Chereads / Nagasasra dan Sabukinten / Chapter 9 - Kesembilan

Chapter 9 - Kesembilan

Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya. Mula-mula ia berjalan menyusur jalan yang dilaluinya ketika ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus sampai ke Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia mengambil jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok ke barat, menyeberangi Sungai Opak. Meskipun ia sama sekali belum mengenal daerah yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia mengenal ilmu perbintangan yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang dikehendaki.

Demikianlah Mahesa Jenar sebagai seorang perantau berjalan dari desa ke desa, dari kademangan yang satu ke kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan, Kalimati, Temu Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si Lempu dan Cupu Watu. Terus kembali membelok ke barat tanpa berhenti.

Maka pada saat fajar menyingsing sampailah Mahesa Jenar ke depan mulut hutan yang lebat, yang terkenal dengan nama Alas Tambak Baya.

Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti sejenak. Dipandanginya hutan lebat yang terbentang di hadapannya. Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat berbahaya. Di dalamnya bersarang banyak jenis binatang berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali binatang-binatang berbisa yang dengan sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di dalam hutan itu banyak bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok.

Hanya rombongan yang agak besar dengan kawalan yang kuat sajalah yang berani menyeberangi hutan ini. Kebanyakan mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir utara yang membawa barang-barang untuk dipertukarkan dengan hasil-hasil hutan. Tetapi meskipun rombongan-rombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal yang dianggapnya kuat, namun tidak jarang diantara mereka yang tak berhasil keluar lagi dari hutan ini.

Pada saat nama Lawa Ijo sedang cemerlang beberapa saat yang lalu, daerah ini pun merupakan daerah pengaruhnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri dan melepaskan semua hak-haknya atas beberapa daerah. Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa Ijo adalah memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan menemukan pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabukinten, di samping persiapan-persiapan untuk menghadapi pertemuan puncak dari tokoh-tokoh sakti aliran hitam.

Karena itu timbullah kesan seakan-akan kekosongan pemerintahan di wilayah pengaruh Lawa Ijo. Penjahat-penjahat kecil yang semula harus tunduk pada setiap peraturan yang dibuat oleh Lawa Ijo, sekarang merasa bebas dan dapat berbuat sekehendak hati mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan dan pertempuran-pertempuran antara satu golongan dengan golongan yang lain, untuk memperebutkan rezeki.

Demikianlah kira-kira isi hutan lebat yang bernama Tambak Baya, yang sebenarnya hanya merupakan anak dari induk hutan yang lebih besar dan dahsyat, yaitu Alas Mentaok.

Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo telah menghentikan sebagian besar dari kegiatannya, namun tak segolongan pun dari para penjahat kecil yang berani melakukan pekerjaannya di hutan induk yang lebat ketat itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih menghormati pusat kebesaran kerajaan Lawa Ijo.

Sementara itu Mahesa Jenar masih tegak memandang kehijauan hutan di hadapannya, yang berkilat-kilat terkena cahaya matahari, karena pantulan embun pagi yang sedang mulai menguap. Dalam keheningan udara pagi, hutan itu tampaknya seakan-akan tubuh raksasa yang sedang terbujur lelap. Mengerikan.

Untuk menyeberangi hutan itu Mahesa Jenar memerlukan waktu beberapa hari, sampai dijumpainya pedesaan kecil di daerah Pliridan. Sesudah itu ia akan sampai ke bagian hutan yang bernama Beringan dan di bagian selatan yang penuh dengan rawa-rawa, bernama Pecetokan. Untuk melampaui kedua daerah ini pun diperlukannya waktu beberapa hari pula. Kalau ia ingin menemui padukuhan, ia harus menyusup ke selatan, ke daerah Nglipura dan Mangir.

Mengingat itu semua, Mahesa Jenar merasa perlu untuk mendapat bekal makanan secukupnya. Maka sebelum memasuki hutan itu diperlukannya untuk singgah di pedukuhan yang terdekat untuk membeli bahan makanan sekadarnya. Disamping itu ia mengharap pula bahwa di dalam hutan itu pun akan tersedia bahan makanan, terutama daging.

Di sebuah gardu di tepi sebuah desa, dilihatnya banyak orang sedang berjualan. Rupanya gardu itu merupakan tempat berkumpul bagi mereka yang akan menyeberangi hutan. Mereka menunggu sampai jumlah yang cukup, kemudian bersama-sama mengupah beberapa orang yang kuat untuk mengawal mereka sampai ke Nglipura, Mangir atau daerah Begelen di seberang hutan Mentaok setelah melintasi pegunungan Menoreh.

Lalu lintas ini mulai ramai kembali sejak Lawa Ijo melepaskan beberapa daerah pengaruhnya. Sedangkan terhadap perampokan-perampokan kecil, para pengawal bersama-sama para pedagang dalam jumlah yang cukup besar, merasa mampu untuk menandingi perampok-perampok itu.

Diantara mereka yang berkumpul di situ terdapat beberapa orang saudagar, beberapa orang yang barangkali akan mengunjungi sanak saudara di tempat yang jauh. Mereka semua menyandang senjata. Ada yang membawa tombak, kapak, pedang yang berjuntai di pinggang, keris, dan sebagainya.

Yang menarik perhatian Mahesa Jenar, diantara mereka ada seorang gadis yang cantik. Menilik pakaiannya, ia pasti termasuk salah seorang dari keluarga yang cukup. Tetapi melihat wajahnya, tampaklah betapa suram dan sayu. Mungkin ada sesuatu masalah yang memaksanya untuk melawat demikian jauhnya sehingga terpaksa harus menyeberangi hutan Tambak Baya.

Selain gadis itu, Mahesa Jenar juga tertarik kepada seorang muda yang berwajah tampan dan bersih. Umurnya tak banyak terpaut dengan umurnya sendiri. Pemuda itu berpakaian rapi seperti seorang pedagang kaya. Kainnya lurik berwarna cerah, sedangkan bajunya agak gelap berkotak-kotak. Dari celah-celah bajunya tampaklah timang emasnya berteretes intan. Serasi benar dengan kulitnya yang kuning bersih. Namun agaknya ia terlalu berani dengan menonjolkan kekayaannya melewati daerah yang berbahaya itu.

Kedatangan Mahesa Jenar diantara mereka sama sekali tidak menarik perhatian. Baik bagi mereka yang akan mengadakan perjalanan maupun para pengawal yang tampaknya telah siap. Sebab, keadaan Mahesa Jenar dengan pakaiannya yang kusut serta janggut dan kumisnya yang serba tak teratur itu, tampak seperti seorang perantau yang biasanya memang mencari kesempatan untuk dapat berbareng dengan rombongan-rombongan yang demikian. Para pengawal sudah sering melihat hal yang serupa. Dan dari para perantau semacam ini sama sekali tak dapat diharap untuk menambah upah mereka. Tetapi karena biasanya para perantau itu tidak pernah mengganggu, maka para pengawal pun tak pernah merasa keberatan, malahan hampir tak peduli. Bahkan dari para perantau ini dapat pula diambil keuntungannya, dengan menambah jumlah orang dalam rombongan itu, yang juga berarti menambah satu tenaga apabila sesuatu terjadi.

Mula-mula Mahesa Jenar sama sekali tak menaruh perhatian atas rombongan itu, sebab ia tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Tetapi karena diantara orang-orang itu agaknya ada yang menarik perhatiannya, maka ia pun mencoba untuk mendekati mereka dengan berpura-pura membeli beberapa macam makanan.

Semakin dekat semakin jelaslah kedukaan yang menggores di wajah gadis cantik itu. Menurut dugaan Mahesa Jenar, gadis itu umurnya berkisar diantara 20 tahun. Menilik sikap, kata-kata dan beberapa gerak-geriknya, gadis itu adalah gadis yang manja. Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Mengapa gadis manja ini menempuh perjalanan yang berbahaya? Pada saat itu Mahesa Jenar masih belum tahu, apakah gadis itu mempunyai kawan seperjalanan di antara rombongan itu.

Sedangkan pemuda tampan itu pun semakin menarik perhatiannya pula. Meskipun pemuda itu berwajah tampan dan bersih serta bersikap sopan, tetapi ketika Mahesa Jenar sempat memandang matanya, ia menjadi curiga. Mata yang redup dan selalu bergerak-gerak bukanlah mata orang baik-baik. Bibirnya yang tipis dan selalu menyungging senyum yang aneh itu pun telah menyatakan bahwa ia mempunyai sifat yang tidak berterus terang dan meremehkan orang lain.

Karena itulah maka Mahesa Jenar kemudian membatalkan niatnya untuk mendahului rombongan itu. Ia merasa tertarik untuk mengikuti iring-iringan itu. Ketajaman perasaannya mengatakan bahwa ada hal yang tidak wajar pada pemuda tampan itu.

Ternyata Mahesa Jenar tidak perlu menunggu lama, sebab sebentar kemudian terdengarlah aba-aba dari pimpinan pengawal yang sudah setengah umur untuk menyiapkan kawan-kawannya yang terdiri dari kira-kira 10 orang, untuk segera berangkat, mumpung hari masih pagi.

Semakin curigalah Mahesa Jenar terhadap pemuda itu, karena kemudian tampak sikapnya yang semakin sopan berlebih-lebihan. Dengan sangat cekatan ia membantu kawan-kawan dalam rombongan itu, terutama gadis cantik yang juga menarik perhatian Mahesa Jenar itu.

Sebentar kemudian siaplah semuanya. Beberapa orang pengawal membawa beban masing-masing, disamping senjata mereka. Dan hampir setiap orang dalam rombongan itu membawa bungkusan besar dan kecil. Tetapi tidak demikianlah pemuda itu. Kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya, tak sehelai benang pun dibawanya. Namun di tangannya tergenggam sebatang tongkat yang agak panjang, berwarna hitam mengkilap.

Kembali terdengar pemimpin rombongan itu memberikan aba-aba. Sesaat kemudian mulailah iring-iringan itu bergerak. Jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan itu, kecuali para pengawal, kira-kira berjumlah 25 orang. Diantaranya hanya terdapat tiga orang wanita. Dua diantaranya berjalan dengan suami masing-masing. Sedangkan gadis cantik yang menarik perhatian Mahesa Jenar, ternyata hanya seorang diri.

Mahesa Jenar segera mengikuti rombongan itu. Dan dengan tidak diduganya sama sekali, seorang wanita yang berjalan dengan suaminya, memanggilnya. Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Tetapi agar tidak mencurigakan, ia mendatangi wanita itu.

"Bapak, sukakah Bapak membawa beberapa bebanku ini? Nanti aku akan memberi sekadar upah," kata wanita itu kepada Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar bimbang sebentar. Hatinya menjadi geli.

"Atau barangkali kau mau menentukan berapa besarnya upah yang kau minta?" sambung suaminya.

Cepat-cepat Mahesa Jenar membungkuk hormat. Lalu jawabnya, "Akh, terserahlah kepada Tuan. Berapapun besarnya upah yang akan Tuan berikan, pasti akan sangat menyenangkan. Dengan demikian aku akan dapat membeli sekadar oleh-oleh buat anak-anakku."

Suami-istri itu mengangguk-angguk. Lalu diserahkannya beberapa bebannya kepada Mahesa Jenar.

Hal ini sebenarnya menguntungkan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian ia dapat mendekati rombongan itu tanpa suatu kecurigaan. Tetapi ia terpaksa mendongkol juga. Sebenarnya ia lebih senang jalan berlenggang daripada membawa beban yang cukup berat itu. Meskipun sebenarnya Mahesa Jenar bertubuh kuat, namun ia pun harus ber-pura-pura merasa berat pula.

Setelah beberapa saat mereka mengikuti jalan setapak di tengah-tengah rimba liar itu, mulailah perjalanan mereka agak sulit. Beberapa kali pemimpin rombongan itu memperingatkan supaya mereka berhati-hati terhadap segala jenis serangga, lebih-lebih ular. Rupanya pemimpin rombongan itu sudah amat berpengalaman menempuh perjalanan demikian. Karena itu tampaklah betapa bijaksana ia membawa orang-orang yang di bawah tanggung jawabnya itu. Apabila jalan amat sulit, tidak segan-segan ia menolong, bahkan menggendong para wanita dalam rombongan itu. Meskipun pemimpin rombongan itu rambutnya telah berwarna dua, tapi ia masih tampak sehat, tangkas dan kuat.

Demikianlah rombongan itu berjalan sangat pelan, sehingga kemajuan yang dicapainya amat lambat pula.

Pada hari itu, perjalanan tak menemui gangguan apapun. Ketika matahari hampir terbenam, segera pemimpin rombongan memerintahkan tiga orang pengawal berpencar untuk mendapatkan tempat berkemah yang aman. Sebentar kemudian tempat itu pun telah diketemukan, dan mulailah rombongan itu mengatur tempat peristirahatan buat malam harinya. Dengan senjata masing-masing mereka membersihkan rumput-rumput liar dan akar-akar pohon-pohon besar untuk kemudian dibentangkan tikar.

Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa tidak sabar berjalan bersama dengan rombongan ini. Kalau ia berjalan sendiri, mungkin jarak yang ditempuhnya adalah 2 atau 3 kali lipat. Tetapi sekarang, setelah ia terikat dengan rombongan itu, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti dengan menahan diri.

Ketika malam telah gelap, para pengawal segera menyalakan api. Sebentar kemudian lidah api itu pun telah menjilat-jilat ke udara. Panas yang dipancarkan terasa nyaman sekali pada malam yang dingin itu. Dan sebentar kemudian, karena kelelahan, beberapa orang telah jatuh tertidur.

Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tak tertarik untuk tidur. Meskipun ia juga merasakan lelah. Oleh pemilik barang yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai tikar. Dan di atas tikar itu ia merebahkan dirinya.

Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Binatang-binatang hutan mulai keluar dari sarangnya. Suaranya terdengar bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya, tetapi ada pula yang mengerikan, seperti teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya.

Dalam keremangan cahaya api, mata Mahesa Jenar yang tajam melihat betapa gadis cantik itu menjadi ketakutan. Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi sebentar kemudian ia membenamkan kepalanya di antara bungkusan-bungkusan kecil yang dibawanya. Sebab tidak ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat dimintai perlindungan seperti kedua wanita yang lain, kecuali bulat-bulat ia menggantungkan dirinya kepada para pengawal.

Tetapi yang terlebih menarik perhatian adalah si pemuda tampan. Tampak sekali betapa gelisahnya. Ia sama sekali tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia sama sekali tak berbaring.

Sebentar ia duduk, sebentar kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. Baru setelah lewat tengah malam, tampaknya ia agak tenang. Ia duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada sebatang kayu. Tidak lama kemudian tampaklah pernafasannya berjalan perlahan dan teratur. Rupanya ia tertidur.

Melihat pemuda yang aneh itu tertidur, Mahesa Jenar pun menjadi agak tenang. Dan tidak atas kehendaknya sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas.

Malam kemudian menjadi bertambah kelam. Setitik demi setitik embun mulai menggantung di dedaunan. Suara binatang hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadang-kadang saja masih terdengar aum harimau yang kemudian disusul jerit ngeri beberapa ekor anjing hutan.

Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para pengawal itu tetap pada tugasnya. Mereka bergiliran tidur. Tiap-tiap kali tiga orang yang tetap bangun dan dengan penuh tanggung jawab melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin rombongan itu pun kadang-kadang bangun menemani mereka yang kebetulan sedang mendapat giliran. Sedangkan mereka yang telah merasa mengupah orang untuk menjaga dirinya, merasa bahwa keadaan mereka telah aman. Karena itu mereka tidak lagi merasa perlu untuk tetap bangun semalam suntuk.

Ketika malam sudah menjadi semakin jauh, telinga Mahesa Jenar yang tajam sekali itu, mendengar suatu suara yang aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur, tetapi suara itu dapat didengarnya, bahkan telah menyadarkannya.

Perlahan-lahan ia membuka matanya sedikit. Dan apa yang dilihatnya dari celah-celah kelopak matanya adalah sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia tidak segera bertindak.

Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang yang bergiliran jaga dan duduk di dekat perapian, telah menggeletak tak bergerak. Sedangkan di sampingnya berjongkok si pemuda tampan.

"Alangkah hebatnya pemuda ini," pikir Mahesa Jenar. Ia dapat merobohkan ketiga-tiganya tanpa banyak ribut-ribut. Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk menghadapi segala kemungkinan.

Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar menjadi semakin waspada. Apalagi ketika pemuda tampan itu kemudian berdiri dan memandang berkeliling. Dan apa yang diduganya adalah benar.

Perlahan-lahan pemuda itu berjalan berjingkat ke arah gadis cantik yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan melarikan gadis yang sedang lelap itu.

Melihat hal yang sedemikian, ia tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sendiri tidak akan bertindak langsung, tetapi seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.

Perlahan-lahan dan hati-hati sekali tangannya meraba-raba mencari sebuah kerikil kecil. Ketika sudah didapatnya, maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah kaki pemimpin pengawal yang sedang tidur pula.

Rupa-rupanya pengawal itu mempunyai perasaan yang tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya tersentuh kerikil yang dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun. Maka apa yang pertama-tama dilihatnya adalah ketiga orangnya yang sedang bertugas telah menggeletak. Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan hati-hati ke arah gadis yang sedang tidur lelap.

Melihat hal itu, kepala pengawal itu segera dapat menghubungkan persoalannya. Maka marahlah ia bukan kepalang. Mukanya menjadi merah seperti darah. Dengan cekatan sekali ia bangun dan meloncat dengan garangnya. Tanpa bertanya lagi tangannya segera terayun ke arah tengkuk si pemuda tampan. Tetapi adalah di luar dugaan sama sekali, meskipun gerak pemimpin pengawal itu cukup cepat dan tanpa diduga-duga, namun dengan suatu gerakan miring yang sederhana, pemuda itu dapat menghindarinya.

"Hebat…" pikir Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar biasa. Siapakah ia sebenarnya?

Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia menjadi semakin marah. Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya menyambar leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal. Dengan mencondongkan tubuhnya, pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya mengait kaki lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu masih lincah juga, sehingga dengan satu loncatan ia dapat melepaskan diri.

Melihat cara orang itu menghindari serangannya, si pemuda tampan menjadi tertawa kecil, katanya, "Bagus… Pak, kau masih juga pandai bermain bajing loncat."

Sementara itu, para pengawal yang lain, serta orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu pun terbangun mendengar keributan-keributan itu. Beberapa orang menjadi gugup dan bertanya-tanya. Tetapi para pengawal yang lain, yang melihat pemimpinnya bertempur, segera ikut serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir.

Maka, sejenak kemudian terjadilah suatu pertempuran yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus bertempur melawan tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar tangguh luar biasa. Melawan tujuh orang yang telah berani menyatakan dirinya menjadi pengawal perjalanan di daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak tampak mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan kesana kemari diantara pepohonan hutan. Tongkat hitamnya berputar-putar melindungi tubuhnya. Meskipun para pengawal itu mempergunakan bermacam-macam senjata, ada yang memakai pedang, ada yang mempergunakan tombak, gada besi dan sebagainya, tetapi semuanya itu tampaknya tidak banyak berguna.

Beberapa orang lain pun kemudian dapat menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu. Karena dalam keadaan demikian, mereka merasa senasib, maka mereka pun menjadi marah.

Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka, untuk menangkap pemuda tampan itu.

Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu tampaknya licin seperti belut. Geraknya cepat dan lincah sekali, bahkan mirip dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara pepohonan, tetapi sejenak kemudian menjulur melakukan serangan yang berbahaya. Malahan setelah mereka bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda itu tetap menguasai keadaan. Bahkan beberapa saat kemudian ia masih sempat tertawa-tawa dan berteriak nyaring. "Jangan kalian turut campur. Aku inginkan gadis itu."

"Jahanam," bentak kepala pengawal, "aku telah menyanggupkan diri melindungi semua yang menjadi tanggung jawabku. Bagaimanapun hebatnya kau, aku akan tetap melawan sampai kemungkinan terakhir."

Kembali pemuda itu tertawa, katanya, "Aku akan menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang tidak mau minggir, bukan salahku kalau ia binasa."

Mendengar ancaman itu beberapa orang merasa ngeri juga sehingga bulu roma mereka berdiri.

"Satu… dua… tiga…," Pemuda itu mulai menghitung bilangan.

Sampai bilangan ini, telah banyak diantara mereka yang meloncat keluar dari gelanggang. Bagaimanapun perasaan kesetiakawanan mereka namun karena mereka tidak langsung berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik minggir daripada turut menjadi korban. Karena itu, setelah bertempur beberapa lama, terasalah bahwa pemuda itu adalah pemuda yang perkasa.

Sampai bilangan ketujuh, tak ada lagi seorangpun yang berani membantu ketujuh pengawal yang sedang bertempur mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu semakin nampak berat sebelah. Tetapi dalam pada itu Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada ketujuh pengawal itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan diri mereka dalam melakukan kewajiban.

Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak sampai hati melihat keadaan yang demikian, maka segera ia melompat dan masuk ke dalam arena pertempuran. Tetapi sampai sedemikian jauh ia sama sekali tidak merasa perlu memperlihatkan kepandaiannya. Ia berkelahi dengan cara yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus untuk mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya.

Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian, terpaksa menghentikan hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar, "Hai orang tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah."

Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus bersama-sama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda itu mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak mempedulikannya. Ia berkelahi dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke mukanya, karena ia memang tidak bersenjata.

Akhirnya pemuda itu menjadi gusar, teriaknya, "Bagus, kalau kau tak mau berhenti, aku akan melanjutkan hitunganku, lalu sesudah itu kalian akan mampus semua. Dan gadis itu akan aku bawa pulang tanpa seorangpun dapat menghalangi."

Mendengar teriakan pemuda tampan itu, gadis cantik yang menjadi sasarannya menjerit ngeri, tetapi suaranya hilang ditelan oleh kelebatan rimba.

Akhirnya, si pemuda sampai juga pada hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia benar-benar akan melakukan apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur lawannya. Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi segulung awan hitam yang menakutkan.

Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.

Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat dikenainya. Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu.

Tetapi, karena sampai sedemikian jauh ia masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu perkelahian itu. Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat menghindarkan diri. Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran.

Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar, geramnya, "Hai orang tolol. Jangan berbuat gila di sini. Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib jelek."

Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.