Chereads / Laraku Pilumu / Chapter 3 - Aisyah, Gadis Penyejuk Hati

Chapter 3 - Aisyah, Gadis Penyejuk Hati

Di dalam ruangan yang hangat itu, Aisyah duduk di kursi dan ibunya mengambilkan obat merah, perban putih, dan gunting kecil dari kotak P3K. Ibunya membalut luka Aisyah setelah diteteskannya obat merah. Sedari dulu ibunya sangat khawatir akan luka-luka yang sepele seperti ini, terutama jika itu terjadi pada Aisyah, putri kesayangannya. Seketika semuanya berubah seperti perang dunia pertama, ibunya kesana dan kemari dengan ekpresi khawatirnya. Mengingat masa-masa sebelum ibunya hamil Aisyah, ibunya mengalami pengalaman yang menyedihkan. Itu yang membuat perlakuannya berbeda saat ia bersama Asma atau Aisyah. Ia rela melakukan apa saja untuk Aisyah. Ayah dan Ibunya menyayangi Aisyah lebih dari apapun tanpa mengurangi kasih sayang mereka pada Asma. Ini bukan hanya dikarenakan Aisyah adalah anak bungsu di keluarga itu, melainkan karena hal lain.

Ketika Asma berusia dua tahun dan bisa berjalan, ayah dan ibunya berencana untuk menambah jumlah anggota keluarga kecil mereka. Namun tidak semudah itu, saat itu tanggal 11 Sempember 2001 dimana serangan pada World Trade Center di kota New York terjadi. Setelah kejadian itu, orang-orang yang beragama Islam mulai dikucilkan dan tidak diberi ruang di tengah-tengah masyarakat. Itu membuat keluarga Smith berpindah-pindah tempat tinggal dan beberapa kali kepala keluarga itu tidak memiliki pekerjaan untuk kurun waktu yang lama. Cemoohan dan hinaan yang dilontarkan kepada istrinya juga tak kalah hebatnya. Lama kelamaan sang istri mengalami depresi sehingga beberapa kali kandungannya mengalami keguguran. Kejadian itu semakin memperburuk keadaan. Cahaya harapan meredup setelah keguguran yang keempat kalinya. Akhirnya mereka mengungsi ke pelosok daratan Amerika dan membangun rumah yang sangat sederhana disana. Kepala keluarga itu terus menerus berusaha dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menghasilkan uang karena kondisi keuangan mereka yang semakin memburuk. Tak lama kemudian ayahnya memulai usaha kecilnya dari berkebun. Keluarga itu juga makan dari hasil kebun itu. Lambat laun usaha itu berkembang dan tidak ada yang tahu tentang status mereka sebagai orang muslim. Di desa itulah Aisyah lahir ditengah-tengah kondisi yang memprihatinkan.

"Ma, Aisyah mau bilang sesuatu pada mama. Tetapi janji ya jangan marah." Kata putrinya. Ibunya tersenyum. "Mama janji tidak marah asalkan itu bukan tentang Chris." Aisyah tersenyum lalu berkata, "Bukan, ma. Sejak semalam ada seorang pemuda dari Turki yang terus mengirimkanku pesan tetapi aku sama sekali tidak meresponnya." Ibunya mengangkat pandangannya kearah Aisyah. Tatapan itu sangat lembut dan menyejukkan hati. Aisyah menceritakan secara detail tentang pemuda asing itu. Bagaimana rupanya, bagaimana pendidikannya, bagaimana bentuk fisiknya, dan lain sebagainya. Ibunya mengerti apa ujung dari pembicaraan putrinya. Kemudian ia memutus kalimat Aisyah dengan mengatakan, "Ibu setuju jika ayahmu setuju. Tunggu ayahmu pulang ya." Ibunya mengelus lembut kepala Aisyah. "Ibu berbicara apa? Aisyah tidak mengatakan kalau Aisyah menyukainya. Aisyah hanya....." Ibunya menyahut, "Hanya apa? Hanya tertarik? Ibu tahu apa isi hatimu." Ibunya tersenyum lalu bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju dapur. "Ibu lebih memilih pemuda itu untukmu daripada Chris." Goda ibunya. Gadis itu menunduk malu dan diam-diam Aisyah mengaktifkan handphonenya lagi lalu dilihatnya empat notifikasi baru dari pemuda Turki itu.

Pukul 11:24 AM

Maaf, sepertinya aku yang kurang sopan.

Seharusnya aku memperkenalkan diriku dulu kan? Baiklah nona.

Assalamualaikum, namaku Shoaib Yousafzai. Aku berasal dari Turki. Beberapa waktu yang lalu aku melihatmu mengomentari salah satu postingan Universitas Harvard di Facebook.

Sejak saat itu aku tertarik padamu dan membuka profil Facebookmu. Dan.... MashaAllah kau sangat cantik dengan jilbabmu itu. Aku sangat menyukaimu. Bisakah kita berbicara sebentar?

"Kau terlalu terburu-buru, tuan." Bisik pelannya. Terlihat senyuman manis yang menghiasi bibir merahnya. Sisa hari itu, ia sangat menanti kepulangan ayahnya. Ia sering melihat jam yang bertengger di dinding putih rumah itu. Detik jam itu serasa lebih lambat dari biasanya seperti keong yang keberatan cangkangnya. Ia sungguh tak sabar untuk mendengar respon dari ayahnya. Untuk sejenak ia menghentikan bayang-bayang tentang pemuda asing itu dan mencoba untuk membantu pekerjaan rumah. Namun ibunya menghentikannya dikarenakan kondisi tangan Aisyah yang belum membaik. Gadis itu memaksa dengan lembut lalu ibunya memperbolehkannya dengan catatan ia hanya boleh mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan saja. Ia memulai penantiannya itu dengan melipat baju. Satu per satu baju dilipatnya dengan rapi dan disusun sesuai urutan. Baju ayahnya, ibunya, Asma, dan baju miliknya. Ditatanya rapi diatas meja. Setelah selesai, ia membawa baju-baju itu ke lantai dua dan memasukkannya ke masing-masing lemari. Ia masuk ke kamarnya terlebih dahulu karena lebih dekat dari tangga, lalu ia masuk ke kamar Asma, dan yang terakhir ia menata baju orang tuanya di lemari yang terletak di sudut kamar orang tuanya.

Ketika ia selesai meletakkan baju-baju kedua orang tuanya, matanya melirik kearah album foto yang disimpan rapi di rak nomor dua. Gadis itu tersenyum dan meraihnya. Kemudian ia duduk di karpet berbulu yang berwarna hijau muda itu. Lembaran foto itu dibukanya dan perlahan ingatannya menuntunnya kembali ke masa-masa itu. Tak jarang ia tersenyum ketika teringat akan masa kecilnya. Ia membuka lembaran album foto itu hingga sampai pada sebuah foto yang menunjukkan dirinya masih berumur tiga tahun. Di foto itu ia mengenakan baju berlengan panjang dan rok panjang yang berwarna senada, yaitu warna merah muda dengan gambar kucing di bajunya. Warna kerudungnya juga sama. Ia duduk berjongkok sambil memegangi kelinci yang beberapa kali hendak kabur darinya. Senyumannya yang lebar berbanding terbalik dengan wajah kelinci yang merasa risih dengan Aisyah. Itu adalah kelinci pertama yang pernah dimilikinya.

Ia mengingat betul ketika ayahnya pulang dari menjual sayuran hasil kebunnya ke desa sebelah, ayahnya membawakan kelinci yang sangat imut pada Aisyah. Gadis itu sangat senang mengetahuinya. Ayahnya memberinya hadiah tanpa ia minta. Aisyah segera mengeluarkan kelinci itu dari kandang besi namun kelinci itu berlompat-lompatan menjauhi Aisyah. Kemudian ibunya keluar dari rumah sederhana itu dan menanyakan darimana kelinci itu berasal. Ayahnya berkata bahwa ia mendapatkannya dari seseorang di desa sebelah. Ia memintanya dengan alasan untuk putri kesayangannya. Kemudian orang itu memberikannya dengan sukarela. Mereka berdua melihat Aisyah kecil yang berlarian mengejar kelinci itu. Gadis kecil itu kalah gesit dengan kelinci putih yang didepannya. Mereka berlarian diatas rumput yang biasa digunakan untuk beternak sapi oleh warga setempat. Tak jarang Aisyah jatuh di tanah bekas air hujan sehingga membuat bajunya kotor oleh lumpur. Namun ibunya tak pernah memarahinya tentang hal itu.

Aisyah membuka lembaran selanjutnya. Di foto itu terlihat ketika Aisyah dan Asma menangis karena ketinggalan bus sekolah. Mereka mengenakan baju seragam jaman dulu dan tas yang masih bertengger di punggung mereka masing-masing. Di foto itu Aisyah menangis bersama Asma dengan posisi berdiri berhadapan. Saat itu mereka beradu argumen karena itu salah Aisyah yang bangunnya kesiangan. Kedua orang tuanya tertawa dan ibunya mengambil kamera sederhana lalu mengabadikan momen itu. Kemudian hari itu mereka berdua diantar oleh ayahnya mengendarai mobil sayur ke sekolah. Mereka tak pernah malu atas kondisi keluarganya kala itu. Aisyah dan Asma bersenandung bergantian sambil mengangkat kedua tangannya keatas agar tersapu angin. Kedua anak itu cepat sekali akur dan tertawa bersama-sama lagi.

Kemudian, gadis itu membuka lembar foto selanjutnya. Di foto itu terlihat Aisyah kecil yang duduk tersenyum di kursi kayu dengan koleksi belalangnya yang disimpan didalam toples dengan tutup yang dilubangi. Sebenarnya belalang-belalang itu adalah calon dari aksi kebrutalan Aisyah. Ia memungutinya di sungai kecil yang letaknya tak jauh disamping rumah itu, kemudian ia mengumpulkannya di satu wadah dan membawanya pulang. Rok dan lengan panjangnya sudah basah oleh air sungai. Aisyah duduk diatas rerumputan hijau didepan rumahnya. Terlihat beberapa ekor sapi yang memakan rumput beberapa meter didepannya. Ketika ia akan memotong kaki belalang-belalang itu, ayahnya keluar dari dalam rumah dan mendapati putrinya memegang kaki belalang itu. Ia tahu apa yang akan dilakukan anak seumur Aisyah, kemudian dengan cepat ayahnya menghentikannya dengan kata-kata yang lembut. Laki-laki itu duduk berjongkok sambil menasehati putrinya. "Aisyah, belalang-belalang ini juga makhluk Allah sama seperti Aisyah. Mereka berhak hidup kan? Lagipula kalau Aisyah menyiksanya, nanti Allah dan Rasul marah sama Aisyah. Rasul saja tidak pernah menyiksa hewan. Apakah Aisyah masih mau melakukan yang tidak dilakukan oleh nabi? Apakah Aisyah mau membuat Allah dan Rasul marah?" Gadis kecil itu menggeleng sambil cemberut. "Jadi, Allah dan Rasul sudah marah sama Aisyah, ayah?" ucap gadis itu dengan polosnya. Ayahnya tersenyum lalu berkata, "Tidak, Aisyah. Lihat, Aisyah kan belum menyiksa hewan-hewan ini." Gadis itu tersenyum menyadarinya. "Lalu ini bagaimana, ayah?" "Kalau Aisyah mau menyimpannya, seharusnya Aisyah juga memberi makan dan tidak menyiksa mereka karena mereka juga makhluk....." laki-laki itu memberi jeda supaya putrinya melanjutkan kalimatnya. "Makhluk Allah, sama seperti Aisyah." Laki-laki itu tersenyum sambil mengelus lembut kepala Aisyah. Melihat Aisyah kecil, ia menerawang jauh tentang siapa lelaki yang kelak akan menggantikan dirinya untuk mendampingi putrinya disisa hidupnya. Akankah ia menyayangi Aisyah seperti ia menyayanginya. Akankah ia memahami Aisyah seperti ia memahaminya. Akankah ia melindungi Aisyah seperti ia melindunginya. Seketika suara gadis kecil itu membuyarkan lamunan ayahnya.

"Jadi Rasul tidak pernah menyiksa belalang?" Ayahnya menggeleng sambil tersenyum mendengar pertanyaan putrinya itu. Aisyah bergumam panjang dengan pandangan jauh ke depan. Ia membayangkan bagaimana bentuk belalang di negara Arab. Beda ataukah sama seperti apa yang dilihatnya sekarang. Melihat ekspresi putrinya, laki-laki itu melanjutkan, "Nabi menyayangi semua makhluk ciptaan Allah. Suatu ketika, kucing peliharaan nabi pernah tidur diatas sajadah nabi. Kemudian nabi datang hendak sholat. Ketika dilihatnya kucing itu, beliau tidak tega untuk membangunkannya, maka beliau menyobek sisinya dan diambillah sisa sajadah itu untuknya sholat. Seperti itulah nabi memuliakan binatang." Laki-laki itu mengajak putrinya ke sebuah pemukiman di tengah-tengah gurun pasir yang letaknya jauh di ufuk barat pada beberapa ratus tahun yang silam. Mata Aisyah berbinar-binar mendengar kisah itu. Ia dapat membayangkan dengan jelas kejadian itu. Gadis itu merasakan bahwa Rasul sangat dekat dengannya. Kucing yang dilihatnya setiap hari itu akan mengingatkannya selalu pada kejadian itu dan membuat hatinya semakin dekat dengan manusia mulia itu.

Aisyah menerawang jauh mengenang masa-masa indah itu. Masa-masa indah di pelosok desa yang tak dapat digantikan walaupun dirayu oleh kehidupan kota yang mewah bertaburkan emas dan permata karena sesungguhnya suatu nikmat itu dibagi-bagi oleh Allah. Anak seorang pengusaha kaya, kedua orang tuanya selalu mencukupi semua kebutuhannya. Namun setiap di hari ulang tahunnya, kedua orang tuanya tidak merayakan bersamanya di rumah karena kesibukan bisnis masing-masing. Ia hanya mendapatkan kue dan kartu ucapan selamat ulang tahun saja dari orang tuanya. Mirisnya ketika para pelayannyalah saja yang selalu ada untuknya dan menghabiskan waktu dengannya. Semua kenikmatan dunia itu kalah dengan apa yang dialami oleh keluarga Smith. Mereka hidup damai dan tentram walaupun tinggal serba kekurangan. Mereka selalu ada untuk satu dan yang lainnya. Menyatukan hati dan perasaan adalah kunci untuk menggapai kehidupan yang nyaman. Baginya, ayahnya adalah sosok yang sempurna. Ia sangat mensyukuri memiliki ayah sepertinya. Ia sangat menyayangi dan memahami gadis itu. Seketika sesuatu terbesit di benaknya. Apakah pemuda Turki itu juga akan menyayangi dan memahaminya seperti apa yang dilakukan ayahnya selama ini?

Lamunannya terhenti ketika ia mendengar suara langkah kaki ibunya memasuki kamar. "Apa yang dilakukan gadis cantik mama ini disini?" Ibunya ikut duduk diatas karpet bersama Aisyah. Ia melihat album foto yang dipegang Aisyah lalu berkata, "Mama ingat betul kejadian itu. Saat itu mama sangat takut pada belalang. Tetapi karena Aisyah menyukainya, jadi mama berusaha memberanikan diri. Tak jarang Aisyah menjahili mama dengan menakut-nakuti mama menggunakan belalang itu. Apakah Aisyah ingat ketika mama berlarian kesana dan kemari lalu akhirnya mama bersembunyi di belakang ayah?" Aisyah mengangguk lalu tersenyum mengingat kejadian itu. Saat itu ayahnya menghentikan perbuatan Aisyah dan menggendongnya keluar rumah membawa serta belalang itu.

Ibunya menghela nafasnya panjang sambil mengelus lembut kepala Aisyah. "Aisyah tumbuh sangat cepat. Terlalu banyak kenangan masa kecilmu yang tersimpan. Semoga laki-laki Turki itu menjagamu dengan baik layaknya menjaga sebuah amanah. Mama harap nanti ia akan menuntunmu ke sebuah kebahagiaan seperti apa yang ayahmu lakukan. Kehadirannya akan seperti kumandang takbir yang khusyuk mengisi setiap jengkal kehidupanmu." Ibunya berbicara seakan-akan yakin bahwa laki-laki itu adalah jodoh putrinya kelak. Aisyah menatap ibunya tak berkedip. Hati mereka menyambung dalam satu frekuensi yang sama. Namun Aisyah mencoba menepis bayang-bayang itu. "Mama ada-ada saja. Itu masih lama. Aisyah masih mau melanjutkan kuliah. Lagipula Aisyah masih belum berbicara dengan ayah. Kita tidak tahu apa keputusan ayah." Ibunya tersenyum menyadarinya. Semua yang dikatakannya barusan hanya berdasarkan insting keibuan saja. Tidaklah lebih. "Aisyah benar. Namun mama ingin mengetahui satu hal. Apakah pemuda itu mengirimkan pesan lagi?" goda ibunya. Aisyah tersenyum dan berdiri tak menghiraukan pertanyaan ibunya lalu mengembalikan album foto itu ke tempat semula.

Ia berjalan menuruni tangga dan menuju dapur. Ibunya mengikuti di belakangnya. "Mama memasak apa?" tanyanya sambil mengamati bahan makanan yang tersisa di atas meja dapur. "Mama mau memasak Kofta." Aisyah kemudian meraih salah satu bahan makanan lalu berkata, "Aisyah bantu ya. Luka di tangan Aisyah sudah membaik, ma. Obat merahnya sudah bekerja dengan sangat baik. Aisyah tidak merasakan sakit lagi." Ibunya tersenyum,"Alhamdulillah kalau begitu. Tetapi hati-hati ya Aisyah. Mama tidak mau Aisyah terluka lagi karena setiap inci badan Aisyah adalah berlian." Gadis itu tersenyum mendengarnya. Ia selalu diperlakukan berbeda dengan Asma dan ia sangat menyukai itu. Kakaknya pun tidak pernah ada masalah dengan hal itu. Ia juga menyayangi Aisyah namun dengan cara yang berbeda.

Dilihatnya bahan memasak diatas meja dan diambilnya satu per satu. Ibunya sudah sangat sering membuat makanan tradisional dari timur tengah itu sehingga ia menghafalnya dengan baik. Bahan utama dari makanan itu adalah:

350 gram daging kambing cincang

1 buah bawang bombay, cincang

1 batang seledri, cincang

2 butir telur ayam

Untuk bumbu kari nya adalah:

2 cm kunyit, bakar

1/2 sendok teh ketumbar

1 sendok teh jinten

3 buah cabai merah

1/2 sendok teh merica butiran

garam secukupnya

Untuk pelengkap kari nya adalah:

5 butir bawang merah

3 buah cabai merah

2 cm jahe

2 siung bawang putih

2 batang serai, kemudian ambil bagian putihnya

1 sendok teh ketumbar

1 cm kunyit, kemudian bakar

1/ sendok teh jinten

4 sendok makan margarin

300 ml dari 1 butir kelapa santan

2 buah tomat

200 ml air

garam secukupnya

Tadi ibunya sudah mencampurkan daging kambing yang sudah dicincang, bawang bombay, saledri, telur, dan bumbu halus. Lalu diaduknya hingga merata dan membuatnya membentuk bola-bola berdiameter dua sentimeter kemudian disisihkannya. Ibunya juga sudah menghaluskan cabai merah, bawang merah, jahe, serai, bawang putih, ketumbar, jintan, dan kunyit untuk kuah Kofta. Kemudian Aisyah mengambil margarin dan memanaskannya hingga meleleh kemudian menumisnya dengan bawang merah dan mengaduknya hingga harum. Selanjutnya ia menuang air dan juga santan kedalamnya sampai mendidih. Terakhir, ibunya memasukan bola-bola daging itu, garam, tomat dan mengaduknya hingga merata. Ibunya mengambil alih dapur dan memasak bola-bola daging itu dengan keadaan api yang kecil. Disisi lain, Aisyah mengeringkan mangkuk yang telah dicuci oleh ibunya dengan tissue kering untuk tempat Kofta yang tak lama lagi akan masak.

"Aisyah tau? Dulu mama belajar memasak Kofta hanya demi ayahmu. Padahal sebelumnya mama sangat takut menyentuh daging. Selalu ada nenekmu yang membantu. Namun sejak nenekmu pindah dan menetap di Yunani, mama melakukan semuanya sendiri. Ayahmu juga tidak sempat membantu karena pekerjaannya. Dengan terpaksa mama memberanikan diri untuk menyentuh daging-daging itu untuk memasak Kofta dan masakan lainnya karena ayahmu berkata kalau ia merindukan masakan nenekmu. Kebetulan saat itu ayahmu menyebut Kofta. Dengan inisiatif seorang istri, mama langsung berniat ingin membuatnya. Jadi, itulah pertama kali mama menyentuh daging untuk memasak Kofta. Apakah Aisyah tahu bagaimana reaksi ayahmu saat itu?" ibunya mengalihkan pandangannya kepada putrinya. "Ayah sangat senang?" tebak Aisyah. Ibunya tersenyum sambil mengenang masa-masa itu lalu berkata, "Lebih dari itu. Awalnya mama tidak mengatakan apa-apa. Ketika ayahmu pulang dari kerja, mama langsung menutup kedua matanya dan menuntunnya ke dapur. Tercium aroma Kofta itu lalu ia berkata, "Apakah mama kembali dari Yunani?" Mama tak berkata apa-apa hingga mama menyendokkan Kofta itu ke mulutnya. Sekali lagi ia menanyakan hal yang sama. Lalu mama menyuruhnya membuka kedua matanya dan tidak dilihatnya siapapun dirumah itu kecuali mama. Ia sangat senang hampir tak percaya bahwa mama benar-benar memasaknya untuknya. Diraihnya telapak tangan mama dan ayahmu berkata, "Apakah tangan ini tidak apa-apa menyentuh daging-daging itu? Apakah Shafiyah tidak pingsan?"

Aisyah tersenyum mendengar kisah itu. "Ayah selalu bersikap romantis kepada mama ataupun kepada kami, putri-putrinya." "Ayahmu sangat romantis." Ibunya terdiam sejenak lalu melanjutkan, "Bahkan ketika melamar mama. Ketika kakekmu menunda pernikahan kami delapan bulan lamanya, dengan tegas dan sopan ayahmu berkata pada kakekmu di hari lamaran itu, "Pak, tujuan saya datang melamar putri bapak hanyalah untuk menikahinya secepatnya. Kalau memang yang ditakdirkan Allah untuk saya di Lauhul Mahfudz bukanlah nama Shafiyah Jeseelyn Jenkinson binti Abdurrahman Jenkinson, maka saya ijin undur diri. Siapa tahu nanti saya menemukan jodoh saya di tempat lain." Mendengarnya, kakekmu langsung mengubah rencananya dan mempercepat pernikahan kami karena melihat bahwa orang seperti ayahmu ini sangat langka."

Diujung cerita ibunya, terdengar suara pintu yang dibuka dan terucap sebuah salam. Asma pulang setelah menyelesaikan mata kuliahnya yang kedua. Ia akan kembali ke kampusnya lagi nanti sore untuk menghadiri mata kuliahnya yang ketiga di hari itu. Asma pulang dengan sedikit mengantuk. Ia menguap pelan dan menutupnya dengan telapak tangannya. "Siapa yang langka?" tanyanya. Aisyah menjawab, "Ayah. Ayah sangat romantis pada mama." Asma berjalan gontai dan meletakkan tasnya diatas kursi. "Ya, ayah memanglah romantis dibanding ayah-ayah yang lain..... dan bukankah kau seharusnya berada di sekolah, Aisyah?" tanyanya dengan sedikit heran. Lawan bicaranya tak berkata apa-apa, ia hanya menunjukkan kedua telapak tangannya yang dibalut dengan perban putih. Asma terperanjat kaget dan segera bergegas menuju adiknya itu. "Ya Allah, apa yang terjadi?" Aisyah menceritakan semuanya pada kakaknya.

Diujung ceritanya, Asma memeluk adiknya itu sambil berkata, "Kakak paling tidak bisa mendengarmu terluka, Aisyah. Itu juga menyakiti kakak. Kau tahu itu kan?" Aisyah mengangguk lalu melepas pelukan kakaknya. Ia memandang kearah mata biru kakaknya lalu berkata, "Iya, Aisyah tahu. Itulah sebabnya Aisyah tak pernah memberitahu kalau ada orang yang menyakiti Aisyah, nanti orang itu akan menghilang ditelan bumi." Mereka berdua tertawa mengingat kejadian itu. Masa-masa dimana kedua gadis itu masih kecil dan ada beberapa anak yang menganggu Aisyah hingga ia menangis. Melihatnya, Asma langsung menghampiri mereka dan memukul mereka tepat diwajahnya hingga membuat hidung mereka berdarah. Sore harinya, ibu-ibu dari sekumpulan anak berambut pirang itu datang untuk mengaduh dan komplain kepada ayah kedua gadis itu. Asma dan Aisyah bersembunyi berlindung dibelakang sosok ayahnya. Dengan bijak, ayahnya menyelesaikan permasalahan itu dan keadaan kembali membaik seperti semula. Sebagai akibatnya, Asma diperintahkan berdiri di sudut ruang tamu sambil menghafalkan kedua puluh lima nama nabi dari awal sampai akhir. Jika masih salah, ia tidak diperbolehkan untuk duduk, makan, ataupun minum. Dua jam lamanya ia berdiri dalam posisi yang sama. Sesekali ia menghapus air matanya lalu melanjutkan hafalannya lagi. Tak jarang Aisyah diam-diam memberinya minum dan kue-kue biskuit ketika ayahnya sedang lengah. Pada kue yang terakhir tersisa, ayahnya mendapati perlakuan putri bungsunya itu. Aisyah menunduk ketakutan. Melihatnya, ayahnya tersenyum dan menghampiri kedua putrinya itu lalu duduk berlutut. Ia memeluk kedua putrinya sambil berkata, "Amarah ayah langsung hilang ketika memelukmu, Aisyah. Sungguhlah kau seperti Aisyahnya Rasulullah. Itulah tujuan ayah memberimu dengan nama itu sebagai penyejuk hati di tengah-tengah keluarga ini."

"Oh iya, aku punya novel untukmu. Tadi aku mampir ke toko buku." Asma meraih tasnya dan mengambil novel bersampul ungu itu. Novel itu berjudulkan "Terpisah Lima Kaki". Ini bukanlah pertama kalinya ia membelikan adiknya buku bacaan. Sudah sering kali ia pulang dan memberikannya buku bersampul plastik yang masih beraromakan toko. Kedua gadis itu kemudian membantu ibunya menyiapkan makanan diatas meja. Mereka bertiga makan siang bersama menyantap Kofta buatan ibunya dan Aisyah. Selama makan siang itu berlangsung, Asma mulai bercerita bagaimana kegiatan hari itu di kampusnya dan tak lupa juga ia menceritakan tentang tunangannya yang akan menjadi suaminya pada bulan Juli mendatang. Setiap hari Selasa, ia memiliki jadwal mata perkuliahan yang diajarkan oleh seorang dosen baru keturunan Arab yang mengajar di kampus Asma. Mereka berdua adalah satu-satunya yang beragama Muslim di kampus itu. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama mengatas namakan Islam di negeri yang haus akan nama Allah itu. Seluruh alam semesta sepertinya menakdirkan mereka untuk bertemu.

Dosen yang bernama Yasir itu berwajah khas Arab dengan ciri khas memiliki bulu-bulu tipis di dagu hingga rahangnya. Warna matanya senada dengan rambutnya, hitam kelam nan indah. Ia masih terlihat sangat muda untuk disebut dosen. Di hari itu jantung mereka berdetak menyambut satu sama lain tanpa seorangpun yang tahu. Pertunangan mereka masih dirahasiakan dari para mahasiswa disana. Mereka tak ingin menjadi pusat perhatian. Itu akan memecah konsentrasi belajar dan mengajar. Asma dan Yasir adalah dua insan Muslim yang sangat disiplin dan mematuhi ajaran agamanya. Walaupun api asmara diantara mereka berkobar-kobar, mereka masih dapat mengendalikan diri dan tidak sekalipun bertemu kecuali di kelas dan di rumah kediaman keluarga Smith. Sesekali ia datang hanya untuk melihat Asma dan membawakan bingkisan spesial untuk calon adik iparnya yang tersayang. Selama tali pertunangan yang mengikat mereka terjalin, dapat dihitung jari jumlah pertemuan mereka. Walaupun hubungan mereka sangat dekat, namun tak sekalipun mereka memiliki nomor handphone masing-masing. Perbincangan mereka hanya sebatas antara dosen dan mahasiswa ataupun hanya ketika laki-laki itu mengunjunginya saja. Itupun mereka tidak bisa mengobrol dengan leluasa karena ada Aisyah diantara mereka. Setidaknya, mata kuliah ekonometrika itu dapat melebur rasa rindu yang telah tertahankan setelah beberapa hari di sisa hitungan seminggu itu. Walaupun mahasiswa yang lain terlihat menarik dengan tubuh seksi mereka, namun bagi Yasir, Asmalah yang paling istimewa. Pemuda muslim dapat melihat kecantikan dan tertarik pada seorang wanita bukan hanya dari lekuk tubuhnya saja.

"Sebertinya dia terluka, ma. Tadi, Asma lihat ada plester di lengannya ketika ia menggulung lengan kemejanya dan tak sengaja terlihat plester itu." Ibunya memandang kearah Asma dengan ekpresi khawatirnya sambil berkata, "Benarkah? Itulah mengapa mama sangat mengkhawatirkannya ketika mengetahui bahwa ia tinggal seorang diri di apartemen itu karena laki-laki umumnya tidak bisa berhati-hati. Ia harus memasak sendiri, mencuci, membersihkan semuanya sendiri. Sangat disayangkan sekali kedua orang tuanya masih berada diluar kota dan tidak menemaninya disini. Nanti mama akan menelponnya dan menanyakan keadaannya." Asma tersenyum mendengar akhir kalimat ibunya. Ibunya selalu dapat menangkap isyarat yang tersirat dari maksud perkataan putri-putrinya. "Sampaikan salamku padanya, ma."

Usai makan siang itu, Asma mengambil peran untuk mencuci piring dan Aisyah meletakkan semangkuk Kofta itu ke dalam lemari kaca untuk makan malam nanti. Sambil menunggu kakaknya selesai mencuci piring, Aisyah membuka bungkus plastik yang ada di sampul novel barunya dan mulai membacanya. Ia duduk di sofa berwarna biru muda yang empuk di depan televisi. Sesekali ia meraih biskuit didalam toples yang berada diatas meja. Ibunya duduk di sofa seberang sambil menonton berita terkini di televisi. Novel yang berjudul "Terpisah Lima Kaki" itu dibuka dengan kisah seorang pemuda yang bernama Jonas. Ia adalah anak dari keluarga kaya raya namun ia memiliki kepribadian yang buruk. Tak jarang ia melakukan balap liar dengan teman-temannya di tengah malam pada suatu jalan raya besar. Ia juga sering berganti-ganti pacar. Orang tuanya sangat kewalahan untuk mengendalikannya. Hingga mereka bertemu dengan seorang gadis yang diharapkannya dapat merubah kelakuan putranya.

Aisyah jatuh tertidur ketika ia membaca halaman ke dua puluh lima. Novel itu jatuh terlungkup diatas dadanya. Asma didalam kamarnya telah membaca materi untuk mata kuliah selanjutnya lalu kemudian ia mandi. Seusai mandi ia segera mengganti pakaiannya dengan pakaian baru dan meraih warna jilbab yang senada dengan bajunya. Ia memasukkan buku-buku ke dalam tasnya lalu bersiap untuk menuruni tangga. "Ma, Asma berangkat dulu ya." Pamitnya dengan sedikit berbisik ketika dilihatnya Aisyah yang tertidur diatas sofa. Ia menghampiri adiknya itu lalu dikecupnya pipi kiri Aisyah.

Dua jam kemudian semenjak kepergian Asma, kepala keluarga itu pulang dari kerja. Kedatangannya yang sangat ditunggu-tunggu oleh putri bungsunya itu langsung diutarakan oleh ibunya. Aisyah masih tertidur diatas sofa tak dapat mendengar apa-apa. Kepala keluarga itu mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh istrinya. Ia tak menunjukkan ekspresi apa-apa ketika mengetahuinya. Laki-laki itu tak berkomentar apa-apa dan tidak ada yang bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Ia berlaku sebagai pendengar yang baik sambil melepaskan satu persatu dasinya, jas hitamnya, dan sepatunya. Ia tahu bahwa saat-saat seperti ini akan segera tiba. Ketika putri kesayangannya itu bertemu dengan pria yang dianggapnya cocok, maka ia harus menyiapkan hati untuk terbagi cintanya. Di lubuk hatinya mengatakan bahwa ia masih belum siap untuk itu. Ia masih ingin bersama Aisyah kecil dan memadu cinta antara ayah dan anak. Ia sangat tidak siap untuk cintanya dibagi. Kedua tangan yang selama ini ia gunakan untuk membesarkan Aisyah, ia tidak rela untuk memberikan gadis itu pada laki-laki lain. Darah dan nanah telah ia jalani untuk membuat hidup Aisyah bahagia tanpa membuatnya meneteskan air mata. Namun ia dengan sangat rapi dapat menyembunyikan perasaannya itu dan tidak ditunjukkannya pada ekpresi wajahnya. Diujung cerita istrinya, ia meraih handphone Aisyah dan dilihatnya notifikasi baru lagi dari pemuda Turki itu.

Pukul 01:25 PM

Assalamualaikum. Aku tahu kalau kau beberapa kali online.

Kapankah kau akan membalas pesanku ini nona?

Laki-laki itu membaca keseluruhan pesan-pesan yang telah dikirimkannya pada putrinya. Lagi-lagi ia tak menunjukkan ekspresi apapun ketika membacanya. Ia dapat melihat kepribadian pemuda itu dari tatanan kalimatnya. Tak lama kemudian, ia meletakkan handphone putrinya ke tempat semula lalu mengatakan sesuatu pada istrinya. Mereka berdua duduk bersandingan di ruang tamu berharap Aisyah tak dapat mendengar pembicaraan itu.