Chereads / Nagasasra dan Sabukinten / Chapter 5 - Kelima

Chapter 5 - Kelima

Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba, "Apakah maksudmu, Kakang?"

"Nyai," Ki Wirasaba menjelaskan, "kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak lagi menerima aku."

Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah tangisnya. "Kakang," katanya di antara sedu-sedannya, "aku masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih berhak kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau hanya akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh diri. Tetapi kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa tidak berhak lagi menerima aku?" kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.

"Nyai," jawab Ki Wirasaba, "laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri."

Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang merasa berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka dapat menolong memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.

Mendengar kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan, mengapa Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?

Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk bersila di atas pembaringannya.

"Selamat datang Bapak Asem Gede."

Ki Asem Gede membalas hormat, jawabnya, "Selamat Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya. Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap seperti saat ia diambil darimu."

Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah seorang jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang lain berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan seorang istri.

"Siapakah yang telah membebaskan istriku?" tanya Wirasaba.

Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang tak mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki Asem Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau hal ini dianggap merendahkan orang tua itu.

Melihat gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang yang sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera muncullah sifat tinggi hatinya, katanya, "Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku. Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?"

Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar terguncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam melukai hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di samping pembaringan suaminya, berlutut sambil menangis, katanya, "Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi."

Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak menunjukkan getaran perasaannya.

Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya. Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.

Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja. Sama-sama mengalami penderitaan batin. Kalau Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan membunuh dirinya.

Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata, "Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan."

Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersama-sama.

Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.

Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.

Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.

Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah berdiri tegak diantara mereka adalah Samparan.

"Pengecut tua," teriaknya sambil menuding wajah Ki Asem Gede, "kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya dengan kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula. Nah, sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali."

Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini?

Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai umpan.

Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya, matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam jiwanya.

"Samparan," sahut Wirasaba, "kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku dengan laku seorang jantan."

Samparan tertawa dingin, jawabnya, "Kau bermaksud demikian?"

Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.

Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan, meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.

"Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?" tanya Samparan dengan nada menghina.

Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab, "Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan akulah yang harus menyelesaikan."

Kembali Samparan tertawa dingin. "Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau. Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang telah retak."

Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada tandingannya di antara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah lumpuh. Dan kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya, maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.

Mendengar ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya. Sebuah kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.

"Kalau kau tidak membawa senjata, Samparan…, kau boleh meminjam senjata-senjata ku. Manakah yang kau sukai?" kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang. Pada dinding yang ditunjuk itu bergelayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak, pedang, keris dan sebagainya.

Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.

"Wirasaba," katanya, "alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu. Hanya saja tak satupun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu."

Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang tergantung di sudut ruang itu pun segera mempersiapkan diri.

Ki Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya mereka berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan. Tetapi Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat ketinggian ilmu Wirasaba.

"Samparan, mulailah!" Wirasaba menggeram tidak sabar lagi.

Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.

Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang Wirasaba.

Mahesa Jenar melihat segala gerak Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan sebagai seorang anak yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali ke pangkuan kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang pernah dilakukan.

Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba ternyata memang seorang yang berilmu cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya, tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis serangan-serangan Samparan, sehingga tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam lengan Samparan dengan tangkai kapaknya. Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan itu.

Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan.

Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak menyenangkan.

Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan pertempuran itu.

Maka, semakin lama semakin jelaslah bahwa Samparan akan berhasil menguasai keadaan. Ia mempergunakan suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju sambil menyerang, tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat surut menjauhi Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat berbahaya.

Melihat cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi semakin kalap, disamping rasa penyesalan yang meluap-luap atas cacat kaki yang dideritanya. Karena itulah maka cara bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin kabur. Sehingga pada suatu saat, dengan gerak tipu yang cepat sekali, tombak Samparan mengarah ke leher Wirasaba. Wirasaba segera mengangkat tombaknya untuk menangkis serangan itu. Tetapi selagi kapak Wirasaba bergerak, Samparan mengubah serangannya. Dengan satu putaran yang cepat tombaknya mengarah ke perut Wirasaba. Melihat perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba terkejut, secepat kilat ia mengayunkan kapaknya memukul tombak Samparan. Pada saat yang demikian, kedudukan Wirasaba menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari bentrokan itu, kemudian dengan perubahan sedikit ia memukul kapak Wirasaba dengan arah yang sama, maka mungkin sekali kapak itu akan terlempar jatuh. Tetapi pada saat ia akan melakukannya, tiba-tiba terlintaslah di dalam benaknya, suatu ingatan, bahwa ia tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan Wirasaba. Samparan datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana ketentraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran.

Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari pegangannya.

Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketentraman hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah yang terjadi.

Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu goresan panjang merobek dada Samparan.

Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan. Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede terguncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami kejadian seperti ini.

Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalas-lah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun juga.