali lagi padaku, ya Allah. Berinkanlah aku Aisyah-Mu."
Diam-diam para malaikat dan alam semesta mengaminkan doanya. Tidak ada yang paling indah ketika menyaksikan dua insan yang disayangi oleh tuhannya untuk bersatu. Aisyah, gadis yang sangat mengenal tuhannya dan agamanya. Shoaib, pemuda yang mencintai tuhan dan rasulnya. Mereka berdua juga senantiasa berbakti pada kedua orang tua mereka. Sungguhlah pasangan yang amat serasi. Malam itu ia tak bisa tidur sama sekali. Bayang-bayang foto Aisyah selalu tampak di benaknya menemani malam yang dingin itu. Sesekali ia tersenyum mengingat kembali percakapannya dengan gadis itu. Ia berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya. "Ya Allah, sungguh indah ciptaan-Mu. Sungguh sempurnanya jejak tangan-Mu pada dirinya. Subhanallah, Allahu Akbar."