Kampung ini memang di kelilingi oleh pemakaman umum, tempat peristirahatan terakhir Asih ada di dekat pintu masuk TPU.
Setelah gempar-gempornya kematian Asih, kampung ini jadi sepi meskipun masih jam delapan malam.
Tak ada yang berani keluar, lantaran takut arwah Asih masih bergentayangan.
Warung dua puluh empat jam pun bahkan sudah tutup dari jam tujuh malam.
Hanya warung Dina yang masih buka, karena Dina tidak pernah percaya akan yang namanya hantu.
Warung Dina berhadapan dengan TPU, tepatnya depan warung Dina adalah kuburan Asih.
Leha jam setengah sembilan malam mau membeli kopi, jarak antara warung Dina dan Leha lumayan jauh. Karena warung di dekat rumahnya Leha tutup sedari tadi, jadi mau tidak mau Leha pun pergi ke warung Dina untuk membeli kopi.
"Ih nanaonan sih si akang teh, piraku jam sakieu nitah meuli kopi! Teu nyaho apa meuni merinding kieu, jaban eweuh jelema deui ah! Gara-gara si Asih yeuh, kampung jadi sepi kieu! Warung ge tarutup deui! Untung weh si mbak Dina buka." (Ih apa-apaan sih si akang, masa jam segini disuruh beli kopi! Gak tahu apa sampe merinding gini, mana gak ada orang lagi ah! Gara-gara si Asih, kampung jadi sepi gini! Warung juga pada tutup semua! Untung aja ada mbak Dina buka.) Gumam Leha, dengan terburu-buru Leha berjalan cepat menuju warung Dina.
Sesampai di warung Dina, Leha terlihat tergesa-gesa, nafasnya tidak beraturan karena lelah jalan cepat dari rumahnya menuju warung.
"Kenapa Teh? Kok ngos-ngosan gitu sih?" Tanya Dina.
"Ih Mbak, aku teh takut tau gak? Emang Mbak teh gak takut apa?" Cetus Leha.
"Takut kenapa sih, si Teteh teh?" tanya Dina.
"Eta ih, kan si Asih teh meninggal gak wajar. Gak ada takutnya si Mbak Dina mah! Depan warung Mbak kuburan dia juga." Leha nyerocos sama Dina.
"Ngapain harus takut? Da orang udah meninggal mah gak akan hidup lagi. Udah ah mau beli apa nih Teh?" tanya Dina.
"Beli mi goreng satu Mba...."
"Mi goreng apa, Teh Leha? Sodap apa indomay?"
"Hah mi goreng? Siapa lagian yang mau beli mi goreng? Si Mbak mah sok ngaco ah." Ucap Leha.
"Lah tadi sih Teteh yang bilang beli mi goreng." Dina heran.
"Dih engga sumpah deh." Ucap Leha.
"Saya Mbak... Beli mi goreng indomay...." Suara Asih terdengar menggema di telinga Leha dan Dina.
"A-ash. A-aa...." belum sempat melanjutkan perkataannya Dina sudah pingsan, karena sudah ada arwah Asih tepat berada di belakang Leha.
"Aduh malah pingsan deuih si mbak teh! Ieu suara siga suara si Asih ninganan." (Aduh, malah pingsan si mbak! Ini suara kaya suara si asih lagi.) Muka Leha terlihat panik.
"Ieu Asih, Teh. Hoyong mi goreng indomay...." Dengan wajah pucat, Asih tetap terlihat cantik. Berpakaian lengkap seperti penari goyang Karawang, Asih terlihat cantik namun menakutkan.
"Astaga naga, maneh teh geus maot Sih, aing mah ah sagala ngadatangan urang!" (Astaga naga, kamu tuh sudah mati Sih, duh segala ngedatangin saya lagi!)
"Ceunah arek di pasak mun Asih datang...." (Katanya mau di masak kalau Asih datang....) Ucap Asih cengengesan.
Leha melihat wajah Asih, cantik tapi menakutkan. Ketika melirik Asih, wajah Asih tersenyum ngeri. Senyumnya lebar selebar-lebarnya, kepalanya miring, dan giginya penuh dengan darah, matanya tiba-tiba menghitam semua.
Leha semakin ketakutan saat melihat kaki Asih yang tak menapak di tanah.
Leha lari terbirit-birit. Dikejar dengan Asih, yang terbang di atas kepala Leha.
"Hihihihi... Sini atuh Teh, gak kangen sama Asih? Ahahahaha." Asih tertawa dengan melengking, khas suara tertawa sosok kuntilanak.
Dengan lutut yang lemas Leha terus berlari. Menurut Leha, dia sudah sekencang mungkin berlari. Tetapi nyatanya dia hanya berjalan pelan dan sempoyongan seperti orang mabuk yang akan terjatuh.
"A-ampun Asih, ampun." Leha sudah tidak kuat berlari.
Ke mana pun Leha berlari, Asih selalu mengikuti Leha dengan melayang di atas kepalanya. Sambil memainkan selendang khas penari pada umumnya, dia melayang kegirangan dengan suara tertawa cekikikan khas kuntilanak.
"Sini atuh Teh, urang nari bareng-bareng. Ahahahaha... Hihihihihi...." Asih terus menakuti Leha dengan puas hati.
Akhirnya Leha pun sampai rumah dan langsung memasuki rumahnya.
Asih tidak masuk ke dalam rumah Leha, dia menunggu di depan halaman rumah Leha.
Leha melihat Asih dari balik jendela, masih terlihat kehadiran Asih di sana.
Menari di halaman rumah Leha, memainkan selendangnya dengan kedua tangannya. Lehernya meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, kakinya yang melayang, dan senyumnya yang teramat lebar. Membuat penampilan Asih sangat seram pada saat itu.
Dan tiba-tiba ada yang menepuk pundak Leha.
"Allahu Akbar, Astagfirullahalazim." Leha terkejut saat Tono—suaminya, menepuk pundak Leha.
"Kunaon ai maneh? Siga anu nempo jurig wae! Mana kopi na? Buruan, urang geus rieut yeuh hayang ngopi." (Kenapa sih kamu?kayak lagi ngeliat setan aja! Mana kopinya? Cepetan, aku sudah pusing nih pengen ngopi.) Tono merongos memerintah Leha.
"Ak-akang... Eta aya si Asih di hareupeun imah!" (Ak-akang... Itu ada si Asih di depan rumah!) Leha panik, tangannya menunjuk terus ke arah halaman rumahnya.
"Nanaonan sih maneh? Mana coba urang nempo! Mana aya jelema paeh hirup deui, gentayangan ongkoh deui." (Apa-apaan sih kamu? Mana coba aku lihat! Mana ada orang mati hidup lagi, gentayangan juga lagi.) Ucap Tono, dengan rasa penasaran Tono mengintip ke arah halaman rumah melalui jendela.
Saat melihat ke arah jendela tidak ada apa-apa, namun saat membalikkan tubuh ke arah Leha.
Leha tidak lagi di posisinya, dia tepat berada di depan wajah Tono. Sembari tertawa menyeringai, matanya melotot melihat Tono.
"Nanaonan sih maneh? Maneh pikir aing sieun hah? Di singsieunan ku maneh? Moal pisan!" (Apa-apaan sih kamu? Kamu pikir aku takut hah? Di takut-takutin sama kamu? Ga akan!) Kata Tono sambil mendorong pelan kepala istrinya itu.
"Hihihi... Aa, sono teu ka Neng?" (Aa, kangen gak sama Neng?) wajahnya masih menyeringai, tertawa perlahan namun menyeramkan. Mata Leha melotot tanpa mengedip, namun pupil matanya bergerak dengan cepat ke kanan dan ke kiri, jemari lentiknya di goyangkan dengan selendang ala penari profesional.
Semasa hidupnya, Asih memang terkenal sebagai penari profesional. Bukan hal yang aneh jika meskipun menjadi Arwah yang merasuki tubuh Leha, goyangannya Asih tetap terlihat lihai dan menawan.
"Heh Leha, sadar. Kunaon sih ai maneh?" (Heh Leha, sadar. Kamu tuh kenapa sih?) Tono menampar pipi Leha yang sedang menari goyang Karawang.
"Hihihi... Sini atuh Aa, goyang sama Neng. Apanan Aa suka goyang sama Neng, di pentas maupun di ranjang...." Senyum Leha masih tetap menyeringai, Leha menari goyang Karawang mengitari tubuh Tono yang terbujur kaku setelah mendengar perkataan Asih yang merasuki tubuh Leha.
Kini muka Tono memucat, dia baru sadar jika istrinya kerasukan arwah Asih.
Dia berlari keluar rumah dengan ketar-ketir, menuju rumah Pak Ustaz Hasan yang tak jauh dari rumahnya.
Belum sampai depan pintu rumah Pak Ustaz, Tono sudah berteriak-teriak. Sehingga membuat Pak Ustaz keluar rumah sebelum Tono mengetuk pintu.
"Pak Ustaz, tulungan urang Pak! Si Leha kasurupan!" (Pak Ustaz, tolong saya Pak! Si Leha kesurupan!) Dengan nafas yang ter engah-engah, Tono menceritakan kejadian di rumahnya.
"Kunaon Tono, ai maneh? Sok tenang heula tarik napas heula terus hembuskeun sing lalaunan, meh tenang." (Kamu kenapa, Tono? Coba tenang dulu tarik napas terus hembuskan pelan-pelan, biar tenang.) Ucap Pak Ustaz menenangkan Tono.
"Huuu... Haaaahh... Pak tulungan abdi, si Leha kasurupan si Asih." Ucap Tono dengan sudah mulai tenang.
"Astagfirullah, piraku? Hayu atuh gera buru ka imah maneh.!" (Astagfirullah, masa? Ayo cepet-cepet ke rumah kamu!)