Austria, 21 Juni 2011.
Perjalanan tiga setengah jam itu terisi dengan kerasnya tawa. Selain keluarga dan pasangan, sahabat adalah teman perjalanan terbaik. Setelah mendarat di Vienna senin siang lalu, menghabiskan hari mengunjungi situs – situs terbaik di kota yang terkenal dengan julukan kota musik. Mampir sebentar di istana Schonbrunn, menikmati ketenangan di museum Kunsthistorisches, sampai mencoba pengalaman menjadi seorang bangsawan dengan hadir dalam pertunjukan opera di malam hari –pengalaman pertama dari dua anak manusia itu-. Sore ini mereka melanjutkan petualangan ke desa yang terkenal sebagai surga kecil Austria. Pun menjadi salah satu situs bersejarah dunia.
Camellia Angelou Peterson. Gadis bermata biru yang menjadi dasar cerita ini dimulai. Nama belakangnya tersemat di tahun 1997 saat keluarga Peterson mengangkatnya. Mr. & Mrs. Peterson sendiri mengambil nya setelah kehilangan putri mereka - Arabella - hampir enam tahun sejak Camellia bolak balik menyandang status yatim piatu. Kehilangan menjadi penghubung mereka. Untuk semua yang telah dirasakan Camellia di masa lalu, pada setiap kesusahan dan kesedihan, perempuan itu berikrar tidak akan pernah berhenti bersyukur untuk kehangatan dan kenyamanan yang di berikan orang tua angkatnya.
Situasi yang dilalui Camellia kecil saat itu kurang lebih sama seperti anak - anak yang memiliki kisah tragis, peristiwa dimana semua angan mereka serasa dibunuh, meninggalkan mereka tanpa pilihan. Membuat kebanyakan diantaranya harus berakhir di panti asuhan. Sebenarnya tidak ada yang salah pada tempat seperti itu. Jika bisa memilih, Camellia ingin menghabiskan hari – harinya disana saja. Yang salah adalah mereka – mereka yang datang dengan iming – iming kebahagian yang malah berujung penderitaan. Menjadi variabel pendukung dalam perubahan sifat seorang Camellia. Dia yang sebelumnya begitu ceria nan ramah, bertransformasi menjadi pemurung pun kaku. Yang terkadang menciptakan kesan angkuh di dirinya. Disaat – saat susah itu, hidupnya menjadi konstan. Membosankan. Mimpi - mimpinya tidak lagi bercorak.
Bak kesatria berbaju besi, Jason Ace Ross datang, melukis terlalu banyak warna dalam hidup Camellia yang abu - abu. Keluarganya dan Keluarga Ross bertetangga kala itu. Melihat Jason selalu memberi kesenangan tersendiri untuk Camellia, kadang kala terasa seperti berkaca. Jason yang terkesan cuek, namun tidak menyia – nyiakan setiap kesempatan hanya untuk bercerita sepeti apa dia dimasa depan nanti , tentang apa – apa yang akan dan telah dilakukannya kala masa itu datang, selalu membuat Camellia terhibur. Menyenangkan bisa melihat sedikit dirinya yang dulu meski dalam wujud berbeda. Cinephile sejati yang selalu mampu meringankan masalahnya. Teman hidup yang diimpikan semua orang. Salah satu penyumbang daftar hal - hal yang perlu di syukuri Camellia setiap hari.
Sejak menginjakkan kakinya di negeri seribu pesona ini, tidak sedetikpun Camellia lewatkan tanpa memikirkan laki – laki itu. Tidak berhenti ia membatin sebab Jason - yang juga mengenalkan nya pada negeri ini - tidak berkesempatan ikut.
Suara batuk tanda puasnya sang pemilik tertawa membuat Camellia menoleh, 'Nih minum dulu.'
Kiandra Lee adalah nama perempuan yang duduk dikursi kemudi saat ini. Teman travel pertama nya. Mereka bertemu di bangku kuliah semester akhir. hobi yang sama menjadi perekat persahabatan mereka. Gadis berambut ikal bermata hazel itu adalah devinisi seseorang dengan jiwa yang bebas. Tidak pernah hanyut dalam kerasnya tuntutan hidup. Dan selalu bisa jadi apa yang diinginkannya. Atau mungkin itulah keuntungan hidup serba berlebihan. Atau, kemungkinan lainnya memang sahabatnya itu memang tidak pernah membuang – buang waktu. Yang jelas, bagian diri Kian satu itu adalah hal yang dikagumi juga dicemburui seorang Camellia.
Sosok Kian tanpa sadar selalu membuatnya mempertanyakan keberadaannya di dunia ini selama lima tahun terakhir. Dia yang terkungkung oleh apa yang membuatnya berdebar - debar di kali kedua -Bekerja-. Ada masa dimana dia menyalahkan hidup yang seperti tidak adil. Tidak memberinya peluang. Membuatnya terjebak dalam peliknya kehidupan. Di sadarinya kemarin ketika mendarat di Vienna, bahwasanya dialah yang terlalu pengecut untuk melangkah.
Kata orang bijak, semakin tua seseorang maka semakin sempit pula lingkup pertemanannya. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan Camellia saat ini. Bagi Camellia, temannya hanya Jason juga Kian. Keduanya adalah cerita penuh makna dalam hidupnya. kedua orang itu bertemu sembilan tahun lalu. 2002. Kecintaan mereka ber-3 pada hal yang sama menambah keistimewaan dalam pertemanan mereka.
'Too bad I didn't see it right away. though it might help If you're getting annoyed again by a devil named Theo.' jelas Kian masih dengan sisa – sisa tawanya. Jika sudah begini, sisa liburannya dipastikan tidak akan lepas dari Theo ini, Theo itu, Si brengsek Theo, Dasar Theo beserta nama - nama binatang sebagai hiasan. Memberi warna dalam kalimat sahabatnya itu jika sudah berurusan dengan si Theo . Tough Luck.
Tidak mengindahkan, Camellia memilih mengamati jalan yang dikepung pepohonan dengan pengunungan sebagai pondasi dan kombinasi merah, jingga juga kuning keemasan yang membentang di horison jadi penyempurnanya. Ah.. Senja, meski sering melihatnya dinegara sendiri tetap saja terasa berbeda di negeri orang. Dalam ekspedisinya besok keliling Hallstatt mereka mulai berdiskusi tempat apa saja yang akan mereka kunjungi. Mereka sendiri akan menghabiskan malam di Gasthof Simony, hotel yang berada di alun - alun kota tua itu.
Hallstatt, kota tujuan mereka ini adalah pemukiman khas pedesaan Eropa dari abad pertengahan yang berada di pinggir Danau Hallstattet. Masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1997. Katanya, turis di desa itu bisa mencapai puluhan ribu setiap harinya, beda jauh dengan populasi penduduk yang hanya berkisar 800-an orang. Menambah daftar kelayakan berkunjung.
Hallstatt itu seperti kepingan surga lainnya di Austria, kata Jason dulu.Yang coba dibuktikan langsung oleh dua gadis itu besok. Dan meski dimasa sekarang bermandikan wisatawan, pesona Hallstatt sendiri tertutup dari ramainya dunia selama ratusan tahun lalu. Jalanan pertama menuju desa ini pun baru dibangun tahun 1890 di bagian barat sepanjang tepi danau dengan meledakkan sebagian dinding batu. Dan terowongan yang nembus gunung Hallberg baru dibuka pada Juni 1966. Dulu - dulu di Austria ini Innsbruck, Salzburg dan Vienna selalu menjadi destinasi utama.
Baru mempertimbangkan dua tempat -Hallstatt Salt World and Skywalk juga Dachstein Salzkammergut and Five Fingers- ketika dua sahabat itu sudah bisa melihat penampakan kota diujung jalan sana. Tawa yang sebelumnya mengisi kendaraan roda empat itu pun tergantikan dengan teriakan histeris. Ibarat orang yang menghadiri konser. Mengesahkan kegembiraan dua pelancong itu.
***
Berkeliling penginapan, bergosip ria lalu berbenah adalah kegiatan menutup Camellia hari itu. Sebelum mengambil posisi untuk mengabari orang rumah dan kembali berlayar. Fakta lain yang baru didapatnya tiga hari lalu ialah waktu Austria yang lebih cepat enam jam di banding kampungnya. Membuat kantuk dengan sigap menyergap.
'Mom, Cami wants to talk. she said she had arrived at Hallstatt' teriak David - Adiknya - di seberang.
'Oh thank god, you haven't called since yesterday. So, what's Vienna like? is it worth it?'
Wanita yang sudah dipanggilnya ibu selama 14 tahun terdengar begitu bersemangat, membangkitkan kehangatan dalam diri Camellia. Tak ingin kalah, ia pun mendongeng dengan antusias. Menerangkan seperti apa disana, setiap apa yang ditanggap matanya kemarin sampai ia terbaring detik ini. Menceritakan hari yang telah dilewatinya di ibu kota, menyampaikan hajat untuk membawa sang ibu dilain waktu yang langsung diaminkan yang bersangkutan. Sekarang ia berasa seperti anak kecil, menjabarkan harinya di sekolah pada sang ibu. Yang terlena dengan pujian "good job" andalan orang tuanya jika Camellia melakukan hal yang baik seharian, padahal saat itu dia sudah di bangku SMA. Dimana jiwa - jiwa pembangkang mulai bertunas.
'Well, didn't mean to ruin your mood, but yesterday your friend from work called. Her name is Annabelle if I'm not mistaken. Although she doesn't explain what she wants but it sounds very important.'
Helaan napas terdengar di telinga masing - masing yang serta merta mengantar sesal di diri Mrs. Peterson. Evidently, she ruined it. Camellia tidak ingat kapan terakhir ia dan sang ibu disituasi canggung. Mungkin saat tak sengaja menemukan benda tak beradab milik Jason ditasnya - yang baru Camellia tau asal usulnya di keesokan hari, berujung balasan setimpal untuk si empunya-, atau bisa jadi saat kembali tak sengaja melihat tetangga melakukan hal tak senonoh di tempat terbuka - yang tak henti mengundang tawa setiap kali terbesit-. Well, Camellia tidak begitu mengingat urutannya, yang jelas sudah begitu lama.
'I already told her, but it seems that the disease of forgetting hit her faster. I'll make sure to ring her tomorrow. Thanks mom.'
Tidak ada pembicaran lebih lanjut setelahnya, bersyukur sang ibu langsung mengerti. Setelah perbincangan singkat yang diakhiri pesan jaga kesehatan oleh Mrs. Peterson itu berakhir, Camellia melanjutkan malamnya dengan gambar hasil jepretannya. Senyum belum juga luntur sejak sang ibu mendoakan agar stresnya hilang tadi. Tangkapannya menghidupkan rasa bangga namun masih saja dibayangi penyesalan membuat perempuan itu terdiam cukup lama sebelum memilih kalah dengan kantuk yang perlahan menguasai dan untuk malam ini saja Camellia berharap mimpi itu datang. Malam ini saja.
***
Pada bumi yang berputar tanpa henti, dimana satu sisinya menghadapi indahnya sore dan sisi lainnya harus siap menyonsong pagi - yang kadang - kadang berlalu dengan banyak keluhan -, seorang pria menatap lama pada langit - langit kamar ia berbaring saat ini. Hanya hitungan jam, bagian bumi tempatnya sekarang ini akan bertemu pagi, namun lelah juga lima puntung rokok yang bertengger cantik dalam asbak belum mampu menyeretnya ke alam mimpi. Pun rasa tenang yang dinantinya tak kunjung datang. Padahal, dulu sekali, rokok dan seks adalah kombinasi pas yang sesekali mampu memberinya ketenangan. Menyalahkan perempuan cantik yang terlelap disampingnya sebelum sadar memang tidak pernah ada yang betul - betul membawa rasa tenang dalam hidupnya. Tidak ada sampai lima tahun lalu.
Merasa pikirannya akan membawa ia mengunjungi masa lalu, pria itu memilih bangkit, meninggalkan tempat maksiat ini lebih cepat mungkin sangat membantu. Kalimat penuh godaan terdengar, namun tidak melambatkan gerakannya. Justru membuat sang pria bersemangat keluar dari sana. Aneh, bagaimana bisa asap lima batang rokok tidak membangunkan Maria - nama perempuan itu atau Merly, atau Cindy, atau Sherly, entahlah laki - laki itu tidak pernah mengingat -. Meninggalkan lembaran kertas di nakas sebelum pergi tanpa menoleh sedikit pun. Sebelum pintu tertutup sempurna, dia bisa mendengar perkataan wanita itu, 'Feel free to call me back. For you, there's always time.'
Hell.. There's no fucking chance.
Implusif. Satu - satunya sifat paling dibenci oleh pria itu namun sangat melekat dalam dirinya terlebih pada keadaan yang sama sekali tak disenanginya. Tidak berhenti si pria mengutuk diri yang bersikap seperti itu disetiap situasi yang tak menguntungkannya. Ajaib hal itu tidak berlaku dalam urusan pekerjaan. Meski selalu yakin akan kembali, pria itu cukup kagum bisa menahan perilaku bejatnya selama tiga tahun lamanya. New record to list.
Nyala api dari cerutunya melengkapi perjalanan pria itu yang penuh kesunyian juga kehampaan malam. Satu lagi kebiasaan lamanya yang kembali, merokok lebih dari tiga batang sehari. Setelah berpikir cukup lama, diambil kembali telepon genggamnya, menekan nomor yang sudah ia hubungi sejak dua hari lalu hanya untuk mengetahui nomor tujuannya tetap tidak aktif. Ditekannya kuat - kuat amarah yang kembali bersemi. Memutuskan tidur saja ketika kantuk yang dinantinya mulai terasa. Sepertinya rokok masih sangat membantu. Berharap angka yang dihafalnya itu bisa membuahkan hasil esok.
..xoxo..